Kamis, 03 Desember 2015

responding paper ISLAM DIKALANGAN UMAT MUSLIM DI INDONESIA topik ke 6

Nama: Oktavia Damayanti
Nim: 1113032100056
            ISLAM DAN KESETARAAN GENDER DIKALANGAN MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA.
Islam sangat memuliakan perempuan, hal ini terlihat dari Hadist Nabi ketika ada seseorang yang bertanya mengenai siapa yang dihormati. Nabi menjawabnya, ibu, ibu, ibu, dan bapak. Betapa mulianya seorang perempuan dalam Islam. Dan juga Islam menyetarakan antara perempuan dan laki-laki dalam hal lain, hanya yang membedakan derajat antara laki-laki dan perempuan itu dari ketakwaannya.
Islam sebagai agama rahmatalil’alamiin sesungguhnya diyakini membawa ajaran yang meninggikan derajat dan martabat perempuan, sayangnya seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa ajaran ini seringkali ditafsirkan secara dangkal, sehingga tidak jarang ditemukan penafsiran keagamaan yang justeru merendahkan perempuan. Dalam hubungannya dengan laki-laki dan perempuan, secara substansi ajaran islam, mengatkan bahwa Allah swt tidak membedakan mereka. Di mata Tuhan, laki-laki dan perempuan setara. Namun dalam tataran praktis,banyak ditemukan penafsir keagamaan yang menampilkan sebaliknya, ini karena dipengaruhi budaya patriarkis yang telah mengakar di masyarakat selama berabad-abad.

Isu-isu Kesetaraan gender di Indonesia telah tercatat dalam lintasan sejarah. sejak dahulu banyak gerakan-gerakan perempuan yang dapat dikategorikan sebagai gerakan perempuan Indonesia, baik pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Misalnya pada abad ke 14 ada tiga raja islam yang berasal dari kaum perempuan, sulthanah khadijah, sultanah maryam dan sulthanah Fatimah. pada zaman majapahit, sejarah mencatat pula ratu Tribuana Tungga Dewi (1328) yang kemudian melahirkan raja majapahit, Hayam Wuruk. Kemudian sejarah mengisahkan Aceh pernah dipimpin oleh seorang perempuan muslim, yaitu sulthanah seri ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan ia dinobatkan sebgai raja Aceh sejak tahun 1641-1699. Selain itu, di Sulawesi selatan pada Tahun 1856 siti Aisyah we Tenriolle menjadi ratu Ternate. Di Kutai kalsel pun pernah berkuasa seorang Ratu, yaitu Ratu Ajji Sitti.[1]
Gerakan Pra Kemerdekaan

Sekitar tahun 1908, Budi Utomo sebuah organisasi yang merupakan tonggak kebnagkitan Indonesia memprakarsai berdirinya pergerakan- pergerakan atau organisasi perempuan. Organisasi-oorganisasi tersebut antara lain :

1. Poetri Mardika

Organisasi ini didirikan tahun 1912 di Jakarta. Perkumpulan ini dimaksudkan agar perempuan punya sikap yang tegas dan tidak malu-malu. Poetry mardika pernah mengajukan mosi kepada gubernur jendral agar perempuan dan laki-laki diperlakukan sama dimuka hukum.

2. Kautamaan Isteri

Gerakan ini mengutamakan pendidikan dengan cara mengadakan rumah sekolah bagi anak-anak di tasikmalaya. Dari tahun 1912-1917 dengan pengajarnya dewi sartika.

3. Sopa Trisno

Tahun 1912 berdiri perkumpulan ini yang diprakarsai oleh Nyai Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Menurutnya pendidikan merupakan prasyarat utama bagi peningkatan derajat perempuan. Perkumpulan ini yang kemudian menjadi organisasi perempuan Muhammadiyah yaitu Aisiyah pada Tahun 1917. Sebenarnya masih banyak lagi organisasi-organisasi perempuan yang bermunculan. Seperti pawiyatan wanito (Magelang 1915), Purboroni (Tegal, 1917), wanito soesilo (Pemalang, 1918) wanito Hadi (Jepara, 1919) dan lain sebagainya.[2]

Pasca Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia 17 agustus 1945,para perempuan Indonesia mulai masuk dalam ranah politik, sosial, pendidikan, kesehatan, dan juga industri. Dalam persoalan hak perempuan dan laki-laki sudah mulai ada hasilnya : yaitu, hak politik yang sama antara laki-laki dan perempuan setidaknya secara legal sudah di jamin dalam pasal 27 UUD 45. Lalu lahir UU 80/1958, yang menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, perempuan dan laki-laki tidak dibedakandalam sistem penggajian. Selain itu gerakan perempuan juga berhasil menempakan perempuan sebagai anggota parlemen, misalnya Maria Ulfa dan S.K Trimurti menjadi menteri pada cabinet Syahrir II (1946) dan cabinet Amir Syarifuddin (1947-1948).

Masa OrdeBaru

Pada masa orde baru pemerintah dalam salah satu kebijakannya yaitu membentuk kementrian khusus urusan perempuan. Yaitu Dharma Wanita yang dipegang langsung oleh presiden dan wakil presiden dengan Pembina utama dan isterinya sebagai penasihat utama dan PKK yang menjadi proyek menteri dalam negeri. Kepengurusan organisasi ini sesuai dengan jabatan structural sang suami di pemerintahan. Orba secara tidak langsung menolak partisipasi perempuan dalam politik, hal ini dikonstruksikan dengan paham “ibuisme” yaitu sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi perempuan sebagai bagian dari peranannya sebagai ibu dan partisipasi dalam politik menjadi tidak layak. Pada masa ini mulai berada kerangka ideology feminism yang menekankan kesetaraan gender.

Masa Reformasi

Pada era reformasi ini terjadi perubahan fundamental, dari wacana ke gerakan, dari gerakan sosial ke politik, dari jalan ke parlemen. Gerakan perempuan menjadi bagian tidak terpisahkan dari gerakan reformasi untuk demokrasi. Pada masa ini kesempatan partisipasi perempuan semakin terbuka lebar, dengan di tentukannya kuota perempuan dalam parlemen. Sesuai UU No 12/2003 (pasal 65 ayat 1), memuat kuota 30 % keterwakilan perempuan. Lahir pula UU No.23 tahun 2004 tentang perlindungan terhadap KDRT.[3]
Negara dan Ideologi Ibuisme Masa Orde Lama dan Orde Baru
            Salah satu usaha untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di masa ini adalah ORNOP, ornop yaitu Organisasi Non Pemerintah, yang amana organisasi ini adalah suatu lembaga yang mengupayakan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat yang termarginalkan secara demokratis, baik dalam kehidupan ekonomi, sosial, hokum, maupun lingkungan.
            Di Indonesia gerakan ini muncul sejak tahun 1970-an, yang ditandai dengan lahirnya YLBHI, LP3ES, Bina Desa, Bina Swadaya, YLKI, dan lain-lain.[4] 
            Penggunaan istilah ornop sering dinilai dan diartikan sebagai lawan pemerintah, sehingga ada upaya untuk menghaluskannya yaitu LSM, Lembaga Swadaya Masyarakat. Pereduksian ornop menjadi LSM dipandang merugikan dan rancu. Ini terbukti dengan masuknya Dharma Wanita kedalam daftar nama LSM di Dunia yang tercantum dalam PBB, padahal Dharma Wanita berada dibwah pemerintah.
            Dimasa tersebut gerakan dan aktivitas LSM tidak memperhatikan perspektif gender, sehingga dalam berbagai kegiatannya kurang memperhatikan kelompok perempuan, yang posisinya paling lemah dalam kehidupan ekkonomi, sosial, dan keadilan hukum. Program-rogram ekonomi lebih banyak  melibatkan kaum laki-laki. Bahkan sulit mendapatkan keadilan dan penilaian imbalan di tempat kerja.
Menjelang jatuhnya Soeharto, lahirlah Suara Ibu Peduli, Koalisi Perempuan, dan lain-lain. Hal ini terjadi setelah kristalisasi dari ornop perempuan yang merasakan perlunya bersama-sama berkoalisi untuk bahu-membahu mencapai tujuan.
            Salah satu contoh gerakan perempuan yakni Geraka Ibu Peduli yang mana mampu menggalang partisipasi masyarakat dalam mendistribusikan kebutuhan mahasiswa disaat mereka berdemo untuk menjatuhkan rezim Soeharto, hingga akhirnya berhasil. Di sini terbukti bahwa  perempuan yang dianggap lemah, tetapi pada saat kritis ternyata memiliki keberanian dan mampu menyuplai makanan untuk mahasisiwa yang berdemo yang jumlahnya ratusan ribu.
            Gerakan-gerakan perempuan sebaiknya tidak berdiri sendiri namun harus dibentuk jaringan kerja dengan LSM lain dan pejabat pemerintah yang mempunyai keberpihakan kepada perempuan agar cita-cita mewujudkan ak asasi perempuan cepat terwujud.
            Pada masa orde baru, bila membicarakan Darma Wanita dari referensi buku yang saya kutif, Dharma Wanita ini lebih bersifat seremonial, rekreatif, ekslusif. Karena Dharma Wanita ini jika suami menjadi kepala jabatan, maka sang istri otomatis akan enjadi ketuanya, padahal bisa jadi sang ketua ini tidak memenuhi standar kualifikasi untuk menduduki Jabatan tersebut. Tentunya kondisi ini semakin tidak efektif karena ia tidak mampu memimpin organisasi dan tidak mampu mengatur anggotanya, apalagi apabila ia tidak memahami ideologi gender. Dalam Dharma Wanita seharusnya lebih mengutamakan mendiskusikan bagaimana usaha penguatan dan pemberdayaan perempuan.[5]
Referensi:
Umi Sumbulah, Spectrum Gender : Kilasan Inklusi gender di Perguruan Tinggi (UIN Malang Press : 2008).
Zumrotin K. Susilo, dkk, Perempuan Bergerak;  Membingkai Gerakan Konsumen dan Penegakan Hak-hak Perempuan, Cet ke-1, yayasan Lembaga Konsumen, Sulawesi Selatan: 2000




[1] Umi Sumbulah, Spectrum Gender : Kilasan Inklusi gender di Perguruan Tinggi (UIN Malang Press : 2008), h.45.
[2] Umi Sumbulah, Spectrum Gender : Kilasan Inklusi gender di Perguruan Tinggi. Hal. 48.
[3] Umi Sumbulah, Spectrum Gender : Kilasan Inklusi gender di Perguruan Tinggi. Hal.52
[4] Zumrotin K. Susilo, dkk, Perempuan Bergerak;  Membingkai Gerakan Konsumen dan Penegakan Hak-hak Perempuan, Cet ke-1, yayasan Lembaga Konsumen, Sulawesi Selatan: 2000, h. 4
[5] Ibid, h. 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar