Nama: Oktavia
Damayanti
Nim: 1113032100056
ISLAM DAN KESETARAAN GENDER
DIKALANGAN MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA.
Islam sangat memuliakan perempuan, hal ini terlihat dari Hadist Nabi
ketika ada seseorang yang bertanya mengenai siapa yang dihormati. Nabi menjawabnya,
ibu, ibu, ibu, dan bapak. Betapa mulianya seorang perempuan dalam Islam. Dan
juga Islam menyetarakan antara perempuan dan laki-laki dalam hal lain, hanya
yang membedakan derajat antara laki-laki dan perempuan itu dari ketakwaannya.
Islam sebagai agama rahmatalil’alamiin sesungguhnya diyakini membawa
ajaran yang meninggikan derajat dan martabat perempuan, sayangnya seperti yang
telah diungkapkan di atas bahwa ajaran ini seringkali ditafsirkan secara
dangkal, sehingga tidak jarang ditemukan penafsiran keagamaan yang justeru
merendahkan perempuan. Dalam hubungannya dengan laki-laki dan perempuan, secara
substansi ajaran islam, mengatkan bahwa Allah swt tidak membedakan mereka. Di
mata Tuhan, laki-laki dan perempuan setara. Namun dalam tataran praktis,banyak
ditemukan penafsir keagamaan yang menampilkan sebaliknya, ini karena
dipengaruhi budaya patriarkis yang telah mengakar di masyarakat selama
berabad-abad.
Isu-isu Kesetaraan gender di Indonesia telah tercatat dalam lintasan
sejarah. sejak dahulu banyak gerakan-gerakan perempuan yang dapat dikategorikan
sebagai gerakan perempuan Indonesia, baik pra kemerdekaan maupun pasca
kemerdekaan. Misalnya pada abad ke 14 ada tiga raja islam yang berasal dari
kaum perempuan, sulthanah khadijah, sultanah maryam dan sulthanah Fatimah. pada
zaman majapahit, sejarah mencatat pula ratu Tribuana Tungga Dewi (1328) yang
kemudian melahirkan raja majapahit, Hayam Wuruk. Kemudian sejarah mengisahkan
Aceh pernah dipimpin oleh seorang perempuan muslim, yaitu sulthanah seri ratu
Tajul Alam Safiatuddin Johan ia dinobatkan sebgai raja Aceh sejak tahun
1641-1699. Selain itu, di Sulawesi selatan pada Tahun 1856 siti Aisyah we
Tenriolle menjadi ratu Ternate. Di Kutai kalsel pun pernah berkuasa seorang
Ratu, yaitu Ratu Ajji Sitti.[1]
Gerakan Pra Kemerdekaan
Sekitar tahun 1908, Budi Utomo sebuah organisasi yang merupakan tonggak
kebnagkitan Indonesia memprakarsai berdirinya pergerakan- pergerakan atau
organisasi perempuan. Organisasi-oorganisasi tersebut antara lain :
1. Poetri Mardika
Organisasi ini didirikan tahun 1912 di Jakarta. Perkumpulan ini
dimaksudkan agar perempuan punya sikap yang tegas dan tidak malu-malu. Poetry
mardika pernah mengajukan mosi kepada gubernur jendral agar perempuan dan
laki-laki diperlakukan sama dimuka hukum.
2. Kautamaan Isteri
Gerakan ini mengutamakan pendidikan dengan cara mengadakan rumah sekolah
bagi anak-anak di tasikmalaya. Dari tahun 1912-1917 dengan pengajarnya dewi
sartika.
3. Sopa Trisno
Tahun 1912 berdiri perkumpulan ini yang diprakarsai oleh Nyai Ahmad
Dahlan di Yogyakarta. Menurutnya pendidikan merupakan prasyarat utama bagi
peningkatan derajat perempuan. Perkumpulan ini yang kemudian menjadi organisasi
perempuan Muhammadiyah yaitu Aisiyah pada Tahun 1917. Sebenarnya masih banyak
lagi organisasi-organisasi perempuan yang bermunculan. Seperti pawiyatan wanito
(Magelang 1915), Purboroni (Tegal, 1917), wanito soesilo (Pemalang, 1918)
wanito Hadi (Jepara, 1919) dan lain sebagainya.[2]
Pasca Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia 17 agustus 1945,para perempuan Indonesia
mulai masuk dalam ranah politik, sosial, pendidikan, kesehatan, dan juga
industri. Dalam persoalan hak perempuan dan laki-laki sudah mulai ada hasilnya
: yaitu, hak politik yang sama antara laki-laki dan perempuan setidaknya secara
legal sudah di jamin dalam pasal 27 UUD 45. Lalu lahir UU 80/1958, yang
menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama,
perempuan dan laki-laki tidak dibedakandalam sistem penggajian. Selain itu
gerakan perempuan juga berhasil menempakan perempuan sebagai anggota parlemen,
misalnya Maria Ulfa dan S.K Trimurti menjadi menteri pada cabinet Syahrir II
(1946) dan cabinet Amir Syarifuddin (1947-1948).
Masa OrdeBaru
Pada masa orde baru pemerintah dalam salah satu kebijakannya yaitu
membentuk kementrian khusus urusan perempuan. Yaitu Dharma Wanita yang dipegang
langsung oleh presiden dan wakil presiden dengan Pembina utama dan isterinya
sebagai penasihat utama dan PKK yang menjadi proyek menteri dalam negeri.
Kepengurusan organisasi ini sesuai dengan jabatan structural sang suami di
pemerintahan. Orba secara tidak langsung menolak partisipasi perempuan dalam
politik, hal ini dikonstruksikan dengan paham “ibuisme” yaitu sebuah paham yang
melihat kegiatan ekonomi perempuan sebagai bagian dari peranannya sebagai ibu
dan partisipasi dalam politik menjadi tidak layak. Pada masa ini mulai berada
kerangka ideology feminism yang menekankan kesetaraan gender.
Masa Reformasi
Pada era reformasi ini terjadi perubahan fundamental, dari wacana ke
gerakan, dari gerakan sosial ke politik, dari jalan ke parlemen. Gerakan
perempuan menjadi bagian tidak terpisahkan dari gerakan reformasi untuk
demokrasi. Pada masa ini kesempatan partisipasi perempuan semakin terbuka
lebar, dengan di tentukannya kuota perempuan dalam parlemen. Sesuai UU No
12/2003 (pasal 65 ayat 1), memuat kuota 30 % keterwakilan perempuan. Lahir pula
UU No.23 tahun 2004 tentang perlindungan terhadap KDRT.[3]
Negara dan Ideologi Ibuisme Masa Orde Lama dan Orde Baru
Salah
satu usaha untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di masa ini adalah ORNOP,
ornop yaitu Organisasi Non Pemerintah, yang amana organisasi ini adalah suatu
lembaga yang mengupayakan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakat yang termarginalkan secara demokratis, baik dalam kehidupan ekonomi,
sosial, hokum, maupun lingkungan.
Di
Indonesia gerakan ini muncul sejak tahun 1970-an, yang ditandai dengan lahirnya
YLBHI, LP3ES, Bina Desa, Bina Swadaya, YLKI, dan lain-lain.[4]
Penggunaan istilah ornop sering dinilai dan diartikan sebagai lawan pemerintah,
sehingga ada upaya untuk menghaluskannya yaitu LSM, Lembaga Swadaya Masyarakat.
Pereduksian ornop menjadi LSM dipandang merugikan dan rancu. Ini terbukti
dengan masuknya Dharma Wanita kedalam daftar nama LSM di Dunia yang tercantum
dalam PBB, padahal Dharma Wanita berada dibwah pemerintah.
Dimasa tersebut gerakan dan aktivitas LSM tidak memperhatikan perspektif
gender, sehingga dalam berbagai kegiatannya kurang memperhatikan kelompok
perempuan, yang posisinya paling lemah dalam kehidupan ekkonomi, sosial, dan
keadilan hukum. Program-rogram ekonomi lebih banyak melibatkan kaum
laki-laki. Bahkan sulit mendapatkan keadilan dan penilaian imbalan di tempat
kerja.
Menjelang jatuhnya Soeharto, lahirlah Suara Ibu Peduli, Koalisi
Perempuan, dan lain-lain. Hal ini terjadi setelah kristalisasi dari ornop
perempuan yang merasakan perlunya bersama-sama berkoalisi untuk bahu-membahu
mencapai tujuan.
Salah
satu contoh gerakan perempuan yakni Geraka Ibu Peduli yang mana mampu
menggalang partisipasi masyarakat dalam mendistribusikan kebutuhan mahasiswa
disaat mereka berdemo untuk menjatuhkan rezim Soeharto, hingga akhirnya
berhasil. Di sini terbukti bahwa perempuan yang dianggap lemah, tetapi
pada saat kritis ternyata memiliki keberanian dan mampu menyuplai makanan untuk
mahasisiwa yang berdemo yang jumlahnya ratusan ribu.
Gerakan-gerakan perempuan sebaiknya tidak berdiri sendiri namun harus dibentuk
jaringan kerja dengan LSM lain dan pejabat pemerintah yang mempunyai
keberpihakan kepada perempuan agar cita-cita mewujudkan ak asasi perempuan
cepat terwujud.
Pada
masa orde baru, bila membicarakan Darma Wanita dari referensi buku yang saya
kutif, Dharma Wanita ini lebih bersifat seremonial, rekreatif, ekslusif. Karena
Dharma Wanita ini jika suami menjadi kepala jabatan, maka sang istri otomatis
akan enjadi ketuanya, padahal bisa jadi sang ketua ini tidak memenuhi standar
kualifikasi untuk menduduki Jabatan tersebut. Tentunya kondisi ini semakin
tidak efektif karena ia tidak mampu memimpin organisasi dan tidak mampu
mengatur anggotanya, apalagi apabila ia tidak memahami ideologi gender. Dalam
Dharma Wanita seharusnya lebih mengutamakan mendiskusikan bagaimana usaha
penguatan dan pemberdayaan perempuan.[5]
Referensi:
Umi Sumbulah, Spectrum Gender :
Kilasan Inklusi gender di Perguruan Tinggi (UIN Malang Press : 2008).
Zumrotin K. Susilo, dkk, Perempuan
Bergerak; Membingkai Gerakan Konsumen
dan Penegakan Hak-hak Perempuan, Cet ke-1, yayasan Lembaga Konsumen,
Sulawesi Selatan: 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar