Kamis, 03 Desember 2015

responding paper relasi gender dalam agama hindu dan buddha topik 10 &11

Nama :oktavia damayanti
Nim: 1113032100056
 Relasi gender dalam agama hindu dan relasi gender dalam agama Buddha

Relasi Gender  dalam Agama Hindu
Gender dalam teks-teks Hindu, “Prajarnatha Sriyah srstah Samtanartham ca manawah Tasmat sadharano dharmah Crutau patnya sahaditah” , artinya : Untuk menjadi ibu wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah laki-laki diciptakan oleh upacara keagamaan saat perkawinan, karena itu ditetapkan didalam weda untuk dilakukan oleh suami bersama dengan istrinya. “Kamamamaranattistheg Grhe karyantum atyapi, Nacaivainam prayacchettu Guna hinaya karhicit”, artinya : Tetapi walaupun wanita itu sudah cukup umur untuk kawin, hendaknya ia ditahan saja dirumah oleh orang tuanya sampai mati daripada dia dikawinkan dengan laki-laki yang tidak memiliki sifat baik.
Mitodologi Hindu umurnya ribuan tahun, setua umur agama Hindu. Tahun kemunculan mitologi ini tidak pasti dan sukar diperkirakan secara tepat. Mitolog ini diyakini muncul bersamaan ketika Weda mulai berkembang di anak benua India. Pada saat itu lagu-lagu pujian pada Rig Weda (Weda pertama) mulai dinyanyikan.
Lagu tersebut memuji-muji alam dan unsure-unsurnya, seperti: udara, air, petir, matahari, api, dan sebagainya. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk dewa-dewa yang memilki gelar masing-masing sesuai dengan unsure alam, seperti Bayu, Baruna, Indra, Surya, Agni, dan sebagainya. Dewa-dewa inilah yang akan menjadi bagian dari mitologi Hindu.
Mitologi Hindu tidak lepas dari cerita para makhluk Supranatural, seperti; Dewa, Asura, Raksasa, Detya, Gandhara, Yaksa, dan lain-lain. Makhluk supranatural yang paling terkenal adalah Dewa, Asura, dan Raksasa. Dalam mitologi Hindu dikenal adanya Dewa-Dewi, yang mana Dewa-Dewi tersebut merupakan personifikasi dari alam atau sebagai perwujudan dari gelar kemahakuasaan Tuhan. Kepercayaan Dewa-Dewi dalam agama Hindu sudah muncul sejak zaman Weda, yaitu pada masa agama Hindu baru berkembang. Dewa-Dewi banyak disebut-sebut dalam Weda sebagai makhluk dibawah derajat Tuhan. Pada zaman Weda, Dewa-Dewi banyak dipuja sebagai pelindung diri manusia.
Adapun Gender dalam tradisi Hindu, yakni dalam masyarakat Hindu, bila keluarga belum melahirkan anak laki-laki , terasa ada yang kurang. Karena dalam pandangan Hindu, putra (anak laki-laki) yang akan menyeberangkan jiwa orang tua ke surge. Dalam agama Hindu, sejak awal kehidupan, perkawinan merupakan salah satu lembaga efektif. Dalam Weda Smerti disebutkan bahwa hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan berusaha dengan tidak jemu-jemu supaya mereka tidak bercerai dan jangan melanggar kesetian antara satu dengan  yang lain. Perkawinan hanya sekali dan jangan melanggar kestiaan. Dasar hukum sebuah tradisi yang diturunkan adalah Dharma yang menjamin kesetaraan, keseimbangan terbebas dari dualism. Ini menjamin tidak ada perbedaan antara lemah dan kuat, kaya dan miskin, rakyat dan kaum bangsawan, laki-laki dan perempuan serta semua yang bersifat dualisme. Hal ini bertolak belakang dengan perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia yang diakrenakan warisan budaya feodalisme telah menunjukkan angka perilaku kekerasan terhadap pihak yang lemah, dalam hal ini khususnya perempuan dan anak-anak. terdapatnya kecenderungan agama, budaya, tradisi adat ditafsirkan dengan menempatkan perempuan sebagai warga Negara kelas dua sehingga terus menerus menjadi korban juag perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak.
Feminisme Hindu, selain peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang berkewajiban mendampingi suami, mengasuh anak-anak dan menjalankan peran dan fungsinya sebagai ibu rumah tangga. Sesungguhnya kita sebagai anak mempunyai utang yang sangat besar kepada orang tua yaitu Sarira krt ( yang menyebabkan badan ini ada), annadatta (yang member makanan dan minuman selama hidup), dan pranadatta (yang member hidup serta mengasuhnya). Perempuan sangat menentukan maju mundurnya kehidupan keluarga, masyarakat dan Negara bahkan sering dijadikan cermin perkembangan keluarga, masyarakat dan Negara. Dengan ddemikian seorang ibu hendaknya memperlihatkan wajah yang berseri-seri sehingga keharmonisan dan kebahagian dalam keluarga menjadi terwujud.
Adapun dalam masyarakat bali, agama Hindu juga  mempengaruhi dalam hal gender. Konsep yang jelas terlihat adalah konsep kasta yang menyebabkan adanya pembagian masyarakat berdasarkan kasta (Langsing, 1995: 27). Peraturan mengenai kasta tersebut mempengaruhi adanya peraturan perkawinan antarkasta. Sistem patpatrilineal melalui konsep purusa yang mengutamakan laki-laki jua dipengaruhi oleh agama Hindu.  Disebutkan bahwa purusa yang berarti laki-laki diambil dari konsep agama Hindu. Dalam konsep tersebut purusa merupakan suatu kosmologi, materi pokok, dan dianggap sebagai penyebab efisiensi alam semesta. Dalam bowker disebutkan bahwa konsep purusa bersifat kepahlawanan untuk kejayaan kitab suci Veda dan kesejahteraan semua makhluk. Merujuk hal tersebut, terlihat bahwa konsep purusa (laki-laki) dipengaruhi oleh agama Hindu dan dianggap  sebagai hal utama bagi semua makhluk.
Perjuangan yang dilakukan melawan ketidaksetaraan. Dalam Hindu, perempuan selalu diberikan kedudukan yang terhormat sejajar dengan laki-laki. Dimana saja perempuan dihormati di sana. Keharmonisan akan tercipta dan sebaliknya, dimana perempuan tidak di hormati cepat atau lambat akan terjadi prahara didalam rumah tangga. Perempuan dikatakan sebagai lambang keutamaan cita-cita yang luhur dan utama dan sebagai barometer maju mundurnya rumah tangga.
Bagi seorang Hindu pemujaan Tuhan dalam aspek keibuan atau feminism merupakan sebuah pendekatan antar pemuja dengan yang dipuja. Hal ini terjadi karena Hindu menganggap bahwa aspek keibuan atau feminism bahwa Tuhan adalah penuh dengan kecantikkan, kelembutan, pengampun dan sifat yang lain. Pemujaan Tuhan dalam bentuk sakti (unsure ibuan) telah mengakar dengan kuat diantara orang Hindu, seperti adanya pemujaan Saraswati, Laksmi, Durga, Gayatri, dan yang lainnya. Menurut Panetje, keluarga dari pihak laki-laki mendapat  perhatian lebih dahulu daripada keluarga dari pihak ibu. Namun, bukan berarti bubungan si anak dengan ibunya atau keluarganya dari pancar ibu (wadu) tidak ada artinya sama sekali. Hubungan dengan keluarga pancar wadu baru mendapat perhatian sesudah hubungan dengan keluarga bapaknya tidak ada lagi.
Walaupun pendominasian peran laki-laki dalam kehidupan dan kultur agama Hindu di Bali, apabila ditinjau dari segi fungsi purusa, juga dapat diperankan oleh kaum perempuan. Dalam masyarakat Hindu di Bali, perempuan juga memegang peran yang sangat penting dalam menjaga nama baik keluarganya.
Masyarakat Bali mengadopsi sistem kasta dari India sebagai bagian dari agama Hindu. Masyarakat dibagi ke dalam empat kasta yaitu brahmana, ksatria, vaisya, dan sudra. Menurut Panetje (1986 : 20). Empat kasta yang disebut catur wangsa itu satu  sama lain sangat terpisah. Seseorang masuk salah satu kasta itu hanya karena keturunan melalui garis oancar laki-laki (purusa). Pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang berkasta lebih rendah merupakan sebuah pelanggaran. Pelanggaran tersebut berupa hukuman pembuangan bagi laki-laki dan perempuan meskipun dianggap pelanggaran adat, pernikahan tersebut tetap sah. Pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang berkasta lebih tinggi juga menimbulkan pelanggaran dengan hukuman denda bagi laki-laki. Dalam Weda Smerti bahwa hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan pernikahan berusaha dengan tidak jemu-jemu supaya mereka tidak bercerai dan jangan melanggar kesetian antara satu dengan yang lainnya. Perkawinan hanya sekali dan jangan melanggar kesetiaan. 
Relasi gender dalam agama Buddha
Masyarakat India pra Buddha, sangat tidak menghormati perempuan. Sampai sekte Brahmanisme berpendapat bahwa yang boleh menjadi pemimpin upacara hanya kalangan laki-laki. Buddha sendiri berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan sama saja. Tidak ada sistem kasta, orang yang mulia ialah orang yang mampu menjalankan Dhamma terlepas dia laki-laki atau perempuan. Salah satu ini juga yang membuat sang Buddha terkadang menegur golongan Brahmana. Mereka mengajarkan ajaran mereka demi mengkokohkan kedudukan mereka di mata masyarakat sehingga hal ini harus dijauhkan oleh sang Buddha.
Ada sebuah kisah ketika Ratu Malika mengandung, dia berharap keturunannya adalah laki-laki, karena pada masa itu masyarakat mengharapkan anak laki-laki yang lahir. Tetapi Ratu Malika melahirkan seorang anak wanita dan dia bersedih, tetapi hal itu langsung di dinasehati oleh sang Buddha:
“Seorang anak perempuan oh Sri Baginda, akan menjadi keturunan yang lebih baik dari pria, sebab ia akan melahirkan jiwa yang dapat memerintah dan membimbing manusia. bahagialah baginda.”[1]
Sejak sang Buddha menasehati itu kelahiran laki-laki dan perempuan menjadi hal yang lumrah dan biasa. Dalam kemitrasejajaran pria dan wanita yang berkeluarga, agar perkawinan harmonis dan berlangsung lama, ajaran dalam Samajivi Sutta dusebutkan:
“Para Bhikku, bila suami dan istri mengharapkan saling bertemu dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang, keduanya hendaknya menjadi orang yang memiliki keyakinan atau Saddha yang sebanding, memiliki tatasusila yang sebanding memiliki kemurahan hati yang sebanding, dan kebijaksanaan yang sebanding. Suami istri yang demikian itu tentu dapat saling bertemu sekarang ini dan dalam kehidupan yang akan datang.”
 Sang Buddha dari awal sudah mengkritik pendeta Brahmana yang mana ketika mereka menanyakan ke sang Buddha, mereka hanya ingin menguatkan kedudukannya sebagai Brahmana. Mereka bukan menanyakan mengenai agama, filsafat, dan Dhamma, melainkan pertanyaan-pertanyaan untuk mengakui keagungan mereka. Sekte Brahmana sendiri sekte yang sangat mengharuskan pemimpin ialah laki-laki, bahkan dalam adat India terdapat tradisi sutta (wanita yang membakar diri bersama jenazah suaminya), yang jelas-jelas merugikan wanita. Buddha mengajarkan Dhamma tanpa batas dan tanpa mengenal kasta, seseorang yang baik tergantung perbuatannya. Tercatat bahwa sang Buddha mengajarkan kepada para pendengarnya agar menilai orang lain berdasarkan perbuatannya, bukan berdasarkan kelasnya. Dalam suatu sutra (teks suci), konon beliau bersabda, “Bukan karena keturunannyalah seseorang tidak diperhitungkan dalam kasta. Bukan karena keturunan pula orang menjadi Brahmin. Dengan perbuatanlah seseorang menjadi Brahmin.” Sang Buddha menyebutkan lima sungai yang sangat terkenal. Beliau memberitahukan bahwa walaupun masing-masing sungai itu besar dan terkenal, tetapi semuanya kehilangan identitas begitu airnya masuk ke samudera. Begitu pula semua orang yang bergabung dalam sangha.[2] Sehingga analisis Buddha ialah tidak berpengaruh dia pria ataupun wanita, karena semuanya akan menjadi hilang dalam Dhamma. Buddha menekankan aspek bahwa tingginya seseorang tergantung bagaimana dia menjalankan Dhamma dan berbuat baik kepada sesama, terlepas dari jenis kelamin.
Sang Buddha mengajarkan Dharma kepada siapa pun yang berkehendak untuk mendengarkannya kepada laki-laki dan perempuan dari kasta apapun, pekerjaan apapun, dan agama apapun. Beliau mengajarkan bahwa pembebasan dari siklus kelahiran dan penderitaan yang tak ada akhirnya itu mungkin terjadi pada siapapun yang awas terhadap kebenaran. Seharusnya tak ada tingkatan atau kasta diantara Bikkhu dan Bikkhuni; semuanya sama di dalam Dharma. Untuk itu beliau mengatakan bahwa seharusnya tak ada penggolongan sosial di dalam sangha.
Dari sini kita bisa lihat bahwa kedudukan pria dan wanita dalam umat Buddha adalah sama. Tidak ada diskriminasi didalamnya. Buddha juga telah memberi panduan bagi suami-isteri dalam berkeluarga. Hubungan perkawinan dan kehidupan keluarga, sebagai satuan dasar dari masyarakat, sangat ditekankan dalam agama Buddha. Sang Buddha menitikberatkan anjurannya pada pembentukan kepribadian yang baik melalui pelaksanaan sila, dan pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Bila suami dan istri ingin saling memandang (tetap bersama) dalam hidup ini dan dalam hidup yang akan datang, keduanya harus seimbang daalam iman (saddha), moral (sila), kemurahan (caga) dan kebijakan (panna). (Angutara N. II, Hal. 62).
Dalam hubungan ini, sang Buddha membedakan empat jenis pasangan: (1) seorang pria jahat (chavo) dengan seorang wanita jahat (chava) mereka merupakan pasangan yang buruk, senantiasa melanggar pancasila, melakukan berbagai kejahatan, mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk, mementingkan diri sendiri, dan menghina orang-orang suci dan orang-orang lain. (2) pria jahat dengan wanita baik (devi). (3) pria baik (deva) dengan wanita jahat. (4) pria baik (deva) dengan wanita baik (devi), pasangan yang terakhir ini yang dipuji oleh sang buddha. (Anguttara N. II, Hal. 57, dst).[3]
Dari sini sang Buddha memberikan suatu wasiat agar ketika berumah tangga, suami dan isteri selalu hidup rukun dan damai. Bersama dikehidupan sekarang dan dikehidupan yang akan datang. Buddha juga memberikan contoh pasangan yang baik dan yang buruk, agar manusia tidak tersesat dalam menentukan pasangan. Disinilah Buddha menekankan persamaan gender dalam keluarga. Keluarga yang akan harmonis jika suami dan isteri bekerja sama dalam membina rumah tangga. Bukan hanya dalam berkeluarga mengandalkan suami atau isteri, mereka berdua harus membina rumah tangga bersama. Hidup bersama sampai akhir hayat, senang bersama dan susah bersama. Hal ini yang membuat ajaran Buddha mudah diterima masyarakat luas karena ajarannya yang penuh dengan welas asih, tanpa memandang suku, ras, dan agama.
Dalam  pesta nikah di Jambunada Buddha memberikan khotbah mengenai perkawinan yang hendaknya dilandasi cinta akan kebenaran. Manusia membayangkan kebahagiaan dalam ikatan perkawinan yang mempersatukan dua hati yang saling mencintai. Tetapi kematian akan memisahkan suami dari isterinya, isteri dari suaminya. Ada kebahagiaan yang lebih besar, yaitu menikahkan diri dalam kebenaran. Kematian tidak akan pernah menjamah dia yang kawin dan hidup dalam ikatan suci dengan kebenaran, karena kebenaran itu abadi. Apa yang disebut kebahagiaan dalam kehidupan sekarang ini atau pun kehidupan yang akan datang menghendaki adanya keyakinan, moral, kemurahan hati dan kebijaksanaan yang sebanding. Karena itu, tujuan perkawinan tiada lain dari saling melengkapi, saling mendukung dan melindungi sehingga pasangan yang bersangkutan bersama-sama dapat mencapai kesempurnaan yang mendatangkan kebahagiaan. Lembaga perkawinan merupakan tempat untuk mengembangkan kekuatan secara sinergis dari dua individu yang membentuk pasangan yang membebaskannya dari kesepian, kekhawatiran, ketakutan, dan kelemahan. Dengan itu, tak seorang pun yang tidak diperkuat kehidupan spiritualnya.[4]
Sang Buddha juga memberikan perumpamaan dengan seorang ibu tentang kasih sayang, “Bagaikan seorang ibu yang melindungi anaknya yanng tunggal, sekalipun mengorbankan kehidupannya; demikian juga seharusnya seseorang memelihara cinta kasih yang tidak terbatas itu kepada setiap makhluk.”[5]Buddha mengibaratkan cinta dan kasih bagaikan seorang ibu yang melindungi anaknya yang tunggal, ini menandakan bahwa wanita diangkat setingi-tingginya sebagai pelindung generasi yang kuat. Wanita bukanlah barang dagangan yang diperjual-belikan, melainkan seorang pelindung yang hebat dengan kasih sayang. Kasih sayang yang tulus dari seorang ibu yang mampu membuat anak menjadi generasi hebat.
Hal ini dirasakan juga oleh Sidarta Gautama, dia dididik oleh ibunya sehingga dia menjadi orang yang tercerahkan, walaupun dia berusaha juga untuk mencari kebenaran di bawah pohon bodi. Dari sini bisa disimpulkan bahwa wanita bukan hanya dianggap setara dengan pria, tetapi juga dianggap bahwa wanita mampu melindungi anaknya dari sesuatu yang jahat.
Kedudukan wanita India sebelum munculnya Buddha tidaklah memperlihatkan adanya kebahagiaan. Karena pada umumnya wanita dianggap sebagai manusia yang lebih rendah daripada pria, bahkan memiliki kedudukan yang sama dengan kasta Sudra, kasta terendah diantara empat kasta yang ada di India.
Tetapi sejak munculnya Sang Buddha 2546 lalu, wanita mendapatkan posisi dan perannya yang setara dengan lelaki. Ajaran Sang Buddha yang begitu revolusioner itu, menjungkirbalikkan kehidupan berdasarkan kasta, maupun pandangan bahwa wanita lebih rendah dari lelaki. Dalam agama Buddha, kesetaraan itu jelas sekali, termasuk kesetaraan dalam mencapai kesucian.
Dalam segala bidang dan sepanjang kehidupannya kebebasan wanita pada masa sebelum datangnya Buddha sangat dibatasi. Menurut pandangan masa itu, anak-anak perempuan harus berada di bawah perhatian orang tuanya, dan semasa mudanya mereka ada di bawah pengawasan suaminya, dan di usia tuanya mereka harus di bawah control anak laki-lakinya.
Sungguh mereka tidak mendapatkan kebebasan secara layak, dari kecil hingga tua. Sebagai istri pun peranan utama mereka hanya menjadi belahan sang suami, mengatur urusan-urusan rumah tangga menurut keinginan dari suami mereka. Sebagai seorang istri, kehidupan sebagai wanita itu pun sering menderita.
Bila mereka menjadi seorang selir pun belum tentu keberuntungan dan kebahagiaan singgah. Kecemburuan dan masalah-masalah yang terjadi diantara para selir sering menjadi pemandangan yang umum terjadi di dalam masyarakat yang patriarkis itu (laki-laki yang lebih berkuasa).
Kedudukan para janda yang ditinggal mati oleh suaminya juga tidak mendapatkan tempat yang baik. Biasanya, seorang janda tidak diperbolehkan menikah lagi. Dikatakan jika janda tersebut menikah lagi, lebih baik bunuh diri dengan melompati kumpulan kayu berapi dipemakaman suaminya.
Wanita juga tidak memiliki kebebasan untuk memperoleh pendidikan. Pentingnya pendidikan untuk wanita tidak dipertimbangkan. Begitu pula dengan kebebasan beragama, mereka amat dibatasi, termasuk dalam hal ritual dan tata cara keagamaan lainnya.
Pada umumnya kehidupan seorang wanita dianggap sebagai beban di keluarga, karena laki-laki harus bertanggung jawab menjaga wanita. Selain itu, wanita dianggap tidak berkemampuan menunjukkan tata cara upacara keagamaan untuk meninggalnya orang tua. Tegasnya, wanita dianggap sebagai manusia yang hanya memiliki sedikit kegunaan.
Semenjak kelahirannya anak perempuan telah dianggap sebagai tanda ketidakberuntungan sebuah keluarga. Para orang tua berdoa untuk kelahiran anak laki-laki, karena anak laki-laki dapat membawa nama dan tradisi keluarga dan juga dapat menunjukkan pentingnya tata cara upacara keagamaan untuk keuntungan mereka saat mereka meninggal.
Penderitaan seorang ayah atas kelahiran anak perempuan dapat dilihat dari peristiwa yang menyangkut Raja Kosala Pasenadi. Ketika raja ini diinformasikan bahwa ratunya melahirkan seorang anak perempuan, beliau mengunjungi Sang Buddha mengungkapkan rasa kecewa dan menyesalinya.
Sang Buddha menenangkan beliau, dan mengatakan bahwa kelahiran seorang anak perempuan pun tidak perlu disesali, karena seorang anak perempuan yang baik juga sebaik anak laki-laki. Kelahiran seorang anak perempuan tidak lebih rendah dari anak laki-laki.
Agama Buddha tidak menganggap wanita sebagai makhluk yang berada lebih rendah di bawah pria. Agama Buddha, walaupun menerima perbedaan secara biologis dan phisik antara dua jenis kelamin ini, juga menganggap pria dan wanita adalah sama bergunanya dalam kehidupan masyarakat.
Sang Buddha juga menekankan bahwa wanita dapat memainkan peranannya sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu yang baik yang membina dengan sukses kehidupan keluarga. Di dalam keluarga baik para suami dan para istri diharapkan dapat membagi tanggung jawab secara merata dan melaksanakan tugas mereka masing-masing dengan penuh dedikasi yang sama.
Kesetaraan hubungan suami dan istri dalam kehidupan berumah tangga juga ditekankan Sang Buddha. Suami diingatkan untuk menganggap istrinya sebagai seorang teman, seorang kawan, seorang rekan. Di dalam urusan keluarga itu, istri pun diharapkan untuk dapat menggantikan kedudukan suami saat suami menderita sakit.
Kenyataannya seorang istri juga diharapkan dapat melibatkan diri dalam perdagangan, bisnis, ataupun industri suaminya. Dengan begitu, istri dapat memposisikan dirinya dalam mengatur urusan suaminya pada saat suaminya berhalangan. Ini memperlihatkan bahwa di dalam ajaran Agama Buddha istri menempati posisi yang sama dengan suami.
Dalam hal pendidikan, Agama Buddha juga tidak membatasi kesempatan wanita untuk mendapatkan pendidikan. Begitu pula di dalam beragama, wanita memiliki kebebasan beragama dan tiada yang membatasinya. Sang Buddha tanpa ragu-ragu menganggap wanita memiliki kemampuan untuk menyadari Kebenaran seperti layaknya pria.
Itulah sebabnya kenapa Sang Buddha mengizinkan perempuan untuk menjalankan kehidupan kesucian, walaupun Beliau pada awalnya tidak setuju wanita memasuki kehidupan kesucian, karena Beliau memikirkan hak mereka dapat menciptakan masalah di Sasana. Namun setelah wanita membuktikan kemampuannya mengatur urusannya dalam kehidupan kesucian, Sang Buddha mengakui kemampuan dan bakat mereka dan memberikan mereka tanggung jawab dan posisi dalam Sangha Bhiksuni.




[1] Parwati Soepangat, Pengabdian Dalam Buddha Dharma, Team Penyusun Vihara Vimala Dharma, (Bandung: cet. II 2005). Hal:125
[2] Gillian Stokes, Seri Siapa Dia? Buddha, (Erlangga, Jakarta:2001). Hal:82-83
[3] Cornelis Womor MA., Pandangan Sosial Agama Buddha, (CV. Nitra Kencana Buana, Jakarta:2004). Hal: 57
[4]Krishnanda Wijaya Mukti, Wacana Buddha-Dharma, (Yayasan Dharma Pembangunan dan Ekayana Buddhist Centre, Jakarta:2003). Hal:340
[5] Cornelis Womor MA., Op. Cit, hal:68

Tidak ada komentar:

Posting Komentar