Nama :oktavia
damayanti
Nim: 1113032100056
Relasi gender dalam agama hindu
dan relasi gender dalam agama Buddha
Relasi Gender dalam Agama Hindu
Gender dalam teks-teks Hindu, “Prajarnatha Sriyah srstah Samtanartham ca
manawah Tasmat sadharano dharmah Crutau patnya sahaditah” , artinya : Untuk
menjadi ibu wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah laki-laki diciptakan oleh
upacara keagamaan saat perkawinan, karena itu ditetapkan didalam weda untuk
dilakukan oleh suami bersama dengan istrinya. “Kamamamaranattistheg Grhe
karyantum atyapi, Nacaivainam prayacchettu Guna hinaya karhicit”, artinya :
Tetapi walaupun wanita itu sudah cukup umur untuk kawin, hendaknya ia ditahan
saja dirumah oleh orang tuanya sampai mati daripada dia dikawinkan dengan
laki-laki yang tidak memiliki sifat baik.
Mitodologi Hindu umurnya ribuan tahun, setua umur agama Hindu. Tahun
kemunculan mitologi ini tidak pasti dan sukar diperkirakan secara tepat.
Mitolog ini diyakini muncul bersamaan ketika Weda mulai berkembang di anak
benua India. Pada saat itu lagu-lagu pujian pada Rig Weda (Weda pertama) mulai
dinyanyikan.
Lagu tersebut memuji-muji alam dan unsure-unsurnya, seperti: udara, air,
petir, matahari, api, dan sebagainya. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk
dewa-dewa yang memilki gelar masing-masing sesuai dengan unsure alam, seperti
Bayu, Baruna, Indra, Surya, Agni, dan sebagainya. Dewa-dewa inilah yang akan
menjadi bagian dari mitologi Hindu.
Mitologi Hindu tidak lepas dari cerita para makhluk Supranatural,
seperti; Dewa, Asura, Raksasa, Detya, Gandhara, Yaksa, dan lain-lain. Makhluk
supranatural yang paling terkenal adalah Dewa, Asura, dan Raksasa. Dalam
mitologi Hindu dikenal adanya Dewa-Dewi, yang mana Dewa-Dewi tersebut merupakan
personifikasi dari alam atau sebagai perwujudan dari gelar kemahakuasaan Tuhan.
Kepercayaan Dewa-Dewi dalam agama Hindu sudah muncul sejak zaman Weda, yaitu
pada masa agama Hindu baru berkembang. Dewa-Dewi banyak disebut-sebut dalam
Weda sebagai makhluk dibawah derajat Tuhan. Pada zaman Weda, Dewa-Dewi banyak
dipuja sebagai pelindung diri manusia.
Adapun Gender dalam tradisi Hindu, yakni dalam masyarakat Hindu, bila
keluarga belum melahirkan anak laki-laki , terasa ada yang kurang. Karena dalam
pandangan Hindu, putra (anak laki-laki) yang akan menyeberangkan jiwa orang tua
ke surge. Dalam agama Hindu, sejak awal kehidupan, perkawinan merupakan salah
satu lembaga efektif. Dalam Weda Smerti disebutkan bahwa hendaknya laki-laki
dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan berusaha dengan tidak
jemu-jemu supaya mereka tidak bercerai dan jangan melanggar kesetian antara
satu dengan yang lain. Perkawinan hanya sekali dan jangan melanggar
kestiaan. Dasar hukum sebuah tradisi yang diturunkan adalah Dharma yang
menjamin kesetaraan, keseimbangan terbebas dari dualism. Ini menjamin tidak ada
perbedaan antara lemah dan kuat, kaya dan miskin, rakyat dan kaum bangsawan,
laki-laki dan perempuan serta semua yang bersifat dualisme. Hal ini bertolak
belakang dengan perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia yang diakrenakan
warisan budaya feodalisme telah menunjukkan angka perilaku kekerasan terhadap
pihak yang lemah, dalam hal ini khususnya perempuan dan anak-anak. terdapatnya
kecenderungan agama, budaya, tradisi adat ditafsirkan dengan menempatkan
perempuan sebagai warga Negara kelas dua sehingga terus menerus menjadi korban
juag perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak.
Feminisme Hindu, selain peran perempuan sebagai ibu rumah tangga yang
berkewajiban mendampingi suami, mengasuh anak-anak dan menjalankan peran dan
fungsinya sebagai ibu rumah tangga. Sesungguhnya kita sebagai anak mempunyai
utang yang sangat besar kepada orang tua yaitu Sarira krt ( yang menyebabkan
badan ini ada), annadatta (yang member makanan dan minuman selama hidup), dan
pranadatta (yang member hidup serta mengasuhnya). Perempuan sangat menentukan maju
mundurnya kehidupan keluarga, masyarakat dan Negara bahkan sering dijadikan
cermin perkembangan keluarga, masyarakat dan Negara. Dengan ddemikian seorang
ibu hendaknya memperlihatkan wajah yang berseri-seri sehingga keharmonisan dan
kebahagian dalam keluarga menjadi terwujud.
Adapun dalam masyarakat bali, agama Hindu juga mempengaruhi dalam
hal gender. Konsep yang jelas terlihat adalah konsep kasta yang menyebabkan
adanya pembagian masyarakat berdasarkan kasta (Langsing, 1995: 27). Peraturan
mengenai kasta tersebut mempengaruhi adanya peraturan perkawinan antarkasta.
Sistem patpatrilineal melalui konsep purusa yang mengutamakan laki-laki jua
dipengaruhi oleh agama Hindu. Disebutkan bahwa purusa yang berarti
laki-laki diambil dari konsep agama Hindu. Dalam konsep tersebut purusa
merupakan suatu kosmologi, materi pokok, dan dianggap sebagai penyebab
efisiensi alam semesta. Dalam bowker disebutkan bahwa konsep purusa bersifat
kepahlawanan untuk kejayaan kitab suci Veda dan kesejahteraan semua makhluk. Merujuk
hal tersebut, terlihat bahwa konsep purusa (laki-laki) dipengaruhi oleh agama
Hindu dan dianggap sebagai hal utama bagi semua makhluk.
Perjuangan yang dilakukan melawan ketidaksetaraan. Dalam Hindu,
perempuan selalu diberikan kedudukan yang terhormat sejajar dengan laki-laki.
Dimana saja perempuan dihormati di sana. Keharmonisan akan tercipta dan
sebaliknya, dimana perempuan tidak di hormati cepat atau lambat akan terjadi
prahara didalam rumah tangga. Perempuan dikatakan sebagai lambang keutamaan cita-cita
yang luhur dan utama dan sebagai barometer maju mundurnya rumah tangga.
Bagi seorang Hindu pemujaan Tuhan dalam aspek keibuan atau feminism
merupakan sebuah pendekatan antar pemuja dengan yang dipuja. Hal ini terjadi
karena Hindu menganggap bahwa aspek keibuan atau feminism bahwa Tuhan adalah
penuh dengan kecantikkan, kelembutan, pengampun dan sifat yang lain. Pemujaan
Tuhan dalam bentuk sakti (unsure ibuan) telah mengakar dengan kuat diantara
orang Hindu, seperti adanya pemujaan Saraswati, Laksmi, Durga, Gayatri, dan
yang lainnya. Menurut Panetje, keluarga dari pihak laki-laki mendapat
perhatian lebih dahulu daripada keluarga dari pihak ibu. Namun, bukan berarti
bubungan si anak dengan ibunya atau keluarganya dari pancar ibu (wadu) tidak
ada artinya sama sekali. Hubungan dengan keluarga pancar wadu baru mendapat
perhatian sesudah hubungan dengan keluarga bapaknya tidak ada lagi.
Walaupun pendominasian peran laki-laki dalam kehidupan dan kultur agama
Hindu di Bali, apabila ditinjau dari segi fungsi purusa, juga dapat diperankan
oleh kaum perempuan. Dalam masyarakat Hindu di Bali, perempuan juga memegang
peran yang sangat penting dalam menjaga nama baik keluarganya.
Masyarakat Bali mengadopsi sistem kasta dari India sebagai bagian dari
agama Hindu. Masyarakat dibagi ke dalam empat kasta yaitu brahmana, ksatria,
vaisya, dan sudra. Menurut Panetje (1986 : 20). Empat kasta yang disebut catur
wangsa itu satu sama lain sangat terpisah. Seseorang masuk salah satu
kasta itu hanya karena keturunan melalui garis oancar laki-laki (purusa).
Pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang berkasta lebih rendah
merupakan sebuah pelanggaran. Pelanggaran tersebut berupa hukuman pembuangan
bagi laki-laki dan perempuan meskipun dianggap pelanggaran adat, pernikahan tersebut
tetap sah. Pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang berkasta lebih
tinggi juga menimbulkan pelanggaran dengan hukuman denda bagi laki-laki. Dalam
Weda Smerti bahwa hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan
pernikahan berusaha dengan tidak jemu-jemu supaya mereka tidak bercerai dan
jangan melanggar kesetian antara satu dengan yang lainnya. Perkawinan hanya
sekali dan jangan melanggar kesetiaan.
Relasi gender dalam agama Buddha
Masyarakat India pra Buddha, sangat tidak menghormati perempuan. Sampai
sekte Brahmanisme berpendapat bahwa yang boleh menjadi pemimpin upacara hanya
kalangan laki-laki. Buddha sendiri berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan
sama saja. Tidak ada sistem kasta, orang yang mulia ialah orang yang mampu
menjalankan Dhamma terlepas dia laki-laki atau perempuan. Salah satu ini juga
yang membuat sang Buddha terkadang menegur golongan Brahmana. Mereka
mengajarkan ajaran mereka demi mengkokohkan kedudukan mereka di mata masyarakat
sehingga hal ini harus dijauhkan oleh sang Buddha.
Ada sebuah kisah ketika Ratu Malika mengandung, dia berharap
keturunannya adalah laki-laki, karena pada masa itu masyarakat mengharapkan
anak laki-laki yang lahir. Tetapi Ratu Malika melahirkan seorang anak wanita
dan dia bersedih, tetapi hal itu langsung di dinasehati oleh sang Buddha:
“Seorang anak perempuan oh Sri Baginda, akan menjadi keturunan yang
lebih baik dari pria, sebab ia akan melahirkan jiwa yang dapat memerintah dan
membimbing manusia. bahagialah baginda.”[1]
Sejak sang Buddha menasehati itu kelahiran laki-laki dan perempuan
menjadi hal yang lumrah dan biasa. Dalam kemitrasejajaran pria dan wanita yang
berkeluarga, agar perkawinan harmonis dan berlangsung lama, ajaran dalam
Samajivi Sutta dusebutkan:
“Para Bhikku, bila suami dan istri mengharapkan saling bertemu dalam
kehidupan sekarang dan yang akan datang, keduanya hendaknya menjadi orang yang
memiliki keyakinan atau Saddha yang sebanding, memiliki tatasusila yang
sebanding memiliki kemurahan hati yang sebanding, dan kebijaksanaan yang
sebanding. Suami istri yang demikian itu tentu dapat saling bertemu sekarang
ini dan dalam kehidupan yang akan datang.”
Sang Buddha dari awal sudah
mengkritik pendeta Brahmana yang mana ketika mereka menanyakan ke sang Buddha,
mereka hanya ingin menguatkan kedudukannya sebagai Brahmana. Mereka bukan
menanyakan mengenai agama, filsafat, dan Dhamma, melainkan
pertanyaan-pertanyaan untuk mengakui keagungan mereka. Sekte Brahmana sendiri
sekte yang sangat mengharuskan pemimpin ialah laki-laki, bahkan dalam adat
India terdapat tradisi sutta (wanita yang membakar diri bersama jenazah
suaminya), yang jelas-jelas merugikan wanita. Buddha mengajarkan Dhamma tanpa
batas dan tanpa mengenal kasta, seseorang yang baik tergantung perbuatannya.
Tercatat bahwa sang Buddha mengajarkan kepada para pendengarnya agar menilai
orang lain berdasarkan perbuatannya, bukan berdasarkan kelasnya. Dalam suatu
sutra (teks suci), konon beliau bersabda, “Bukan karena keturunannyalah
seseorang tidak diperhitungkan dalam kasta. Bukan karena keturunan pula orang
menjadi Brahmin. Dengan perbuatanlah seseorang menjadi Brahmin.” Sang Buddha
menyebutkan lima sungai yang sangat terkenal. Beliau memberitahukan bahwa
walaupun masing-masing sungai itu besar dan terkenal, tetapi semuanya
kehilangan identitas begitu airnya masuk ke samudera. Begitu pula semua orang
yang bergabung dalam sangha.[2]
Sehingga analisis Buddha ialah tidak berpengaruh dia pria ataupun wanita,
karena semuanya akan menjadi hilang dalam Dhamma. Buddha menekankan aspek bahwa
tingginya seseorang tergantung bagaimana dia menjalankan Dhamma dan berbuat
baik kepada sesama, terlepas dari jenis kelamin.
Sang Buddha mengajarkan Dharma kepada siapa pun yang berkehendak untuk
mendengarkannya kepada laki-laki dan perempuan dari kasta apapun, pekerjaan
apapun, dan agama apapun. Beliau mengajarkan bahwa pembebasan dari siklus
kelahiran dan penderitaan yang tak ada akhirnya itu mungkin terjadi pada
siapapun yang awas terhadap kebenaran. Seharusnya tak ada tingkatan atau kasta
diantara Bikkhu dan Bikkhuni; semuanya sama di dalam Dharma. Untuk itu beliau
mengatakan bahwa seharusnya tak ada penggolongan sosial di dalam sangha.
Dari sini kita bisa lihat bahwa kedudukan pria dan wanita dalam umat
Buddha adalah sama. Tidak ada diskriminasi didalamnya. Buddha juga telah
memberi panduan bagi suami-isteri dalam berkeluarga. Hubungan perkawinan dan
kehidupan keluarga, sebagai satuan dasar dari masyarakat, sangat ditekankan
dalam agama Buddha. Sang Buddha menitikberatkan anjurannya pada pembentukan
kepribadian yang baik melalui pelaksanaan sila, dan pemenuhan hak dan kewajiban
masing-masing pihak. Bila suami dan istri ingin saling memandang (tetap
bersama) dalam hidup ini dan dalam hidup yang akan datang, keduanya harus
seimbang daalam iman (saddha), moral (sila), kemurahan (caga) dan kebijakan
(panna). (Angutara N. II, Hal. 62).
Dalam hubungan ini, sang Buddha membedakan empat jenis pasangan: (1)
seorang pria jahat (chavo) dengan seorang wanita jahat (chava) mereka merupakan
pasangan yang buruk, senantiasa melanggar pancasila, melakukan berbagai
kejahatan, mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk, mementingkan diri sendiri, dan
menghina orang-orang suci dan orang-orang lain. (2) pria jahat dengan wanita
baik (devi). (3) pria baik (deva) dengan wanita jahat. (4) pria baik (deva) dengan
wanita baik (devi), pasangan yang terakhir ini yang dipuji oleh sang buddha.
(Anguttara N. II, Hal. 57, dst).[3]
Dari sini sang Buddha memberikan suatu wasiat agar ketika berumah
tangga, suami dan isteri selalu hidup rukun dan damai. Bersama dikehidupan
sekarang dan dikehidupan yang akan datang. Buddha juga memberikan contoh
pasangan yang baik dan yang buruk, agar manusia tidak tersesat dalam menentukan
pasangan. Disinilah Buddha menekankan persamaan gender dalam keluarga. Keluarga
yang akan harmonis jika suami dan isteri bekerja sama dalam membina rumah
tangga. Bukan hanya dalam berkeluarga mengandalkan suami atau isteri, mereka
berdua harus membina rumah tangga bersama. Hidup bersama sampai akhir hayat,
senang bersama dan susah bersama. Hal ini yang membuat ajaran Buddha mudah
diterima masyarakat luas karena ajarannya yang penuh dengan welas asih, tanpa
memandang suku, ras, dan agama.
Dalam pesta nikah di Jambunada Buddha memberikan khotbah mengenai
perkawinan yang hendaknya dilandasi cinta akan kebenaran. Manusia membayangkan
kebahagiaan dalam ikatan perkawinan yang mempersatukan dua hati yang saling
mencintai. Tetapi kematian akan memisahkan suami dari isterinya, isteri dari
suaminya. Ada kebahagiaan yang lebih besar, yaitu menikahkan diri dalam
kebenaran. Kematian tidak akan pernah menjamah dia yang kawin dan hidup dalam
ikatan suci dengan kebenaran, karena kebenaran itu abadi. Apa yang disebut
kebahagiaan dalam kehidupan sekarang ini atau pun kehidupan yang akan datang
menghendaki adanya keyakinan, moral, kemurahan hati dan kebijaksanaan yang
sebanding. Karena itu, tujuan perkawinan tiada lain dari saling melengkapi,
saling mendukung dan melindungi sehingga pasangan yang bersangkutan
bersama-sama dapat mencapai kesempurnaan yang mendatangkan kebahagiaan. Lembaga
perkawinan merupakan tempat untuk mengembangkan kekuatan secara sinergis dari
dua individu yang membentuk pasangan yang membebaskannya dari kesepian,
kekhawatiran, ketakutan, dan kelemahan. Dengan itu, tak seorang pun yang tidak
diperkuat kehidupan spiritualnya.[4]
Sang Buddha juga memberikan perumpamaan dengan seorang ibu tentang kasih
sayang, “Bagaikan seorang ibu yang melindungi anaknya yanng tunggal, sekalipun
mengorbankan kehidupannya; demikian juga seharusnya seseorang memelihara cinta
kasih yang tidak terbatas itu kepada setiap makhluk.”[5]Buddha
mengibaratkan cinta dan kasih bagaikan seorang ibu yang melindungi anaknya yang
tunggal, ini menandakan bahwa wanita diangkat setingi-tingginya sebagai
pelindung generasi yang kuat. Wanita bukanlah barang dagangan yang
diperjual-belikan, melainkan seorang pelindung yang hebat dengan kasih sayang.
Kasih sayang yang tulus dari seorang ibu yang mampu membuat anak menjadi
generasi hebat.
Hal ini dirasakan juga oleh Sidarta Gautama, dia dididik oleh ibunya
sehingga dia menjadi orang yang tercerahkan, walaupun dia berusaha juga untuk
mencari kebenaran di bawah pohon bodi. Dari sini bisa disimpulkan bahwa wanita
bukan hanya dianggap setara dengan pria, tetapi juga dianggap bahwa wanita
mampu melindungi anaknya dari sesuatu yang jahat.
Kedudukan wanita India sebelum munculnya Buddha tidaklah memperlihatkan
adanya kebahagiaan. Karena pada umumnya wanita dianggap sebagai manusia yang
lebih rendah daripada pria, bahkan memiliki kedudukan yang sama dengan kasta
Sudra, kasta terendah diantara empat kasta yang ada di India.
Tetapi sejak munculnya Sang Buddha 2546 lalu, wanita mendapatkan posisi
dan perannya yang setara dengan lelaki. Ajaran Sang Buddha yang begitu
revolusioner itu, menjungkirbalikkan kehidupan berdasarkan kasta, maupun
pandangan bahwa wanita lebih rendah dari lelaki. Dalam agama Buddha, kesetaraan
itu jelas sekali, termasuk kesetaraan dalam mencapai kesucian.
Dalam segala bidang dan sepanjang kehidupannya kebebasan wanita pada
masa sebelum datangnya Buddha sangat dibatasi. Menurut pandangan masa itu,
anak-anak perempuan harus berada di bawah perhatian orang tuanya, dan semasa
mudanya mereka ada di bawah pengawasan suaminya, dan di usia tuanya mereka
harus di bawah control anak laki-lakinya.
Sungguh mereka tidak mendapatkan kebebasan secara layak, dari kecil
hingga tua. Sebagai istri pun peranan utama mereka hanya menjadi belahan sang
suami, mengatur urusan-urusan rumah tangga menurut keinginan dari suami mereka.
Sebagai seorang istri, kehidupan sebagai wanita itu pun sering menderita.
Bila mereka menjadi seorang selir pun belum tentu keberuntungan dan
kebahagiaan singgah. Kecemburuan dan masalah-masalah yang terjadi diantara para
selir sering menjadi pemandangan yang umum terjadi di dalam masyarakat yang
patriarkis itu (laki-laki yang lebih berkuasa).
Kedudukan para janda yang ditinggal mati oleh suaminya juga tidak
mendapatkan tempat yang baik. Biasanya, seorang janda tidak diperbolehkan
menikah lagi. Dikatakan jika janda tersebut menikah lagi, lebih baik bunuh diri
dengan melompati kumpulan kayu berapi dipemakaman suaminya.
Wanita juga tidak memiliki kebebasan untuk memperoleh pendidikan.
Pentingnya pendidikan untuk wanita tidak dipertimbangkan. Begitu pula dengan
kebebasan beragama, mereka amat dibatasi, termasuk dalam hal ritual dan tata
cara keagamaan lainnya.
Pada umumnya kehidupan seorang wanita dianggap sebagai beban di keluarga,
karena laki-laki harus bertanggung jawab menjaga wanita. Selain itu, wanita
dianggap tidak berkemampuan menunjukkan tata cara upacara keagamaan untuk
meninggalnya orang tua. Tegasnya, wanita dianggap sebagai manusia yang hanya
memiliki sedikit kegunaan.
Semenjak kelahirannya anak perempuan telah dianggap sebagai tanda
ketidakberuntungan sebuah keluarga. Para orang tua berdoa untuk kelahiran anak
laki-laki, karena anak laki-laki dapat membawa nama dan tradisi keluarga dan
juga dapat menunjukkan pentingnya tata cara upacara keagamaan untuk keuntungan
mereka saat mereka meninggal.
Penderitaan seorang ayah atas kelahiran anak perempuan dapat dilihat
dari peristiwa yang menyangkut Raja Kosala Pasenadi. Ketika raja ini
diinformasikan bahwa ratunya melahirkan seorang anak perempuan, beliau
mengunjungi Sang Buddha mengungkapkan rasa kecewa dan menyesalinya.
Sang Buddha menenangkan beliau, dan mengatakan bahwa kelahiran seorang
anak perempuan pun tidak perlu disesali, karena seorang anak perempuan yang
baik juga sebaik anak laki-laki. Kelahiran seorang anak perempuan tidak lebih
rendah dari anak laki-laki.
Agama Buddha tidak menganggap wanita sebagai makhluk yang berada lebih
rendah di bawah pria. Agama Buddha, walaupun menerima perbedaan secara biologis
dan phisik antara dua jenis kelamin ini, juga menganggap pria dan wanita adalah
sama bergunanya dalam kehidupan masyarakat.
Sang Buddha juga menekankan bahwa wanita dapat memainkan peranannya
sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu yang baik yang membina dengan sukses
kehidupan keluarga. Di dalam keluarga baik para suami dan para istri diharapkan
dapat membagi tanggung jawab secara merata dan melaksanakan tugas mereka
masing-masing dengan penuh dedikasi yang sama.
Kesetaraan hubungan suami dan istri dalam kehidupan berumah tangga juga
ditekankan Sang Buddha. Suami diingatkan untuk menganggap istrinya sebagai
seorang teman, seorang kawan, seorang rekan. Di dalam urusan keluarga itu,
istri pun diharapkan untuk dapat menggantikan kedudukan suami saat suami
menderita sakit.
Kenyataannya seorang istri juga diharapkan dapat melibatkan diri dalam
perdagangan, bisnis, ataupun industri suaminya. Dengan begitu, istri dapat
memposisikan dirinya dalam mengatur urusan suaminya pada saat suaminya
berhalangan. Ini memperlihatkan bahwa di dalam ajaran Agama Buddha istri
menempati posisi yang sama dengan suami.
Dalam hal pendidikan, Agama Buddha juga tidak membatasi kesempatan
wanita untuk mendapatkan pendidikan. Begitu pula di dalam beragama, wanita
memiliki kebebasan beragama dan tiada yang membatasinya. Sang Buddha tanpa
ragu-ragu menganggap wanita memiliki kemampuan untuk menyadari Kebenaran
seperti layaknya pria.
Itulah sebabnya kenapa Sang Buddha mengizinkan perempuan untuk
menjalankan kehidupan kesucian, walaupun Beliau pada awalnya tidak setuju
wanita memasuki kehidupan kesucian, karena Beliau memikirkan hak mereka dapat
menciptakan masalah di Sasana. Namun setelah wanita membuktikan kemampuannya
mengatur urusannya dalam kehidupan kesucian, Sang Buddha mengakui kemampuan dan
bakat mereka dan memberikan mereka tanggung jawab dan posisi dalam Sangha
Bhiksuni.
[1] Parwati Soepangat, Pengabdian Dalam Buddha Dharma, Team Penyusun
Vihara Vimala Dharma, (Bandung: cet. II 2005). Hal:125
[3] Cornelis Womor MA., Pandangan Sosial Agama Buddha, (CV. Nitra Kencana
Buana, Jakarta:2004). Hal: 57
[4]Krishnanda Wijaya Mukti, Wacana Buddha-Dharma,
(Yayasan Dharma Pembangunan dan Ekayana Buddhist Centre, Jakarta:2003). Hal:340
Tidak ada komentar:
Posting Komentar