Senin, 07 Desember 2015



Responding Paper “Perempuan, Agama dan Perubahan Sosial Dalam Islam”
Khida Fauzia
1112034000194

A.    Kondisi Perempuan Pra-Islam
Wanita di Mata Orang-Orang Yunani
Di mata mereka, wanita sangat dilecehkan dan diejek. Sampai-sampai mereka mengklaim kaum wanita sebagai najis dan kotoran dari hasil perbuatan syetan. Bagi mereka, wanita sama rendahnya dengan barang dagangan yang bisa diperjual-belikan di pasar-pasar. Wanita boleh dirampas haknya, tidak perlu diberikan hak bagian harta pusaka dan juga tidak berhak menggunakan hartanya sendiri sekalipun.
Itulah nasib kaum perempuan pada waktu itu; begitu sengsara dan memprihatinkan.
Wanita di Mata Orang-Orang Romawi
            Di zaman Romawi yang orang-orangnya memiliki sembuyan cukup terkenal “Wanita Itu Tidak Punya Ruh”, kaum wanita mengalami berbagai macam siksaan yang kejam. Betapa tidak; seringkali mereka harus menahan panasnya minyak yang dituangkan ke tubuhnya yang sudah diikat pada sebuah tiang. Bahkan terkadang mereka diikatkan pada ekor kuda lalu dibawanya lari sekencang mungkin sampai mati.
Wanita di Mata Orang-Orang Cina
Orang-orang Cina menyamakan wanita dengan air penyakit yang membasuh kebahagiaan dan harta. Seorang berkebangsaan Cina berhak menjual istrinya sebagaimana budak perempuan. Apabila seorang wanita Cina menjadi janda, maka keluarga mendiang suaminya berhak atas dirinya. Jadi, ia seperti barang peninggalan yang bisa diwarisi. Bahkan seorang suami berhak mengubur istrinya hidup-hidup.
Wanita di Mata Undang-Undang Hammurabi
Wanita di mata undang-undang Hammurabi dianggap layaknya binatang ternak yang dapat diperlakukan seenaknya. Misalnya, seseorang membunuh anak perempuan orang lain maka dia harus menyerahkan anak perempuannya kepada orang tadi untuk dibunuh atau dimiliki.
Wanita di Mata Orang-Orang Hindu
Di dalam syariat orang-orang Hindu ditegaskan: “Sesungguhnya kesabaran tertentu, angina, kematia, neraka, racun dan ular itu tidaklah lebih jahat ketimbang wanita”.
Di mata orang-orang Hindu, seorang wanita tidak berhak untuk hidup setelah ditinggal mati oleh suaminya. Pada hari kematian suaminya itu ia juga harus ikut mati, atau ia harus membakar diri dalam keadaan hidup-hidup bersama suaminya. Di samping itu ia harus mempersembahkan korba kepada tuhan-tuhannya.
Wanita di Mata Orang-Orang Persia
Menurut mereka, seseorang boleh saja menikahi ibunya sendiri, saudara perempuan kandung, tante, bibi, keponakannya , dan mahram-mahramnya yang lain.
Pada saat sedang menjalani haid, seorang wanita akan diasingkan ke tempat yang jauh di luar kota. Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan menemuinya kecuali para pelayan yang hanya bertugas menyiapkan makanan. Terlebih kalau seorang wanita kebetulan menjadi seorang istri atau di bawah kekuasaan seorang laki-laki yang kejam dan dictator, maka nasibnya berada di tangan laki-laki itu, mau dibunuh atau dibiarkannya hidup.
Wanita di Mata Orang-Orang Yahudi
Ada sementara golongan orang-orang Yahudi yang menganggap anak perempuan itu martabatnya sama seperti pelayan. Jadi, ayahnya berhak untuk menjualnya dengan harga murah sekalipun. Orang-orang Yahudi pada umumnya menganggap wanita itu sebagai laknat atau kutukan lantaran wanitalah yang telah menyesatkan Adam. Apabila seorang wanita sedang mengalami haid, maka mereka enggan makan bersama-sama dengannya. Bahkan ia tidak boleh memegang bejana apapun karena khawatir tersebarnya najis.
Ada sementara orang-orang Yahudi yang manakala anak perempuan atau istrinya sedang mengalami masa haid, maka dia mendirikan sebuah kemah lalu di dalamnya diletakkan kue dan air. Dia biarkan terus anak perempuan atau istrinya yang sedang haid itu di dalam kemah tersebut sampai suci.
Wanita di Mata Orang-Orang Nasrani
Pernah salah seorang yang dianggap suci di antara mereka mengatakan, “Sesungguhnya wanita adalah sumber kejahatan, malapetaka yang disukai, sangat penting bagi keluarga dan rumah tangga, pembunuh yang dicintai, dan musibah yang dicari.”
Yang lain mengatakan., “Sesungguhnya wanitalah yang memasukkan syetan ke dalam jiwa seseorang, yang menentang undang-undang Allah dan yang kejam terhadap laki-laki”.
Pada tahun 586 M, orang-orang Perancis pernah menyelenggarakan sbeuah konferensi untuk membahas masalah:
Apakah wanita itu bisa dianggap manusia atau tidak? Apakah wanita itu punya ruh atau tidak? Kalau ia punya ruh, maka apakah ruhnya itu ruh hewan ataukah ruh manusia? Kalau ruhnya adalah ruh manusia, apakah ia sama dengan ruh laki-laki atau lebih rendah?
Akhirnya konferensi tersebut membuat saru kesimpulan, sesungguhnya wnaita adalah seorang manusia. Akan tetapi, ia diciptakan untuk melayani kaum laki-laki saja.[1]
Wanita di Mata Tradisi Athena Kuno
Dalam tradisi Athena ini dinyatakan bahwa yag berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran adalah hanya kalangan kelas elit (merdeka) dan yang berkelamin laki-laki. Walaupun berasal dari kelas elit, kalau berkelamin perempuan, seseorang tidak diberi kesempatan meraih pendidikan.[2]
Dari pernyataan di atas, terlihatlah bahwa posisi kaum perempuan pra-Islam merupakan sebuah gambaran kehidupan yang sangat buram dan memprihatinkan. Perempuan dianggap sebagai makhluk tak berharga, menjadi bagian dari laki-laki (subordinatif), keberadaannya sering menimbilkan masalah, tidak memiliki independensi diri, hak-haknya boleh ditindas dan dirampas, tubuhnya dapat diperjualbelikan atau diwariskan, dan diletakkan dalam posisi marginal, serta pandangan-pandangan yang menyedihkan lainnya.
Dalam kondisi demikian, perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak patut mendapat perlakuan yang manusiawi karena yang dinilai sebagai manusia adalah manusia yang memiliki independensi diri dan memiliki hak-haknya secara penuh serta manusia yang bisa mewarisi dan membeli. Makhluk yang memiliki sifat terakhir ini adalah laki-laki.
B.     Peran Perempuan dalam Membangun Masyarakat Muslim di Masa Awal Islam
Keadaan perempuan pada zaman Jahiliyah[3] dahulu, sebagai mana yang dinyatakan oleh Ahmad Khayyarat dalam bukunya Markâz al-Mar’ah fî Islam:[4]
“Perempuan pada masa jahiliyah terpasung dalam kerusakan yang diwariskan, pembebekan buta, kezaliman-kezaliman, serta kejelekan-kejelekan sampai datangnya Islam dengan petunjuk dan wahyu, ajaran-ajaran, nasihat-nasihat dan arahan-arahannya, nilai-nilai dan semisalnya.”
Pada zaman jahiliyah dahulu, wanita tidak memiliki hak waris. Dalam hal ini mereka punya semboyan: “Tidak ada yang bisa mewarisi kami kecuali orang yang mau mengangkat senjata dan membawa tameng.”
Seorang wanita pada wakti itu tidak mempunyai hak apapun terhadap suaminya. Sebaliknya, seorang laki-laki berhak menceraikan istrinya lalu merujuknya kembali, dan menceraikannya lagi dan merujuknya lagi. Begitu seterusnya tanpa ada batasan sama sekali. Dan itu bisa dilakukannya kapan saja dia mau. Seorang laki-laki pada waktu itu juga berhak melakukan poligami dalam jumlah yang tidak ditentukan berapa saja. Kebiasaan yang berlaku di tengah-tengan mereka, apabila ada seorang laki-laki meninggal dunia dengan meningggalkan seorang istri dan beberapa orang anak laki-laki yang bukan anak istrinya tasi; maka anak yang paling tua berhak mendapatkan istri mendiang ayahnya tersebut (ibu tirinya). Dia menganggp ibu tirinya itu sebagai harta pusaka ayahnya, sebagaimana harta-hartanya yang lain.
Dahulu, apabila ada salah seorang jahiliyah yang ingin mendapatkan anak yang hebat, maka dia akan menyerahkan istrinya untuk tinggal dan digauli oleh laki-laki lain yang hebat, bisa berupa seorang penyair atau seorang penunggang kuda yang piawai. Baru setelah benar-benar hamis, maka ia akan kembali kepada suaminya dalam keadaan sudah mengandung seorang anak pilihan. Itulah anggapan atau kepercayaan mereka.[5]
Islam datang membawa pesan moral kemanusiaan yang tidak ada bandingannya dalam agama manapun. Islam tidak hanya mengajak manusia untuk melepaskan diri dari belenggu dan tirani kemanusiaan, tetapi lebih jauh mengajak membebaskan diri dari belenggu ketuhanan yang polities menuju kepada kebebasan dengan satu Tuhan Yang Esa.
Rasulullah Saw. telah memulai suatu tradisi baru dalam memandang perempuan. Pertama, ia melakukan perombakan besar-besaran terhadap cara pandang masyarakat Arab yang pada waktu masih didominasi oleh cara pandang masa Fir’aun. Pada masa Fir’aun penghargaan terhadap kaum perempuan sudah tidak ada sama sekali. Kelahiran anak perempuan langsung membuat muka mereka masam. Hal ini pernah disinyalir al-Qur’an dalam surah al-Nahl [16]: 58-59:
#sŒÎ)ur tÏe±ç0 Nèdßymr& 4Ós\RW{$$Î/ ¨@sß ¼çmßgô_ur #tŠuqó¡ãB uqèdur ×LìÏàx. ÇÎÑÈ   3uºuqtGtƒ z`ÏB ÏQöqs)ø9$# `ÏB Ïäþqß $tB uŽÅe³ç0 ÿ¾ÏmÎ/ 4 ¼çmä3Å¡ôJãƒr& 4n?tã Acqèd ôQr& ¼çmßtƒ Îû É>#uŽI9$# 3 Ÿwr& uä!$y $tB tbqßJä3øts ÇÎÒÈ  
58. dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah.
59. ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.
Dalam ayat ini digambarkan bahwa ketika mereka diberi kabar tentang kelahiran anak mereka yang perempuan, muka mereka langsung merah padam karena sangat marah. Dalam kondisi demikian, mereka memiliki dua pilihan, memelihara putrinya tapi menderita malu atau menguburkannya hidup-hidup. Untuk melawan tradisi yang tidak humanis tersebut, Rasulullah Saw. secara demonstrative sangat membanggakan anak-anak perempuannya. Dengan tanpa malu-malu, Rasulullah Saw. menggendong anak perempuannya di muka umum. Apa yang dilakukan Rasulullah Saw. ini merupakan proses pembentukan wacana bahwa perempuan adalah sama dengan laki-laki. Sama di sini bukan dalam pengertian multak, tetapi sama dalam memperoleh perlakuan yang adil.
Kedua, masih berkenaan dengan tindakan Rasulullah Saw. yang revolusioner, secara pribadi Rasulullah Saw. juga memberikan teladan bagi perlakuan baik terhadap perempuan. Sikap teladan yag sangat menonjol dari beliau adalah pergaulannya yang baik terhadap semua istrinya. Tidak pernah didengar sebuah riwayat pun yang menyatakan Rasulullah Saw. berbuat tidak adil terhadap istri-istrinya. Meskipun antara satu istri dengan istri lainnya terkadang saling cemburu dan iri hati, Rasulullas Saw. berusaha membagikan apa-apa yang dimilikinya secara merata tanpa ada pengecualian.
Pentingnya kedudukan perempuan pada masa Rasulullah Saw. bisa dilihat pada keterlibatan mereka dalam proses periwayatan hadits dan pembentukan wacana Islam awal. Berbagai pendapat yang beredar di kalangan para penulis biografi sahabat tidak dimungkiri bahwa peranan perempuan sangat bersar dalam meriwayatkan hadits.  Tidak jarang mereka meriwayatkannya langsung dari Rasulullah Saw. dan jumlahnya tidak sedikit. Ibnu Ishaw, seorang penulis biografi awal, misalnya, menyebutkan tidak kurang dari lima puluh perempuan perawi hadits.
Tidak hanya dalam bidang periwayatkan hadits, keterlibatan perempuan juga terjadi dalam bidang-bidang public life yang sering dikesankan sebagai ranah laki-laki misalnya keterlibatan dalam perang.
Intensitas keterlibatan kaum perempuan sangat tinggi, baik dalam dunia intelektual maupun politik dan budaya, menunjukkan bahwa posisi kaum perempuan begitu diperhitungkan pada masa itu. Secara umum, ada tujuh kepentingan perempuan yang dibela Islam.
Pertama, perempuan dalam Islam adalah orang yang dilindungi oleh undang-undang. Yang dimaksud undang-undang di sini adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw.
Kedua, perempuan diberi hak untuk memilih pasangan hidupnya sendiri dalam sebuah pernikahan. Ini menunjukkan pemberian kemerdekaan kepada seorang perempuan.
Ketiga, perempuan memiliki hak talak. Hak ini sama sekali tidak dimiliki kaum perempuan pada masa jahiliyah. Apabila suami mereka sudah tidak mencintai lagi, laki-laki dapat meninggalkan istrinya begitu saja. Akibatnya, perempuan itu berada dalam possi yang tercerai terus menerus. Dalam hal ini Islam memberikan hak-hak talak bagi perempuan agar mereka juga memiliki posisi yang setara dengan laki-laki. Ketika terjadi ketidakcocokan atau perlakuan yang tidak adil terhadap dirinya, perempuan dapat mengajukan talaknya. Dalam hal ini al-Qur’an memberikan pilihan dan kebebasan apakah meneruskan atau memutuskan kehidupa mereka dengan suaminya.
Keempat,  perempuan berhak mewarisi dan memiliki kekayaan. Ini suatu terobosan yang luat biasa, yakni perempuan diberi hak mewarisi dan diberi hak memiliki kekayaan. Adapun sumber-sumber kekayaan kaum perempuan itu didapatkan dari harta warisan dan mas kawin (mahar).
Kelima, perempuan memiliki hak penuh untuk memelihara anaknya. Pada masa jahiliyah, hak merawat anak menjadi milik kaum laki-laki. Terlebih kalau anaknya perempuan, langsung saja dipendam hidup-hidup oleh bapaknya. Islam datang memberikan argumentasi yang jelas mengenai pentingnya anak perempuan. Untuk itu, hak memelihara anak bukan menjadi hak kaum laki-laki saja, tetapi juga menjadi hak perempuan. Dalam fiqh, hak memelihara anak ini disebut dengan haqq al-hadhânah.
Keenam, perempuan berhak men-tasarruf­-kan (mempergunakan atau membelanjakan) hartanya. Pada masa pra-Islam, harta bisa dikatakan menjadi hak sepenuhnya laki-laki. Harta adalah symbol kemerdekaan dan kehormatan bagi setiap orang.
Ketujuh,  perempuan memiliki hak hiduo. Ini merupakan hal yang sangat membedakan antara kondisi perempuan pada masa Islam dan masa jahiliyah. Salah satu hal yang sangat mencolok adalah bahwa masa jahiliyah tidak menghormati perempuan dengan sikap yang sangat jelas memandang rendah perempuan sehingga harus dikubur hidup-hidup.
Tujuh butih di atar paling tidak menunjukkan penghargaan Islam yang tinggi terhadap perempuan. Pada dasarnya tujuh hak dasar perempuan di atas semuanya sudah diberlakukan pda zaman Rasulullah.[6]
C.     Marginalisasi perempuan dalam sejarah Islam pasca Rasulullah
Semakin jauh dari kehidupan Nabi Muhammad Saw., semakin pudar pula keterlibatan kaum perempuan dalam wacana public. Apabila pada masa Muhammas Saw. tingkat mobilitas kaum perempuan sangat tinggi, kepergian Nabi Muhammad Saw. sebagai orang yang sangat membela kaum perempuan merupakan pukulan berat bagi kaum perempuan sendiri. Apabila pada masa Nabi Muhammad Saw. masih hidup mereka dilindungi dan dihormati, setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, perlakuan tersebut lambat laun berkurang. Hal ini sebenarnya sudah diantisipasi Nabi Muhammad Saw. pada saat hajj al-wada’ (haji pamitan). Dalam khutbah terakhirnya, salah satu hal penting penting yang menjadi perhatian beliau adalah nasib kaum perempuan di kemudian hari.
Masa Sahabat
Mohammed Arkoun, seorang pemikir post-modernis dari Aljazair menggambarkan proses terbentuknya ajara Islam bagaikan lapisan tanah. Dengan menggunakan analisis arkeologis, dia menyatakan bahwa Islam dibentuk oleh pelbagai lapisan dan lapisan-lapisan tersebut semakin hati semakin menumpuk ibarat lapisan-lapisan tanah. Problemnya, lapisan-lapisan tersebut tidak semuanya benar. Yang benar bercampun dengan yang salah, yang salah bercampur dengan yang benar. Pada sisi lain, tingkat kritisisme kita terhadap ajaran Islam dihadang oleh kulturalisme yang berlebihan terhadap pemikiran tokoh masa lalu, seperti masa sahabat.
Untuk ini Arkoun mengusulkan agar dilakukan pembongkaran terhadap lapisan-laposan tanah tersebut sehingga akan terlihat mana lapisan yang benar dan mana lapisan yang salah. Hal ini disebabkan yang benar terkadang dilupakan karena tertutup dan yang salah selalu diingat karena terbuka. Dalam perspektig teori Arkoun di atas, sahabat merupakan lapis kedua pembentuk wacana Islam. Perpindahan dari lapis pertama ke lapis kedua sangat memungkinkan terjadinya penambahan-penambahan dan pengurangan serta penyimpangan-penyimpangan penambahan ini tidak selalu bersifat positif, artinya bisa saja itu merupakan pembatasan-pembatasan yang lebih ketat. Apalagi dengan pengurangan dan penyimpangan. Sebagai missal, apabila pada masa Nabi Saw. dahulu perempuan bisa shalat berjamaah ke masjid, sejak masa Umar perempuan tidak dibolehkan pergi berjamaah ke masjid. Ini merupakan suatu bentuk pengurangan hak perempuan yang diajarkan Islam.
Sebenarnya hal yang paling signifikan dengan pemakaian teori Arkoun di atas adalah berkenaan dengan peran sahabat perempuan. Dengan menggunakan teori pembongkaran, akan terlihat sejauh mana sahabat perempuan memiliki arti dan terliat dalam pembentukkan wacana Islam.
Selama ini peran sahabat perempuan seolah tertutup oleh sahabat laki- laki. Hal ini terlihat dengan jelas ketika seorang peneliti bernama Ruth Roded berhasil mengeksplorasi peran-peran sahabat perempuan. Dalam bukunya,  Women in Islamic Biographical Collections from Ibn Sa’d Who’s Who (Edisi Indonesia: Kembang Peradaban: Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi Muslim, Bandung: Mizan, 1995), dia berhasil mengungkapkan betapa kaum perempuan berandil besar dalam sejarah pembentukan wacana Islam. Melalui penelusurannya atas beberapa karya biografs terkemuka, seperti karya Ibn Sa’d, Ruth Roded menyajikan data yang hampir tidak pernah terungkap semala ini.
Selama ini, kalangan sejarahwan ketika mengungkapkan peranan kaum perempuan selalu merujuk kepada istri-istri Rasulullah Saw. padahal di dalam catatan biografis, terdapat tidak kurang dari 1.200 sahabat perempuan yang memiliki hubungan langsung dengan Rasulullah Saw.
Masa Tabi’in
Pada masa ini, keberadaan kaum perempuan relative tidak diperhitungkan. Dari catatan yang berhasil direkam kalangan sejarahwan, tidak banyak jumlah perempuan yang menonjol pada masa ini. bahkan dibandingkan sahabat perempuan, jumlah tabi’in perempuan jumlahnya lebih sedikit.
Tentang jumlah tabi’in ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan sejarahwan Islam. Menurut Ibn Sa’d, tabi’in perempuan hanya berjumlah 94 orang. Ibnu Hibban menyatakan hanya 90 tabi’in perempuan. Adapun Ibn Hajat dalam Tahdzib al-Tahdzib mencatat lebih banyak dari kedua pendahulunya, yaitu sekitar 140 tabi’in perempuan.
Mengapa mengalami penurunan jumlah? Dalam hal ini ada beberapa analisis yang mengemukakan sebab terjadinya penurunan. Laela Ahmed menduga, makin turunnya status perempuan pada masa ini disebabkan oleh alasan-alasan ekologis, yaitu transisi dari masyarakat nomadic ke masyarakat unrban agraris, alasan-alasan ekonomi, khususnya semakin pentingnya tanah dan karena ada pengaruh kultural dari luar, seperti Bizantium, Persia, dan Suriah. Pada pihak lain, Juynboll menduga kemerosotan kaum perempuan pada masa tabi’in karena terjadinya kompetisi periwayatan hadits yang merendahkan derajat perempuan. Akan tetapi, menurut Ruth Roded, terjadinya kemerosotan tersebut bisa dijelaskan melalui bagaimana kriteria para penulis biografi pada masa itu memilih perempuan yang patut ditulis. Tabi’in perempuan yang direkam dalam buku-buku biografi adalah mereka yang meriwayatkan hadits sedangkan pada saat itu terdapat kecenderungan bahwa perujukan kepada perawi hadits perempuan hanya dilakukan ketika sudah tidak terdapat lagi perawi hadits laki-laki yang bisa dimintai informasi tentang suatu  hal yang spesifik, atau kalau secara intelektual perempuan tersebut memang cerdas.
Bahkan menurut Crone dan Martin Hinds, sebagaimana dikutip oleh Ruth Roded, fenomena perempuan pasca-Rasulullah Saw. sengaja diperkecil oleh ahli-ahli fiqih klasik pada zaman Khalifah ‘Abbasiyyah.
Di sini ditunjukkan bahwa semua elemen social, politik, budaya, dan agama turut serta meredam kemungkinan kaum perempuan untuk terlibat.
Masa Tabi’it Tabi’in
Tentang aktivitas dan berapa jumlah Tabi’it Tabi’in perempuan pada masa ini tidak ada keterangan yang pasti. Namun secara teoritis, semakin ke belakang semakin jarang yang memperhatikan kiprah perempuan dalam Islam. Bisa dikatakan, masa ini merupakan masa para imam fiqih memulai aktifitasnya mengembangkan fiqih sebagai sebuah disiplin keilmuan khusus yang mengkaji persoalan-persoalan yang menyangkut hukum legal dan formal.[7]


[1] Haya binti Mubarok al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimahi, penerjemah Amir Hamzah Fachruddin, (Jakarta: Darul Falah, 1420H), h. 5-7.
[2] Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Penerbit Miza, 2001), h. 22.
[3] Istilah jahiliyah secara generic merupakan kata serapan dari istilah Arab yang berasal dari akar kata jahlun, yang artinya kebodohan. Jahiliyah berarti bangsa yang bodoh. Menurut kamus Mu’jam al-Wâsith, istilah jahiliyah diartika ke dalam dua pengertian; pertama, kondisi kebodohan dan kesesatan bangsa Arab sebelum kedatangan Islam; kedua, masa kekosongan di antara dua rasul. Pengertian pertama mengimplikasikan kepada kita bahwa semua kebodohan dan kezaliman sebelum Islam adalah jahiliyah sedangkan pengertian kedua lebih membatasi pada masa transisi (masa kekosongan) di antara dua rasul. Artinya, pada masa ini terdapat suaru masa transisi, yakni masyarakat pada saat itu sudah terlepas dari risalah kenabian Isa a.s. dan belum juga menerima risalah kenabian Muhammad Saw. Dengan demikian, tidak semua masa ini diklaim sebagai jahiliyah. Pada masa inilah terjadi penyimpangan-penyimpangan ajaran Isa a.s. oleh para pengikutnya yang mengampanyekan ketidakpercayaan akan adanya Nabi setelah Isa a.s.
[4] Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Penerbit Miza, 2001), h. 29.
[5] Haya binti Mubarok al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimahi, penerjemah Amir Hamzah Fachruddin, (Jakarta: Darul Falah, 1420H), h. 9-10.
[6] Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Penerbit Miza, 2001), h. 30-37.
[7] Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Penerbit Miza, 2001), h. 37-43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar