Responding Paper “Perempuan, Agama dan Perubahan Sosial Dalam Islam”
Khida Fauzia
1112034000194
A. Kondisi Perempuan Pra-Islam
Wanita di Mata Orang-Orang Yunani
Di mata
mereka, wanita sangat dilecehkan dan diejek. Sampai-sampai mereka mengklaim
kaum wanita sebagai najis dan kotoran dari hasil perbuatan syetan. Bagi mereka,
wanita sama rendahnya dengan barang dagangan yang bisa diperjual-belikan di
pasar-pasar. Wanita boleh dirampas haknya, tidak perlu diberikan hak bagian
harta pusaka dan juga tidak berhak menggunakan hartanya sendiri sekalipun.
Itulah nasib
kaum perempuan pada waktu itu; begitu sengsara dan memprihatinkan.
Wanita di Mata Orang-Orang Romawi
Di zaman Romawi yang orang-orangnya
memiliki sembuyan cukup terkenal “Wanita Itu Tidak Punya Ruh”, kaum wanita
mengalami berbagai macam siksaan yang kejam. Betapa tidak; seringkali mereka
harus menahan panasnya minyak yang dituangkan ke tubuhnya yang sudah diikat
pada sebuah tiang. Bahkan terkadang mereka diikatkan pada ekor kuda lalu
dibawanya lari sekencang mungkin sampai mati.
Wanita di Mata Orang-Orang Cina
Orang-orang
Cina menyamakan wanita dengan air penyakit yang membasuh kebahagiaan dan harta.
Seorang berkebangsaan Cina berhak menjual istrinya sebagaimana budak perempuan.
Apabila seorang wanita Cina menjadi janda, maka keluarga mendiang suaminya
berhak atas dirinya. Jadi, ia seperti barang peninggalan yang bisa diwarisi.
Bahkan seorang suami berhak mengubur istrinya hidup-hidup.
Wanita di Mata Undang-Undang Hammurabi
Wanita di
mata undang-undang Hammurabi dianggap layaknya binatang ternak yang dapat
diperlakukan seenaknya. Misalnya, seseorang membunuh anak perempuan orang lain
maka dia harus menyerahkan anak perempuannya kepada orang tadi untuk dibunuh
atau dimiliki.
Wanita di Mata Orang-Orang Hindu
Di dalam
syariat orang-orang Hindu ditegaskan: “Sesungguhnya kesabaran tertentu, angina,
kematia, neraka, racun dan ular itu tidaklah lebih jahat ketimbang wanita”.
Di mata
orang-orang Hindu, seorang wanita tidak berhak untuk hidup setelah ditinggal
mati oleh suaminya. Pada hari kematian suaminya itu ia juga harus ikut mati,
atau ia harus membakar diri dalam keadaan hidup-hidup bersama suaminya. Di
samping itu ia harus mempersembahkan korba kepada tuhan-tuhannya.
Wanita di Mata Orang-Orang Persia
Menurut
mereka, seseorang boleh saja menikahi ibunya sendiri, saudara perempuan
kandung, tante, bibi, keponakannya , dan mahram-mahramnya yang lain.
Pada saat
sedang menjalani haid, seorang wanita akan diasingkan ke tempat yang jauh di
luar kota. Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan menemuinya kecuali para
pelayan yang hanya bertugas menyiapkan makanan. Terlebih kalau seorang wanita
kebetulan menjadi seorang istri atau di bawah kekuasaan seorang laki-laki yang
kejam dan dictator, maka nasibnya berada di tangan laki-laki itu, mau dibunuh
atau dibiarkannya hidup.
Wanita di Mata Orang-Orang Yahudi
Ada
sementara golongan orang-orang Yahudi yang menganggap anak perempuan itu
martabatnya sama seperti pelayan. Jadi, ayahnya berhak untuk menjualnya dengan
harga murah sekalipun. Orang-orang Yahudi pada umumnya menganggap wanita itu
sebagai laknat atau kutukan lantaran wanitalah yang telah menyesatkan Adam.
Apabila seorang wanita sedang mengalami haid, maka mereka enggan makan
bersama-sama dengannya. Bahkan ia tidak boleh memegang bejana apapun karena
khawatir tersebarnya najis.
Ada
sementara orang-orang Yahudi yang manakala anak perempuan atau istrinya sedang
mengalami masa haid, maka dia mendirikan sebuah kemah lalu di dalamnya
diletakkan kue dan air. Dia biarkan terus anak perempuan atau istrinya yang
sedang haid itu di dalam kemah tersebut sampai suci.
Wanita di Mata Orang-Orang Nasrani
Pernah salah
seorang yang dianggap suci di antara mereka mengatakan, “Sesungguhnya wanita
adalah sumber kejahatan, malapetaka yang disukai, sangat penting bagi keluarga
dan rumah tangga, pembunuh yang dicintai, dan musibah yang dicari.”
Yang lain
mengatakan., “Sesungguhnya wanitalah yang memasukkan syetan ke dalam jiwa
seseorang, yang menentang undang-undang Allah dan yang kejam terhadap
laki-laki”.
Pada tahun
586 M, orang-orang Perancis pernah menyelenggarakan sbeuah konferensi untuk
membahas masalah:
Apakah
wanita itu bisa dianggap manusia atau tidak? Apakah wanita itu punya ruh atau
tidak? Kalau ia punya ruh, maka apakah ruhnya itu ruh hewan ataukah ruh
manusia? Kalau ruhnya adalah ruh manusia, apakah ia sama dengan ruh laki-laki
atau lebih rendah?
Akhirnya
konferensi tersebut membuat saru kesimpulan, sesungguhnya wnaita adalah seorang
manusia. Akan tetapi, ia diciptakan untuk melayani kaum laki-laki saja.[1]
Wanita di Mata Tradisi Athena Kuno
Dalam
tradisi Athena ini dinyatakan bahwa yag berhak mendapatkan pendidikan dan
pengajaran adalah hanya kalangan kelas elit (merdeka) dan yang berkelamin
laki-laki. Walaupun berasal dari kelas elit, kalau berkelamin perempuan,
seseorang tidak diberi kesempatan meraih pendidikan.[2]
Dari
pernyataan di atas, terlihatlah bahwa posisi kaum perempuan pra-Islam merupakan
sebuah gambaran kehidupan yang sangat buram dan memprihatinkan. Perempuan
dianggap sebagai makhluk tak berharga, menjadi bagian dari laki-laki
(subordinatif), keberadaannya sering menimbilkan masalah, tidak memiliki
independensi diri, hak-haknya boleh ditindas dan dirampas, tubuhnya dapat
diperjualbelikan atau diwariskan, dan diletakkan dalam posisi marginal, serta
pandangan-pandangan yang menyedihkan lainnya.
Dalam
kondisi demikian, perempuan dianggap sebagai makhluk yang tidak patut mendapat
perlakuan yang manusiawi karena yang dinilai sebagai manusia adalah manusia yang
memiliki independensi diri dan memiliki hak-haknya secara penuh serta manusia
yang bisa mewarisi dan membeli. Makhluk yang memiliki sifat terakhir ini adalah
laki-laki.
B. Peran
Perempuan dalam Membangun Masyarakat Muslim di Masa Awal Islam
Keadaan perempuan
pada zaman Jahiliyah[3] dahulu, sebagai mana yang dinyatakan oleh Ahmad Khayyarat dalam
bukunya Markâz al-Mar’ah fî Islam:[4]
“Perempuan pada
masa jahiliyah terpasung dalam kerusakan yang diwariskan, pembebekan buta,
kezaliman-kezaliman, serta kejelekan-kejelekan sampai datangnya Islam dengan
petunjuk dan wahyu, ajaran-ajaran, nasihat-nasihat dan arahan-arahannya,
nilai-nilai dan semisalnya.”
Pada zaman
jahiliyah dahulu, wanita tidak memiliki hak waris. Dalam hal ini mereka punya
semboyan: “Tidak ada yang bisa mewarisi kami kecuali orang yang mau mengangkat
senjata dan membawa tameng.”
Seorang
wanita pada wakti itu tidak mempunyai hak apapun terhadap suaminya. Sebaliknya,
seorang laki-laki berhak menceraikan istrinya lalu merujuknya kembali, dan menceraikannya
lagi dan merujuknya lagi. Begitu seterusnya tanpa ada batasan sama sekali. Dan
itu bisa dilakukannya kapan saja dia mau. Seorang laki-laki pada waktu itu juga
berhak melakukan poligami dalam jumlah yang tidak ditentukan berapa saja.
Kebiasaan yang berlaku di tengah-tengan mereka, apabila ada seorang laki-laki
meninggal dunia dengan meningggalkan seorang istri dan beberapa orang anak
laki-laki yang bukan anak istrinya tasi; maka anak yang paling tua berhak
mendapatkan istri mendiang ayahnya tersebut (ibu tirinya). Dia menganggp ibu
tirinya itu sebagai harta pusaka ayahnya, sebagaimana harta-hartanya yang lain.
Dahulu,
apabila ada salah seorang jahiliyah yang ingin mendapatkan anak yang hebat,
maka dia akan menyerahkan istrinya untuk tinggal dan digauli oleh laki-laki
lain yang hebat, bisa berupa seorang penyair atau seorang penunggang kuda yang
piawai. Baru setelah benar-benar hamis, maka ia akan kembali kepada suaminya
dalam keadaan sudah mengandung seorang anak pilihan. Itulah anggapan atau
kepercayaan mereka.[5]
Islam datang
membawa pesan moral kemanusiaan yang tidak ada bandingannya dalam agama
manapun. Islam tidak hanya mengajak manusia untuk melepaskan diri dari belenggu
dan tirani kemanusiaan, tetapi lebih jauh mengajak membebaskan diri dari
belenggu ketuhanan yang polities menuju kepada kebebasan dengan satu Tuhan Yang
Esa.
Rasulullah
Saw. telah memulai suatu tradisi baru dalam memandang perempuan. Pertama,
ia melakukan perombakan besar-besaran terhadap cara pandang masyarakat Arab
yang pada waktu masih didominasi oleh cara pandang masa Fir’aun. Pada masa
Fir’aun penghargaan terhadap kaum perempuan sudah tidak ada sama sekali.
Kelahiran anak perempuan langsung membuat muka mereka masam. Hal ini pernah disinyalir
al-Qur’an dalam surah al-Nahl [16]: 58-59:
#sÎ)ur tÏe±ç0 Nèdßymr& 4Ós\RW{$$Î/ ¨@sß ¼çmßgô_ur #tuqó¡ãB uqèdur ×LìÏàx. ÇÎÑÈ 3uºuqtGt z`ÏB ÏQöqs)ø9$# `ÏB Ïäþqß $tB uÅe³ç0 ÿ¾ÏmÎ/ 4 ¼çmä3Å¡ôJãr& 4n?tã Acqèd ôQr& ¼çmßt Îû É>#uI9$# 3 wr& uä!$y $tB tbqßJä3øts ÇÎÒÈ
58. dan apabila seseorang dari mereka
diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah)
mukanya, dan Dia sangat marah.
59. ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak,
disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan
memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam
tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan
itu.
Dalam ayat ini digambarkan bahwa ketika mereka diberi
kabar tentang kelahiran anak mereka yang perempuan, muka mereka langsung merah
padam karena sangat marah. Dalam kondisi demikian, mereka memiliki dua pilihan,
memelihara putrinya tapi menderita malu atau menguburkannya hidup-hidup. Untuk
melawan tradisi yang tidak humanis tersebut, Rasulullah Saw. secara
demonstrative sangat membanggakan anak-anak perempuannya. Dengan tanpa
malu-malu, Rasulullah Saw. menggendong anak perempuannya di muka umum. Apa yang
dilakukan Rasulullah Saw. ini merupakan proses pembentukan wacana bahwa
perempuan adalah sama dengan laki-laki. Sama di sini bukan dalam pengertian
multak, tetapi sama dalam memperoleh perlakuan yang adil.
Kedua, masih berkenaan dengan tindakan Rasulullah
Saw. yang revolusioner, secara pribadi Rasulullah Saw. juga memberikan teladan
bagi perlakuan baik terhadap perempuan. Sikap teladan yag sangat menonjol dari
beliau adalah pergaulannya yang baik terhadap semua istrinya. Tidak pernah didengar
sebuah riwayat pun yang menyatakan Rasulullah Saw. berbuat tidak adil terhadap
istri-istrinya. Meskipun antara satu istri dengan istri lainnya terkadang
saling cemburu dan iri hati, Rasulullas Saw. berusaha membagikan apa-apa yang
dimilikinya secara merata tanpa ada pengecualian.
Pentingnya kedudukan perempuan pada masa Rasulullah
Saw. bisa dilihat pada keterlibatan mereka dalam proses periwayatan hadits dan
pembentukan wacana Islam awal. Berbagai pendapat yang beredar di kalangan para
penulis biografi sahabat tidak dimungkiri bahwa peranan perempuan sangat bersar
dalam meriwayatkan hadits. Tidak jarang
mereka meriwayatkannya langsung dari Rasulullah Saw. dan jumlahnya tidak
sedikit. Ibnu Ishaw, seorang penulis biografi awal, misalnya, menyebutkan tidak
kurang dari lima puluh perempuan perawi hadits.
Tidak hanya dalam bidang periwayatkan hadits,
keterlibatan perempuan juga terjadi dalam bidang-bidang public life yang
sering dikesankan sebagai ranah laki-laki misalnya keterlibatan dalam perang.
Intensitas keterlibatan kaum perempuan sangat tinggi,
baik dalam dunia intelektual maupun politik dan budaya, menunjukkan bahwa
posisi kaum perempuan begitu diperhitungkan pada masa itu. Secara umum, ada
tujuh kepentingan perempuan yang dibela Islam.
Pertama, perempuan dalam Islam adalah orang yang
dilindungi oleh undang-undang. Yang dimaksud undang-undang di sini adalah
al-Qur’an dan Sunnah Rasul Saw.
Kedua, perempuan diberi hak untuk memilih
pasangan hidupnya sendiri dalam sebuah pernikahan. Ini menunjukkan pemberian
kemerdekaan kepada seorang perempuan.
Ketiga, perempuan memiliki hak talak. Hak ini sama
sekali tidak dimiliki kaum perempuan pada masa jahiliyah. Apabila suami mereka
sudah tidak mencintai lagi, laki-laki dapat meninggalkan istrinya begitu saja.
Akibatnya, perempuan itu berada dalam possi yang tercerai terus menerus. Dalam
hal ini Islam memberikan hak-hak talak bagi perempuan agar mereka juga memiliki
posisi yang setara dengan laki-laki. Ketika terjadi ketidakcocokan atau
perlakuan yang tidak adil terhadap dirinya, perempuan dapat mengajukan
talaknya. Dalam hal ini al-Qur’an memberikan pilihan dan kebebasan apakah
meneruskan atau memutuskan kehidupa mereka dengan suaminya.
Keempat, perempuan berhak mewarisi dan memiliki
kekayaan. Ini suatu terobosan yang luat biasa, yakni perempuan diberi hak
mewarisi dan diberi hak memiliki kekayaan. Adapun sumber-sumber kekayaan kaum
perempuan itu didapatkan dari harta warisan dan mas kawin (mahar).
Kelima, perempuan memiliki hak penuh untuk
memelihara anaknya. Pada masa jahiliyah, hak merawat anak menjadi milik kaum
laki-laki. Terlebih kalau anaknya perempuan, langsung saja dipendam hidup-hidup
oleh bapaknya. Islam datang memberikan argumentasi yang jelas mengenai
pentingnya anak perempuan. Untuk itu, hak memelihara anak bukan menjadi hak
kaum laki-laki saja, tetapi juga menjadi hak perempuan. Dalam fiqh, hak
memelihara anak ini disebut dengan haqq al-hadhânah.
Keenam, perempuan berhak men-tasarruf-kan
(mempergunakan atau membelanjakan) hartanya. Pada masa pra-Islam, harta bisa
dikatakan menjadi hak sepenuhnya laki-laki. Harta adalah symbol kemerdekaan dan
kehormatan bagi setiap orang.
Ketujuh, perempuan memiliki hak hiduo. Ini merupakan
hal yang sangat membedakan antara kondisi perempuan pada masa Islam dan masa
jahiliyah. Salah satu hal yang sangat mencolok adalah bahwa masa jahiliyah
tidak menghormati perempuan dengan sikap yang sangat jelas memandang rendah
perempuan sehingga harus dikubur hidup-hidup.
Tujuh butih di atar paling tidak menunjukkan
penghargaan Islam yang tinggi terhadap perempuan. Pada dasarnya tujuh hak dasar
perempuan di atas semuanya sudah diberlakukan pda zaman Rasulullah.[6]
C.
Marginalisasi perempuan
dalam sejarah Islam pasca Rasulullah
Semakin jauh dari kehidupan Nabi Muhammad Saw.,
semakin pudar pula keterlibatan kaum perempuan dalam wacana public. Apabila
pada masa Muhammas Saw. tingkat mobilitas kaum perempuan sangat tinggi,
kepergian Nabi Muhammad Saw. sebagai orang yang sangat membela kaum perempuan
merupakan pukulan berat bagi kaum perempuan sendiri. Apabila pada masa Nabi
Muhammad Saw. masih hidup mereka dilindungi dan dihormati, setelah Nabi
Muhammad Saw. wafat, perlakuan tersebut lambat laun berkurang. Hal ini
sebenarnya sudah diantisipasi Nabi Muhammad Saw. pada saat hajj al-wada’
(haji pamitan). Dalam khutbah terakhirnya, salah satu hal penting penting yang
menjadi perhatian beliau adalah nasib kaum perempuan di kemudian hari.
Masa Sahabat
Mohammed Arkoun, seorang pemikir post-modernis dari
Aljazair menggambarkan proses terbentuknya ajara Islam bagaikan lapisan tanah.
Dengan menggunakan analisis arkeologis, dia menyatakan bahwa Islam dibentuk
oleh pelbagai lapisan dan lapisan-lapisan tersebut semakin hati semakin
menumpuk ibarat lapisan-lapisan tanah. Problemnya, lapisan-lapisan tersebut
tidak semuanya benar. Yang benar bercampun dengan yang salah, yang salah
bercampur dengan yang benar. Pada sisi lain, tingkat kritisisme kita terhadap
ajaran Islam dihadang oleh kulturalisme yang berlebihan terhadap pemikiran
tokoh masa lalu, seperti masa sahabat.
Untuk ini Arkoun mengusulkan agar dilakukan
pembongkaran terhadap lapisan-laposan tanah tersebut sehingga akan terlihat
mana lapisan yang benar dan mana lapisan yang salah. Hal ini disebabkan yang
benar terkadang dilupakan karena tertutup dan yang salah selalu diingat karena
terbuka. Dalam perspektig teori Arkoun di atas, sahabat merupakan lapis kedua
pembentuk wacana Islam. Perpindahan dari lapis pertama ke lapis kedua sangat
memungkinkan terjadinya penambahan-penambahan dan pengurangan serta penyimpangan-penyimpangan
penambahan ini tidak selalu bersifat positif, artinya bisa saja itu merupakan
pembatasan-pembatasan yang lebih ketat. Apalagi dengan pengurangan dan
penyimpangan. Sebagai missal, apabila pada masa Nabi Saw. dahulu perempuan bisa
shalat berjamaah ke masjid, sejak masa Umar perempuan tidak dibolehkan pergi
berjamaah ke masjid. Ini merupakan suatu bentuk pengurangan hak perempuan yang
diajarkan Islam.
Sebenarnya hal yang paling signifikan dengan pemakaian
teori Arkoun di atas adalah berkenaan dengan peran sahabat perempuan. Dengan
menggunakan teori pembongkaran, akan terlihat sejauh mana sahabat perempuan
memiliki arti dan terliat dalam pembentukkan wacana Islam.
Selama ini peran sahabat perempuan seolah tertutup
oleh sahabat laki- laki. Hal ini terlihat dengan jelas ketika seorang peneliti
bernama Ruth Roded berhasil mengeksplorasi peran-peran sahabat perempuan. Dalam
bukunya, Women in Islamic
Biographical Collections from Ibn Sa’d Who’s Who (Edisi Indonesia: Kembang
Peradaban: Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi Muslim, Bandung: Mizan,
1995), dia berhasil mengungkapkan betapa kaum perempuan berandil besar dalam
sejarah pembentukan wacana Islam. Melalui penelusurannya atas beberapa karya
biografs terkemuka, seperti karya Ibn Sa’d, Ruth Roded menyajikan data yang
hampir tidak pernah terungkap semala ini.
Selama ini, kalangan sejarahwan ketika mengungkapkan
peranan kaum perempuan selalu merujuk kepada istri-istri Rasulullah Saw.
padahal di dalam catatan biografis, terdapat tidak kurang dari 1.200 sahabat
perempuan yang memiliki hubungan langsung dengan Rasulullah Saw.
Masa Tabi’in
Pada masa ini, keberadaan kaum perempuan relative
tidak diperhitungkan. Dari catatan yang berhasil direkam kalangan sejarahwan,
tidak banyak jumlah perempuan yang menonjol pada masa ini. bahkan dibandingkan
sahabat perempuan, jumlah tabi’in perempuan jumlahnya lebih sedikit.
Tentang jumlah tabi’in ini terjadi perbedaan
pendapat di kalangan sejarahwan Islam. Menurut Ibn Sa’d, tabi’in
perempuan hanya berjumlah 94 orang. Ibnu Hibban menyatakan hanya 90 tabi’in perempuan.
Adapun Ibn Hajat dalam Tahdzib al-Tahdzib mencatat lebih banyak dari
kedua pendahulunya, yaitu sekitar 140 tabi’in perempuan.
Mengapa mengalami penurunan jumlah? Dalam hal ini ada
beberapa analisis yang mengemukakan sebab terjadinya penurunan. Laela Ahmed
menduga, makin turunnya status perempuan pada masa ini disebabkan oleh
alasan-alasan ekologis, yaitu transisi dari masyarakat nomadic ke masyarakat unrban
agraris, alasan-alasan ekonomi, khususnya semakin pentingnya tanah dan karena
ada pengaruh kultural dari luar, seperti Bizantium, Persia, dan Suriah. Pada
pihak lain, Juynboll menduga kemerosotan kaum perempuan pada masa tabi’in
karena terjadinya kompetisi periwayatan hadits yang merendahkan derajat
perempuan. Akan tetapi, menurut Ruth Roded, terjadinya kemerosotan tersebut
bisa dijelaskan melalui bagaimana kriteria para penulis biografi pada masa itu
memilih perempuan yang patut ditulis. Tabi’in perempuan yang direkam
dalam buku-buku biografi adalah mereka yang meriwayatkan hadits sedangkan pada
saat itu terdapat kecenderungan bahwa perujukan kepada perawi hadits perempuan
hanya dilakukan ketika sudah tidak terdapat lagi perawi hadits laki-laki yang bisa
dimintai informasi tentang suatu hal
yang spesifik, atau kalau secara intelektual perempuan tersebut memang cerdas.
Bahkan menurut Crone dan Martin Hinds, sebagaimana
dikutip oleh Ruth Roded, fenomena perempuan pasca-Rasulullah Saw. sengaja
diperkecil oleh ahli-ahli fiqih klasik pada zaman Khalifah ‘Abbasiyyah.
Di sini ditunjukkan bahwa semua elemen social,
politik, budaya, dan agama turut serta meredam kemungkinan kaum perempuan untuk
terlibat.
Masa Tabi’it Tabi’in
Tentang aktivitas dan berapa jumlah Tabi’it Tabi’in
perempuan pada masa ini tidak ada keterangan yang pasti. Namun secara
teoritis, semakin ke belakang semakin jarang yang memperhatikan kiprah
perempuan dalam Islam. Bisa dikatakan, masa ini merupakan masa para imam fiqih
memulai aktifitasnya mengembangkan fiqih sebagai sebuah disiplin keilmuan
khusus yang mengkaji persoalan-persoalan yang menyangkut hukum legal dan
formal.[7]
[1] Haya binti Mubarok al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimahi, penerjemah
Amir Hamzah Fachruddin, (Jakarta: Darul Falah, 1420H), h. 5-7.
[2] Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu
Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Penerbit Miza, 2001), h. 22.
[3] Istilah jahiliyah secara
generic merupakan kata serapan dari istilah Arab yang berasal dari akar kata jahlun,
yang artinya kebodohan. Jahiliyah berarti bangsa yang bodoh. Menurut kamus Mu’jam
al-Wâsith, istilah jahiliyah diartika ke dalam dua pengertian; pertama,
kondisi kebodohan dan kesesatan bangsa Arab sebelum kedatangan Islam; kedua,
masa kekosongan di antara dua rasul. Pengertian pertama mengimplikasikan kepada
kita bahwa semua kebodohan dan kezaliman sebelum Islam adalah jahiliyah
sedangkan pengertian kedua lebih membatasi pada masa transisi (masa kekosongan)
di antara dua rasul. Artinya, pada masa ini terdapat suaru masa transisi, yakni
masyarakat pada saat itu sudah terlepas dari risalah kenabian Isa a.s. dan
belum juga menerima risalah kenabian Muhammad Saw. Dengan demikian, tidak semua
masa ini diklaim sebagai jahiliyah. Pada masa inilah terjadi
penyimpangan-penyimpangan ajaran Isa a.s. oleh para pengikutnya yang
mengampanyekan ketidakpercayaan akan adanya Nabi setelah Isa a.s.
[4] Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan Tentang
Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Penerbit Miza, 2001), h. 29.
[5] Haya binti Mubarok al-Barik, Ensiklopedi Wanita
Muslimahi, penerjemah Amir Hamzah Fachruddin, (Jakarta: Darul Falah,
1420H), h. 9-10.
[6] Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan Tentang
Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Penerbit Miza, 2001), h.
30-37.
[7] Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan Tentang
Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Penerbit Miza, 2001), h.
37-43.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar