Selasa, 08 Desember 2015

Revisi Makalah kelompok 10 Tentang Isu-isu Gender dalam Agama-agama Dunia





ISU-ISU GENDER DALAM AGAMA-AGAMA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada
Mata kuliah:
Relasi Gender Dalam Agama



Dosen pembimbing:
Siti Nadroh, MA
Disusun oleh:
Fahad Muhammad Al-Faruq:                         1113032100046
Ismail Sholeh:                                                    1113032100040
Oktavia Damayanti:                                          1113032100056
Khilda Fauzia:                                                   1112034000194

Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2015
 






a.    Perempuan dalam politik.
Pembahasan perempuan dalam politik menyangkut di dalamnya pembahasan tentang hak-hak politik perempuan. Yang dimaksud dengan hak-hak politik dalah hak-hak yang ditetapakan dan diakui oleh UU. Hak itu biasanya didasarkan atas status kebangsaan  dan pada umumnya UU senantiasa mensyaratkan status warga negara bagi pemilik hak. Dalam kaitannya dengan pembahasan isu-isu gender dalam agama-agama dunia, dalam islam dibahas juga mengenai hak politik perempuan yang dtidak terlepas dari pro kontra mengenai hak politik perempuan.

1.      Menurut Islam:
Mengenai sejauh hak politik yang diperoleh perempuan dalam tata dan konsep islam, terdapat pendapat yang berbeda ragam.
Pertama pendapat yang mengatakan bahwa islam tidak mengakui hak politik perempuan dan dalam bidang ini perempuan tidak dapat disejajarkan dengan laki-laki. Pendapat ini menyatakan bahwa islam tidak mengakui kesetaran perempuan dan laki-laki dalam hal kepemilikan politik. Pandangan ini secara kokoh diperkuat oleh fatwa yang dikeluarkan komisi Fatwa al-Azhar al-Syarief.
Hujat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali pun mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan itu tidak sah, meskipun dia menyandang segala sifat kesempurnaan dan dapat mengambil tindakan mandiri. Bagiamana perempuan diperbolehkan mencalonkan diri sebagai pemimpin, sedangakn kewenangan dan kelayakan menjadi hakim dan saksi dihampir semua struktur pemerintahan saja tidak pernah dimilikinya. Selain itu, perempuan tidak sepenuhnya memilki kuasa atas dirinya sendiri, sampai-sampai tidak punya kuasa untuk menikah sendiri. Karna itu, jangan diberi kuasa atas perkara lain. Sebagaimana ayat dalam Al-Quran:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
  
Artinya:             “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menapkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
                                                                                           
Pendapat kedua adalah adalah bahwa perempuan layak memperoleh hak politik seperti halnya laki-laki, Ia berhak menduduki semua jabatan politik.[1] Sebagian sepakat asal dengan catatan bahwa tidak untuk menjadi pemegang jabatan sebagai pemimpin negara.[2] Pendapat ini juga didukung oleh dalil dalam Al-Qur’an surat al-Tawbah ayat 71:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
  
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Ayat tersebut menunjukan bahwa perempuan dan laki-laki sejajar, keduanya memiliki peran yang sama dalam mengatur dan mengelola urusan-urusan masyarakat, perempuan setara dengan laki-laki, ia memiliki hak sebagai pemimpin bagi publik.
Dan Abdul Hamid Mutawali dalam karyanya Nizham al-Hukm fi al-Islam yang didukung oleh Hazim Abdul Muta’al al-Sha’yadi dalam karyanya al-Nazharriyah al-Islamiyyah li al-Dawlah mengemukakan pendapat bahwa hak politik bagi perempuan adalah persoalan Sosial-Politik bukan persoalan agama, dan bahwa hukum Syar’i yang mengharamkan perempuan menggunakan hak-hak politik itu tidak ada. Karenanya salah jika masalah ini dipecahkan dari perspektif agama atau fikih. Akan tetapi masih banyak yang beranggapan bahwa hak politik perempuan adalah tidak ada dan Syara’ melarang akan kiprah perempuan di dunia perpolitikan.
Secara historis, telah terjadi perlakuan yang tidak seimbang, yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sejarah peradaban manusia banyak didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga laki-laki mendominasi semua peran di masyarakat sepanjang sejarah, kecuali dalam masyarakat yang matriarkal yang jumlahnya sangat sedikit. Jadi, sejak awal sudah terjadi ketidaksetaraan gender yang menempatkan perempuan pada wilayah yang marginal. Peran-peran yang dimainkan kaum perempuan hanyalah peran-peran di sekitar rumah tangga. Sementara itu, kaum laki-laki dapat menguasai semua peran penting di tengah-tengah masyarakat. Dari sini muncullah doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap tidak cocok memegang kekuasaan ataupun memiliki kemampuan seperti yang dimiliki laki-laki dan karenanya perempuan tidak setara dengan laki-laki. Laki-laki harus memiliki dan mendominasi perempuan.
Sebelum Islam datang, perempuan mengalami masa sejarah yang gelap, yaitu fakta dan realitas historis mengungkapkan betapa hinanya perempuan pada saat itu. Seorang ayah akan merasa malu kalau mempunyai anak perempuan, dan rela mengubur anaknya hidup-hidup, sebagaimana disinyalir dalam Al-Quran surat an-Nahl 58-59:


وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ ۚ أَيُمْسِكُهُ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ 

Artinya:      “58. dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. 59. ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. Al-Nahl: 58-59).


Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa sebahagian besar tradisi jahiliah terhadap perempuan sangat tidak manusiawi. Perempuan merupakan manusia yang tidak diketahui oleh undang-undang, Pada masa jahiliah, perempuan dianggap sebagai harta yang dapat dimiliki, dijual dan diperlakukan sesuai dengan keinginan, Perempuan tidak memiliki hak talak, karena itu suami dapat menceraikan istrinya kapanpun ia kehendaki, Perempuan tidak memiliki hak waris, tetapi perempuan dapat diwariskan seperti harta benda, Perempuan tidak memiliki hak mengasuh anak, karena anak dalam tradisi jahiliah dimiliki oleh keluarga laki-laki, Perempuan tidak memiliki kebebasan untuk membelanjakan harta benda yang dimiliki, dan bayi perempuan dikubur hidup-hidup.
Akan tetapi setelah datangnya Islam, masa suram tersebut memberikan cahaya yang terang terhadap perempuan. Perlakuan yang tidak manusiawi pada masa jahiliah telah merubah posisi perempuan menjadi dihormati dan dihargai.[3]
Menurut Asghar masalah al-Quran yang melebihkan laki-laki atas perempuan karena nafkah sesungguhnya adalah masalah kesadaran sosial dan penafsiran yang tepat. Kesadaran perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domistik dianggap sebagai kewajiban perempuan. Selain itu laki-laki menganggap dirinya lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk perempuan (Engineer, 1994: 62-3). Ditambahkan oleh Asghar, dengan keadaan-keadaan yang terus berubah dan kesadaran yang semakin kuat di kalangan perempuan, konsep mengenai hak-hak mereka akan berubah.[4]
Untuk itu sesungguhnya Islam muncul dengan konsep hubungan manusia yang berlandaskan keadilan dan kesetaraan antara kedudukan perempuan dan laki-laki. Selain dalam hal pengambilan keputusan, perempuan dalam Islam juga memiliki hak-hak ekonomi (memiliki harta). Dengan begitu Islam justru menumbangkan sistem sosial yang tidak adil terhadap perempuan dengan menggantikan posisi yang adil.        [5]
Dalam bidang kepemimpinan, Islam bertolak dari status manusia sebagai khalifah. Akhir surah al-Ahzâb mempertegas kekhalifahan manusia ini di muka bumi sebagai pengemban amanat Allah untuk mengolah, memelihara, dan mengembangkan bumi. Inilah tugas pokok manusia –tidak berbeda antara perempuan dengan laki-laki.
Mengenai status kekhalifahan tadi, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa semua manusia adalah pemimpim “Kaliah semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. Islam mengangkat derajat manusia dan memberikan kepercayaan yang tinggi, karena setiap manusia secara fungsional dan social adalah pemimpin.[6]
Rasulullah memberikan gambaran yang lebih konkret, yaitu di dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam perkembangan budaya beliau menempatkan laki-laki dan perempuan pada bidang tertentu, tapi masing-masing tetap berpotensi sebagai pemimpin.  Itu yang ditegaskan dalam lanjutan hadits tadi, “Lelaki adalah pemimpin keluarga, sementara perempuan adalah pemimpin di rumah tangga”. Ini adalah penjelasan yang berkaitan dengan perkembangan peradaban dan budaya manusia, yang pada gilirannya menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga, artintya laki-laki berfungsi sebagai suami, dan ayah itu berarti pemimpin untuk seluruh keluarga.
Biasanya yang dipersoalkan orang adalah kepemimpinan perempuan di dalam dunia politik berdasarkan hadits lâ yaflâhû qaumun wallau amrahum imra’atûn (tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan). Perlu kita catat bahwa kualitas hadits tersebut bukan shahih, karena tidak termuat dalam kitab Shahihaini, tapi hadits ini masyhur beredar. Namun kemudian hadits ini dijabarkan di dalam beberapa pemikiran fiqih secara tekstual, sehingga perempuan tidak boleh menjadi pemimpin masyarakat. Akan tetapi, tidak ada kitab fiqih yang mengatakan perempua tidak boleh menjadi pemimpin di dalam rumah tangga, semua kebudayaan mengakui hal ini. hanya yang dipermasalahkan adalah kepemimpinan yang di luar rumah tangga. Hal ini juga ada kaitannya dengan perempyuan karier yang bekerja di luar rumah tangga.
Mengenai hadits tadi, sebagian ulama berpendapat bahwa perempuan tidak boleh memegang jabatan penting seperti jabatan kepala Negara, hakim, dan sebagainya. Akan tetapi, kalau kita lihat realitasnya dalam sejarah Islam, banyak perempuan Islam yang tampil sebagai pemimpin. Aisyah, istri Nabi Muhammad Saw. diakui sebagai seorang mufti. Maka dia memberikan fatwa sekali bersahabat Nabi yang lain (Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas, dll). Bahkan kedudukannya sebagai panglima pada perang Unta juga diakui. Kemudian di dalam perkembangan sejarqah Indonesia juga banyak terdapat tokoh, pahlawan, dan raja wanita, seperti Cut Nyak Dien di Aceh. Di dalam al-Qur’an disebutkan juga tentang seorang ratu di zaman Nabi Sulaiman, yaitu Ratu Balqis.
Kemudian Imam Thabari mempertegas bahwa, walaupun kita menggunakan hadits tadi sebagai dasar hukum, tetapi hanya manyengkut satu masalah khusus, yaitu bahwa perempuan tidak boleh memegang pucuk pimpinan tertinggi Negara, perempuan tidak bisa jadi khalifah, tapi selain itu bisa. Ada tiga Negara Islam yang saat ini menampilkan perempuan sebagai pemimpin, yaitu Pakistan, Bangladesh, dan Turki, tentu di Negara-negara tadi banyak ulama dan mengerti, namun karena luasnya wawasan mereka, maka mereka bisa menerima perempuan sebagai pemimpin.[7]

2.      Menurut Kristen:
Di Alkitab ada beberapa ayat yang menyinggung peranan pria dan wanita dalam konteks kepemimpinan (1 Korintus 11:2-16; 14:33-35). Namun, yang paling gamblang adalah bagian yang ditulis oleh Rasul Paulus.[8] Paulus tidak mengizinkan kepemimpinan wanita atas pria. Sebaliknya, Paulus meminta wanita untuk tunduk kepada kepemimpinan pria.
Adapun argument Paulus terhadap hak kepemimpiman perempuan, maka landasan yang Paulus gunakan untuk mendukung argumennya bukanlah landasan budaya. Paulus menggunakan dasar argumen yang tidak terikat oleh waktu. Mari kita lihat argumen yang ia gunakan. Pertama, Paulus menguraikan mata rantai atau hierarki otoritas sebagai tumpuan argumennya, dan ini bersifat lintas budaya, yakni: “Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari Kristus adalah Allah.” (1 Korintus 11:3); kedua, Kedua, Paulus menjelaskan makna rohani yang terkandung dalam penciptaan berdasarkan urutan penciptaan itu sendiri, yakni “… laki-laki … menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki.” (1 Korintus 11:7-8);Ketiga, Paulus memakai landasan historis untuk mendukung argumennya, yakni “Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa.” (1 Timotius 2:13-14).
Debora yang adalah istri Lapidot (Hakim-Hakim 4), memerintah sebagai hakim di Israel dan ini menandakan bahwa kepemimpinan tertinggi saat itu dipegang oleh seorang perempuan. Tuhan Yesus pun melibatkan perempuan dalam pelayanan-Nya sebagaimana dicatat oleh Lukas, di antaranya adalah Maria Magdalena, Yohana istri Khuza bendahara Herodes, dan Susana yang berperan besar sebagai penyandang dana bagi Tuhan Yesus dan para murid-Nya (Lukas 8:2-3).
Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaannya, ternyata yang terpenting adalah tujuannya ketertiban bukan sarananya otoritas laki-laki atas perempuan. Tuhan tidak antiperempuan dan Ia melibatkan perempuan dalam pekerjaan-Nya. Hal ini terbukti dari pelbagai karunia yang Ia berikan kepada kita, tanpa mengenal perbedaan gender (1 Korintus 12, Roma 12:4-8, Efesus 4:7-12, 1 Petrus 4:10-11 ). Kenyataannya ialah baik laki-laki maupun perempuan, keduanya setara di hadapan Tuhan; keduanya adalah penerima pelbagai karunia Tuhan; dan keduanya dilibatkan dalam pekerjaan Tuhan. Firman Tuhan menegaskan, “Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan dan segala sesuatu berasal dari Allah.” (1 Korintus 11:11-12) Jadi, dasar penetapan hierarki otoritas bukanlah perbedaan kualitas, melainkan perbedaan fungsi dan kewajiban, sedangkan tujuannya adalah ketertiban terutama di dalam keluarga.[9]

3.      Menurut Yahudi:
Perempuan memiliki kehormatan memegang posisi dalam Yudaisme sejak zaman nevi'im Miriam dianggap salah satu pembebas dari B'nay Yisyra'el, bersama dengan saudara-saudaranya Mosyeh dan Aharon. Salah satu Hakim-hakim adalah seorang wanita sekaligus navi'ah (Devorah) 7 dari 55 navi di dalam al-Kitab adalah wanita (lihat bagian para navi).[10]
            Dan dalam kitab Yahudi, terdavat berbagai veran wanita yang berbau volitik severti vanglima militer, ibu suri, venasehat raja, dan lain-lain, sebagaimana terdavat dalam kitab Tanakh severti berikut:
“Dua pahlawan wanita militer yang paling tersohor yang disebut di Perjanjian Lama adalah Debora dan Yael; keduanya mengambil bagian dalam kemenangan yang sama. Allah berfirman melalui Debora untuk memberi tahu kepada jenderal yang bernama Barak bagaimana ia dapat mengalahkan orang Kanaan. Barak setuju untuk menyerang orang, Kanaan, tetapi ia ingin agar Debora ikut bersamanya ke medan pertempuran. Debora berbuat demikian, dan orang Kanaan dikalahkan. Akan tetapi, Sisera, jenderal pasukan Kanaan, melarikan diri dengan berjalan kaki. Yael melihat dia, keluar untuk menyambut dia, dan mengundang dia ke dalam kemahnya. Sisera tertidur dalam kemah itu. Sementara ia tidur, Yael masuk dan memalu sebuah patok kemah menembus kepalanya, sehingga Sisera mati.” (Hak. 4-5).

Wanita Yahudi sebagai Permaisuri
“Tidak semua wanita di Alkitab terkenal karena perbuatan baik mereka. Permaisuri Izebel mungkin adalah wanita yang paling terkenal karena nama buruknya di Perjanjian Lama. Dia adalah putri Etbaal, raja orang Sidon. la menikah dengan Ahab, pangeran Israel, dan pindah ke Samaria. Ketika Izebel menjadi permaisuri, ia memaksakan kehendaknya kepada rakyat. Ia mau supaya orang Israel menyembah Baal, karena itu ia membawa beratus-ratus nabi Baal ke Israel dan menjadikan mereka pegawai pemerintah. Ia juga membunuh sebanyak-banyaknya nabi Tuhan yang dapat ditemukannya (I Raj. 18:13). Bahkan orang awam yang saleh, seperti Nabot, dibunuhnya. Nabi Elia melarikan diri dan bersembunyi dari Izebel untuk menyelamatkan nyawanya. la merasa bahwa dia sendiri saja adalah satu-satunya nabi yang benar yang masih ada di seluruh negeri itu. Sebenarnya, dikatakan bahwa di seluruh kerajaan itu hanya ada 7000 orang yang telah menolak untuk menyembah Baal (I Raj. 19:18). Bertahun-tahun setelah Izebel digulingkan dan dibunuh, pemujaan Baal masih berlanjut.”
Herodias adalah seorang wanita lain yang menggunakan pengaruhnya untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Ketika Yohanes Pembaptis mencela perkawinannya dengan Raja Herodes (Antipas), ia mempengaruhi raja untuk menangkap Yohanes dan memenjarakannya. Pada hari ulang tahun Herodes, anak perempuan Herodias menari-nari untuk para tamu. Hal ini sangat menyukakan hati Herodes, sehingga ia berjanji akan memberikan apa Baja yang dimintanya. Herodias menyuruh anaknya meminta kepala Yohanes Pembaptis. Herodes memenuhi permintaannya, dan kepala Yohanes dipenggal.
Tentu saja, tidak semua permaisuri yang disebut di Alkitab itu berkelakuan jahat. Permaisuri Ester menggunakan kedudukannya untuk membantu orang Yahudi. Untuk mendapat seluruh kisahnya, lihat "Orang Persia."

Wanita Yahudi sebagai Ibu Suri.
Para penulis kitab-kitab I dan II Raja-Raja dan II Tawarikh bercerita banyak tentang para ibu suri di Yehuda. Ketika mengacu kepada 20 orang raja yang berbeda-beda yang memerintah di Yehuda dari masa Salomo sampai ke masa Pembuangan, hanya satu kali kitab-kitab ini tidak menyebut seorang ibu suri. Contoh yang khas mengenai apa yang dikatakan tentang seorang ibu suri terdapat dalam ayat-ayat ini, "Dalam tabun kedua zaman Yoas bin Yoahas, raja Israel, Amazia, anak Yoas raja Yehuda menjadi raja. Ia berumur dua puluh lima tahun pada waktu ia menjadi raja dan dua puluh sembilan tahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Yoadan, dari Yerusalem. Ia melakukan apa yang benar di mata Tuhan" (II Raj. 14:1-3).
Satu contoh dari pengaruh yang menentukan dari seorang ibu suri dapat dilihat. Karena Adonia adalah putra sulung yang masih hidup dari Raja Daud, ia merasa bahwa sudah pada tempatnya ia menjadi raja berikut sesudah Daud. Beberapa pejabat tinggi setuju dengan dia - termasuk Yoab, panglima bala tentara, dan imam Abyatar. Di pihak lain, Nabi Natan dan seorang imam lain, Zadok, berpendapat bahwa Salomo, salah seorang putra yang lain dari Daud, akan menjadi raja yang lebih baik. Batsyeba, ibu Salomo, meyakinkan Daud untuk menunjuk Salomo sebagai penggantinya (I Raj. 1:30). Salomo menghormati ibunya karena apa yang telah dilakukannya (I Raj. 2:19).[11]

4.      Menurut Hindu:
Wanita dalam pandangan agama Hindu memiliki peranan yang tidak terpisahkan dengan kaum pria dalam kehidupan masyarakat dari jaman ke jaman. Hal ini tidak mengherankan bila ditinjau dari konsepsi ajaran agama Hindu dalam Siwa Tattwa yang mengatakan adanya kehidupan makhluk terutama manusia karena perpaduan antara unsur Sukla dan Swanita, unsur Purusa dan Pradhana. Tanpa Swanita atau tanpa Pradhana maka tidak mungkin ada dunia yang harmonis. Demikianlah pentingnya kedudukan wanita dalam kehidupan ini.
Wanita juga digunakan sebagai lambang atau simbol sakti para Dewa sebagai sinar suci Hyang Widhi atau manifestasi kekuasaannya. Sakti Para Dewa dilambangkan dengan wanita yang cantik, lemah gemulai dan menawan. Tanpa Sakti, para Dewa ini tidak dapat melakukan tugas dan fungsinya.
Peranan wanita ke dalam lima jenis, yaitu : (1) Peranan wanita sebagai istri, pendamping suami; (2) Peranan wanita sebagai ibu, pendidik dan pengasuh anak; (3) Peranan wanita dalam pelaksanaan agama, utamanya penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan; (4) Peranan wanita dalam kehidupan masyarakat, menumbuhkembangkan nilai-nilai yang baik dalam keluarga dan masyarakat; (5) Peranan wanita dalam pembangunan yang menyoroti peranan wanita dewasa ini aktif sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai wanita karir.
Tokoh-tokoh wanita dalam Reg Veda yang telah banyak berpartisipasi dalam melakukan yadnya. Seperti misalnya Visvavara dari Gotra Atri yang sangat terkenal sebagai seorang filosuf dan mahir menggubah mantra-mantra Veda, selain itu Ghosa sebagai wanita Hindu yang sangat terkenal sebagai penggubah lagu-lagu pujaan (hymne) dalam syair-syair Reg Veda. Tokoh-tokoh lain yang tak kalah penting dalam perkembangan wanita Hindu di Indonesia sebelum jaman Kartini seperti Tri Buana Tungga Dewi dari Majapahit, Ratu Sima, Pramodawardani, Wijaya Mahadewi, Mahendradatta dan Udayana, Ratu Kirana dan Ken Dedes.
5 Berbicara tentang tokoh wanita dalam konteks keteladanan dalam ajaran agama Hindu yang dapat menggugah naluri kewanitaan dan kebanggaan terhadap kaumnya, tidak bisa terlepas dari beberapa tokoh wanita yang cukup ternama dalam perkembangan wanita Hindu. Wanita yang dimaksud adalah: Dewi Sita, Dewi Kunti, Dewi Drupadi, dan Srikandi.[12]

5.      Menurut Buddha:
Watak demokratis dari ajaran Buddha menyangkut persamaan hak dan kebebasan bagi setiap orang untuk menjadi dirinya sendiri (Dhp. 380). Huston Smith melihat pendekatan yang demokratis dalam mendobrak kasta. Buddha membuka pintu organisasi sanggha bagi semua orang, tanpa memandang kedudukan sosialnya. Ia memberi kewenangan kepada para murid-Nya untuk menahbiskan sendiri biku-biku baru di mana saja, menerapkan prinsip desentralisasi dan pendelegasian tugas (Vin. I, 22). Sanggha adalah lembaga demokratis yang mungkin tertua di dunia. Buddha mengajarkan kebebasan berpikir (A. I. 188-192). Ia mematahkan otoritas dan monopoli seseorang atau segolongan orang atas kebenaran (M. II, 171). Ajaran-Nya adalah ajaran yang terbuka dan menghargai keterbukaan (D. II, 100). Pengambilan keputusan bersama, kemerdekaan mengeluarkan pendapat (Vin. I, 115), memberi kesempatan bagi perbedaan pen-dapat dan kritik (D. I, 3) sangat ditekankan oleh Buddha.
Demokrasi tanpa perempuan bukan demokrasi. Kesetaraan gender dan demokrasi memiliki landasan nilai dalam ajaran Buddha. Namun menghadapi budaya patriarkat demokrasi tidak dengan sendirinya betul-betul mendudukkan perempuan setara dengan laki-laki. Demokrasi harus dimulai dari keluarga. Kebebasan, keadilan dan hak-hak sosial atau politik bukan pemberian dari langit, karena harus diperoleh melalui kekuatan tekad, keberanian dan usaha yang berkesinambungan. Kaum wanita sendiri harus bersatu dengan sungguh-sungguh memperjuangkan nasibnya.[13]

6.      Menurut Konghuchu:
Di dalam Kitab Bingcu diceritakan pada Jaman Raja Bu ( pendiri dinasti Chou ( 1122 – 255 s.M.) diantara 10 orang menteri yang cakap terdapat seorang perempuan. Hal ini menunjukkan sesungguhnya dalam bidang volitik, pendidikan, kualitas pendidikan yang diberikan baik kepada pria maupun perempuan tidak terdapat pembedaan, sehingga memungkinkan perempuan menduduki tempat terhormat.[14]

b.        Aborsi
Aborsi adalah pengguguran kandungan (janin) sebelum sempurna masa kehamilan –baik dalam keadaan hidup ataupun tidak- sehingga keluar dari Rahim dan tidak hidup, baik itu dilakukan dengan obat ataupun selainnya, oleh yang mengandungnya maupun oleh orang lain.
Aborsi biasa dilakukan akibat pergaulan bebas sehingga terjadi yang diistilahkan dengan kecelakaan, yakni hamil tanpa didahului oleh akad nikah yang sah. Kehamilan itu tidak dikehendaki karena takut menanggung aib. Tentu saja masih ada sebab lain, misalnya karena kehamilan yang dapat membawa dampak buruk terhadap ibu dan anak, atau karena kehamilan yang tidak diinginkan lagi sebab khawatir memikul beban ekonomi tambahan.[15]
Namun aborsi menjadi bahan pembicaraan yang lain ketika hal tersebut menimpa kepada wanita korban perkosaan, dimana pilihan melakukan aborsi dilakukan karena judge masyarakat yang memang tidak semuanya akan menerima kepada kondisi si korban pemerkosaan, dan tetap akan mencemooh kepada si korban yang akan menimbulkan tekanan batin kepada korban pemerkosaan tersebut. Pemerkosaan terjadi memang karena selain dari perlindungan terhadap kaum perempuan masih sangat minim kalau pemakalah menilainya, karena upaya untuk melindungi perempuan dari tindak perkosaan sangatlah minim. Dan juga payung hokum bagi korban pemerkosaan yang menuntut keadilan hukum sebagai warga negara yang mendapat perlakuan yang sama juga sangatlah minim, karena di banyak kasus pemerkosaan terhadap perempuan, banyak sekali para pelaku pemerkosaan yang tidak terjerat oleh hukuman pidana yang setimpal atau bahkan tidak terjerat hukum sama sekali. Dan itulah realita keadilan di negri kita Indonesia, bahkan di dunia global, bahwa keadilan yang tidak didapat oleh para korban pemerkosaan cenderung untuk lebih memilih melakukan aborsi agar tidak menanggung beban malu dan tekanan bathinnya yang tidak mendapat keadilan.
Berikut akan kami paparkan mengenai aborsi dilihat dari segi teologis berbagai agama.

1.      Menurut Islam:
Al Qur’an menjelaskan bahwa manusia adalah representasi Tuhan di muka bumi untuk menjaga dan melestarikan bumi beserta isinya. Ia (anak) berasal dari setetes air mani (al ma‟al shafi) atau air suci, yang tidak boleh ditumpahkan di tempat yang dilarang agama. Dalam QS al-Mukminum/23:12-14 dan hadis dari Abi Abd Rahman Abdillah bin Mas‟ud ra dikatakan tentang penciptaan manusia yaitu dari saripati tanah yang dijadikan Allah menjadi air mani yang tersimpan kokoh, diolah menjadi segumpal darah (alaqah) lalu menjadi segumpal daging (mughdah), tulang belulang dan akhirnya dibungkus dengan daging yang terjadi dalam rahim ibu selama 40 hari. Kemudian setelah 120 hari, Allah swt meniupkan ruh ke dalam janin tersebut, yaitu pada hari pembentukannya yang sempurna. Al-Ghazali menjelaskan bahwa pembuahan tersebut tidak boleh dirusak manusia.[16]
Menurut para ulama bahwa janin, baik sebelum dan sesudah penyawaan (120 hari), mempunyai hak layaknya seperti manusia yang tidak boleh dilanggar. Ia haruslah dipelihara dan tidak boleh dihancurkan (diakhiri) kecuali dilakukan untuk suatu sebab atau alasan yang benar. Meski demikian pendapat para ulama berkaitan dengan kasus tertentu yang harus berakhir dengan aborsi sangat beragam, terutama saat sebelum ditiupkannya ruh (penyawaan). Sedangkan pengguguran kandungan yang dilakukan setelah penyawaan (setelah ruh ditiupkan pada usia kandungan 4 bulan atau 120 hari) adalah dilarang atau haram mutlak, kecuali dalam keadaan darurat yang dapat mengakibatkan meninggalnya nyawa seorang ibu.
Ulama dari Madzhab Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan aborsi sebelum janin berusia 120 hari (4 bulan) dengan syarat alasan-alasan yang logis dan rasional. Namun, sebagian lain membolehkan aborsi sebelum kehamilan berusia 80 hari dengan alasan terjadi penciptaan pada tahap mudghah. Jika terjadi pengguguran pada tahap mughdah, maka pelakunya dihukum ta‟zir.[17]
Ulama dari Madzhab Maliki sepakat bahwa aborsi secara mutlak diharamkan, karena menurutnya kehidupan dimulai sejak konsepsi. Hal ini sejalan dengan pendapat salah satu tokoh ulama AlGhazali (dari Madzhab Syafi’iyah).[18]
Ulama dari Madzhab Syafi’iyah memperbolehkan aborsi sebelum kehamilan berusia 42 hari, akan tetapi aborsi yang dilakukan mendekati 42 hari dianggap makruh (tidak dilakukan) karena sudah mendekati masa penyawaan atau haram hukumnya jika dilakukan. Di samping itu, juga mensyaratkan adanya kerelaan kedua belah pihak (suami istri).



2.      Menurut Kristen:
Alkitab tidak secara langsung membicarakan aborsi, namun prinsip Alkitab secara jelas menyatakan tentang kekudusan hidup manusia, yaitu bahwa manusia itu diciptakan segambar dan secitra dengan Tuhan, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan (Kejadian 1:26-27) dan tujuannya ialah supaya manusia memuliakan Tuhan dalam kehidupannya (The sanctity of life). Tuhan yang membentuk manusia sejak dalam kandungan ibunya dan menetapkan tujuan penciptaan manusia (Ayub 10:8-12; Mazmur 139:13-16; Yeremia 1:5). Dengan demikian, janin dalam kandungan ibu adalah selalu manusia dan bernyawa (Kejadian 25:21-22; Lukas 1:41-44).[19]
Terkait dengan aborsi, upaya pengguguran kandungan itu sama saja dengan membunuh. Alkitab secara jelas menuliskan perintah jangan membunuh (Keluaran 20:13; Matius19:18). Hukuman pengguguran kandungan sama saja dengan hukuman orang yang membunuh manusia yang telah lahir dan sangat serius (Keluaran 21:22-25).
Di Indonesia, sebuah penelitian mengenai perspektif pemuka agama Kristen dan Katolik terhadap aborsi di Kota Yogyakarta tahun 2005, mengungkapkan “sedikit kelonggaran” diperbolehkannya tindakan aborsi. Pemuka dari kedua agama sepakat untuk tidak menyetujui aborsi, kecuali ada alasan medis kedokteran yang rasional, seperti jika terindikasi bahwa kehamilan itu berisiko tinggi membahayakan keselamatan nyawa ibu. Alasan medis ini pun harus hati-hati dan telah melewati prosedur yang ketat pula.
Menurut mereka, jika harus memilih diantara ibu atau janin-nya, maka diprioritaskan untuk menyelamatkan nyawa ibu karena keberadaannya dibutuhkan bagi suami dan anak-anaknya yang telah lebih dulu ada. Walau demikian, mereka tidak sepenuhnya menyetujui tindakan aborsi yang dilakukan karena alasan kegagalan penggunaan KB, kemiskinan ekonomi, hubungan di luar pernikahan, kehamilan tidak disetujui pihak lain, serta alasan mengganggu karier pekerjaan atau sekolah.[20]
Hukuman bagi para pelaku aborsi dalam agama Kristen sangat keras. Yaitu nyawa si bayi harus diganti dengan nyawa lagi.[21] Aborsi karena alasan janin yang cacat tidak dibenarkan Tuhan.[22] Dan aborsi karena untuk menutup aib dengan alasan perkosaan juga tidak dibenarkan dalam agama Kristen.

3.      Menurut Hindu:
Aborsi dalam Teologi Hinduisme tergolong pada perbuatan yang disebut Himsa karma yakni salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan membunuh, meyakiti, dan menyiksa. Membunuh dalam pengertian yang lebih dalam sebagai “menghilangkan nyawa” mendasari falsafah atma atau roh yang sudah berada dan melekat pada jabang bayi sekalipun masih berbentuk gumpalan yang belum sempurna seperti tubuh manusia. Oleh karena itulah perbuatan aborsi disetarakan dengan menghilangkan nyawa. Kitab-kitab suci Hindu antara lain menyatakan: “Ma no mahantam uta ma no arbhakam” artinya: Janganlah mengganggu dan mencelakakan bayi.[23] “Anagohatya vai bhima” artinya: Jangan membunuh bayi yang tiada berdosa.[24] Dan: “Ma no gam asvam purusam vadhih” artinya: Jangan membunuh manusia dan binatang.[25]
Dalam doktrin reinkarnasi Hindu, “hidup” itu dipandang seperti sebuah siklus berulang dari saat lahir, kematian, dan kelahiran kembali. Dengan doktrin ini, maka hal ini menjadi alasan untuk menentang aborsi, yaitu :
1.      Jika janin diaborsi, maka jiwa dalam janin tersebut akan mengalami kemunduran karma yang sangat besar, sehingga akan menghalangi seseorang berkarma yang baik dan menghambat proses perjalanan spiritual jiwa seseorang.
2.      Aborsi akan menghalangi jiwa seseorang untuk mengalami kelahiran kembali.
3.      Konsekuensi aborsi tidaklah seburuk yang dinyatakan agama lainnya dimana jiwa seseorang memiliki satu kali kesempatan untuk dilahirkan kembali dan terhambatnya seluruh kemungkinan kehidupan.
Terkait dengan aborsi, ajaran Hindu berpendapat bahwa aborsi adalah pelanggaran terhadap tugas menghasilkan anak-anak untuk meneruskan riwayat keluarga dan menambah jumlah masyarakat dan ini tidak dibenarkan. Namun, adakalanya pengguguran dapat diterima berdasarkan pertimbangan etis/medis, misalnya menyelamatkan nyawa ibu.[26]
Dalam Alkitab dikatakan dengan jelas betapa Tuhan sangat tidak berkenan atas pembunuhan seperti yang dilakukan dalam tindakan aborsi. Jangan pernah berpikir bahwa janin dalam kandungan itu belum memiliki nyawa.[27]




4.      Menurut Buddha:
Dalam ajaran Buddha, juga diajarkan adanya kehidupan baru setelah kematian (reinkarnasi), dimana bentuk baru reinkarnasi akan menanggung energy karma dari individu yang meninggal di masa lalu.[28]
Ada tiga syarat terjadinya makhluk hidup, yaitu : (1) Mata utuni hoti atau masa subur seorang wanita; (2) Mata pitaro hoti atau terjadinya pertemuan sperma dan sel telur dalam rahim; dan (3) Gandhabo paccuppatthito atau adanya gandarwa, kesadaran penerusan dalam siklus kehidupan baru (pantisandhi-citta), kelanjutan dari kesadaran ajal (cuti citta) yang memiliki energy karma. Pada saat di dalam rahim tersebut, kesadaran manusia muncul pertama kali.
Dari pandangan tersebut, maka ajaran Buddha menentang dan tidak menyetujui adanya tindakan aborsi karena telah melanggar Pancasila Buddhis sila pertama, yaitu panatipata (adanya makhluk hidup). Oleh karena itu, baik pelaku aborsi maupun ibu si bayi telah melanggar Pancasila Buddhis dan mereka akan mendapat akibat di kemudian hari, baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang atau yang disebut sebagai hukum karma / hukum sebab –akibat. Dalam Majjhima Nikaya 135, hukuman bagi mereka yang melakukan pembunuhan kepada makhluk hidup ialah ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia tapi tidak berumur panjang. Sedangkan bagi penyedia jasa aborsi tidak resmi serta ketahuan pihak berwajib, maka akan mendapat ganjaran menurut hukum negara.
Walau demikian, ajaran agama Buddha berpendapat bahwa keputusan seseorang untuk melakukan aborsi atau tidak adalah sangat personal. Beberapa meyakini bahwa keputusan tersebut dibuat dalam kondisi tertentu dan sejalan dengan prinsip-prinsip Buddha seperti telah mengikutsertakan aspek kebijaksanaan dan pemahaman tentang isu-isu etis, serta kerelaan untuk menerima konsekuensi-konsekuensi akibat keputusan yang dibuat.[29]

c.       Homoseksualitas
Pada awalnya dalam pembelajaran psikologi kaum homoseksual ataupun lesbian dimasukan dalam kategori manusia abnormal begitu juga dengan biseksual, hal tersebut sesuai dengan DSM (Diagnostik and statistcal manual of mental).
Pada dasarnya manusia itu memiliki potensi untuk menjadi homoseksual ataupun lesbian hal tersebut di karnakan pada usia pubertas manusia memiliki pembawaan biseksual dimana pada saat usia ini manusia dapat dengan mudah mencintai ataupun menyukai teman pria ataupun wanitanya, jika pada anak yang normal maka anak tersebuat akan berkembang memiliki sifat heteroseksual yaitu sikap menyukai lawan jenisnya. Hal tersebut sangat berpengaruh pada lingkungan yang membentuk seseorang dalam menemukan jati dirinya, para kasus homo ataupun lesbian biyasanya terbentuk karna faktor lingkungan, di mana banyak para homo ataupun lesbi yang memiliki trauma terhadap seseorang yang mempengaruhi pola perilaku di masa depanya.
Seseorang yang memiliki kelainan sek homoseksual biyasanya lebih peka dalam lingkungannya dan lebih protektif terhadap pasangan sesama jenisnya, kepekaanya terhadap lingkungan tersebut untuk mengetahui sesamanya, biyasanya kepekaan tersebut terjadi dalam mencari pasangan sesama jenisnya.[30]
Dan karena rumah tangga juga menjadi faktor homoseksualitas, maka di sini peranan gender dalam rumah tangga sangat diperlukan, dimana keutuhan rumah tangga dan proteksi orang tua kepada anaknya harus sama-sama memberikan proteksi kepada anak agar jangan sampai menjadi korban kekerasan seksual dan menimbulkan traumatis yang menyebabkan anak menjadi seorang homoseksual. Berikut pemakalah akan memaparkan homoskesual dalam perspektif agama-agama yang ada di Indonesia.


1.      Menurut Islam:
Para ulama fiqh sepakat atas keharaman homoseks menurut ketentuan syari‟at. Homoseks merupakan perbuatan keji sebagaimana jarimah zina. Keduanya termasuk dosa besar, dan merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan fitrah manusia.[31]
Dalam menjatuhkan hukuman terhadap para pelaku homoseks memerlukan bukti yang jelas, baik melalui pengakuan dari pelakunya maupun keterangan saksi. Malikiyah, Syafi‟iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa saksi terhadap homoseks sama halnya dengan saksi zina, yaitu empat orang laki-laki yang adil, tidak terdapat salah seorang di antaranya perempuan. Sedangkan Hanafiah berpendapat bahwa saksi homoseks tidak sama dengan saksi zina, karena kemudaratan yang ditimbulkan oleh homoseks lebih ringan daripada yang ditimbulkan oleh zina, dan jarimahnya lebih kecil daripada jarimah zina, serta tidak menimbulkan percampuran keturunan. Karena itu, untuk membuktikan homoseks cukup hanya dengan dua orang saksi saja, dan tidak perlu menghubungkannya dengan zina, kecuali ada dalilnya.
Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang hukuman bagi homoseks. Ada tiga pendapat:
1.      Dibunuh secara mutlak.
2.      Dihad sebagaimana had zina. Bila pelakunya jejaka ia harus didera, bila pelakunya muhsan ia harus dihukum rajam.
3.      Dikenakan hukuman tazir.

Malikiyah, Hanabilah dan Syafi‟iyah, berpendapat bahwa hadd homoseks adalah rajam dengan batu sampai mati, baik pelakunya seorang bikr (jejaka) maupun muhsan (orang yang telah menikah). Yang menjadi dasar pendapatnya adalah sabda Rasulullah saw.: “Bunuhlah pelakunya dan pasangannya”.
Dalam riwayat lain ulama Syafiiyah menyatakan bahwa had bagi homoseks adalah hukuman rajam, baik yang dilakukan seorang bikr ataupun muhshan. Akan tetapi pendapat mereka yang umum adalah hukumnya sama dengan hukum zina, dengan alasan bahwa homnseks sejenis dengan zina. Sebab homoseks memasukkan faraj (penis) ke dalam anus lelaki (farji). Dengan demikian, pelakunya termasuk di bawah keumuman dalil dalam masalah zina, baik bikr maupun muhshan.[32]

2.      Menurut Kristen:
Al Kitab (Kristen/Katholik) Imamat 18:22 mencatat: Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian. Ayat ini menjadi dasar larangan bagi laki-laki untuk berhubungan kelamin sesama jenis. Kejadian 1:28 Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumidan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap dibumi."[33]

3.      Menurut Yahudi:
Hukum dasar yang pertama kali digunakan oleh kaum Yahudi adalah kitab Taurat. Sebagaimana dilansir dari situs religionfacts.com, taurat menjelaskan “Seorang pria tidak diperkenankan tidur dengan pria lain sebagaimana [dia akan tidur] dengan seorang wanita, itu adalah sesuatu yg sangat dibenci." (Imamat 18:22). Selanjutnya kata “sesuatu yang sangat dibenci" ditafsirkan ulang menjadi “sesuatu yang menyimpang dari kewajaran”.
Kaum ortodoks kemudian menganggap homoseksual tidak sepenuhnya bisa dianggap sebagai sebuah dosa. Maksdudnya, seseorang yang melakukan perilaku homoseksual akan terhapus dosanya bila dia sangat menyesal dengan apa yang telah diperbuat dan memohon ampun pada Tuhan.
Pada tahun 1980, sebuah universitas Yahudi telah merubah aturannya untuk melegalkan seorang gay menjadi mahasiswa disana. Selanjutnya, pada tahun 1998, Central Conference of American Rabbis mulai memperbolehkan pernikahan sesama jenis baik itu laki-laki atau perempuan, meski pernikahan mereka tidak termasuk dalam pernikahan yang disahkan agama. Pada tahun 2000, pernikahan sesama jenis sudah diakui sebagai pernikahan yang sah dalam agama Yahudi.
Saat ini, kaum rekonstruksionis Yahudi mengatakan bahwa segala pembatasan tentang hukum homoseksual telah dianggap batal atau tidak berlaku. Jadi, saat ini tindakan yang berhubungan dengan percintaan sesama jenis didukung penuh oleh agama Yahudi.[34]
4.      Menurut Hindu:
Di Agama Hindu, ternyata sama seperti Agama di Timur Tengah. Dalam perkembangannya, larangan dan sikap negatif terhadap kaum homoseksual berubah dan bervariasi. Ada yang menerima homoseksual dan ada yang tidak.
Menurut wikipedia.org, meski mayoritas pemeluk Agama Hindu tidak pernah secara resmi menyatakan tidak setuju dan melarang keberadaan kaum homoseksual, tapi dalam sejarahnya di India, terdapat beberapa aksi protes terhadap pemutaran film yang bertemakan homoseksual.
Di sisi lain, Dewa-Dewa dalam Agama Hindu bermacam-macam jendernya. Contohnya adalah kisah Arjuna pada Mahabharata. Di situ diceritakan bahwa Arjuna pernah bersumpah untuk menjalani kehidupan menjadi seorang yang terkastrasi selama setahun.
Selain itu, dalam kitab Weda ternyata juga dituliskan adanya gender ke tiga. Pada teks-teks Hindu seperti Manu Smriti, dan Sushruta Samhita bahwa ada orang yang dilahirkan dengan gender campuran, pria dan wanita. Maksudnya, ada orang yang terlahir pria tapi bersikap seperti wanita, dan juga sebaliknya. Lelaki dengan orientasi seperti itu biasanya bekerja menjadi penata rambut, penjual bunga, dan pekerjaan yang dianggap feminim lainnya.[35]
Di dalam Mahabarata disebutkan bahwa Homoseksual adalah dosa yang sangat mengerikan (sangat besar): “seseorang yang buta, yang hidupnya penuh kejahatan, seseorang yang sangat bodoh bagaimanapun, yang menikmati kesenangan melalui hubungan seksual dengan sesuatu yang hamil (termasuk binatang), dan dengan sesama laki-laki akan lahir kembali dengan tidak memiliki kemampuan untuk memiliki anak.” (XIII, 145.52).
Geoffrey Varrinder dalam bukunya Teologi Seksual menyatakan bahwa homoseksual dan lesbian dilarang dan dihukum dengan seberat-beratnya. Lesbianisme dihukum dengan denda dan pemukulan terhadap pelakunya dan kepalanya digunduli, dan bagi perempuan yang memerkosa peremvuan maka dua jarinya akan dipotong dan harus menunggangi keledai mengelilingi desa. Homoseksual tampaknya mendapat hukuman yang lebih ringan, “Seorang laki-laki yang dilahirkan dua kali (Brahmana) yang melakukan pelanggaran yang tidak wajar dengan seorang laki-laki harus mandi dengan menggunakan pakaiannya”, kata sebuah hukum, tetapi hukum yang lainnya menetapkan laki-laki tersebut kehilangan derajatnya.
Tentang hukuman bagi lesbianisme seperti dijelaskan di atas dikutipkan sloka Manavadharmasastra (VIII. 369-370). Yang berkaitan dengan hukuman tersebut sebagai berikut:
“Kanyaiva kanyam ya kuryat, Sa sadyo maundyam arhati, Angulyor eva cca chedam, Kharenod varanam tanha.”
“Tetapi bila seorang istri menodai seorang gadis, kepalanya seketika digunduli, atau dua dari jarinya tangannya dipotong dan di arak naik keledai keliling kota.”[36]
5.      Menurut Buddha:
Di India pada zaman sang Buddha sudah ada kaum homoseksual yang feminis. Di dalam Pinaya dikatakan ada tipe orang yang disebut sebagai “Pandaka”. Di dalam Pinaya dikatakan bahwa Pandaka tidak diperbolehkan ditasbihkan menjadi seorang Bikkhu. Menurut penjelasan kitab, hal itu desebabkan karena para Pandaka penuh dengan nafsu dan keinginan seksual. Kata Pandaka sering diterjemahkan sebagai seorang homoseksual yang bertingkah laku seperti wanita dan penuh hasrat seksual. Agama Buddha tidak seperti agama lain dalam memandang homoseksualitas. Di banyak agama, homoseksual dipandang sebagai sesuatu yang buruk dan tidak seharusnya ada. Dalam agama Buddha ketika melihat homoseksualitas diperlukan pertimbangan sebelum memutuskan.
Di dalam Anggutara Nikaya P:266 disebutkan bahwa berhubungan seksual dengan anak di bawah umur, pasangan orang lain, orang hukuman, saudara kandung, dan orang yang hidup selibat (Bikkhu) dikategorikan sebagai perilaku seksual yang salah. Jadi umat Buddha awam perlu mematuhi etika seksualitas dalam bertindak seperti yang diajarkan sang Buddha, baik ia seorang heteroseksual maupun homoseksual, sehingga tercipta keharmonisan dalam hidup. Untuk kasus seorang homoseksual berarti sama saja seperti seorang homoseksual, hanya pasangan hidupnya yang sesama jenis.[37]

d.      Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lemah (dipandang lemah/dilemahkan), yang dengan sengaja dilakukan untuk menmbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan. Kekerasan terjadi di masyarakat dapat dikategorikan menjadi 5 macam, yaitu:
a.       Kekerasan berbasis etnis
b.      Kekerasan berbasis budaya
c.       Kekerasan berbasis politik
d.      Kekerasan berbasis agama
e.       Kekerasan berbasis gender

Kekerasan berbasis gender merupakan jenis kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap jenis kelamin yang berbeda, seperti laki-laki melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan atau sebaliknya. Perempuan lebih dominan menjadi korban kekerasan gender antara lain disebabkan terjadinya diskriminasi gender.
Pengertian Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut undang-undang nomor 23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbul kesengsaraan atau penderitaan secara pisik, seksual, psikologis dan/ penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hokum dalam lingkup rumah tangga.
Berdasarkan data yang direkam dari berbagai lembaga pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga dan kasus yang ditangani oleh kepolisian, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi adalah:
1.      Kekerasan fisik
2.      Kekerasan seksual
3.      Kekerasan psikis
4.      Kekerasan ekonomi/penelantaran ekonomi[38]
Terdapat beragam alasan terjadinya KDRT, antara lain budaya patriarki yang menempatkan posisi pihak yang memiliki kekuasaan merasa lebih unggul. Selain itu, interpretasi agama yang tidak sesuai dengan nilai-nilai unipersal agama. Agama sering digunakan sebagai legitimasi pelaku kekerasan terutama dalam lingkup keluarga,[39] padahal agama menjamin hak-hak dasar seseorang, seperti cara memahami Nusyuz, yakni suami boleh memukul istri dengan alas an mendidik atau ketika sitri tidak mau melayani kebutuhan seksual suami maka suami berhak memukul dan ancaman bagi istri adalah dilaknat oleh malaikat.
Kekerasan juga berlangsung justru mendapatkan legitimasi masyarakat dan menjadi bagian dari budaya, keluarga, negara, dan praktek di masyarakat, sehingga menjadi bagian kehidupan yang sulit dihapuskan, kendatipun terbukti merugikan semua pihak.[40]
Berikut kami pemakalah akan memaparkan sedikit ulasan kekerasan dari agama Kristen (Katolik) yang berbeda. Misalnya, seorang perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga katolik juga dipengaruhi dan terkait dengan budaya setempat dan Gereja lokal yang sangat patriarkis-yang menggunakan ajaran agama untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Permasalahan kekerasan dapat ditemui di beberapa daerah, dimana budaya patriarkis setempat sangat kuat bertautan dengan ajaran agama (Gereja) yang patriarkis, seperti hampir dalam semua budaya di Indonesia. Kekerasan yang dialami seorang perempuan katolik mencakup pula wilayah tangga, komunitas (agama dan budaya), maupun negara. Hal ini biasanya terjadi di wilayah-wilayah konflik, seperti perbatasan Timor, Maluku, Papua, dan sebagainya.[41]
Pengalaman para perempuan ini menjadi sumber repleksi mengkritisi peran agama di dalam persoalan kekerasan terhadap perempuan. Kitab Suci menurut Elisabeth Schüssler Fiorenza, di dalam perjuangan bertahan hidup serta pembebasan dari dalam masyarakat dan gereja yang patriarkis, perempuan menemukan kitab suci telah digunakan sebagai alat untuk menentang perempuan.[42] Namun demikian, pada saat yang sama, kitab suci juga bisa menjadi sumber keberanian, pengharapan, dan komitmen dalam perjuangan para perempuan. Sehingga menurut Schüssler Fiorenza, yang perlu dilakukan dalam interpretasi feminis bukanlah mempertahankan kita suci untuk melawan para pengkritik feminis, melainkan untuk mahami dan menafsirkannya sedemikian rupa sehingga kekuatan penindasan dan pembebasannya sangat jelas dan dapat dikenali.[43]
Ilmu tafsir membantu menemukan siapa dan maksud si penulis, jenis sastra yang ia gunakan, serat sidang pembacanya. Orang katolik diajak membedakan ajaran ilahi dari asumsi-asumsi budaya zaman itu. Seperti ditandaskan oleh Konsili Patikan II (1962-1965), yang benar dalam kitab suci adalah hanya apa yang dikehendaki Tuhan Bapak demi keselamatan manusia, sebagaimana Katolik dalam Konsili Patikan II jelas menentang berbagai macam bentuk kekerasan.[44] Dan berikutnya pemakalah akan memaparkan secara singkat tentang KDRT dilihat dari berbagai tinjauan agama.

1.      Menurut Islam:
Kekerasan terhadap perempuan dapat berbentuk kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan seksual. Berbagai ketidakadilan tersebut jelas berlawanan dengan misi Islam sebagai rahmatan li al-‘âlamîn, yang memerintahkan tegaknya keadilan dalam seluruh aspek kehidupan, sebagaimana Firman Allah: 

 إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya:                                 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. Al-Nahl: 90).


Salah satu hal penting dan sentral dalam mewujudkan Islam sebagai agama rahmatan li al-‘âlamîn adalah penegakan keadilan bagi perempuan korban kekerasan. Sebab, tindak kekerasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan akan melunturkan citra Islam.
Di antara misi utama Islam sebagai dîn pembawa rahmat adalah menegakkan keadilan, dengan melakukan tindakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Ada beberapa ayat yang substansinya menghilangkan tindak kekerasan terhadap perempuan.[45]
a.      Penghapusan kekerasan terhadap bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup [Q.S. al-Nahl (16): 58].
b.      Prinsip edukasi terhadap perempuan nusyûz [Q.S. al-Nisâ’ (4): 34].
c.       Kekerasan ekonomi [Q.S. al-Nisâ’ (4): 129].
d.      Mengusir dari rumah [Q.S. al-Thalâq (65): 1].
e.       Kekerasan psikologis [Q.S. al-Thalaq (65): 6].
f.       Poligami tanpa batas [Q.S. al-Nisâ’ (4): 2–3 dan 129].
g.      Kekerasan dalam bentuk zhihâr [Q.S. al-Mujâdilah (58): 1–4].[46]

2.      Menurut Kristen:
Di dalam agama kristen kekerasan sangat tidak dibenarkan, banyak teks-teks keagamaan  yang melarang tersebut. Sebagai sebuah contoh dibawah ini akan dipaparkan Kewajiban orang tua terhadap anak-anak mereka diantaranya; Mengasihi dan memperdulikan mereka, khususnya kalau mereka masih kecil (Yes. 49: 15), Mendidik dan membimbing mereka didalam Firman Tuhan, prinsip keagamaan, dan memberikan petunjuk-petunuk jalan Tuhan (Ef. 6:4, Ams. 22:6, 2Tim. 3:15), Mendoakan mereka (Mzm. 101:2,3), Mengajarkan belajar menghormati, menaati orang tua mereka (Luk. 2:51, Ef. 6:1&4), menyediakan keperluan (1Tim. 5:8, 2Kor. 12:14), siap menyerahkan kalau memang mereka sudah siap dipisahkan dalam kehidupan yang baru (Kej. 4:1,2; 1Kor. 7:36, 38).
 Sementara itu kewajiban suami terhadap istri diantaranya; Mengasihi istri, sama seperti Yesus mengasihi jemaat (Ef 5:25), hidup bersama dengannya (Ef 5:31, 1Pet 3:7, Ams 5:18,19), harus lembut terhadap istri, menyiapkan dan menyediakan keperluannya (Ef 5:28,29), Setia dan benar memelihara perjanjian (Hos 3:3), melindungi (1Sam 30:18, 1Pet 4:8), peduli untuk menyenangkan (1Kor 7:33), Mendoakan (1Pet 3:7, Luk 1:6). Dari beberapa kewajiban di atas tidak ada ayat yang menyuruh memukul, apalagi sampai mencederai yang diperintahkan sebaliknya untuk saling menyayangi.[47]

3.      Menurut Hindu:
KDRT dalam agama Hindu tidak dibenarkan sama sekali. Di dalam kitab Manawa Dharmasastra disebutkan bahwa, kedudukan wanita itu sangat dimuliakan, hal ini disebutkan di dalam bab III sloka 55 yaitu : “Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayahnya, kakak-kakaknya, suami dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri”. Wanita sebagai ibu yang akan melahirkan suputra, akan mampu membebaskan keluarga yang bersangkutan dari belengngu kesengsaraan baik yang bersifat sekala dan niskala, hendaknya selalu dihormati oleh lingkungan keluarganya. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu bukan semata-mata bersifat sekala saja tetapi berkesinambungan akan dapat mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan yang juga bersifat niskala.
Sebagaimana yang dituangkan dalam sloka 56 yang yaitu :“Dimana wanita dihormati, di sanalah para dewa-dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang berpahala”. Berdasarkan sloka tersebut dapat dipastikan bahwa kedudukan wanita dalam agama Hindu adalah istimewa dan harus dihormati, mempunyai arti wajib bagi orang tuanya serta saudara-saudaranya untuk tetap menghormati dan melindungi. Bukan sebaliknya tentunya menyakiti baik menyakiti fisik, mental, ekonomi, tentunya semua itu tidak dapat dibenarkan berdasarkan keterangan-keterangan di atas yang.[48]

4.      Menurut Buddha:
Buddha sebagai ajaran kasih tentu sangat bersebrangan dengan KDRT. Ini terdapat dalam ajaran Sang Buddha, dalam jawabannya atas pertanyaan seorang perumah tangga mengenai bagaimana seorang suami harus berlaku terhadap istrinya menyatakan bahwa seorang suami haruslah selalu menghormati dan menghargai istrinya, dengan selalu setia pada istrinya, dengan memberikan istrinya hak yang dibutuhkan untuk mengatur urusan rumah tangga dan dengan memberikan istrinya perhiasan-perhiasan yang sesuai. Nasehat ini, yang diberikan lebih dari dua puluh lima abad yang lalu, masih dapat diterima hingga sekarang. Mengetahui sifat psikologis seorang pria yang cenderung menganggap dirinya lebih tinggi derajatnya, sang Buddha membuat sebuah perubahan yang nyata dan meningkatkan kedudukan seorang wanita dengan suatu nasehat sederhana bahwa seorang suami haruslah menghormati dan menghargai istrinya. Seorang suami haruslah setia pada istrinya, yang berarti seorang suami harus memenuhi dan mempertahankan kewajiban-kewajiban pernikahannya terhadap istrinya sehingga dapat menyokong keutuhan rumah tangga dalam setiap makna katanya. Sang suami, menjadi sang pencari natiah, kerap kali akan jauh dari rumah, karenanya ia harus mempercayakan tugas-tugas domestik atau rumah tangga kepada istrinya yang harus dianggap sebagai sang penjaga yang membagi kebutuhan rumah tangga serta mengatur ekonomi rumah. Pemberian perhiasan-perhiasan yang sesuai kepada istrinya haruslah menjadi simbol dari cinta kasih, perhatian dan kasih sayang sang suami kepada istrinya. Praktek simbolis ini telah dijalankan sejak zaman dahulu dalam masyarakat Buddhis. Sayangnya, praktek-praktek ini terancam menghilang oleh pengaruh kebudayaan modern.[49]

5.      Menurut Konghucu:
KDRT juga tidak dibenarkan dalam konghucu. Bagi Khonghucu hubungan suami  dengan istri haruslah juga didasarkan pada sifat-sifat baik dan terpuji. Seorang suami haruslah dapat menghormati  istrinya dan begitu juga sebaliknya.  Hal ini dapat dilihat dari kata-kata Mencius di bawah ini :
“Menurut (mengikuti) sifat-sifat yang benar itulah jalan suci bagi seorang wanita”. (Mencius III, 2;2) istri yang baik itu adalah istri yang tunduk dan patuh terhadap printah suaminya, dan istri yang tidak baik adalah istri yang selalu melanggar  perintah suaminya.
Jika seorang istri dapat menuruti perintah suaminya, bukan berarti suami dapat berbuat sekehendak hatinya, namun suami hendaklah dapat berbuat yang terbaik untuk istrinya. Bagi khanghucu sebaiknya suami bersikap sebagai seorang kuncu (manusia budiman) yang dapat menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga.[50]

6.      Undang-undang KDRT:
UU KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya (lihat Pasal 5 UU KDRT). Kekerasan fisik yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (lihat Pasal 6 UU KDRT) sehingga termasuk pula perbuatan menampar, menendang dan menyulut dengan rokok adalah dilarang.

Pasal 26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).[51]

e.         Perdagangan Perempuan dan Anak
            Berkembangnya pasar bayi internasional yang besar, yang diorganisir melalui mekanisme pengangkatan anak (adopsi). Pada dasawarsa 1990-an diperhitungkan bahwa anak angkat memasuki Amerika Serikat setiap 48 menit[52] dan pada awal dasawarsa 1990-an, Korea Selatan saja 5700 bayi diekspor setiap tahunnya ke Amerika Serikat.[53] Sekarang ini, apa yang oleh kaum feminis disebut sebagai perdagangan anak internasional telah meluas juga di negeri-negeri bekas sosialis, terutama di Polandia dan Rusia, di mana penemuan badan-badan yang menjual anak-anak (pada 1994 lebih dari 1500 anak diekspor ke Amerika Serikat saja) telah menguakan skandal nasional. Kita juga menyaksikan berkembangnya peternakan bayi, dimana anak-anak diproduksi khusus untuk ekspor dan meningkatnya perempuan yang dipekerjakan sebagai ibu pengganti. Ibu pengganti, serta pengangkatan anak memungkinkan kaum perempuan dari negeri-negeri kapitalis maju untuk menghindari resiko menghentikan karir mereka, atau membahayakan kesehatan mereka karena melahirkan anak.
            Di sejumlah negeri Asia (Muangthai, Korea Selatan, Filiphina) industry seks dan wisata seks yang melayani konsumen internasional mulai wisatawan sampai pegawai perusahaan-perusahaan Jepang yang dalam tahun belakangan ini mendapat bonus “perjalanan kenikmatan” dan angkatan bersenjata AS yang sejak perang Pietnam menggunakan negeri-negeri ini sebagai tempat istirahat dan rekreasi. Pada akhir dasawarsa 1990-an diperkirakan bahwa di Thailand saja, dari 52 juta penduduk, 1 juta perempuan bekerja diindustri seks. Juga terjadi peningkatan jumlah perempuan dari dunia ketiga atau negeri-negeri bekas sosialis, yang bekerja sebagai pelacur di Eropa, Amerika Serikat dan Jepang yang kebayakan bekerja sebagai budak seperti perempuan-perempuan Muangthai yang dipekerjakan di sebuah border di New York di mana mereka ditawan oleh organisasi yang membayar biaya perjalana mereka di AS dan telah membujuk mereka untuk datang di AS untuk diberi pekerjaan.
            “Perdagangan”  “pengantin perempuan melalui pos” yang pada dasawarsa 1980-an telah berkembang pada skala internasional. Di AS saja sekitar 3500 lelaki setiap tahunnya menikah dengan perempuan yang dipilih melalui pesanan pos. dalam amat sangat banyak kasus pengantin perempuan adalah perempuan muda dari kawasan-kawasan termiskin di Asia tenggara atau Amerika Serikat meskipun baru-baru ini perempuan-perempuan dari Rusia dan negeri-negeri bekas sosialis juga memilih ini sebagai sarana untuk emigrasi. Pada tahun 1979, 7759 perempuan Filipina telah meninggalkan negerinya dengan cara ini. perdagangan pengantin perempuan pesanan pos ini di satu sisi mengeksploitasi kemiskinan luar biasa kaum perempuan dan di sisi lain mengoksploitasi seksisme dan rasisme kaum laki-laki Eropa dan Amerika yang menginginkan seorang istri yang bisa dikontrol sepenuhnya dan manfaatkan kerentanan kaum perempuan yang terpaksa menerima pilihan ini.[54]

f.       Tenaga Kerja Wanita (TKW)
Tenaga kerja wanita (TKW) memang merupakan fenomena masyarakat Indonesia kalangan menengah ke bawah untuk mengejar ketertinggalan ekonomi keluarga mereka, dan seolah menjadi daya tarik bagi para wanita di Indonesia khususnya, karena gaji yang didapat dari bekerja sebagai TKW bisa mencukupi kebutuhan keluarga para TKW.
Dipekerjakannya secara besar-besaran emigrant perempuan yang datang dari Asia, Aprika, Kepulauan Karibia, Amerika Selatan, sebagai pekerja rumahtangga di negri-negri industri, serta di Negri Timur Tengah penghasil minyak. Dipekerjakannya para TKW dengan upah yang rendah membersihkan rumah, mengurus anak-anak, memasak makanan, dan lain-lain, dalam artian melayani keluarga orang lain sementara keluarganya sendiri ditinggalkan merupakan pilihan yang menyakitkan bagi para TKW.[55]
Namun menjadi TKW bukanlah tanpa resiko, karena para TKW berada pada bahaya yang berhubungan dengan posisi yang secara social dan hokum rentan. Beberapa kasus contoh kekerasan yang dialami TKW oleh para majikannya dari mulai tidak dibayarnya upah, penyiksaan pisik, penyiksaan psikis, tuduhan palsu oleh majikan, dan bahkan pembunuhan oleh para majikannya.
Namun kasus-kasus tersebut tidak lantas mengurangi minat para wanita untuk menjadi TKW di luar negri, mereka tetap bertekad berangkat menjadi TKW dengan pembekalan keterampilan dan bahasa tentunya walaupun mereka dibayangi oleh resiko  kekerasan yang bisa saja mereka alami di tempat mereka bekerja.

g.        HIP/Aids, Narkoba, dan Pornografi
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodepiency Pirus (HIP) yang menyerang system kekebalan tubuh yang berakibat seseorang menjadi rentan terhadap inpeksi dan kanker. Biasanya penyakit ini menyerang dengan memanfaatkan kesempatan ketika kekebalan tubuh menurun. Pirus HIP dapat menular melalui jarum suntik, transfuse darah, hubungan seksual, dan sebagainya.
Mengingat penyebaran HIV/AIDS demikian cepat, salah satu bentuk penyebarannya adalah melalui hubungan seksual. Kontak seksual ini pada awalnya menjadi fenomena kalangan homoseksual, namun untuk selanjutnya menyebar pula melalui hubungan hetero seksual. Salah satu pasangan suami istri bisa tertular pirus HIV jika satu saja diantara keduanya yang melakukan hubungan seks beresiko. Sejumlah kasus di masyarakat bahwa istri tiba-tiba dinyatakan tertular padahal dia sebagai istri yang solehah yang tidak pernah melakukan perbuatan zina. Penularan pirus ini disebabkan suami yang pernah melakukan hubungan seks dengan pengidap pirus HIP. Karena itulah perempuan dalam beberapa kasus mengalami gangguan kesehatan reproduksi sebagai dampak bukan sebagai pelaku.
Keluarga sebagai lembaga terkecil di masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari segala macam bentuk penyakit. Perlindungan ini berfungsi mengembangkan dan keberlangsungan reproduksi sehat dalam keluarga. Penyadaran kesehatan reproduksi sejak awal harus ditanamkan dalam keluarga baik bagi anak laki-laki maupun perempuan. Mengenali sejak dini bagi anggota keluarga akan bahaya HIV/AIDS, penyebabnya, bentuk-bentuk penyebarannya, dan dampaknya terhadap kesehatan reproduksi, dampak social, psikologinya, bagaimana cara menghindarinya, dan sebagainya sangat urgent sebagai tindakan prefentif perlindungan keluarga.[56]
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif.
Semua istilah ini, baik "narkoba" ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut pakar kesehatan, narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu.[butuh rujukan] Namun kini persepsi itu disalahartikan akibat pemakaian di luar peruntukan dan dosis yang semestinya.[57]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, Pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi.[58]
Sedangkan W.F. Haung menyebutkan pornografi adalah penggunaan refresentasi perempuan (tulisan, gambar, foto, pideo dan film) dalam rangka manipulasi hasrat (desire) orang yang melihat, yang di dalamnya berlangsung proses degradasi perempuan dalam statusnya sebagai “objek” seksual laki-laki.[59]




Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Alcorn, Randy. 2002. Abortion in the Bible and Church History.
Al-Juzairi, Abdurrahman, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba’ah. Beirut Libanon: Ahya al-Tardisu al-Arabi.
D Andari, Bekti. dkk. 2005. Aborsi Dalam Perspektif Lintas Agama. Editor: Basilica Dyah Putranti. Yogyakarta: Kerja sama Ford Foundation dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Unipersitas Gadjah Mada.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta:Balai Pustaka, 1990). h. 696
Federici, Silpia. Reproduksi dan Perjuangan Feminis dalam Pembagian Kerja Internasional Baru, Jakarta: Kalyanamitra, 2000.
Garcia, Abdece. Tinjauan Alkitabiah tentang Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jakarta : Gramedia. 2008.
H Winknjossastro, Gulardi. dkk. 2002. Aborsi dalam Fiqh Kontemporer. Editor : Maria Ulfah A, dkk. Cetakan 1. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Fatayat NU.
Hulwati. Perempuan Dalam Wacana Politik Islam. Jurnal Ilmiah Kajian Gender.
Komnas Perempuan. Memecah Kebisuan Agama Mendengar Perempuan Korban kekerasan Demi Keadilan, Respon Katolik. Jakarta: Komnas Perempuan, 2009.
Komnas Perempuan. Memecah Kebisuan. Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan. Respon Muhammadiyyah. Jakarta. Komnas Perempuan: 2009.
Marzuki, (2008) “KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM BIDANG POLITIK PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW. DAN MASA KHULAFAUR RASYIDIN (SUATU KAJIAN HISTORIS)”. Humaniora, 13 (1). ISSN 1412-4009.
Meyanti, SKM, Fransiska. Aborsi Dalam Persfektif Agama dan HAM. Depok: Percetakan UI: 2009.
Mufidah Ch, M.Ag, Dra. Hj. Psikologi Keluarga Islam. Yogyakarta. UIN-MALANG PRESS: 2008.
Munir, Lily Zakiyah. Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam. Bandung: Penerbit Mizan, 1999.
Putri Nopiasih, S.Sos.H, Ni Kadek. Wanita Dalam Hindu.
Raymon, J. Women as Wombs : The New Reproductipe Tecnologies an the Struggle for Women’s Freedom. San Fransisco: Harpres and Co, 1994.
Schüssler Fiorenza, Elisabeth. Bread Not Stone: The Challenge of Feminist Biblical Interpretation. Boston: Beacon Press, 1986.
Shihab, M. Quraish. Perempuan. .Ciputat. Penerbit Lentera Hati: 2005.
Tanggok, Ikhsan.  Mengenal lebih dekat agama Konghuchu di Indonesia.  Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005.
Titib, I Made. Agamyagamana, Salah Krama.
U Anshor, Maria, Abdullah Ghalib. 2004. Fiqih Aborsi : Repiew Kitab Klasik dan Kontemporer. Jakarta : Yayasan Mitra Inti, Fatayat NU, dan The Ford Foundation.
Wijaya, Willy Yandi. Homosexsuality and Therapada Buddhism. Yogyakarta. Pidyasena Production: 2007.
https://afifrizqonhaqqi.wordpress.com/2013/01/27/kepemimpinan-perempuan-dalam-perspektif-agama-agama-islam-dan-kristen/ ,diakses tangga; 17 September 2015, pukul 11.41.
http://relasi-gender.mywapblog.com/citra-perempuan-dalam-tradisi-yahudi.xhtml. Diakses pada tanggal 1 Desember 2015 pukul 11:02 WIB
http://alkitab.sabda.org/resource.php?res=almanac&topic=908 diakses pada tanggal 1 Desember 2015 pukul 11:02 WIB
http://www.wanitabuddhisindonesia.org/index.php/doc/id/4diakses pada tanggal 1 Desember 2015 pukul 11:02 WIB
http://www.spocjournal.com/filsafat/209-perempuan-dalam-teks-ajaran khonghucu-sebuah-telaah-awal.html  diakses pada tanggal 1 Desember 2015 pukul 11:02 WIB
http://www.christiananswers.net/qeden/edn abortioninthebible.html tanggal 2 Desember 2015 Pukul 11:00 WIB.
http://www.kompasiana.com/nopember/gay-lesbi-masuk-surga-kata-tuhan_552e5c376ea8341e548b4585 diakses pada tanggal 2 Desember 2015 pukul 10:00 WIB
http://www.pemale.com/relationship/intim/44318-homoseksual-menurut-yahudi-dulu-dan-sekarang.html diakses pada tanggal 2 Desember 2015 pukul 10:00 WIB.
http://www.pemale.com/relationship/intim/matcont-60899-lgbt-dan-agama-7-isu-homoseksual-menurut-agama-hindu.html diakses pada tanggal 2 Desember 2015 pukul 10:00 WIB.
BBC. 2009. Hinduism and abortion. [online] diunduh dari http://www.bbc.co.uk/religion/ religions/hinduism/hinduethics/abortion_1.shtml pada 2 Desember 2015 Pukul 11:09.
http://suwerta86.blogspot.co.id/2012/09/pencegahan-kdrt-dalam-pandangan-hindu.html di akses pada tanggal 4 Desember 2015 pukul 00:09 WIB.
https://dhammacitta.org/dcpedia/Rumah_Tangga_Bahagia_(Dhammananda) di akses pada tanggal 4 Desember 2015 pukul 00:09 WIB.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4266/berapa-lama-hukuman-penjara-untuk-pelaku-kdrt  di akses pada tanggal 4 Desember 2015 pukul 00:09 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba diakses pada 17 September 2015 pukul 11:15
http://www..com/2012/05/pengertian-pornografi.html diakses pada 17 September 2015 pukul 11:15


[1] Pendapat ini dianut oleh kalangan Khawarij, terutama sekte al-Syabibah. Bagi mereka asalkan berasal dari golongan dan dalam urusan pemerintahan mereka, perempuan berhak menjadi pemimpin. Lihat al-Baghdady, al-Farq bayn al-Firaq, h, 90
[2] Lihat ibn Qudamah, al-Mughni, jilid XI, h, 375
[3] Hulwati, Perempuan Dalam Wacana Politik Islam, Jurnal Ilmiah Kajian Gender, h. 64-65.
[4] Marzuki, (2008) “KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM BIDANG POLITIK PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW. DAN MASA KHULAFAUR RASYIDIN (SUATU KAJIAN HISTORIS)”. Humaniora, 13 (1). ISSN 1412-4009, h. 3-4.
[5] Hulwati, “Perempuan Dalam Wacana Politik Islam”, Jurnal Ilmiah Kajian Gender, h. 66.
[6] Lily Zakiyah Munir. Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam. (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 69-70.
[7] Lily Zakiyah Munir, Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h.70-73.
[8] Perkataan Paulus mengenai kepemimpinan perempuan: “Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri.” (1 Timotius 2:11-12). Kata “memerintah” pada ayat di atas, dapat pula diterjemahkan “memiliki otoritas atau kuasa”, dalam hal ini atas pria. Kepada jemaat di Korintus, Paulus mengulang perintah yang sama yaitu, “… perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jemaat… Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah ….” (1 Korintus 14:34-35). Jelas bahwa dalam Surat 1 Korintus maupun 1 Timotius,  
[10]http://relasi-gender.mywapblog.com/citra-perempuan-dalam-tradisi-yahudi.xhtml. Diakses pada tanggal 1 Desember 2015 pukul 11:02 WIB
[11] http://alkitab.sabda.org/resource.php?res=almanac&topic=908 diakses pada tanggal 1 Desember 2015 pukul 11:02 WIB
[12] Ni Kadek Putri Nopiasih, S.Sos.H. Wanita Dalam Hindu. h. 4-5
[13] http://www.wanitabuddhisindonesia.org/index.php/doc/id/4diakses pada tanggal 1 Desember 2015 pukul 11:02 WIB
[15] M. Quraish Shihab. Perempuan. (Ciputat. Penerbit Lentera Hati: 2005). H. 257
[16] Maria U Anshor, Abdullah Ghalib. 2004. Fiqih Aborsi : Repiew Kitab Klasik dan Kontemporer. (Jakarta : Yayasan Mitra Inti, Fatayat NU, dan The Ford Foundation).
[17]  Maria U Anshor, Abdullah Ghalib. 2004. Fiqih Aborsi : Repiew Kitab Klasik dan Kontemporer. (Jakarta : Yayasan Mitra Inti, Fatayat NU, dan The Ford Foundation).
[18] Gulardi H Winknjossastro, dkk. 2002. Aborsi dalam Fiqh Kontemporer. Editor : Maria Ulfah A, dkk. (Cetakan 1. Jakarta: Fakultas Kedokteran Unipersitas Indonesia dan Fatayat NU).
[19]  Alcorn, Randy. 2002. Abortion in the Bible and Church History. [online] diunduh dari http://www.christiananswers.net/qeden/edn abortioninthebible.html tanggal 2 Desember 2015 Pukul 11:00 WIB.
[20] Bekti D Andari. dkk. 2005. Aborsi Dalam Perspektif Lintas Agama. Editor: Basilica Dyah Putranti. (Yogyakarta: Kerja sama Ford Foundation dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Unipersitas Gadjah Mada).
[21] Kel 21:22-25 ~ “Apabila ada orang berkelahi dan seorang dari mereka tertumbuk kepada seorang perempuan yang sedang mengandung, sehingga keguguran kandungan, tetapi tidak mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka pastilah ia didenda sebanyak yang dikenakan oleh suami perempuan itu kepadanya, dan ia harus membayarnya menurut putusan hakim.  Tetapi jika perempuan itu mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak.”
[22] Yoh 9:1-3 ~ “Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya.  Murid-muridNya bertanya kepadaNya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?"” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia…”  
[23] Rg Peda 1.114.7  
[24] Atharpapeda X.1.29
[25] Atharpapeda X.1.29  
[26] BBC. 2009. Hinduism and abortion. [online] diunduh dari http://www.bbc.co.uk/religion/ religions/hinduism/hinduethics/abortion_1.shtml pada 2 Desember 2015 Pukul 11:09.
[27] Yer 1:5 ~ “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”
[28] Fransiska Meyanti, SKM. Aborsi Dalam Persfektif Agama dan HAM. (Depok: Percetakan UI: 2009).
[29]Aborsi menurut pandangan agama Buddha. [online] diunduh dari http://www.indonesiaindonesia.com/f/34612-aborsi-menurutpandangan-agama-buddha pada 2 Desember 2015 Pada pukul 11:11.
[30] http://psikologiaja.blogspot.com/2011/02/sejarah-dsm.html diakses tanggal 17 September 2015, pukul 11.41.
[31] Abdurrahman Al-Juzairi, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba’ah. (Beirut–
Libanon: Ahya al-Tardisu al-Arabi). h. 113
.
[32] Abdurrahman Al-Jazairi, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazaahib al-Arbaah. h. 114–116
[36] I Made Titib. Agamyagamana, Salah Krama. h. 12-13.
[37] Willy Yandi Wijaya. Homosexsuality and Therapada Buddhism. (Yogyakarta. Pidyasena Production: 2007). h. 31-32.
[38] Dra. Hj. Mufidah Ch, M.Ag. Psikologi Keluarga Islam. (Yogyakarta. UIN-MALANG PRESS: 2008). h. 267-269
[39] Dra Noordjannah Djohantini, MM., M.SI, dkk. Memecah Kebisuan Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan. (Jakarta: Komnas Perempuan. 2008). h. 66. Dituliskan bahwa: “...ajaran agama kerap digunakan sebagai pembenar tindakan-tindakan yang tidak ramah terhadap perempuan, misalnya, sering menggunakan ayat Al-Qur’an tentang pembolehan menikahi perempuan hingga empat sebagai pijakan berpoligami, tanpa memahami konteks turunnya ahyat dan tanpa mencari makna intrinsik ayat tersebut. Begitu juga dengan tindak pemukulan terhadap istri dan pelarangan menolak keinginan suami berhubungan seksual yang dikatakan sebagai perilaku yang bersumber dari Qur’an dan Hadits, tanpa lagi-lagi memahami kualitas makna suatu kata, sebab turunnya ayat, serta ayat-ayat lain yang mencakup pesan kesetaraan hubungan antara suami dan istri.”
[40] Dra. Hj. Mufidah Ch, M.Ag. Psikologi Keluarga Islam. (Yogyakarta. UIN-MALANG PRESS: 2008). h. 274
[41] Dr. Paulus Budi Kleden, Dkk. Memecah Kebisuan Agama Mendengar Perempuan Korban kekerasan Demi Keadilan, Respon Katolik. (Jakarta: Komnas Perempuan, 2009). h. 30-31
[42] Teks-teks kitab suci yang dicurigai menjadi sumber penafsiran untuk menyubordinasi perempuan antara lain: 1 Kor 14: 33-35 (perempuan harus diam dalam Gereja), 1 Kor 11: 3-16 (kepala perempuan adalah laki-laki), Kol 3: 18 (para istri mesti tundukkan diri pada suami bagaikan pada Kristus), Eh 5: 22-24 (para istri harus tundukkan diri pada suami mereka), Tit 2: 4-5 (istri mesti tunduk pada suami), 1 Tim 2: 11-15 (perempuan harus diam: tak diperkenankan mengajar atau berkuasa atas lelaki), dan et 3: 1-6 (para istri hendaknya tunduk pada suami). Semuanya itu merupakan teks-teks yang merendahkan martabat perempuan.
[43] Elisabeth Schüssler Fiorenza. Bread Not Stone: The Challenge of Feminist Biblical Interpretation. (Boston: Beacon Press, 1986). h. x
[44] Dr. Paulus Budi Kleden, Dkk. Memecah Kebisuan Agama Mendengar Perempuan Korban kekerasan Demi Keadilan, Respon Katolik. (Jakarta: Komnas Perempuan, 2009). h.. 44-46
[45] Komnas Perempuan. Memecah Kebisuan. Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan. Respon Muhammadiyyah. (Jakarta. Komnas Perempuan: 2009). h. 22
[46] Komnas Perempuan. Memecah Kebisuan. Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan. Respon Muhammadiyyah. (Jakarta. Komnas Perempuan: 2009). h. 48-49.
[47] Abdece Garcia. Tinjauan Alkitabiah tentang Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga. (Jakarta : Gramedia. 2008) h. 24-25
[49] https://dhammacitta.org/dcpedia/Rumah_Tangga_Bahagia_(Dhammananda) di akses pada tanggal 4 Desember 2015 pukul 00:09 WIB.
[50] Ikhsan Tanggok.  Mengenal lebih dekat agama Konghuchu di Indonesia.  (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005). h. 52.
[52] J. Raymon, Women as Wombs : The New Reproductipe Tecnologies an the Struggle for Women’s Freedom (San Fransisco: Harpres and Co, 1994), h. 145.
[53] Silpia Federici, Reproduksi dan Perjuangan Feminis dalam Pembagian Kerja Internasional Baru, (Jakarta: Kalyanamitra, 2000), h. 34.
[54] Silpia Federici, Reproduksi dan Perjuangan Feminis dalam Pembagian Kerja Internasional Baru, (Jakarta: Kalyanamitra, 2000), h. 37.
[55] Silpia Federici. Reproduksi & Perjuangan Feminisme Dalam Pembagian Kerja Internasional Baru. (Jakarta. Kalyanamitra: 2000). h. 32-33 
[56]  Dra. Hj. Mufidah Ch, M.Ag. Psikologi Keluarga Islam. (Yogyakarta. UIN-MALANG PRESS: 2008). h. 172-174
[57] https://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba diakses pada 17 September 2015 pukul 11:15
[58] Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta:Balai Pustaka, 1990). h. 696
[59]http://www..com/2012/05/pengertian-pornografi.html diakses pada 17 September 2015 pukul 11:15, dalam blog dicantumkan bahwa pengertian tersebut diambil dari buku Neng Djubaedah (Eds). Yang berjudul “Stop Pornografi Selamatkan Moral Bangsa” (Jakarta: Citra Pendidikan dan Pengurus Pusat Wanita Islam, 2004), h. 51

Tidak ada komentar:

Posting Komentar