ISU-ISU GENDER DALAM
AGAMA-AGAMA
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas pada
Mata kuliah:
Relasi Gender Dalam
Agama
Dosen pembimbing:
Siti Nadroh, MA
Disusun oleh:
Fahad Muhammad
Al-Faruq: 1113032100046
Ismail Sholeh: 1113032100040
Oktavia Damayanti: 1113032100056
Khilda Fauzia: 1112034000194
Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2015
a. Perempuan dalam politik.
Pembahasan perempuan dalam
politik menyangkut di dalamnya pembahasan tentang hak-hak politik
perempuan. Yang dimaksud dengan hak-hak politik dalah hak-hak yang ditetapakan
dan diakui oleh UU. Hak itu biasanya didasarkan atas status kebangsaan dan pada umumnya UU senantiasa mensyaratkan
status warga negara bagi pemilik hak. Dalam kaitannya dengan pembahasan isu-isu
gender dalam agama-agama dunia, dalam islam dibahas juga mengenai hak politik perempuan
yang dtidak terlepas dari pro kontra mengenai hak politik perempuan.
1. Menurut Islam:
Mengenai sejauh hak politik yang
diperoleh perempuan dalam
tata dan konsep islam, terdapat pendapat yang berbeda ragam.
Pertama pendapat yang mengatakan
bahwa islam tidak mengakui hak politik perempuan dan dalam bidang ini perempuan
tidak dapat disejajarkan dengan laki-laki. Pendapat ini menyatakan bahwa islam tidak mengakui kesetaran perempuan dan laki-laki
dalam hal kepemilikan politik. Pandangan ini secara kokoh diperkuat oleh fatwa yang dikeluarkan komisi Fatwa al-Azhar al-Syarief.
Hujat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali pun mengatakan bahwa
kepemimpinan perempuan itu tidak sah, meskipun dia menyandang segala sifat kesempurnaan dan dapat
mengambil tindakan mandiri. Bagiamana perempuan diperbolehkan mencalonkan diri
sebagai pemimpin, sedangakn kewenangan dan kelayakan menjadi hakim dan saksi
dihampir semua struktur pemerintahan saja tidak pernah dimilikinya. Selain itu,
perempuan tidak sepenuhnya memilki kuasa atas
dirinya sendiri, sampai-sampai tidak punya kuasa untuk
menikah sendiri. Karna itu, jangan diberi kuasa atas perkara lain. Sebagaimana
ayat dalam Al-Quran:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menapkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka
dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian
jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Pendapat kedua adalah adalah
bahwa perempuan layak memperoleh hak politik seperti halnya laki-laki, Ia
berhak menduduki semua jabatan politik.[1]
Sebagian sepakat asal dengan catatan bahwa tidak untuk menjadi pemegang jabatan
sebagai pemimpin negara.[2]
Pendapat ini juga didukung oleh dalil dalam Al-Qur’an surat al-Tawbah ayat 71:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ |
Artinya: “Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat
dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat tersebut menunjukan bahwa
perempuan dan laki-laki sejajar, keduanya memiliki peran yang sama dalam
mengatur dan mengelola urusan-urusan masyarakat, perempuan setara dengan
laki-laki, ia memiliki hak sebagai pemimpin bagi publik.
Dan Abdul Hamid Mutawali dalam
karyanya Nizham al-Hukm fi
al-Islam yang didukung oleh Hazim Abdul Muta’al al-Sha’yadi dalam karyanya al-Nazharriyah al-Islamiyyah li al-Dawlah
mengemukakan pendapat bahwa hak politik bagi perempuan adalah persoalan
Sosial-Politik bukan persoalan agama, dan bahwa hukum Syar’i yang mengharamkan perempuan
menggunakan hak-hak politik itu tidak ada. Karenanya salah jika masalah ini
dipecahkan dari perspektif
agama atau fikih. Akan tetapi
masih banyak yang beranggapan bahwa hak politik perempuan adalah tidak ada dan
Syara’ melarang akan kiprah perempuan di dunia perpolitikan.
Secara historis, telah terjadi
perlakuan yang tidak seimbang, yang menempatkan perempuan pada posisi yang
lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sejarah peradaban manusia banyak
didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga laki-laki mendominasi semua peran di
masyarakat sepanjang sejarah, kecuali dalam masyarakat yang matriarkal yang
jumlahnya sangat sedikit. Jadi, sejak awal sudah terjadi ketidaksetaraan gender
yang menempatkan perempuan pada wilayah yang marginal. Peran-peran yang
dimainkan kaum perempuan hanyalah peran-peran di sekitar rumah tangga.
Sementara itu, kaum laki-laki dapat menguasai semua peran penting di
tengah-tengah masyarakat. Dari sini muncullah doktrin ketidaksetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap tidak cocok memegang kekuasaan
ataupun memiliki kemampuan seperti yang dimiliki laki-laki dan karenanya
perempuan tidak setara dengan laki-laki. Laki-laki harus memiliki dan
mendominasi perempuan.
Sebelum Islam datang, perempuan
mengalami masa sejarah yang gelap, yaitu fakta dan realitas historis
mengungkapkan betapa hinanya perempuan pada saat itu. Seorang ayah akan merasa
malu kalau mempunyai anak perempuan, dan rela mengubur anaknya hidup-hidup,
sebagaimana disinyalir dalam Al-Quran surat an-Nahl 58-59:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَىٰ ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ
يَتَوَارَىٰ مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ ۚ أَيُمْسِكُهُ عَلَىٰ هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ ۗ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
Artinya: “58. dan apabila seseorang dari
mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah
padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. 59. ia Menyembunyikan dirinya dari
orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia
akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke
dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka
tetapkan itu.” (QS. Al-Nahl: 58-59).
Berdasarkan ayat di atas dapat
dipahami bahwa sebahagian besar tradisi jahiliah terhadap perempuan sangat
tidak manusiawi. Perempuan merupakan manusia yang tidak diketahui oleh
undang-undang, Pada masa jahiliah, perempuan dianggap sebagai harta yang dapat
dimiliki, dijual dan diperlakukan sesuai dengan keinginan, Perempuan tidak
memiliki hak talak, karena itu suami dapat menceraikan istrinya kapanpun ia
kehendaki, Perempuan tidak memiliki hak waris, tetapi perempuan dapat
diwariskan seperti harta benda, Perempuan tidak memiliki hak mengasuh anak,
karena anak dalam tradisi jahiliah dimiliki oleh keluarga laki-laki, Perempuan
tidak memiliki kebebasan untuk membelanjakan harta benda yang dimiliki, dan bayi
perempuan dikubur hidup-hidup.
Akan tetapi setelah datangnya
Islam, masa suram tersebut memberikan cahaya yang terang terhadap perempuan.
Perlakuan yang tidak manusiawi pada masa jahiliah telah merubah posisi
perempuan menjadi dihormati dan dihargai.[3]
Menurut Asghar masalah al-Quran
yang melebihkan laki-laki atas perempuan karena nafkah sesungguhnya adalah
masalah kesadaran sosial dan penafsiran yang tepat. Kesadaran perempuan pada
masa itu sangat rendah dan pekerjaan domistik dianggap sebagai kewajiban
perempuan. Selain itu laki-laki menganggap dirinya lebih unggul karena
kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk
perempuan (Engineer, 1994: 62-3). Ditambahkan oleh Asghar, dengan
keadaan-keadaan yang terus berubah dan kesadaran yang semakin kuat di kalangan
perempuan, konsep mengenai hak-hak mereka akan berubah.[4]
Untuk itu sesungguhnya Islam
muncul dengan konsep hubungan manusia yang berlandaskan keadilan dan kesetaraan
antara kedudukan perempuan dan laki-laki. Selain dalam hal pengambilan
keputusan, perempuan dalam Islam juga memiliki hak-hak ekonomi (memiliki
harta). Dengan begitu Islam justru menumbangkan sistem sosial yang tidak adil
terhadap perempuan dengan menggantikan posisi yang adil. [5]
Dalam bidang kepemimpinan, Islam
bertolak dari status manusia sebagai khalifah. Akhir surah al-Ahzâb mempertegas
kekhalifahan manusia ini di muka bumi sebagai pengemban amanat Allah untuk
mengolah, memelihara, dan mengembangkan bumi. Inilah tugas pokok manusia –tidak
berbeda antara perempuan dengan laki-laki.
Mengenai status kekhalifahan
tadi, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa semua manusia adalah pemimpim “Kaliah semua adalah pemimpin dan setiap
pemimpin dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. Islam
mengangkat derajat manusia dan memberikan kepercayaan yang tinggi, karena
setiap manusia secara fungsional dan social adalah pemimpin.[6]
Rasulullah memberikan gambaran
yang lebih konkret, yaitu di dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam
perkembangan budaya beliau menempatkan laki-laki dan perempuan pada bidang
tertentu, tapi masing-masing tetap berpotensi sebagai pemimpin. Itu yang ditegaskan dalam lanjutan hadits
tadi, “Lelaki adalah pemimpin keluarga, sementara perempuan adalah pemimpin di
rumah tangga”. Ini adalah penjelasan yang berkaitan dengan perkembangan peradaban
dan budaya manusia, yang pada gilirannya menempatkan laki-laki sebagai kepala
keluarga, artintya laki-laki berfungsi sebagai suami, dan ayah itu berarti
pemimpin untuk seluruh keluarga.
Biasanya yang dipersoalkan orang
adalah kepemimpinan perempuan di dalam dunia politik berdasarkan hadits lâ
yaflâhû qaumun wallau amrahum imra’atûn (tidak akan sukses suatu kaum yang
menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan). Perlu kita catat bahwa kualitas
hadits tersebut bukan shahih, karena tidak termuat dalam kitab Shahihaini, tapi
hadits ini masyhur beredar. Namun kemudian hadits ini dijabarkan di dalam
beberapa pemikiran fiqih secara tekstual, sehingga perempuan tidak boleh
menjadi pemimpin masyarakat. Akan tetapi, tidak ada kitab fiqih yang mengatakan
perempua tidak boleh menjadi pemimpin di dalam rumah tangga, semua kebudayaan
mengakui hal ini. hanya yang dipermasalahkan adalah kepemimpinan yang di luar
rumah tangga. Hal ini juga ada kaitannya dengan perempyuan karier yang bekerja
di luar rumah tangga.
Mengenai hadits tadi, sebagian
ulama berpendapat bahwa perempuan tidak boleh memegang jabatan penting seperti
jabatan kepala Negara, hakim, dan sebagainya. Akan tetapi, kalau kita lihat
realitasnya dalam sejarah Islam, banyak perempuan Islam yang tampil sebagai pemimpin.
Aisyah, istri Nabi Muhammad Saw. diakui sebagai seorang mufti. Maka dia
memberikan fatwa sekali bersahabat Nabi yang lain (Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas,
dll). Bahkan kedudukannya sebagai panglima pada perang Unta juga diakui.
Kemudian di dalam perkembangan sejarqah Indonesia juga banyak terdapat tokoh,
pahlawan, dan raja wanita, seperti Cut Nyak Dien di Aceh. Di dalam al-Qur’an
disebutkan juga tentang seorang ratu di zaman Nabi Sulaiman, yaitu Ratu Balqis.
Kemudian Imam Thabari mempertegas
bahwa, walaupun kita menggunakan hadits tadi sebagai dasar hukum, tetapi hanya
manyengkut satu masalah khusus, yaitu bahwa perempuan tidak boleh memegang
pucuk pimpinan tertinggi Negara, perempuan tidak bisa jadi khalifah, tapi
selain itu bisa. Ada tiga Negara Islam yang saat ini menampilkan perempuan
sebagai pemimpin, yaitu Pakistan, Bangladesh, dan Turki, tentu di Negara-negara
tadi banyak ulama dan mengerti, namun karena luasnya wawasan mereka, maka
mereka bisa menerima perempuan sebagai pemimpin.[7]
2. Menurut Kristen:
Di Alkitab ada beberapa ayat yang
menyinggung peranan pria dan wanita dalam konteks kepemimpinan (1 Korintus
11:2-16; 14:33-35). Namun, yang paling gamblang adalah bagian yang ditulis oleh
Rasul Paulus.[8]
Paulus tidak mengizinkan kepemimpinan wanita atas pria. Sebaliknya, Paulus
meminta wanita untuk tunduk kepada kepemimpinan pria.
Adapun argument Paulus terhadap
hak kepemimpiman perempuan, maka landasan yang Paulus gunakan untuk mendukung
argumennya bukanlah landasan budaya. Paulus menggunakan dasar argumen yang
tidak terikat oleh waktu. Mari kita lihat argumen yang ia gunakan. Pertama,
Paulus menguraikan mata rantai atau hierarki otoritas sebagai tumpuan
argumennya, dan ini bersifat lintas budaya, yakni: “Kepala dari tiap-tiap
laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari
Kristus adalah Allah.” (1 Korintus 11:3); kedua, Kedua, Paulus menjelaskan
makna rohani yang terkandung dalam penciptaan berdasarkan urutan penciptaan itu
sendiri, yakni “… laki-laki … menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi
perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari
perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki.” (1 Korintus
11:7-8);Ketiga, Paulus memakai landasan historis untuk mendukung argumennya,
yakni “Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula
bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke
dalam dosa.” (1 Timotius 2:13-14).
Debora yang adalah istri Lapidot
(Hakim-Hakim 4), memerintah sebagai hakim di Israel dan ini menandakan bahwa
kepemimpinan tertinggi saat itu dipegang oleh seorang perempuan. Tuhan Yesus
pun melibatkan perempuan dalam pelayanan-Nya sebagaimana dicatat oleh Lukas, di
antaranya adalah Maria Magdalena, Yohana istri Khuza bendahara Herodes, dan
Susana yang berperan besar sebagai penyandang dana bagi Tuhan Yesus dan para
murid-Nya (Lukas 8:2-3).
Dari sini kemudian dapat
disimpulkan bahwa dalam pelaksanaannya, ternyata yang terpenting adalah
tujuannya ketertiban bukan sarananya otoritas
laki-laki atas perempuan. Tuhan tidak antiperempuan dan Ia melibatkan perempuan
dalam pekerjaan-Nya. Hal ini terbukti dari pelbagai karunia yang Ia berikan
kepada kita, tanpa mengenal perbedaan gender (1 Korintus 12, Roma 12:4-8,
Efesus 4:7-12, 1 Petrus 4:10-11 ). Kenyataannya ialah baik laki-laki maupun
perempuan, keduanya setara di hadapan Tuhan; keduanya adalah penerima pelbagai
karunia Tuhan; dan keduanya dilibatkan dalam pekerjaan Tuhan. Firman Tuhan
menegaskan, “Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki
dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal
dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan dan segala
sesuatu berasal dari Allah.” (1 Korintus 11:11-12) Jadi, dasar penetapan hierarki
otoritas bukanlah perbedaan kualitas, melainkan perbedaan fungsi dan kewajiban,
sedangkan tujuannya adalah ketertiban terutama di dalam keluarga.[9]
3. Menurut Yahudi:
Perempuan memiliki kehormatan memegang posisi dalam Yudaisme sejak zaman
nevi'im Miriam dianggap salah satu pembebas dari B'nay Yisyra'el, bersama
dengan saudara-saudaranya Mosyeh dan Aharon. Salah satu Hakim-hakim adalah
seorang wanita sekaligus navi'ah (Devorah) 7 dari 55 navi di dalam al-Kitab
adalah wanita (lihat bagian para navi).[10]
Dan dalam kitab Yahudi, terdavat
berbagai veran wanita yang berbau volitik severti vanglima militer, ibu suri,
venasehat raja, dan lain-lain, sebagaimana terdavat dalam kitab Tanakh severti
berikut:
“Dua pahlawan
wanita militer yang paling tersohor yang disebut di Perjanjian Lama adalah
Debora dan Yael; keduanya mengambil bagian dalam kemenangan yang sama. Allah
berfirman melalui Debora untuk memberi tahu kepada jenderal yang bernama Barak
bagaimana ia dapat mengalahkan orang Kanaan. Barak setuju untuk menyerang
orang, Kanaan, tetapi ia ingin agar Debora ikut bersamanya ke medan
pertempuran. Debora berbuat demikian, dan orang Kanaan dikalahkan. Akan tetapi,
Sisera, jenderal pasukan Kanaan, melarikan diri dengan berjalan kaki. Yael
melihat dia, keluar untuk menyambut dia, dan mengundang dia ke dalam kemahnya.
Sisera tertidur dalam kemah itu. Sementara ia tidur, Yael masuk dan memalu
sebuah patok kemah menembus kepalanya, sehingga Sisera mati.” (Hak. 4-5).
Wanita Yahudi
sebagai Permaisuri
“Tidak semua wanita di Alkitab terkenal karena
perbuatan baik mereka. Permaisuri Izebel mungkin adalah wanita yang paling
terkenal karena nama buruknya di Perjanjian Lama. Dia adalah putri Etbaal, raja
orang Sidon. la menikah dengan Ahab, pangeran Israel, dan pindah ke Samaria.
Ketika Izebel menjadi permaisuri, ia memaksakan kehendaknya kepada rakyat. Ia
mau supaya orang Israel menyembah Baal, karena itu ia membawa beratus-ratus
nabi Baal ke Israel dan menjadikan mereka pegawai pemerintah. Ia juga membunuh
sebanyak-banyaknya nabi Tuhan yang dapat ditemukannya (I Raj. 18:13). Bahkan
orang awam yang saleh, seperti Nabot, dibunuhnya. Nabi Elia melarikan diri dan
bersembunyi dari Izebel untuk menyelamatkan nyawanya. la merasa bahwa dia
sendiri saja adalah satu-satunya nabi yang benar yang masih ada di seluruh
negeri itu. Sebenarnya, dikatakan bahwa di seluruh kerajaan itu hanya ada 7000
orang yang telah menolak untuk menyembah Baal (I Raj. 19:18). Bertahun-tahun
setelah Izebel digulingkan dan dibunuh, pemujaan Baal masih berlanjut.”
Herodias adalah seorang wanita lain yang menggunakan pengaruhnya untuk
memperoleh apa yang diinginkannya. Ketika Yohanes Pembaptis mencela
perkawinannya dengan Raja Herodes (Antipas), ia mempengaruhi raja untuk
menangkap Yohanes dan memenjarakannya. Pada hari ulang tahun Herodes, anak
perempuan Herodias menari-nari untuk para tamu. Hal ini sangat menyukakan hati
Herodes, sehingga ia berjanji akan memberikan apa Baja yang dimintanya.
Herodias menyuruh anaknya meminta kepala Yohanes Pembaptis. Herodes memenuhi
permintaannya, dan kepala Yohanes dipenggal.
Tentu saja, tidak semua permaisuri yang disebut di Alkitab itu berkelakuan
jahat. Permaisuri Ester menggunakan kedudukannya untuk membantu orang Yahudi.
Untuk mendapat seluruh kisahnya, lihat "Orang Persia."
Wanita Yahudi
sebagai Ibu Suri.
Para penulis kitab-kitab I dan II
Raja-Raja dan II Tawarikh bercerita banyak tentang para ibu suri di Yehuda.
Ketika mengacu kepada 20 orang raja yang berbeda-beda yang memerintah di Yehuda
dari masa Salomo sampai ke masa Pembuangan, hanya satu kali kitab-kitab ini
tidak menyebut seorang ibu suri. Contoh yang khas mengenai apa yang dikatakan
tentang seorang ibu suri terdapat dalam ayat-ayat ini, "Dalam tabun
kedua zaman Yoas bin Yoahas, raja Israel, Amazia, anak Yoas raja Yehuda menjadi
raja. Ia berumur dua puluh lima tahun pada waktu ia menjadi raja dan dua puluh
sembilan tahun lamanya ia memerintah di Yerusalem. Nama ibunya ialah Yoadan,
dari Yerusalem. Ia melakukan apa yang benar di mata Tuhan" (II Raj.
14:1-3).
Satu contoh dari pengaruh yang
menentukan dari seorang ibu suri dapat dilihat. Karena Adonia adalah putra
sulung yang masih hidup dari Raja Daud, ia merasa bahwa sudah pada tempatnya ia
menjadi raja berikut sesudah Daud. Beberapa pejabat tinggi setuju dengan dia -
termasuk Yoab, panglima bala tentara, dan imam Abyatar. Di pihak lain, Nabi
Natan dan seorang imam lain, Zadok, berpendapat bahwa Salomo, salah seorang
putra yang lain dari Daud, akan menjadi raja yang lebih baik. Batsyeba, ibu
Salomo, meyakinkan Daud untuk menunjuk Salomo sebagai penggantinya (I Raj.
1:30). Salomo menghormati ibunya karena apa yang telah dilakukannya (I Raj.
2:19).[11]
4. Menurut Hindu:
Wanita dalam pandangan agama Hindu memiliki peranan yang tidak terpisahkan
dengan kaum pria dalam kehidupan masyarakat dari jaman ke jaman. Hal ini tidak
mengherankan bila ditinjau dari konsepsi ajaran agama Hindu dalam Siwa Tattwa
yang mengatakan adanya kehidupan makhluk terutama manusia karena perpaduan
antara unsur Sukla dan Swanita, unsur Purusa dan Pradhana. Tanpa Swanita atau
tanpa Pradhana maka tidak mungkin ada dunia yang harmonis. Demikianlah
pentingnya kedudukan wanita dalam kehidupan ini.
Wanita juga digunakan sebagai lambang atau simbol sakti para Dewa sebagai
sinar suci Hyang Widhi atau manifestasi kekuasaannya. Sakti Para Dewa
dilambangkan dengan wanita yang cantik, lemah gemulai dan menawan. Tanpa Sakti,
para Dewa ini tidak dapat melakukan tugas dan fungsinya.
Peranan wanita ke dalam lima jenis, yaitu : (1) Peranan wanita sebagai
istri, pendamping suami; (2) Peranan wanita sebagai ibu, pendidik dan pengasuh
anak; (3) Peranan wanita dalam pelaksanaan agama, utamanya penyelenggaraan
upacara-upacara keagamaan; (4) Peranan wanita dalam kehidupan masyarakat,
menumbuhkembangkan nilai-nilai yang baik dalam keluarga dan masyarakat; (5)
Peranan wanita dalam pembangunan yang menyoroti peranan wanita dewasa ini aktif
sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai wanita karir.
Tokoh-tokoh wanita dalam Reg Veda
yang telah banyak berpartisipasi dalam melakukan yadnya. Seperti misalnya
Visvavara dari Gotra Atri yang sangat terkenal sebagai seorang filosuf dan
mahir menggubah mantra-mantra Veda, selain itu Ghosa sebagai wanita Hindu yang
sangat terkenal sebagai penggubah lagu-lagu pujaan (hymne) dalam syair-syair Reg
Veda. Tokoh-tokoh lain yang tak kalah penting dalam perkembangan wanita Hindu
di Indonesia sebelum jaman Kartini seperti Tri Buana Tungga Dewi dari
Majapahit, Ratu Sima, Pramodawardani, Wijaya Mahadewi, Mahendradatta dan
Udayana, Ratu Kirana dan Ken Dedes.
5 Berbicara tentang tokoh wanita dalam konteks keteladanan dalam ajaran agama Hindu yang dapat menggugah naluri kewanitaan dan kebanggaan terhadap kaumnya, tidak bisa terlepas dari beberapa tokoh wanita yang cukup ternama dalam perkembangan wanita Hindu. Wanita yang dimaksud adalah: Dewi Sita, Dewi Kunti, Dewi Drupadi, dan Srikandi.[12]
5 Berbicara tentang tokoh wanita dalam konteks keteladanan dalam ajaran agama Hindu yang dapat menggugah naluri kewanitaan dan kebanggaan terhadap kaumnya, tidak bisa terlepas dari beberapa tokoh wanita yang cukup ternama dalam perkembangan wanita Hindu. Wanita yang dimaksud adalah: Dewi Sita, Dewi Kunti, Dewi Drupadi, dan Srikandi.[12]
5. Menurut Buddha:
Watak demokratis dari ajaran Buddha menyangkut persamaan hak dan kebebasan
bagi setiap orang untuk menjadi dirinya sendiri (Dhp. 380). Huston Smith
melihat pendekatan yang demokratis dalam mendobrak kasta. Buddha membuka pintu
organisasi sanggha bagi semua orang, tanpa memandang kedudukan sosialnya. Ia
memberi kewenangan kepada para murid-Nya untuk menahbiskan sendiri biku-biku
baru di mana saja, menerapkan prinsip desentralisasi dan pendelegasian tugas
(Vin. I, 22). Sanggha adalah lembaga demokratis yang mungkin tertua di dunia. Buddha
mengajarkan kebebasan berpikir (A. I. 188-192). Ia mematahkan otoritas dan
monopoli seseorang atau segolongan orang atas kebenaran (M. II, 171). Ajaran-Nya
adalah ajaran yang terbuka dan menghargai keterbukaan (D. II, 100). Pengambilan
keputusan bersama, kemerdekaan mengeluarkan pendapat (Vin. I, 115), memberi
kesempatan bagi perbedaan pen-dapat dan kritik (D. I, 3) sangat ditekankan oleh
Buddha.
Demokrasi tanpa perempuan bukan demokrasi. Kesetaraan gender dan demokrasi
memiliki landasan nilai dalam ajaran Buddha. Namun menghadapi budaya patriarkat
demokrasi tidak dengan sendirinya betul-betul mendudukkan perempuan setara dengan
laki-laki. Demokrasi harus dimulai dari keluarga. Kebebasan, keadilan dan
hak-hak sosial atau politik bukan pemberian dari langit, karena harus diperoleh
melalui kekuatan tekad, keberanian dan usaha yang berkesinambungan. Kaum wanita
sendiri harus bersatu dengan sungguh-sungguh memperjuangkan nasibnya.[13]
6. Menurut Konghuchu:
Di dalam Kitab Bingcu diceritakan pada Jaman Raja Bu ( pendiri dinasti Chou
( 1122 – 255 s.M.) diantara 10 orang menteri yang cakap terdapat seorang
perempuan. Hal ini menunjukkan sesungguhnya dalam bidang volitik, pendidikan,
kualitas pendidikan yang diberikan baik kepada pria maupun perempuan tidak
terdapat pembedaan, sehingga memungkinkan perempuan menduduki tempat terhormat.[14]
b.
Aborsi
Aborsi adalah pengguguran
kandungan (janin) sebelum sempurna masa kehamilan –baik dalam keadaan hidup
ataupun tidak- sehingga keluar dari Rahim dan tidak hidup, baik itu dilakukan
dengan obat ataupun selainnya, oleh yang mengandungnya maupun oleh orang lain.
Aborsi biasa dilakukan akibat
pergaulan bebas sehingga terjadi yang diistilahkan dengan kecelakaan, yakni
hamil tanpa didahului oleh akad nikah yang sah. Kehamilan itu tidak dikehendaki
karena takut menanggung aib. Tentu saja masih ada sebab lain, misalnya karena
kehamilan yang dapat membawa dampak buruk terhadap ibu dan anak, atau karena
kehamilan yang tidak diinginkan lagi sebab khawatir memikul beban ekonomi
tambahan.[15]
Namun aborsi menjadi bahan
pembicaraan yang lain ketika hal tersebut menimpa kepada wanita korban
perkosaan, dimana pilihan melakukan aborsi dilakukan karena judge masyarakat
yang memang tidak semuanya akan menerima kepada kondisi si korban pemerkosaan,
dan tetap akan mencemooh kepada si korban yang akan menimbulkan tekanan batin
kepada korban pemerkosaan tersebut. Pemerkosaan terjadi memang karena selain
dari perlindungan terhadap kaum perempuan masih sangat minim kalau pemakalah
menilainya, karena upaya untuk melindungi perempuan dari tindak perkosaan
sangatlah minim. Dan juga payung hokum bagi korban pemerkosaan yang menuntut
keadilan hukum sebagai warga
negara yang mendapat perlakuan yang sama juga sangatlah minim, karena di banyak
kasus pemerkosaan terhadap perempuan, banyak sekali para pelaku pemerkosaan
yang tidak terjerat oleh hukuman pidana yang setimpal atau bahkan tidak
terjerat hukum sama sekali.
Dan itulah realita keadilan di negri kita Indonesia, bahkan di dunia global,
bahwa keadilan yang tidak didapat oleh para korban pemerkosaan cenderung untuk
lebih memilih melakukan aborsi agar tidak menanggung beban malu dan tekanan
bathinnya yang tidak mendapat keadilan.
Berikut akan kami paparkan mengenai aborsi dilihat dari segi teologis
berbagai agama.
1. Menurut Islam:
Al Qur’an menjelaskan bahwa manusia adalah representasi Tuhan di muka bumi untuk
menjaga dan melestarikan bumi beserta isinya. Ia (anak) berasal dari setetes
air mani (al ma‟al shafi) atau air suci, yang tidak boleh ditumpahkan di tempat
yang dilarang agama. Dalam QS al-Mukminum/23:12-14 dan hadis dari Abi Abd
Rahman Abdillah bin Mas‟ud ra dikatakan tentang penciptaan manusia yaitu dari
saripati tanah yang dijadikan Allah menjadi air mani yang tersimpan kokoh,
diolah menjadi segumpal darah (alaqah) lalu menjadi segumpal daging (mughdah),
tulang belulang dan akhirnya dibungkus dengan daging yang terjadi dalam rahim
ibu selama 40 hari. Kemudian setelah 120 hari, Allah swt meniupkan ruh ke dalam
janin tersebut, yaitu pada hari pembentukannya yang sempurna. Al-Ghazali
menjelaskan bahwa pembuahan tersebut tidak boleh dirusak manusia.[16]
Menurut para ulama bahwa janin, baik sebelum dan sesudah penyawaan (120 hari),
mempunyai hak layaknya seperti manusia yang tidak boleh dilanggar. Ia haruslah
dipelihara dan tidak boleh dihancurkan (diakhiri) kecuali dilakukan untuk suatu
sebab atau alasan yang benar. Meski demikian pendapat para ulama berkaitan
dengan kasus tertentu yang harus berakhir dengan aborsi sangat beragam,
terutama saat sebelum ditiupkannya ruh (penyawaan). Sedangkan pengguguran
kandungan yang dilakukan setelah penyawaan (setelah ruh ditiupkan pada usia
kandungan 4 bulan atau 120 hari) adalah dilarang atau haram mutlak, kecuali
dalam keadaan darurat yang dapat mengakibatkan meninggalnya nyawa seorang ibu.
Ulama dari Madzhab Hanafiyah dan Hanabilah membolehkan aborsi sebelum
janin berusia 120 hari (4 bulan) dengan syarat alasan-alasan yang logis dan
rasional. Namun, sebagian lain membolehkan aborsi sebelum kehamilan berusia 80
hari dengan alasan terjadi penciptaan pada tahap mudghah. Jika terjadi
pengguguran pada tahap mughdah, maka pelakunya dihukum ta‟zir.[17]
Ulama dari Madzhab Maliki sepakat bahwa aborsi secara mutlak
diharamkan, karena menurutnya kehidupan dimulai sejak konsepsi. Hal ini sejalan
dengan pendapat salah satu tokoh ulama AlGhazali (dari Madzhab Syafi’iyah).[18]
Ulama dari Madzhab Syafi’iyah memperbolehkan aborsi sebelum kehamilan
berusia 42 hari, akan tetapi aborsi yang dilakukan mendekati 42 hari dianggap
makruh (tidak dilakukan) karena sudah mendekati masa penyawaan atau haram
hukumnya jika dilakukan. Di samping itu, juga mensyaratkan adanya kerelaan
kedua belah pihak (suami istri).
2. Menurut Kristen:
Alkitab tidak secara langsung membicarakan aborsi, namun prinsip Alkitab
secara jelas menyatakan tentang kekudusan hidup manusia, yaitu bahwa manusia
itu diciptakan segambar dan secitra dengan Tuhan, berjenis kelamin laki-laki
dan perempuan (Kejadian 1:26-27) dan tujuannya ialah supaya manusia memuliakan
Tuhan dalam kehidupannya (The sanctity of life). Tuhan yang membentuk manusia
sejak dalam kandungan ibunya dan menetapkan tujuan penciptaan manusia (Ayub
10:8-12; Mazmur 139:13-16; Yeremia 1:5). Dengan demikian, janin dalam kandungan
ibu adalah selalu manusia dan bernyawa (Kejadian 25:21-22; Lukas 1:41-44).[19]
Terkait dengan aborsi, upaya pengguguran kandungan itu sama saja dengan
membunuh. Alkitab secara jelas menuliskan perintah jangan membunuh (Keluaran
20:13; Matius19:18). Hukuman pengguguran kandungan sama saja dengan hukuman
orang yang membunuh manusia yang telah lahir dan sangat serius (Keluaran
21:22-25).
Di Indonesia, sebuah penelitian mengenai perspektif pemuka agama Kristen
dan Katolik terhadap aborsi di Kota Yogyakarta tahun 2005, mengungkapkan
“sedikit kelonggaran” diperbolehkannya tindakan aborsi. Pemuka dari kedua agama
sepakat untuk tidak menyetujui aborsi, kecuali ada alasan medis kedokteran yang
rasional, seperti jika terindikasi bahwa kehamilan itu berisiko tinggi
membahayakan keselamatan nyawa ibu. Alasan medis ini pun harus hati-hati dan
telah melewati prosedur yang ketat pula.
Menurut mereka, jika harus memilih diantara ibu atau janin-nya, maka diprioritaskan
untuk menyelamatkan nyawa ibu karena keberadaannya dibutuhkan bagi suami dan
anak-anaknya yang telah lebih dulu ada. Walau demikian, mereka tidak sepenuhnya
menyetujui tindakan aborsi yang dilakukan karena alasan kegagalan penggunaan
KB, kemiskinan ekonomi, hubungan di luar pernikahan, kehamilan tidak disetujui
pihak lain, serta alasan mengganggu karier pekerjaan atau sekolah.[20]
Hukuman bagi para pelaku aborsi dalam agama Kristen sangat keras. Yaitu nyawa si bayi harus diganti dengan
nyawa lagi.[21]
Aborsi karena alasan janin yang cacat tidak dibenarkan Tuhan.[22] Dan aborsi karena untuk menutup aib
dengan alasan perkosaan juga tidak dibenarkan dalam agama Kristen.
3. Menurut Hindu:
Aborsi dalam Teologi Hinduisme tergolong pada perbuatan yang disebut Himsa karma yakni salah satu perbuatan
dosa yang disejajarkan dengan membunuh, meyakiti, dan menyiksa. Membunuh dalam
pengertian yang lebih dalam sebagai “menghilangkan nyawa” mendasari falsafah atma atau roh yang sudah berada dan
melekat pada jabang bayi sekalipun masih berbentuk gumpalan yang belum sempurna
seperti tubuh manusia. Oleh karena itulah perbuatan aborsi disetarakan
dengan menghilangkan nyawa. Kitab-kitab suci Hindu antara lain menyatakan: “Ma no mahantam uta ma no arbhakam”
artinya: Janganlah mengganggu dan mencelakakan bayi.[23] “Anagohatya vai bhima” artinya: Jangan
membunuh bayi yang tiada berdosa.[24]
Dan: “Ma no gam asvam purusam vadhih”
artinya: Jangan membunuh manusia dan binatang.[25]
Dalam doktrin reinkarnasi Hindu, “hidup” itu dipandang seperti sebuah siklus
berulang dari saat lahir, kematian, dan kelahiran kembali. Dengan doktrin ini,
maka hal ini menjadi alasan untuk menentang aborsi, yaitu :
1. Jika janin diaborsi, maka jiwa dalam janin
tersebut akan mengalami kemunduran karma yang sangat besar, sehingga akan
menghalangi seseorang berkarma yang baik dan menghambat proses perjalanan spiritual
jiwa seseorang.
2. Aborsi akan menghalangi jiwa seseorang
untuk mengalami kelahiran kembali.
3. Konsekuensi aborsi tidaklah seburuk yang
dinyatakan agama lainnya dimana jiwa seseorang memiliki satu kali kesempatan
untuk dilahirkan kembali dan terhambatnya seluruh kemungkinan kehidupan.
Terkait dengan aborsi, ajaran Hindu berpendapat bahwa aborsi adalah pelanggaran
terhadap tugas menghasilkan anak-anak untuk meneruskan riwayat keluarga dan
menambah jumlah masyarakat dan ini tidak dibenarkan. Namun, adakalanya
pengguguran dapat diterima berdasarkan pertimbangan etis/medis, misalnya
menyelamatkan nyawa ibu.[26]
Dalam Alkitab dikatakan dengan
jelas betapa Tuhan sangat tidak berkenan atas pembunuhan seperti yang dilakukan
dalam tindakan aborsi. Jangan
pernah berpikir bahwa janin dalam kandungan itu belum memiliki nyawa.[27]
4. Menurut Buddha:
Dalam ajaran Buddha, juga diajarkan adanya kehidupan baru setelah kematian
(reinkarnasi), dimana bentuk baru reinkarnasi akan menanggung energy karma dari
individu yang meninggal di masa lalu.[28]
Ada tiga syarat terjadinya makhluk hidup, yaitu : (1) Mata utuni hoti atau
masa subur seorang wanita; (2) Mata pitaro hoti atau terjadinya pertemuan
sperma dan sel telur dalam rahim; dan (3) Gandhabo paccuppatthito atau adanya
gandarwa, kesadaran penerusan dalam siklus kehidupan baru (pantisandhi-citta),
kelanjutan dari kesadaran ajal (cuti citta) yang memiliki energy karma. Pada
saat di dalam rahim tersebut, kesadaran manusia muncul pertama kali.
Dari pandangan tersebut, maka ajaran Buddha menentang dan tidak menyetujui
adanya tindakan aborsi karena telah melanggar Pancasila Buddhis sila pertama,
yaitu panatipata (adanya makhluk hidup). Oleh karena itu, baik pelaku aborsi
maupun ibu si bayi telah melanggar Pancasila Buddhis dan mereka akan mendapat
akibat di kemudian hari, baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang
atau yang disebut sebagai hukum karma / hukum sebab –akibat. Dalam Majjhima
Nikaya 135, hukuman bagi mereka yang melakukan pembunuhan kepada makhluk hidup
ialah ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia tapi tidak berumur panjang.
Sedangkan bagi penyedia jasa aborsi tidak resmi serta ketahuan pihak berwajib,
maka akan mendapat ganjaran menurut hukum negara.
Walau demikian, ajaran agama Buddha berpendapat bahwa keputusan seseorang
untuk melakukan aborsi atau tidak adalah sangat personal. Beberapa meyakini
bahwa keputusan tersebut dibuat dalam kondisi tertentu dan sejalan dengan
prinsip-prinsip Buddha seperti telah mengikutsertakan aspek kebijaksanaan dan
pemahaman tentang isu-isu etis, serta kerelaan untuk menerima
konsekuensi-konsekuensi akibat keputusan yang dibuat.[29]
c. Homoseksualitas
Pada awalnya dalam
pembelajaran psikologi kaum homoseksual ataupun lesbian dimasukan dalam
kategori manusia abnormal begitu juga dengan biseksual, hal tersebut sesuai
dengan DSM (Diagnostik and statistcal manual of mental).
Pada dasarnya manusia itu memiliki potensi untuk menjadi homoseksual
ataupun lesbian hal tersebut di karnakan pada usia pubertas manusia memiliki
pembawaan biseksual dimana pada saat usia ini manusia dapat dengan mudah
mencintai ataupun menyukai teman pria ataupun wanitanya, jika pada anak yang
normal maka anak tersebuat akan berkembang memiliki sifat heteroseksual yaitu
sikap menyukai lawan jenisnya. Hal tersebut sangat berpengaruh pada lingkungan
yang membentuk seseorang dalam menemukan jati dirinya, para kasus homo ataupun
lesbian biyasanya terbentuk karna faktor lingkungan, di mana banyak para homo
ataupun lesbi yang memiliki trauma terhadap seseorang yang mempengaruhi pola
perilaku di masa depanya.
Seseorang yang memiliki kelainan sek homoseksual biyasanya lebih peka dalam
lingkungannya dan lebih protektif terhadap pasangan sesama jenisnya, kepekaanya
terhadap lingkungan tersebut untuk mengetahui sesamanya, biyasanya kepekaan
tersebut terjadi dalam mencari pasangan sesama jenisnya.[30]
Dan karena rumah tangga juga menjadi faktor homoseksualitas, maka di sini
peranan gender dalam rumah tangga sangat diperlukan, dimana keutuhan rumah
tangga dan proteksi orang tua kepada anaknya harus sama-sama memberikan
proteksi kepada anak agar jangan sampai menjadi korban kekerasan seksual dan
menimbulkan traumatis yang menyebabkan anak menjadi seorang homoseksual.
Berikut pemakalah akan memaparkan homoskesual dalam perspektif agama-agama yang ada di Indonesia.
1. Menurut Islam:
Para ulama fiqh sepakat atas keharaman homoseks menurut ketentuan syari‟at.
Homoseks merupakan perbuatan keji sebagaimana jarimah zina.
Keduanya termasuk dosa besar, dan merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan
fitrah manusia.[31]
Dalam menjatuhkan hukuman
terhadap para pelaku homoseks memerlukan bukti yang jelas, baik melalui
pengakuan dari pelakunya maupun keterangan saksi. Malikiyah, Syafi‟iyah, dan
Hanabilah berpendapat bahwa saksi terhadap homoseks sama halnya dengan saksi
zina, yaitu empat orang laki-laki yang adil, tidak terdapat salah seorang di
antaranya perempuan. Sedangkan Hanafiah berpendapat bahwa saksi homoseks tidak
sama dengan saksi zina, karena kemudaratan yang ditimbulkan oleh homoseks lebih
ringan daripada yang ditimbulkan oleh zina, dan jarimahnya lebih kecil daripada
jarimah zina, serta tidak menimbulkan percampuran keturunan. Karena itu, untuk
membuktikan homoseks cukup hanya dengan dua orang saksi saja, dan tidak perlu
menghubungkannya dengan zina, kecuali ada dalilnya.
Para ulama fiqh berbeda pendapat
tentang hukuman bagi homoseks. Ada tiga pendapat:
1. Dibunuh
secara mutlak.
2. Dihad
sebagaimana had zina. Bila pelakunya jejaka ia harus didera, bila pelakunya muhsan ia harus dihukum rajam.
3. Dikenakan
hukuman ta’zir.
Malikiyah, Hanabilah dan Syafi‟iyah, berpendapat bahwa hadd homoseks adalah
rajam dengan batu sampai mati, baik pelakunya seorang bikr (jejaka) maupun
muhsan (orang yang telah menikah). Yang menjadi dasar pendapatnya adalah sabda Rasulullah
saw.: “Bunuhlah pelakunya dan pasangannya”.
Dalam riwayat lain ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa had bagi
homoseks adalah hukuman rajam, baik yang dilakukan seorang bikr ataupun
muhshan. Akan tetapi pendapat mereka yang umum adalah hukumnya sama dengan
hukum zina, dengan alasan bahwa homnseks sejenis dengan zina. Sebab homoseks
memasukkan faraj (penis) ke dalam anus lelaki (farji). Dengan demikian,
pelakunya termasuk di bawah keumuman dalil dalam masalah zina, baik bikr maupun
muhshan.[32]
2. Menurut Kristen:
Al Kitab (Kristen/Katholik) Imamat 18:22 mencatat: Janganlah engkau tidur
dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu
kekejian. Ayat ini menjadi dasar larangan bagi laki-laki untuk berhubungan
kelamin sesama jenis. Kejadian 1:28 Allah memberkati mereka, lalu Allah
berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak;
penuhilah bumidan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan
burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap dibumi."[33]
3. Menurut Yahudi:
Hukum
dasar yang pertama kali digunakan oleh kaum Yahudi adalah kitab Taurat.
Sebagaimana dilansir dari situs religionfacts.com, taurat menjelaskan “Seorang
pria tidak diperkenankan tidur dengan pria lain sebagaimana [dia akan tidur]
dengan seorang wanita, itu adalah sesuatu yg sangat dibenci." (Imamat
18:22). Selanjutnya kata “sesuatu yang sangat dibenci" ditafsirkan
ulang menjadi “sesuatu yang menyimpang dari kewajaran”.
Kaum
ortodoks kemudian menganggap homoseksual tidak sepenuhnya bisa dianggap sebagai
sebuah dosa. Maksdudnya, seseorang yang melakukan perilaku homoseksual akan
terhapus dosanya bila dia sangat menyesal dengan apa yang telah diperbuat dan
memohon ampun pada Tuhan.
Pada
tahun 1980, sebuah universitas Yahudi telah merubah aturannya untuk melegalkan
seorang gay menjadi mahasiswa disana. Selanjutnya, pada tahun 1998, Central
Conference of American Rabbis mulai memperbolehkan pernikahan sesama jenis baik
itu laki-laki atau perempuan, meski pernikahan mereka tidak termasuk dalam pernikahan
yang disahkan agama. Pada tahun 2000, pernikahan sesama jenis sudah diakui
sebagai pernikahan yang sah dalam agama Yahudi.
Saat
ini, kaum rekonstruksionis Yahudi mengatakan bahwa segala pembatasan tentang
hukum homoseksual telah dianggap batal atau tidak berlaku. Jadi, saat ini
tindakan yang berhubungan dengan percintaan sesama jenis didukung penuh oleh
agama Yahudi.[34]
4.
Menurut Hindu:
Di Agama
Hindu, ternyata sama seperti Agama di Timur Tengah. Dalam perkembangannya,
larangan dan sikap negatif terhadap kaum homoseksual berubah dan bervariasi.
Ada yang menerima homoseksual dan ada yang tidak.
Menurut
wikipedia.org, meski mayoritas pemeluk Agama Hindu tidak pernah secara resmi
menyatakan tidak setuju dan melarang keberadaan kaum homoseksual, tapi dalam sejarahnya
di India, terdapat beberapa aksi protes terhadap pemutaran film yang bertemakan
homoseksual.
Di sisi
lain, Dewa-Dewa dalam Agama Hindu bermacam-macam jendernya. Contohnya adalah
kisah Arjuna pada Mahabharata. Di situ diceritakan bahwa Arjuna pernah
bersumpah untuk menjalani kehidupan menjadi seorang yang terkastrasi selama
setahun.
Selain
itu, dalam kitab Weda ternyata juga dituliskan adanya gender ke tiga. Pada
teks-teks Hindu seperti Manu Smriti, dan Sushruta Samhita bahwa ada orang yang
dilahirkan dengan gender campuran, pria dan wanita. Maksudnya, ada orang yang
terlahir pria tapi bersikap seperti wanita, dan juga sebaliknya. Lelaki dengan
orientasi seperti itu biasanya bekerja menjadi penata rambut, penjual bunga,
dan pekerjaan yang dianggap feminim lainnya.[35]
Di dalam
Mahabarata disebutkan bahwa Homoseksual adalah dosa yang sangat mengerikan
(sangat besar): “seseorang yang buta, yang hidupnya penuh kejahatan, seseorang yang sangat bodoh
bagaimanapun, yang menikmati kesenangan melalui hubungan
seksual dengan sesuatu yang hamil (termasuk binatang), dan dengan sesama
laki-laki akan lahir kembali dengan tidak memiliki kemampuan
untuk memiliki anak.” (XIII, 145.52).
Geoffrey
Varrinder dalam bukunya Teologi Seksual menyatakan bahwa homoseksual dan
lesbian dilarang dan dihukum dengan seberat-beratnya. Lesbianisme dihukum
dengan denda dan pemukulan terhadap pelakunya dan kepalanya
digunduli, dan bagi perempuan yang memerkosa peremvuan
maka dua jarinya akan dipotong
dan harus menunggangi keledai mengelilingi desa. Homoseksual tampaknya mendapat
hukuman yang lebih ringan, “Seorang laki-laki yang dilahirkan dua kali
(Brahmana) yang melakukan pelanggaran
yang tidak wajar dengan seorang laki-laki harus mandi dengan menggunakan pakaiannya”, kata sebuah hukum, tetapi hukum yang lainnya menetapkan laki-laki tersebut kehilangan derajatnya.
Tentang
hukuman bagi lesbianisme seperti
dijelaskan di atas dikutipkan
sloka Manavadharmasastra (VIII. 369-370). Yang berkaitan dengan hukuman
tersebut sebagai berikut:
“Kanyaiva kanyam ya kuryat, Sa sadyo maundyam
arhati, Angulyor eva cca chedam, Kharenod varanam tanha.”
“Tetapi bila
seorang istri menodai seorang gadis, kepalanya
seketika digunduli, atau dua dari jarinya tangannya dipotong
dan di arak naik keledai keliling kota.”[36]
5. Menurut Buddha:
Di India pada zaman sang
Buddha sudah ada kaum homoseksual yang feminis. Di dalam Pinaya dikatakan ada
tipe orang yang disebut sebagai “Pandaka”. Di dalam Pinaya dikatakan bahwa Pandaka
tidak diperbolehkan ditasbihkan menjadi seorang Bikkhu. Menurut penjelasan
kitab, hal itu desebabkan karena para Pandaka penuh dengan nafsu dan keinginan
seksual. Kata Pandaka sering diterjemahkan sebagai seorang homoseksual yang
bertingkah laku seperti wanita dan penuh hasrat seksual. Agama Buddha tidak seperti
agama lain dalam memandang homoseksualitas. Di banyak agama, homoseksual dipandang
sebagai sesuatu yang buruk dan tidak seharusnya ada. Dalam agama Buddha ketika
melihat homoseksualitas diperlukan pertimbangan sebelum memutuskan.
Di dalam Anggutara Nikaya P:266 disebutkan bahwa berhubungan seksual dengan
anak di bawah umur, pasangan orang lain, orang hukuman, saudara kandung, dan
orang yang hidup selibat (Bikkhu) dikategorikan sebagai perilaku seksual yang
salah. Jadi umat Buddha awam perlu mematuhi etika seksualitas dalam bertindak
seperti yang diajarkan sang Buddha, baik ia seorang heteroseksual maupun
homoseksual, sehingga tercipta keharmonisan dalam hidup. Untuk kasus seorang
homoseksual berarti sama saja seperti seorang homoseksual, hanya pasangan hidupnya
yang sesama jenis.[37]
d.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau
sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau sejumlah
orang yang berposisi lemah (dipandang lemah/dilemahkan), yang dengan sengaja
dilakukan untuk menmbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan. Kekerasan
terjadi di masyarakat dapat dikategorikan menjadi 5 macam, yaitu:
a.
Kekerasan berbasis etnis
b.
Kekerasan berbasis budaya
c.
Kekerasan berbasis politik
d.
Kekerasan berbasis agama
e.
Kekerasan berbasis gender
Kekerasan berbasis gender
merupakan jenis kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap jenis kelamin
yang berbeda, seperti laki-laki melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan
atau sebaliknya. Perempuan lebih dominan menjadi korban kekerasan gender antara
lain disebabkan terjadinya diskriminasi gender.
Pengertian Kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) menurut undang-undang nomor 23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbul kesengsaraan atau
penderitaan secara pisik, seksual, psikologis dan/ penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hokum dalam lingkup rumah tangga.
Berdasarkan data yang direkam
dari berbagai lembaga pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga dan
kasus yang ditangani oleh kepolisian, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi
adalah:
1.
Kekerasan fisik
2.
Kekerasan seksual
3.
Kekerasan psikis
4.
Kekerasan ekonomi/penelantaran ekonomi[38]
Terdapat beragam alasan terjadinya
KDRT, antara lain budaya patriarki yang menempatkan posisi pihak yang memiliki
kekuasaan merasa lebih unggul. Selain itu, interpretasi agama yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai unipersal agama. Agama sering digunakan sebagai legitimasi
pelaku kekerasan terutama dalam lingkup keluarga,[39]
padahal agama menjamin hak-hak dasar seseorang, seperti cara memahami Nusyuz,
yakni suami boleh memukul istri dengan alas an mendidik atau ketika sitri tidak
mau melayani kebutuhan seksual suami maka suami berhak memukul dan ancaman bagi
istri adalah dilaknat oleh malaikat.
Kekerasan juga berlangsung justru
mendapatkan legitimasi masyarakat dan menjadi bagian dari budaya, keluarga,
negara, dan praktek di masyarakat, sehingga menjadi bagian kehidupan yang sulit
dihapuskan, kendatipun terbukti merugikan semua pihak.[40]
Berikut kami pemakalah akan memaparkan sedikit ulasan kekerasan dari agama
Kristen (Katolik) yang berbeda. Misalnya, seorang perempuan yang mengalami
kekerasan dalam rumah tangga katolik juga dipengaruhi dan terkait dengan budaya
setempat dan Gereja lokal yang sangat patriarkis-yang menggunakan ajaran agama
untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Permasalahan kekerasan dapat
ditemui di beberapa daerah, dimana budaya patriarkis setempat sangat kuat
bertautan dengan ajaran agama (Gereja) yang patriarkis, seperti hampir dalam
semua budaya di Indonesia. Kekerasan yang dialami seorang perempuan katolik
mencakup pula wilayah tangga, komunitas (agama dan budaya), maupun negara. Hal
ini biasanya terjadi di wilayah-wilayah konflik, seperti perbatasan Timor,
Maluku, Papua, dan sebagainya.[41]
Pengalaman para perempuan ini menjadi sumber repleksi mengkritisi peran
agama di dalam persoalan kekerasan terhadap perempuan. Kitab Suci menurut
Elisabeth Schüssler Fiorenza, di dalam perjuangan bertahan hidup serta pembebasan
dari dalam masyarakat dan gereja yang patriarkis, perempuan menemukan kitab
suci telah digunakan sebagai alat untuk menentang perempuan.[42]
Namun demikian, pada saat yang sama, kitab suci juga bisa menjadi sumber
keberanian, pengharapan, dan komitmen dalam perjuangan para perempuan. Sehingga
menurut Schüssler Fiorenza, yang perlu dilakukan dalam interpretasi feminis
bukanlah mempertahankan kita suci untuk melawan para pengkritik feminis,
melainkan untuk mahami dan menafsirkannya sedemikian rupa sehingga kekuatan penindasan
dan pembebasannya sangat jelas dan dapat dikenali.[43]
Ilmu tafsir membantu menemukan siapa dan maksud si penulis, jenis sastra
yang ia gunakan, serat sidang pembacanya. Orang katolik diajak membedakan
ajaran ilahi dari asumsi-asumsi budaya zaman itu. Seperti ditandaskan oleh
Konsili Patikan II (1962-1965), yang benar dalam kitab suci adalah hanya apa
yang dikehendaki Tuhan Bapak demi keselamatan manusia, sebagaimana Katolik
dalam Konsili Patikan II jelas menentang berbagai macam bentuk kekerasan.[44]
Dan berikutnya pemakalah akan memaparkan secara singkat tentang KDRT dilihat
dari berbagai tinjauan agama.
1. Menurut Islam:
Kekerasan terhadap perempuan dapat berbentuk kekerasan fisik, psikologis,
ekonomi, dan seksual. Berbagai ketidakadilan tersebut jelas berlawanan dengan
misi Islam sebagai rahmatan li al-‘âlamîn, yang memerintahkan tegaknya keadilan
dalam seluruh aspek kehidupan, sebagaimana Firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS.
Al-Nahl: 90).
Salah satu hal penting dan sentral dalam mewujudkan Islam sebagai agama
rahmatan li al-‘âlamîn adalah penegakan keadilan bagi perempuan korban
kekerasan. Sebab, tindak kekerasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan
akan melunturkan citra Islam.
Di antara misi utama Islam sebagai dîn pembawa rahmat adalah menegakkan
keadilan, dengan melakukan tindakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Ada
beberapa ayat yang substansinya menghilangkan tindak kekerasan terhadap
perempuan.[45]
a. Penghapusan kekerasan terhadap bayi
perempuan yang dikubur hidup-hidup [Q.S. al-Nahl (16): 58].
b. Prinsip edukasi terhadap perempuan nusyûz
[Q.S. al-Nisâ’ (4): 34].
c. Kekerasan ekonomi [Q.S. al-Nisâ’ (4):
129].
d. Mengusir dari rumah [Q.S. al-Thalâq (65):
1].
e. Kekerasan psikologis [Q.S. al-Thalaq (65):
6].
f. Poligami tanpa batas [Q.S. al-Nisâ’ (4):
2–3 dan 129].
g. Kekerasan dalam bentuk zhihâr [Q.S.
al-Mujâdilah (58): 1–4].[46]
2. Menurut Kristen:
Di dalam agama kristen kekerasan sangat tidak dibenarkan, banyak teks-teks
keagamaan yang melarang tersebut.
Sebagai sebuah contoh dibawah ini akan dipaparkan Kewajiban orang tua terhadap
anak-anak mereka diantaranya; Mengasihi dan memperdulikan mereka, khususnya
kalau mereka masih kecil (Yes. 49: 15), Mendidik dan membimbing mereka didalam
Firman Tuhan, prinsip keagamaan, dan memberikan petunjuk-petunuk jalan Tuhan
(Ef. 6:4, Ams. 22:6, 2Tim. 3:15), Mendoakan mereka (Mzm. 101:2,3), Mengajarkan
belajar menghormati, menaati orang tua mereka (Luk. 2:51, Ef. 6:1&4),
menyediakan keperluan (1Tim. 5:8, 2Kor. 12:14), siap menyerahkan kalau memang
mereka sudah siap dipisahkan dalam kehidupan yang baru (Kej. 4:1,2; 1Kor. 7:36,
38).
Sementara itu kewajiban suami
terhadap istri diantaranya; Mengasihi istri, sama seperti Yesus mengasihi
jemaat (Ef 5:25), hidup bersama dengannya (Ef 5:31, 1Pet 3:7, Ams 5:18,19),
harus lembut terhadap istri, menyiapkan dan menyediakan keperluannya (Ef
5:28,29), Setia dan benar memelihara perjanjian (Hos 3:3), melindungi (1Sam
30:18, 1Pet 4:8), peduli untuk menyenangkan (1Kor 7:33), Mendoakan (1Pet 3:7,
Luk 1:6). Dari beberapa kewajiban di atas tidak ada ayat yang menyuruh memukul,
apalagi sampai mencederai yang diperintahkan sebaliknya untuk saling
menyayangi.[47]
3. Menurut Hindu:
KDRT dalam agama Hindu tidak dibenarkan sama sekali. Di dalam kitab Manawa
Dharmasastra disebutkan bahwa, kedudukan wanita itu sangat dimuliakan, hal ini disebutkan
di dalam bab III sloka 55 yaitu : “Wanita harus dihormati dan disayangi oleh
ayahnya, kakak-kakaknya, suami dan ipar-iparnya yang menghendaki kesejahteraan
sendiri”. Wanita sebagai ibu yang akan melahirkan suputra, akan mampu
membebaskan keluarga yang bersangkutan dari belengngu kesengsaraan baik yang
bersifat sekala dan niskala, hendaknya selalu dihormati oleh lingkungan
keluarganya. Kesejahteraan dan kebahagiaan itu bukan semata-mata bersifat
sekala saja tetapi berkesinambungan akan dapat mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan yang juga bersifat niskala.
Sebagaimana yang dituangkan dalam sloka 56 yang yaitu :“Dimana wanita
dihormati, di sanalah para dewa-dewa merasa senang, tetapi di mana mereka tidak
dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang berpahala”. Berdasarkan sloka
tersebut dapat dipastikan bahwa kedudukan wanita dalam agama Hindu adalah
istimewa dan harus dihormati, mempunyai arti wajib bagi orang tuanya serta
saudara-saudaranya untuk tetap menghormati dan melindungi. Bukan sebaliknya
tentunya menyakiti baik menyakiti fisik, mental, ekonomi, tentunya semua itu
tidak dapat dibenarkan berdasarkan keterangan-keterangan di atas yang.[48]
4. Menurut Buddha:
Buddha sebagai ajaran kasih tentu sangat bersebrangan dengan KDRT. Ini
terdapat dalam ajaran Sang Buddha, dalam jawabannya atas pertanyaan seorang
perumah tangga mengenai bagaimana seorang suami harus berlaku terhadap istrinya
menyatakan bahwa seorang suami haruslah selalu menghormati dan menghargai
istrinya, dengan selalu setia pada istrinya, dengan memberikan istrinya hak
yang dibutuhkan untuk mengatur urusan rumah tangga dan dengan memberikan
istrinya perhiasan-perhiasan yang sesuai. Nasehat ini, yang diberikan lebih
dari dua puluh lima abad yang lalu, masih dapat diterima hingga sekarang. Mengetahui
sifat psikologis seorang pria yang cenderung menganggap dirinya lebih tinggi
derajatnya, sang Buddha membuat sebuah perubahan yang nyata dan meningkatkan
kedudukan seorang wanita dengan suatu nasehat sederhana bahwa seorang suami
haruslah menghormati dan menghargai istrinya. Seorang suami haruslah setia pada
istrinya, yang berarti seorang suami harus memenuhi dan mempertahankan
kewajiban-kewajiban pernikahannya terhadap istrinya sehingga dapat menyokong
keutuhan rumah tangga dalam setiap makna katanya. Sang suami, menjadi sang
pencari natiah, kerap kali akan jauh dari rumah, karenanya ia harus
mempercayakan tugas-tugas domestik atau rumah tangga kepada istrinya yang harus
dianggap sebagai sang penjaga yang membagi kebutuhan rumah tangga serta mengatur
ekonomi rumah. Pemberian perhiasan-perhiasan yang sesuai kepada istrinya
haruslah menjadi simbol dari cinta kasih, perhatian dan kasih sayang sang suami
kepada istrinya. Praktek simbolis ini telah dijalankan sejak zaman dahulu dalam
masyarakat Buddhis. Sayangnya, praktek-praktek ini terancam menghilang oleh
pengaruh kebudayaan modern.[49]
5. Menurut Konghucu:
KDRT juga tidak dibenarkan dalam konghucu. Bagi Khonghucu hubungan
suami dengan istri haruslah juga didasarkan pada sifat-sifat baik dan
terpuji. Seorang suami haruslah dapat menghormati istrinya dan begitu
juga sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata Mencius di bawah
ini :
“Menurut (mengikuti) sifat-sifat yang benar itulah
jalan suci bagi seorang wanita”. (Mencius III, 2;2) istri yang baik itu adalah istri yang tunduk dan patuh
terhadap printah suaminya, dan istri yang tidak baik adalah istri yang selalu
melanggar perintah suaminya.
Jika seorang istri dapat menuruti perintah suaminya, bukan berarti suami
dapat berbuat sekehendak hatinya, namun suami hendaklah dapat berbuat yang
terbaik untuk istrinya. Bagi khanghucu sebaiknya suami bersikap sebagai
seorang kuncu (manusia budiman) yang dapat menciptakan keharmonisan
dalam rumah tangga.[50]
6. Undang-undang KDRT:
UU KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan
kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun
penelantaran rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya (lihat
Pasal 5 UU KDRT). Kekerasan fisik yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (lihat Pasal 6 UU
KDRT) sehingga termasuk pula perbuatan menampar, menendang dan menyulut dengan
rokok adalah dilarang.
Pasal 26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara
langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau
pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali
telah mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).[51]
e.
Perdagangan
Perempuan dan Anak
Berkembangnya
pasar bayi internasional yang besar, yang diorganisir melalui mekanisme
pengangkatan anak (adopsi). Pada dasawarsa 1990-an diperhitungkan bahwa anak
angkat memasuki Amerika Serikat setiap 48 menit[52]
dan pada awal dasawarsa 1990-an, Korea Selatan saja 5700 bayi diekspor setiap
tahunnya ke Amerika Serikat.[53]
Sekarang ini, apa yang oleh kaum feminis disebut sebagai perdagangan anak
internasional telah meluas juga di negeri-negeri bekas sosialis, terutama di
Polandia dan Rusia, di mana penemuan badan-badan yang menjual anak-anak (pada
1994 lebih dari 1500 anak diekspor ke Amerika Serikat saja) telah menguakan
skandal nasional. Kita juga menyaksikan berkembangnya peternakan bayi, dimana
anak-anak diproduksi khusus untuk ekspor dan meningkatnya perempuan yang
dipekerjakan sebagai ibu pengganti. Ibu pengganti, serta pengangkatan anak
memungkinkan kaum perempuan dari negeri-negeri kapitalis maju untuk menghindari
resiko menghentikan karir mereka, atau membahayakan kesehatan mereka karena melahirkan
anak.
Di sejumlah
negeri Asia (Muangthai, Korea Selatan, Filiphina) industry seks dan wisata seks
yang melayani konsumen internasional mulai wisatawan sampai pegawai
perusahaan-perusahaan Jepang yang dalam tahun belakangan ini mendapat bonus “perjalanan
kenikmatan” dan angkatan bersenjata AS yang sejak perang Pietnam menggunakan
negeri-negeri ini sebagai tempat istirahat dan rekreasi. Pada akhir dasawarsa
1990-an diperkirakan bahwa di Thailand saja, dari 52 juta penduduk, 1 juta
perempuan bekerja diindustri seks. Juga terjadi peningkatan jumlah perempuan
dari dunia ketiga atau negeri-negeri bekas sosialis, yang bekerja sebagai
pelacur di Eropa, Amerika Serikat dan Jepang yang kebayakan bekerja sebagai
budak seperti perempuan-perempuan Muangthai yang dipekerjakan di sebuah border
di New York di mana mereka ditawan oleh organisasi yang membayar biaya
perjalana mereka di AS dan telah membujuk mereka untuk datang di AS untuk
diberi pekerjaan.
“Perdagangan” “pengantin perempuan melalui pos” yang pada
dasawarsa 1980-an telah berkembang pada skala internasional. Di AS saja sekitar
3500 lelaki setiap tahunnya menikah dengan perempuan yang dipilih melalui
pesanan pos. dalam amat sangat banyak kasus pengantin perempuan adalah
perempuan muda dari kawasan-kawasan termiskin di Asia tenggara atau Amerika
Serikat meskipun baru-baru ini perempuan-perempuan dari Rusia dan negeri-negeri
bekas sosialis juga memilih ini sebagai sarana untuk emigrasi. Pada tahun 1979,
7759 perempuan Filipina telah meninggalkan negerinya dengan cara ini.
perdagangan pengantin perempuan pesanan pos ini di satu sisi mengeksploitasi
kemiskinan luar biasa kaum perempuan dan di sisi lain mengoksploitasi seksisme
dan rasisme kaum laki-laki Eropa dan Amerika yang menginginkan seorang istri yang
bisa dikontrol sepenuhnya dan manfaatkan kerentanan kaum perempuan yang
terpaksa menerima pilihan ini.[54]
f. Tenaga Kerja Wanita (TKW)
Tenaga kerja wanita (TKW) memang
merupakan fenomena masyarakat
Indonesia kalangan menengah ke bawah untuk mengejar ketertinggalan ekonomi
keluarga mereka, dan seolah menjadi daya tarik bagi para wanita di Indonesia
khususnya, karena gaji yang didapat dari bekerja sebagai TKW bisa mencukupi
kebutuhan keluarga para TKW.
Dipekerjakannya secara
besar-besaran emigrant perempuan yang datang dari Asia, Aprika, Kepulauan
Karibia, Amerika Selatan, sebagai pekerja rumahtangga di negri-negri industri,
serta di Negri Timur Tengah penghasil minyak. Dipekerjakannya para TKW dengan
upah yang rendah membersihkan rumah, mengurus anak-anak, memasak makanan, dan
lain-lain, dalam artian melayani keluarga orang lain sementara keluarganya
sendiri ditinggalkan merupakan pilihan yang menyakitkan bagi para TKW.[55]
Namun menjadi TKW bukanlah tanpa
resiko, karena para TKW berada pada bahaya yang berhubungan dengan posisi yang
secara social dan hokum rentan. Beberapa kasus contoh kekerasan yang dialami
TKW oleh para majikannya dari mulai tidak dibayarnya upah, penyiksaan pisik,
penyiksaan psikis, tuduhan palsu oleh majikan, dan bahkan pembunuhan oleh para
majikannya.
Namun kasus-kasus tersebut tidak
lantas mengurangi minat para wanita untuk menjadi TKW di luar negri, mereka
tetap bertekad berangkat menjadi TKW dengan pembekalan keterampilan dan bahasa
tentunya walaupun mereka dibayangi oleh resiko
kekerasan yang bisa saja mereka alami di tempat mereka bekerja.
g.
HIP/Aids,
Narkoba, dan Pornografi
Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodepiency
Pirus (HIP) yang menyerang system kekebalan tubuh yang berakibat seseorang
menjadi rentan terhadap inpeksi dan kanker. Biasanya penyakit ini menyerang
dengan memanfaatkan kesempatan ketika kekebalan tubuh menurun. Pirus HIP dapat
menular melalui jarum suntik, transfuse darah, hubungan seksual, dan
sebagainya.
Mengingat penyebaran HIV/AIDS
demikian cepat, salah satu bentuk penyebarannya adalah melalui hubungan
seksual. Kontak seksual ini pada awalnya menjadi fenomena kalangan homoseksual,
namun untuk selanjutnya menyebar pula melalui hubungan hetero seksual. Salah satu
pasangan suami istri bisa tertular pirus HIV jika satu saja diantara keduanya
yang melakukan hubungan seks beresiko. Sejumlah kasus di masyarakat bahwa istri
tiba-tiba dinyatakan tertular padahal dia sebagai istri yang solehah yang tidak
pernah melakukan perbuatan zina. Penularan pirus ini disebabkan suami yang
pernah melakukan hubungan seks dengan pengidap pirus HIP. Karena itulah
perempuan dalam beberapa kasus mengalami gangguan kesehatan reproduksi sebagai
dampak bukan sebagai pelaku.
Keluarga sebagai lembaga terkecil
di masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari segala macam
bentuk penyakit. Perlindungan ini berfungsi mengembangkan dan keberlangsungan
reproduksi sehat dalam keluarga. Penyadaran kesehatan reproduksi sejak awal
harus ditanamkan dalam keluarga baik bagi anak laki-laki maupun perempuan.
Mengenali sejak dini bagi anggota keluarga akan bahaya HIV/AIDS, penyebabnya,
bentuk-bentuk penyebarannya, dan dampaknya terhadap kesehatan reproduksi,
dampak social, psikologinya, bagaimana cara menghindarinya, dan sebagainya
sangat urgent sebagai tindakan prefentif perlindungan keluarga.[56]
Narkoba adalah singkatan dari
narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain
yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
adalah Napza yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif.
Semua istilah ini, baik
"narkoba" ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa
yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut pakar kesehatan,
narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa dipakai untuk
membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit
tertentu.[butuh rujukan] Namun kini persepsi itu disalahartikan akibat
pemakaian di luar peruntukan dan dosis yang semestinya.[57]
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan, Pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis
dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi.[58]
Sedangkan W.F. Haung menyebutkan
pornografi adalah penggunaan refresentasi perempuan (tulisan, gambar, foto, pideo
dan film) dalam rangka manipulasi hasrat (desire) orang yang melihat, yang di
dalamnya berlangsung proses degradasi perempuan dalam statusnya sebagai “objek”
seksual laki-laki.[59]
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan
Terjemahnya.
Alcorn, Randy. 2002. Abortion in the Bible and Church
History.
Al-Juzairi,
Abdurrahman, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba’ah. Beirut Libanon:
Ahya al-Tardisu al-Arabi.
D Andari,
Bekti. dkk. 2005. Aborsi Dalam Perspektif Lintas Agama. Editor: Basilica
Dyah Putranti. Yogyakarta: Kerja sama Ford Foundation dan Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan Unipersitas Gadjah Mada.
Depdikbud. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta:Balai Pustaka, 1990). h. 696
Federici,
Silpia. Reproduksi dan Perjuangan Feminis dalam Pembagian Kerja
Internasional Baru, Jakarta: Kalyanamitra, 2000.
Garcia,
Abdece. Tinjauan Alkitabiah tentang Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Jakarta : Gramedia. 2008.
H
Winknjossastro, Gulardi. dkk. 2002. Aborsi dalam Fiqh Kontemporer.
Editor : Maria Ulfah A, dkk. Cetakan 1. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Fatayat NU.
Hulwati. Perempuan
Dalam Wacana Politik Islam. Jurnal Ilmiah Kajian Gender.
Komnas
Perempuan. Memecah Kebisuan Agama Mendengar Perempuan Korban kekerasan Demi
Keadilan, Respon Katolik. Jakarta: Komnas Perempuan, 2009.
Komnas
Perempuan. Memecah Kebisuan. Agama Mendengar Suara Perempuan Korban
Kekerasan Demi Keadilan. Respon Muhammadiyyah. Jakarta. Komnas Perempuan:
2009.
Marzuki, (2008)
“KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM BIDANG POLITIK PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW.
DAN MASA KHULAFAUR RASYIDIN (SUATU KAJIAN HISTORIS)”. Humaniora, 13 (1).
ISSN 1412-4009.
Meyanti, SKM,
Fransiska. Aborsi Dalam Persfektif Agama dan HAM. Depok: Percetakan UI:
2009.
Mufidah Ch,
M.Ag, Dra. Hj. Psikologi Keluarga Islam. Yogyakarta. UIN-MALANG PRESS:
2008.
Munir, Lily
Zakiyah. Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif
Islam. Bandung: Penerbit Mizan, 1999.
Putri
Nopiasih, S.Sos.H, Ni Kadek. Wanita Dalam Hindu.
Raymon, J.
Women as Wombs : The New Reproductipe Tecnologies an the Struggle for
Women’s Freedom.
San Fransisco: Harpres and Co, 1994.
Schüssler
Fiorenza, Elisabeth. Bread Not Stone: The Challenge of Feminist Biblical
Interpretation. Boston: Beacon Press, 1986.
Shihab, M.
Quraish. Perempuan. .Ciputat. Penerbit Lentera Hati: 2005.
Tanggok,
Ikhsan. Mengenal lebih dekat agama
Konghuchu di Indonesia. Jakarta:
Pelita Kebajikan, 2005.
Titib, I
Made. Agamyagamana, Salah Krama.
U Anshor,
Maria, Abdullah Ghalib. 2004. Fiqih Aborsi : Repiew Kitab Klasik dan
Kontemporer. Jakarta : Yayasan Mitra Inti, Fatayat NU, dan The Ford
Foundation.
Wijaya, Willy
Yandi. Homosexsuality and Therapada Buddhism. Yogyakarta. Pidyasena
Production: 2007.
https://afifrizqonhaqqi.wordpress.com/2013/01/27/kepemimpinan-perempuan-dalam-perspektif-agama-agama-islam-dan-kristen/
,diakses tangga; 17 September 2015, pukul 11.41.
http://relasi-gender.mywapblog.com/citra-perempuan-dalam-tradisi-yahudi.xhtml.
Diakses pada tanggal 1 Desember 2015 pukul 11:02 WIB
http://alkitab.sabda.org/resource.php?res=almanac&topic=908
diakses pada tanggal 1 Desember 2015 pukul 11:02 WIB
http://www.wanitabuddhisindonesia.org/index.php/doc/id/4diakses
pada tanggal 1 Desember 2015 pukul 11:02 WIB
http://www.spocjournal.com/filsafat/209-perempuan-dalam-teks-ajaran
khonghucu-sebuah-telaah-awal.html
diakses pada tanggal 1 Desember 2015 pukul 11:02 WIB
http://www.christiananswers.net/qeden/edn
abortioninthebible.html tanggal 2 Desember 2015 Pukul 11:00 WIB.
http://www.kompasiana.com/nopember/gay-lesbi-masuk-surga-kata-tuhan_552e5c376ea8341e548b4585
diakses pada tanggal 2 Desember 2015 pukul 10:00 WIB
http://www.pemale.com/relationship/intim/44318-homoseksual-menurut-yahudi-dulu-dan-sekarang.html
diakses pada tanggal 2 Desember 2015 pukul 10:00 WIB.
http://www.pemale.com/relationship/intim/matcont-60899-lgbt-dan-agama-7-isu-homoseksual-menurut-agama-hindu.html
diakses pada tanggal 2 Desember 2015 pukul 10:00 WIB.
BBC. 2009.
Hinduism and abortion. [online] diunduh dari http://www.bbc.co.uk/religion/
religions/hinduism/hinduethics/abortion_1.shtml pada 2 Desember 2015 Pukul
11:09.
http://suwerta86.blogspot.co.id/2012/09/pencegahan-kdrt-dalam-pandangan-hindu.html
di akses pada tanggal 4 Desember 2015 pukul 00:09 WIB.
https://dhammacitta.org/dcpedia/Rumah_Tangga_Bahagia_(Dhammananda)
di akses pada tanggal 4 Desember 2015 pukul 00:09 WIB.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4266/berapa-lama-hukuman-penjara-untuk-pelaku-kdrt di akses pada tanggal 4 Desember 2015 pukul
00:09 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba
diakses pada 17 September 2015 pukul 11:15
http://www..com/2012/05/pengertian-pornografi.html
diakses pada 17 September 2015 pukul 11:15
[1]
Pendapat ini dianut oleh kalangan Khawarij, terutama sekte al-Syabibah. Bagi
mereka asalkan berasal dari golongan dan dalam urusan pemerintahan mereka,
perempuan berhak menjadi pemimpin. Lihat al-Baghdady, al-Farq bayn al-Firaq, h, 90
[2]
Lihat ibn Qudamah, al-Mughni, jilid
XI, h, 375
[3]
Hulwati, Perempuan Dalam Wacana Politik
Islam, Jurnal Ilmiah Kajian Gender, h. 64-65.
[4] Marzuki,
(2008) “KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM
BIDANG POLITIK PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW. DAN MASA KHULAFAUR RASYIDIN (SUATU
KAJIAN HISTORIS)”. Humaniora, 13 (1). ISSN 1412-4009, h. 3-4.
[5] Hulwati,
“Perempuan Dalam Wacana Politik Islam”,
Jurnal Ilmiah Kajian Gender, h. 66.
[6]
Lily Zakiyah Munir. Memposisikan Kodrat :
Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam. (Bandung: Penerbit Mizan,
1999), h. 69-70.
[7] Lily
Zakiyah Munir, Memposisikan Kodrat :
Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Penerbit Mizan,
1999), h.70-73.
[8]
Perkataan Paulus mengenai kepemimpinan perempuan: “Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh.
Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan memerintah laki-laki; hendaklah ia
berdiam diri.” (1 Timotius 2:11-12). Kata “memerintah” pada ayat di atas, dapat
pula diterjemahkan “memiliki otoritas atau kuasa”, dalam hal ini atas pria.
Kepada jemaat di Korintus, Paulus mengulang perintah yang sama yaitu, “…
perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jemaat… Jika
mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya
di rumah ….” (1 Korintus 14:34-35). Jelas bahwa dalam Surat 1 Korintus
maupun 1 Timotius,
[9]https://afifrizqonhaqqi.wordpress.com/2013/01/27/kepemimpinan-perempuan-dalam-perspektif-agama-agama-islam-dan-kristen/
,diakses tangga; 17 September 2015, pukul 11.41.
[10]http://relasi-gender.mywapblog.com/citra-perempuan-dalam-tradisi-yahudi.xhtml. Diakses
pada tanggal 1 Desember 2015 pukul 11:02 WIB
[11] http://alkitab.sabda.org/resource.php?res=almanac&topic=908 diakses pada tanggal 1 Desember 2015 pukul
11:02 WIB
[13] http://www.wanitabuddhisindonesia.org/index.php/doc/id/4diakses pada tanggal 1 Desember 2015 pukul
11:02 WIB
[14]http://www.spocjournal.com/filsafat/209-perempuan-dalam-teks-ajaran
khonghucu-sebuah-telaah-awal.html diakses pada tanggal 1 Desember
2015 pukul 11:02 WIB
[15]
M. Quraish Shihab. Perempuan.
(Ciputat. Penerbit Lentera Hati: 2005). H. 257
[16] Maria U Anshor, Abdullah Ghalib. 2004.
Fiqih Aborsi : Repiew Kitab Klasik
dan Kontemporer. (Jakarta
: Yayasan Mitra Inti, Fatayat NU, dan The Ford Foundation).
[17] Maria
U Anshor, Abdullah Ghalib. 2004. Fiqih Aborsi : Repiew Kitab Klasik dan
Kontemporer. (Jakarta : Yayasan Mitra Inti, Fatayat NU, dan The Ford
Foundation).
[18] Gulardi H Winknjossastro, dkk. 2002.
Aborsi dalam Fiqh Kontemporer. Editor : Maria Ulfah A, dkk. (Cetakan 1.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Unipersitas Indonesia dan Fatayat NU).
[19] Alcorn, Randy. 2002. Abortion in the Bible and Church History. [online] diunduh dari http://www.christiananswers.net/qeden/edn
abortioninthebible.html tanggal 2
Desember 2015 Pukul 11:00 WIB.
[20] Bekti D Andari. dkk. 2005. Aborsi
Dalam Perspektif Lintas Agama. Editor: Basilica Dyah Putranti. (Yogyakarta:
Kerja sama Ford Foundation dan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Unipersitas
Gadjah Mada).
[21] Kel 21:22-25 ~ “Apabila ada orang berkelahi dan seorang dari mereka tertumbuk kepada
seorang perempuan yang sedang mengandung, sehingga keguguran kandungan, tetapi
tidak mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka pastilah ia didenda sebanyak
yang dikenakan oleh suami perempuan itu kepadanya, dan ia harus membayarnya
menurut putusan hakim. Tetapi jika
perempuan itu mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus
memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti
tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti
bengkak.”
[22] Yoh 9:1-3 ~ “Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak
lahirnya. Murid-muridNya bertanya
kepadaNya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang
tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?"” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan
juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di
dalam dia…”
[24] Atharpapeda X.1.29
[25] Atharpapeda X.1.29
[26] BBC. 2009. Hinduism and abortion. [online]
diunduh dari http://www.bbc.co.uk/religion/ religions/hinduism/hinduethics/abortion_1.shtml
pada 2 Desember 2015 Pukul 11:09.
[27] Yer 1:5 ~ “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal
engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau,
Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”
[28] Fransiska Meyanti, SKM. Aborsi Dalam Persfektif
Agama dan HAM. (Depok: Percetakan UI: 2009).
[29]Aborsi
menurut pandangan agama Buddha.
[online] diunduh dari http://www.indonesiaindonesia.com/f/34612-aborsi-menurutpandangan-agama-buddha pada 2 Desember 2015 Pada pukul 11:11.
[30] http://psikologiaja.blogspot.com/2011/02/sejarah-dsm.html diakses tanggal 17 September 2015, pukul 11.41.
[31] Abdurrahman
Al-Juzairi, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Arba’ah. (Beirut–
Libanon: Ahya al-Tardisu al-Arabi). h. 113.
Libanon: Ahya al-Tardisu al-Arabi). h. 113.
[33]http://www.kompasiana.com/nopember/gay-lesbi-masuk-surga-kata-tuhan_552e5c376ea8341e548b4585 diakses pada tanggal 2 Desember 2015 pukul
10:00 WIB
[34]http://www.pemale.com/relationship/intim/44318-homoseksual-menurut-yahudi-dulu-dan-sekarang.html diakses pada tanggal 2 Desember 2015 pukul
10:00 WIB.
[35]http://www.pemale.com/relationship/intim/matcont-60899-lgbt-dan-agama-7-isu-homoseksual-menurut-agama-hindu.html diakses pada tanggal 2 Desember 2015 pukul
10:00 WIB.
[36] I Made Titib. Agamyagamana, Salah
Krama. h. 12-13.
[37] Willy Yandi Wijaya. Homosexsuality and
Therapada Buddhism. (Yogyakarta. Pidyasena Production: 2007). h. 31-32.
[38] Dra. Hj. Mufidah Ch, M.Ag. Psikologi Keluarga Islam. (Yogyakarta.
UIN-MALANG PRESS: 2008). h. 267-269
[39] Dra Noordjannah Djohantini, MM., M.SI,
dkk. Memecah Kebisuan Agama Mendengar
Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan. (Jakarta: Komnas Perempuan.
2008). h. 66. Dituliskan bahwa: “...ajaran agama kerap digunakan sebagai pembenar
tindakan-tindakan yang tidak ramah terhadap perempuan, misalnya, sering
menggunakan ayat Al-Qur’an tentang pembolehan menikahi perempuan hingga empat
sebagai pijakan berpoligami, tanpa memahami konteks turunnya ahyat dan tanpa
mencari makna intrinsik ayat tersebut. Begitu juga dengan tindak pemukulan
terhadap istri dan pelarangan menolak keinginan suami berhubungan seksual yang
dikatakan sebagai perilaku yang bersumber dari Qur’an dan Hadits, tanpa
lagi-lagi memahami kualitas makna suatu kata, sebab turunnya ayat, serta
ayat-ayat lain yang mencakup pesan kesetaraan hubungan antara suami dan istri.”
[40] Dra.
Hj. Mufidah Ch, M.Ag. Psikologi Keluarga Islam. (Yogyakarta. UIN-MALANG PRESS:
2008). h. 274
[41] Dr. Paulus Budi Kleden, Dkk. Memecah Kebisuan Agama Mendengar Perempuan
Korban kekerasan Demi Keadilan, Respon Katolik. (Jakarta: Komnas Perempuan,
2009). h. 30-31
[42] Teks-teks kitab suci yang dicurigai
menjadi sumber penafsiran untuk menyubordinasi perempuan antara lain: 1 Kor 14:
33-35 (perempuan harus diam dalam Gereja), 1 Kor 11: 3-16 (kepala perempuan
adalah laki-laki), Kol 3: 18 (para istri mesti tundukkan diri pada suami
bagaikan pada Kristus), Eh 5: 22-24 (para istri harus tundukkan diri pada suami
mereka), Tit 2: 4-5 (istri mesti tunduk pada suami), 1 Tim 2: 11-15 (perempuan
harus diam: tak diperkenankan mengajar atau berkuasa atas lelaki), dan et 3:
1-6 (para istri hendaknya tunduk pada suami). Semuanya itu merupakan teks-teks
yang merendahkan martabat perempuan.
[43] Elisabeth Schüssler Fiorenza. Bread Not Stone: The Challenge of Feminist
Biblical Interpretation. (Boston: Beacon Press, 1986). h. x
[44] Dr. Paulus Budi Kleden, Dkk. Memecah Kebisuan Agama Mendengar Perempuan
Korban kekerasan Demi Keadilan, Respon Katolik. (Jakarta: Komnas Perempuan,
2009). h.. 44-46
[45] Komnas Perempuan. Memecah Kebisuan.
Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan. Respon
Muhammadiyyah. (Jakarta. Komnas Perempuan: 2009). h. 22
[46] Komnas Perempuan. Memecah Kebisuan.
Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan. Respon
Muhammadiyyah. (Jakarta. Komnas Perempuan: 2009). h. 48-49.
[47] Abdece Garcia. Tinjauan
Alkitabiah tentang Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga. (Jakarta :
Gramedia. 2008) h. 24-25
[48]http://suwerta86.blogspot.co.id/2012/09/pencegahan-kdrt-dalam-pandangan-hindu.html di akses pada tanggal 4 Desember 2015 pukul
00:09 WIB.
[49] https://dhammacitta.org/dcpedia/Rumah_Tangga_Bahagia_(Dhammananda) di akses pada tanggal 4 Desember
2015 pukul 00:09 WIB.
[50] Ikhsan Tanggok. Mengenal lebih dekat agama Konghuchu di
Indonesia. (Jakarta: Pelita
Kebajikan, 2005). h. 52.
[51] http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4266/berapa-lama-hukuman-penjara-untuk-pelaku-kdrt di
akses pada tanggal 4 Desember 2015 pukul 00:09 WIB.
[52]
J. Raymon, Women as Wombs : The New Reproductipe Tecnologies an the Struggle
for Women’s Freedom (San Fransisco: Harpres and Co, 1994), h. 145.
[53]
Silpia Federici, Reproduksi dan Perjuangan Feminis dalam Pembagian Kerja
Internasional Baru, (Jakarta: Kalyanamitra, 2000), h. 34.
[54]
Silpia Federici, Reproduksi dan Perjuangan Feminis dalam Pembagian Kerja
Internasional Baru, (Jakarta: Kalyanamitra, 2000), h. 37.
[55]
Silpia Federici. Reproduksi & Perjuangan Feminisme
Dalam Pembagian Kerja Internasional Baru. (Jakarta. Kalyanamitra: 2000). h. 32-33
[56] Dra. Hj. Mufidah Ch, M.Ag. Psikologi Keluarga Islam. (Yogyakarta.
UIN-MALANG PRESS: 2008). h. 172-174
[57] https://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba
diakses pada 17 September 2015 pukul 11:15
[58]
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
(Jakarta:Balai Pustaka, 1990). h. 696
[59]http://www..com/2012/05/pengertian-pornografi.html
diakses pada 17 September 2015 pukul 11:15, dalam blog dicantumkan bahwa
pengertian tersebut diambil dari buku Neng Djubaedah (Eds). Yang berjudul “Stop Pornografi Selamatkan Moral Bangsa”
(Jakarta: Citra Pendidikan dan Pengurus Pusat Wanita Islam, 2004), h. 51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar