Kamis, 03 Desember 2015

responding paper relasi gender dalam agama yahudi topik ke 7

Nama: oktavia damayanti
Nim: 1113032100056
            RELASI GENDER DIDALAM AGAMA YAHUDI
Isu gender menjadi agenda penting dari semua pihak karena realitas perbedaan gender yang berimplikasi pada perbedaan status, peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan ketidakadilan gender atau diskriminasi maupun penindasan. Ketidakadilan ini dapat terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik dalam wilayah domestik maupun publik, dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, ekonomi, politik, maupun pembangunan secara lebih luas. Problem ketidakadilan gender ini dalam banyak kasus menjadi isu yang cukup sensitif dan tidak mudah dipecahkan, terutama ketika terkait dengan doktrin agama, bahkan seolah-olah mendapatkan legitimasi teologis.[1]Makalah ini akan membahas mengenai bagaimana relasi gender dalam agama Yahudi.
Gender Perspektif Yahudi
Dalam tradisi Yahudi, perempuan di satu sisi digambarkan sebagai mahluk yang kuat, baik dan sopan, seperti: Batsheba sebagai perempuan yang pandai, Deborah seorang nabi perempuan, Ruth seorang yang terpandang dan Esther seorang juru selamat rakyatnya. Namun, dalam tradisi Yahudi juga ditemukan ajaran bahwa perempuan merupakan asal mula dosa dan juga melalui perempuan manusia akan mati. Laki-laki harus bekerja dan perempuan harus melahirkan dalam kesakitan. Perempuan yang sedang menstruasi dan 7 hari selebihnya dianggap kotor dan tidak suci, bahkan harus disembunyikan di goa-goa gelap atau diasingkan dan sebagainya. Perempuan yang melahirkan, 33 hari dianggap kotor apabila anaknya laki-laki. Kalau anaknya perempuan, maka masa tidak sucinya /kotornya menjadi berlipat. Jika telah selesai masa tidak sucinya, ia harus mencari pendeta untuk membuat penebusan dosa untuknya. Bahkan dalam Talmud, ada teks doa: “saya berterimakasih pada-Mu Tuhan, karena tidak menjadikanku perempuan.”[2]
Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran.
Gender dalam pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama misalnya dalam kaca mata Yahudi sarat dengan pandangan tentang Allah sebagai Bapa yang mahakuasa, suka marah, menghukum. Pandangan Allah sebagai Bapa dalam masyarakat Yahudi ini menunjuk pada dominasi laki-laki, sehingga dasar membuat pranata kehidupan juga atas dasar pandangan laki-laki. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat yang menggeser perempuan tanpa disadari oleh kaum perempuan itu sendiri. Pranata kehidupan yang dibuat atas dasar peran laki-laki dianggap sebagai suatu kebenaran. Perbedaan biologis di antara manusia menjadi objek dasar pembuatan pranata kehidupan (pandangan seksis). Kitab Kejadian, Keluaran, I Raja-raja, II Raja-raja, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Hosea, dalam Perjanjian Lama sangat sarat dengan peringatan akan penguasa sewenang-wenang yang membuat pranata kehidupan tidak manusiawi ini.[4]Dalam pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan adam diusir dari surge.[3]
Seperti halnya dalam hukum waris agama Yahudi bahwa anak laki-laki lah yang merupakan pewaris utama dari orang tuanya. Kalau anak laki-laki ini banyak maka yang tertua lah yang lebih utama, dan memperoleh warisan dua kali lipat dari bagian saudara-saudara yang lain. Sedangkan anak perempuan yang belum berumur dua belas tahun tidak berhak menerima warisan. Dalam hukum perkawinan agama Yahudi poligami diharuskan dan jumlahnya tidak dibatasi, karena tidak terdapat larangan dan batasan untuk itu. Kedudukan seorang istri atau anak perempuan berdasarkan hukum Yahudi adalah lemah sekali. Seorang wanita yang sudah dikawinkan, menjadi seolah-olah dibeli oleh suaminya dari bapaknya, dan suaminya menjadi tuannya. Ia tak ubahnya sebagai anak kecil atau burung patah sayap. Ia tak berhak membeli ataupun menjual. Semua harta bendanya menjadi milik suaminya. Istri tidak berhak memiliki apa-apa selain maskawin yang diterimakan kepadanya.  Disamping itu, kaum wanita sebagai istri wajib melakukan semua pekerjaan rumah tangga, baik yang berat maupun ringan. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan taat.[4]
Sementara dalam buku Fundamentalism and Woman in World Religions, yang diedit oleh Arvind Sharma dan Katherine K. Young, dijelaskan: As we shall see, women’s roles are a profound symbol of the extent to which Jewish societies accept—or reject—modernity and Westernization. (Seperti kita akan lihat, peran perempuan adalah simbol yang mendalam sejauh mana masyarakat Yahudi menerima atau menolak--modernitas dan westernisasi). Artinya, dalam masyarakat Yahudi kontemporer justru perempuan mendapatkan penilaian khusus dengan menjadi sebuah simbol diterima atau ditolaknya modernitas dan westernisasi.[5]
Dalam kehidupan Yahudi Kontemporer, keberadaan gender menjadi salah satu kunci penting untuk memahami peran fundamentalisme, yang berdampak pada konstruksi identitas perempuan yahudi, budaya yahudi, dan kehidupan perempuan yahudi.Contemporary social scientists assume that while certain aspect of sexuality are biologically determined, gender roles are constructed by societies.(Ilmuwan sosial kontemporer mengasumsikan bahwa sementara aspek-aspek tertentu dari seksualitas secara biologis ditentukan, peran gender yang dibangun oleh masyarakat). [6]
Pandangan Tokoh-tokoh Yahudi tentang Gender
Menurut Erich Fromm seorang Yahudi, seorang Psikoanalisis Sosial berkebangsaan Jerman yang juga merupakan anggota Partai Sosialis Amerika era 1950-an, ia menyatakan bahwa hubungan antara kaum laki-laki  dan kaum perempuan  adalah hubungan antara sebuah kelompok yang menang dan yang kalah. Di Amerika Serikat tahun 1949 hal ini dianggap lucu ketika mengatakan demikian, apalagi di zaman sekarang ini. Karena sudah jelas bisa kita lihat, kaum perempuan di kota-kota besar tentu saja tidak tampak, tidak merasa, dan tidak bertindak seperti layaknya kelompok yang kalah. Dia menambahkan kaum perempuan telah menyelesaikan emansipasinya, dan oleh sebab itu berada sejajar dengan kaum laki-laki, dan membuatnya bisa tampil.[7]
Tokoh berikutnya ialah Betty Friedan. Ia pernah mengatakan: “Jadi saya pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Di Seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi peran wanita. “
Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for Woman pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.



[1] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 161.
[2]Umi Sumbulah ( Dosen Fakultas Syari’ah UIN Malang, Sekretaris PSG UIN Malang dan Kandidat Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya). Agama dan Keadilan Gender.
[3] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. h. xxviii
[4] Ali, Mukti. Agama-agama di Dunia. h. 327-328
[5] Arvind Sharma and Katherine K. Young, Fundamentalism and Woman in World Religions. T & T Clark International. New York, 2008, hal. 77

[6] Ibid, h. 81
[7] Erich Fromm, Cinta, Seksualitas, dan Matriarki. Jalasutra. Yogyakarta dan Bandung, 2007, hal. 144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar