Nama: oktavia
damayanti
Nim: 1113032100056
RELASI
GENDER DIDALAM AGAMA YAHUDI
Isu gender menjadi agenda penting dari semua pihak karena realitas
perbedaan gender yang berimplikasi pada perbedaan status, peran dan tanggung
jawab antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan ketidakadilan gender atau
diskriminasi maupun penindasan. Ketidakadilan ini dapat terjadi di berbagai
bidang kehidupan, baik dalam wilayah domestik maupun publik, dalam bidang
pendidikan, kesehatan, keamanan, ekonomi, politik, maupun pembangunan secara
lebih luas. Problem ketidakadilan gender ini dalam banyak kasus menjadi isu
yang cukup sensitif dan tidak mudah dipecahkan, terutama ketika terkait dengan
doktrin agama, bahkan seolah-olah mendapatkan legitimasi teologis.[1]Makalah
ini akan membahas mengenai bagaimana relasi gender dalam agama Yahudi.
Gender Perspektif Yahudi
Dalam tradisi Yahudi, perempuan di satu sisi digambarkan sebagai mahluk
yang kuat, baik dan sopan, seperti: Batsheba sebagai perempuan yang pandai,
Deborah seorang nabi perempuan, Ruth seorang yang terpandang dan Esther seorang
juru selamat rakyatnya. Namun, dalam tradisi Yahudi juga ditemukan ajaran bahwa
perempuan merupakan asal mula dosa dan juga melalui perempuan manusia akan
mati. Laki-laki harus bekerja dan perempuan harus melahirkan dalam kesakitan.
Perempuan yang sedang menstruasi dan 7 hari selebihnya dianggap kotor dan tidak
suci, bahkan harus disembunyikan di goa-goa gelap atau diasingkan dan
sebagainya. Perempuan yang melahirkan, 33 hari dianggap kotor apabila anaknya
laki-laki. Kalau anaknya perempuan, maka masa tidak sucinya /kotornya menjadi
berlipat. Jika telah selesai masa tidak sucinya, ia harus mencari pendeta untuk
membuat penebusan dosa untuknya. Bahkan dalam Talmud, ada teks doa: “saya
berterimakasih pada-Mu Tuhan, karena tidak menjadikanku perempuan.”[2]
Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan
dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender.
Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu
kebenaran.
Gender dalam pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama misalnya dalam kaca
mata Yahudi sarat dengan pandangan tentang Allah sebagai Bapa yang mahakuasa,
suka marah, menghukum. Pandangan Allah sebagai Bapa dalam masyarakat Yahudi ini
menunjuk pada dominasi laki-laki, sehingga dasar membuat pranata kehidupan juga
atas dasar pandangan laki-laki. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan dalam
masyarakat yang menggeser perempuan tanpa disadari oleh kaum perempuan itu
sendiri. Pranata kehidupan yang dibuat atas dasar peran laki-laki dianggap
sebagai suatu kebenaran. Perbedaan biologis di antara manusia menjadi objek
dasar pembuatan pranata kehidupan (pandangan seksis). Kitab Kejadian, Keluaran,
I Raja-raja, II Raja-raja, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Hosea, dalam Perjanjian
Lama sangat sarat dengan peringatan akan penguasa sewenang-wenang yang membuat
pranata kehidupan tidak manusiawi ini.[4]Dalam pandangan Yahudi, martabat
perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber
laknat karena dialah yang menyebabkan adam diusir dari surge.[3]
Seperti halnya dalam hukum waris agama Yahudi bahwa anak laki-laki lah
yang merupakan pewaris utama dari orang tuanya. Kalau anak laki-laki ini banyak
maka yang tertua lah yang lebih utama, dan memperoleh warisan dua kali lipat
dari bagian saudara-saudara yang lain. Sedangkan anak perempuan yang belum
berumur dua belas tahun tidak berhak menerima warisan. Dalam hukum perkawinan
agama Yahudi poligami diharuskan dan jumlahnya tidak dibatasi, karena tidak terdapat
larangan dan batasan untuk itu. Kedudukan seorang istri atau anak perempuan
berdasarkan hukum Yahudi adalah lemah sekali. Seorang wanita yang sudah
dikawinkan, menjadi seolah-olah dibeli oleh suaminya dari bapaknya, dan
suaminya menjadi tuannya. Ia tak ubahnya sebagai anak kecil atau burung patah
sayap. Ia tak berhak membeli ataupun menjual. Semua harta bendanya menjadi
milik suaminya. Istri tidak berhak memiliki apa-apa selain maskawin yang
diterimakan kepadanya. Disamping itu, kaum wanita sebagai istri wajib
melakukan semua pekerjaan rumah tangga, baik yang berat maupun ringan.
Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan taat.[4]
Sementara dalam buku Fundamentalism and Woman in World Religions, yang
diedit oleh Arvind Sharma dan Katherine K. Young, dijelaskan: As we shall see,
women’s roles are a profound symbol of the extent to which Jewish societies
accept—or reject—modernity and Westernization. (Seperti kita akan lihat, peran
perempuan adalah simbol yang mendalam sejauh mana masyarakat Yahudi menerima
atau menolak--modernitas dan westernisasi). Artinya, dalam masyarakat Yahudi
kontemporer justru perempuan mendapatkan penilaian khusus dengan menjadi sebuah
simbol diterima atau ditolaknya modernitas dan westernisasi.[5]
Dalam kehidupan Yahudi Kontemporer, keberadaan gender menjadi salah satu
kunci penting untuk memahami peran fundamentalisme, yang berdampak pada
konstruksi identitas perempuan yahudi, budaya yahudi, dan kehidupan perempuan
yahudi.Contemporary social scientists assume that while certain aspect of
sexuality are biologically determined, gender roles are constructed by
societies.(Ilmuwan sosial kontemporer mengasumsikan bahwa sementara aspek-aspek
tertentu dari seksualitas secara biologis ditentukan, peran gender yang
dibangun oleh masyarakat). [6]
Pandangan Tokoh-tokoh Yahudi tentang Gender
Menurut Erich Fromm seorang Yahudi, seorang Psikoanalisis Sosial
berkebangsaan Jerman yang juga merupakan anggota Partai Sosialis Amerika era
1950-an, ia menyatakan bahwa hubungan antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan adalah hubungan antara sebuah kelompok yang menang dan yang
kalah. Di Amerika Serikat tahun 1949 hal ini dianggap lucu ketika mengatakan
demikian, apalagi di zaman sekarang ini. Karena sudah jelas bisa kita lihat,
kaum perempuan di kota-kota besar tentu saja tidak tampak, tidak merasa, dan tidak
bertindak seperti layaknya kelompok yang kalah. Dia menambahkan kaum perempuan
telah menyelesaikan emansipasinya, dan oleh sebab itu berada sejajar dengan
kaum laki-laki, dan membuatnya bisa tampil.[7]
Tokoh berikutnya ialah Betty Friedan. Ia pernah mengatakan: “Jadi saya
pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang
berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang
lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Di Seluruh negeri beberapa
wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres
Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi peran wanita. “
Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran
wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang
tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai
presiden pertama National Organization for Woman pada tahun 1966. Ia
menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang melarang aborsi dan
pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
[1] Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), hal. 161.
[2]Umi Sumbulah ( Dosen Fakultas Syari’ah UIN
Malang, Sekretaris PSG UIN Malang dan Kandidat Doktor IAIN Sunan Ampel
Surabaya). Agama dan Keadilan Gender.
[5] Arvind Sharma and Katherine K. Young, Fundamentalism and Woman in
World Religions. T & T Clark International. New York, 2008, hal. 77
[7] Erich Fromm, Cinta, Seksualitas, dan Matriarki. Jalasutra. Yogyakarta
dan Bandung, 2007, hal. 144
Tidak ada komentar:
Posting Komentar