Nama : FAHAD MUHAMMAD AL-FARUQ
Prodi : Perbandingan Agama / V / B
Responding paper Tofik 1
Sejarah dan Pengertian Feminisme
Ketidakadilan gender sudah berlangsung sejak berabad-abad silam,
dimana budaya patriarki sangatlah merajalela. Dari akar sejarah maka dapat dilacak
keberadaan dominasi patriarki, pada sejarah agama maka akan dapat didapatkan
catatan bahwa ketidakadilan gender sudah berlangsung, baik itu pada sejarah
Yahudi, Kristen, maupun Islam, yang mana teks tafsiran terhadap agama yang
dianggap tidak sesuai dengan keadilan karena cenderung pada diskriminasi gender
terhadap perempuan.
Dan para filsuf fun tidak ketinggalan seperti Socrates dengan
domestikasinya, Aristoteles dengan tidak setaranya antara laki-laki dan
feremfuan, Darwin dengan teori yang menyebutkan bahwa otak perempuan lebih
kecil, dan Imanuel Kant yang menyatakan bahwa wanita adalah makhluk yang
uneducable, yaitu makhluk yang tidak bisa dididik.
Maka ada abad ke
18 lahirlah gerakan-gerakan feminisme sebagai buah dari revolusi perancis
yang mengusung semangat egaliter atau persamaan
derajat. Ketika
para lelaki Eropa sibuk dengan urusan pekerjaannya, sibuk mengurisi hal-hal
diluar rumah, mengurusi pabrik-pabrik, maka perempuan hanya tinggal di dalam
rumah dan duduk manis sambil merajut/ menyulam, menunggu suaminya pulang dan
beristirahat di rumah. Hal ini berlangsung lama hingga akhirnya perempuan Eropa
merasa jenuh dan menginginkan hal yang serupa dengan laki-laki. Mereka ingin
bekerja dan menyibukkan diri di luar rumah.
Keadaan sosial di Eropa pada masa itu—Revolusi Perancis, Revolusi
Industri, Rennaisance, memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap lahirnya
gerakan perempuan yang lazim dengan sebutan gerakan feminisme. Yakni gerakan
yang menyuarakan hasrat dan tuntutan keadilan dari kaum perempuan. Sebuah teori
mengatakan bahwa feminisme sebagai sebuah ideologi pembebasan perempuan karena
semua pendekatannya terkait dengan ketidakadilan yang dialami perempuan
berdasarkan jenis kelaminnya sebagai perempuan (Maggie Humm, 1990).
Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina
atau perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada
teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh
hak-hak perempuan. Sekarang ini kepustakaan internasional mendefinisikannya
sebagai pembedaan terhadap hak hak perempuan yang didasarkan pada kesetaraan
perempuan dan laki laki. Feminisme
lahir di Eropa, dari perkumpulan perempuan terpelajar kalangan bangsawan di
Middleburg, Belanda 1785. Dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis
de Condoret. Pergerakan ini kemudian pindah ke Eropa dan berkembang
pesat.Permasalahan utama Gender adalah bahwa dalam realita sosial yang bersifat
real ini, ternyata masih juga didapati kenyataan bahwa terdapat banyak
ketidakadilan gender berupa diskriminasi, subordinasi, stereotip, bahkan
pelecehan seksual serta kekerasan dalam lingkungan keluarga atau masyarakat.
Lalu pada tahun 1990 diadakanlah konvrensi Feminisme di Ohaio
mengenai hak-hak peremfuan seperti hak untuk berpartisifasi
dalam politik dan hak untuk memilih.
Teori-teori Feminisme
Dalam hal ini tidaklah sedikit dari adanya
teori-teori feminisme, ada 5 macam bagian dari teori ini yaitu :
ü Feminism Liberal : teori ini bertumpu pada Human equality, Human
Rasionality, dan Individual
Rights. Perempuan
adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus
diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Dan juga bahwa feremfuan adalah makhluk yang rasional artinya sama
dengan laki-laki memfunyai fotensi akal. Dan feremfuan juga memfunyai hak-hak
individu sama dengan laki-laki yang harus dijaga hak-hak tersebut.
ü Feminism Radikal : Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan
terjadi akibat sistem patriarki.Tubuh perempuan merupakan objek utama
penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal
mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas
(termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan
dikotomi privat-publik.
ü
Feminisme Marxis : Aliran ini memandang masalah perempuan
dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan
berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Fada teori ini maka yang ditekankan adalah fembedaan biologis, ferbedaan
kelas antara kaum borhuis dan floretar, dan juga hubungan froduksi bahwasanya
feremfuan juga bisa bermanfaat dalam ranah froduksi industri.
ü Feminisme sosialis : Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap
feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum
kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik
kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme
sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan
perempuan.
ü Feminisme postcolonial : Dasar pandangan ini berakar dari penolakan
universalitas pengalaman perempuan. Perempuan dunia ketiga menanggung beban
penindasan lebih berat karena selain mengalami penindasan berbasis gender,
mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi
kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya
menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang,
maupun mentalitas masyarakat.
Nama : FAHAD MUHAMMAD AL-FARUQ
Prodi : Perbandingan Agama / V / B
Responding paper Topik 2
Relasi Gender Dalam Islam
Pemahaman agama berperan besar dalam konstruksi pendiskreditan perempuan,
khususnya dalam Islam. Status perempuan dalam Al-Qur’an umumnya mengambil dari
ayat-ayat tentang proses penciptaan manusia, contoh:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6Ï%u ÇÊÈ
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[1]
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.”
Maka, pada ayat pertama surat al-Nisa’ kita dapatkan, bahwa Allah
telah menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai hamba dan makhluk
Allah, yang masing- masing jika beramal sholeh, pasti akan di beri pahala
sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta dari jiwa yang satu (nafsun
wahidah), yang mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya.
Semuanya di bawah pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa
kepada-Nya (ittaqu robbakum).
Dan juga ayat
tentang posisi perempuan yang berada di belakang laki-laki:
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
Artinya: ”kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha besar.”
Dalam ayat tersebut nampak secara tekstual bahwa seolah-olah laki-lakilah
yang layak menjadi pemimpin bagi perempuan, akan tetapi semua manusia adalah
pemimpim (“Kaliah semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”). Islam mengangkat derajat manusia dan memberikan
kepercayaan yang tinggi, karena setiap manusia secara fungsional dan social
adalah pemimpin.[2]
Rasulullah memberikan gambaran yang lebih konkret, yaitu di dalam
kehidupan sehari-hari dan di dalam perkembangan budaya beliau menempatkan
laki-laki dan perempuan pada bidang tertentu, tapi masing-masing tetap berpotensi
sebagai pemimpin. Itu yang ditegaskan dalam lanjutan hadits
tadi, “Lelaki adalah pemimpin keluarga, sementara perempuan adalah pemimpin
di rumah tangga”. Ini adalah penjelasan yang berkaitan dengan perkembangan
peradaban dan budaya manusia, yang pada gilirannya menempatkan laki-laki
sebagai kepala keluarga, artintya laki-laki berfungsi sebagai suami, dan ayah
itu berarti pemimpin untuk seluruh keluarga.
Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi
antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan
perempuan memiliki derajat yang sama. Namun masalahnya terletak pada
implementasi atau operasionalisasi ajaran tersebut. Banyak factor seperti
lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat, system (termasuk system ekonomi
dan politik), serta sikap dan perilaku individual yang menentukan status kaum
perempuan dan ketimpangan gender tersebut.
Dalam pandangan mazhab. Menurut Abu Hanifah seorang perempuan
dibolehkan menjadi hakim, tetapi tidak boleh menjadi hakim dalam perkara
pidana. Sementara Imam Ath-Thabari dan aliran Dhahiriyah membolehkan seseorang
perempuan menjadi hakim dalam semua perkara, sebagaimana mereka membolehkan
kaum perempuan untuk menduduki semua jabatan selain puncak kepemimpinan negara.
Tugas dan Kewajiban suami Istri
a. Taat dan berbakti kepada suami
Ini adalah salah satu kewajiban wanita
muslimah yang senantiasa menjalankan agamanya yaitu selalu mentaati perintah
suaminya, tanpa bantahan , berbakti dan berusaha mencari keridhaan. Adapun
tokoh kisah wanita muslimah yang teladan diantaranta : Sayyidah fatimah
az-zahra yang merupakan putri Nabi Muhammad SAW dan istri dari Ali bin Abi
Thalib.
b. Berbakti kepada ibu mertua dan menghormati
keluarganya
Salah satu bentuk bakti wanita muslimah
yang cerdas dan perlakuannya yang baik terhadap suaminya adalah memuliakan,
menghormati, dan menghargai ibunya. Demikian ini karena kesadaran dan memahami
petunjuk agamanya yang mengetahui bahwa manusia yang besar haknya atas seorang
laki-laki adalah ibunya.
c. Diantara kewajiban suami
Dan inilah bentuk kewajiban suami yaitu
mengayomi dan memimpin istri dengan baik, dan kebaikan ini tidak akan tercapai
apabila suami pandai dalam mengendalikan dan memimpin keharmonisan keluarganya
d. Berusaha memperoleh kasih sayang suami dan
ridhanya
Wanita muslimah selalu berusaha untu
mendapatkan kasih sayang suaminya dan sekaligus menjaga agar suaminya selalu
bahagia dan terus- menerus memberikan keridhaan kepadanya, hidup dalam
keluasaan dan kebahagiaannya tidak dikeruhkan oleh tindakan tindakannya yang
kurang berkenan. Seperti : mengucapkan kata-kata yang tidak selayaknya di
ucapkan.
e. Tidak menyebarluaskan rahasia suami
Menyebarluaskan rahasia suami sama saja
seperti menyebarluaskan aib sendiri. Wanita muslimah yang bertakwa tidak akan
ceroboh untuk bertindak hal seperti ini. Rasulullah bersabda “sesungguhnya
orang paling buruk kedudukannya disisi Allah pada hari kiamat kelak adalah laki
laki yang menggauli istrinya, dan wanita yang menggauli suaminya kemudian salah
seorang dari keduanya menceritakan rahasia suami atau istri itu”.
f. Mendorong suami untuk berinfak di jalan
Allah
Wanita muslimah yang berada dibawah
bimbingan islam terhadap suaminya adalah dia selalu mendorong untuk
mengeluarkan infak dan sedekah serta derma di jalan Allah.
g. Senantiasa berhias untuk suami
Wanita muslimah akan berpenampilan menarik
dengan berdandan dengan berbagai macam perhiasan bagi suaminya, selalu
menyenangkan pandangan suaminya.
h. Menyambut suami dengan mesra dan
menyenangkan
Diantara sifat yang menjadikan wanita
Muslimah semakin cantik dihadapan suaminya adalah ceria, riang, ramah tamah dan
menyenangi kehidupan suami, sehingga menimbulkan keluarga yang harmonis
i. Sangat toleransi dan pemaaf
Wanita muslimah memiliki toleransi yang
sangat besar dan pemaaf atas kesalahan dan kehilafan yang dilakukan sang suami.
Tidak lagi mengingatnya dan tidak menyebutkan dari waktu ke waktu.
[1] Maksud dari padanya menurut
jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan
hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari
padanya ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang dari padanya Adam a.s.
diciptakan.
[2] Lily Zakiyah Munir, Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan
dalam Perspektif Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 69-70.
Nama : FAHAD
MUHAMMAD AL-FARUQ
Prodi : Perbandingan
Agama / V / B
Responding
paper
Topik 3
PEREMPUAN,
AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL DALAM ISLAM
a.
Kondisi Perempuan Pra Islam
Kondisi
perempuan dalam Islam bisa didapati dalam konteks sejarah peradaban kuno baik
itu pada masa peradaban Yunani kuno ataufun peradaban sungai kuning Cina.
Turunnya agama Yahudi dan Kristen, dan kebudayaan Jahiliyah. perempuan sebelum
Islam sama sekali tidak berdaya. Tradisi yunani menjadikan perempuan sebagai
harta benda yang bisa diperjualbelikan dan diwariskan. Sementara laki-laki
menguasai seluruh hak-hak yang sebenarnya milik perempuan.
Dalam
peradaban romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya.
Kekuasaan iu mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya dan membunuh.
Segala hasil usaha wanita, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki.
Peradaban hindu dan cina apalagi. Hak hidup seorang wanita yang bersuami, harus
berakhir pada saat kematian suaminya. Istri harus dibakar hidup-hidup pada saat
mayat suaminya dibakar, kadang sering dijadikan sesajen bagi apa yang mereka
namakan dewa-dewa.
Dalam
ajaran yahudi, martabat wanita samadengan pembantu.ayah berhak menjual anak
perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap
wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan adam terusir dari
surga.
Orang
jahiliyah beranggapan bahwa perempuan terlahir untuk diperbudak. Maka dari itu
banyak perempuan yang menjual dirinya, menjadi budak, dan sebagainya. Harkat
dan martabat perempuan selalu diinjak-injak, dilecehkan, dikasarkan, bengis,
seperti halnya suatu barang yang tidak ada harganya. Mereka menjual dirinya
secara terang-terangan atau sengaja membuka pintu rumah mereka agar dimasuki
laki-laki. Banyak dari mereka berharap
dari para bangsawan, agar mereka dapat keturunan bangsawan. Lalu ada juga yang
memakai jasa paramormal, jika mereka tidak mengetahui identitias ayah sang
bayi, maka akan diterawang atau dicari
ciri-cirinya yang sama persis dengan ayahnya. Perang sering terjadi di kalangan bangsa Arab antar
suku, dan yang sering menjadi tentara perang, adalah laki-laki yang notabenenya
kuat dan tangguh. Tidak seperti perempuan yang dianggap lemah, dan dianggap
tidak sanggup untuk berperang.
Hanya mereka (perempuan) yang beruntung, yang dapat tumbuh dan
berkembang hingga dewasa untuk mengambil andil dalam memperjuangkan hidupnya
atau bertahan hidup. Seperti yang kita ketahui bahwa jahiliyah merupakan masa
kegelapan, dimana orang-orang jahiliyah tidak mengenal Tuhannya, dan masih buta
akan Tauhid.
b.
Peran perempuan dalam membangun masyarakat Muslim di
masa awal Islam.
Pada masa awal Islam, baik saat Islam itu lahir maupun kemudian saat
Islam berkembang, muncul beberapa tokoh perempuan yang mempunyai peren penting.
Tokoh-tokoh tersebut tidak lain merupakan orang-orang terdekat dengan pembawa
Islam itu sendiri yaitu Rasulullah Muhammad seperti : istri, putri, dan kerabat
dekat beliau. Terutama pada masa awal di mana Islam lahir, tokoh perempuan yang
berperan merupakan istri dan putri beliau sendiri. Misalnya Khadijah dan Aisyah
yang merupakan istri Rasul, dan Fatimah yang merupakan putri beliau.
Feran
wanita fada masa awal fembangunan Islam bisa dilihat dari mulai siti Khadijah,
yang mana beliau yang menjadi felindung Rasulullah dalam menjalankan dakwahnya
dari gangguan fara kafir Quraisy. Lalu ada Asma’ binti Abi Bakr yang menjadi
fenolong Rasulullah bersama Abu Bakr di Gua Tsur.
Salah
satu aktivitas sosial yang banyak diminati kaum perempuan muslimah pada masa
awal sejarah peradaban Islam adalah bidang kependidikan dan pelayanan sosial,
untuk meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan. Sejarah mencatat peran tokoh-tokoh
wanita seperti Syifa’ bint Ubaidillah, Hafshah binti Umar bin Khatab, Karimah
bint Miqdad yang menggerakkan pemberantasan “buta huruf” di tengah masyarakat
Islam yang baru berkembang di Madinah, sehingga dalam waktu yang relatif
singkat perempuan muslimah di kota Madinah
dan sekitarnya sudah mampu membaca dan menulis, padahal ketika Rasulullah
datang di Madinah hanya ada 5 (lima) orang perempuan di sana yang bisa membaca dan menulis. Islam
telah menanamkan doktrin “semangat berbagi” (semangat yang mendorong kepedulian
untuk membantu dan menolong orang lain yang membutuhkan).
c.
Marginalisasi perempuan dalam sejarah Islam pasca
Rasulullah
Pada saat setelah Rasulullah wafat,
maka pada masa Khulafa’ al-Rashedeen feremfuan masih mempunyai peran yang sangat
fenting dalam duni Islam pada waktu itu. Terbukti dengan dipercayanya Hafsah
binti Umar bin Khatab sebagai pemegang Mushaf Al-Qur’an fada waktu itu. Dan
juga pada kancah perpolitikan ada Ummu al-Mukminin ‘Aishah yang menjadi
pemimpin dalam perang Jamal melawan kubu Ali bi Abi Thalin tatkala ada sengketa
tentang pengusutan kematian Khalifah Utsman bin ‘Affan. Ummu al-Mukminin
‘Aishah menjadi Pemimpin dari kubu Madinah yang menuntut agar para pelaku
pembunuh Utsman diungkap dan segera dilakukan Qishas. Ini membuktikan bahwa
perempuan masih dianggap setara dengan laki-laki karena bisa menjadi pemimpin
dalam perang.
Akan tetapi sesudah masuk pada masa
dinasti Umayyah, maka semangat Tribalisme Arab kembali mencuat dan menguat di kalangan
Arab maufun non Arab pada saat itu. Sehingga Ras Arab dianggap sebagai ras
nomer satu, dan ras non-Arab adalah ras rendah. Maka dari kembali munculnya semangat
Tribalisme yang semfat dihilangkan oleh Rasulullah ini muncul kembali juga rasa
Fatriarki yang melekat pada semangat Tribalisme, dan semenjak era dinasti Umayyah,
maka wanita kembali dianggap menjadi makhluk kelas dua.
Nama
: FAHAD MUHAMMAD AL-FARUQ
Prodi
: Perbandingan Agama / V / B
Responding
paper Tofik 1
Sejarah dan Pengertian Feminisme
Responding Paper Mesir, Iran, Turki
Mesir, Turki dan Iran merupakan negara yang menjadi kiblat dan arah
bagi gerakan pembaharuan di dalam dunia Islam. Dalam perkembangan sejarah,
ketiga negara tersebut banyak melahirkan tokoh-tokoh pembaharu seperti Muhammad
‘Abduh, Rashed Ridha, Murtadha Mutathahari, Imam Khumaini, Mustafa Kemal
Attaturk. Dan begitu pun dalam dunia wanita dengan bingkai gender dan
feminisme, ketiga negara ini juga banyak melahirkan tokoh-tokoh wanita dalam
gerakan feminisme dan kesetaraan gender.
Berikut adalah pemaparan tentang bagaimana pergerakan perempuan yang berada di
tiga negara Muslim, yakni Mesir, Iran dan Turki dalam hal perjuangan menegakkan
keadilan dan/atau kesetaraan bagi kaum perempuan.
1.
Mesir
Perkumpulan yang terbentuk saat itu
adalah mengenai kajian
pergerakan perempuan di Mesir (Egypt) yang dimulai tahun 1919 dan ditandai dengan munculnya aktipis
feminis yang tergabung dalam
the Egyptian Feminist Union (EFU)
dipimpin oleh Huda Sha’rawi.
Fokus perjuangannya adalah hak-hak
politik perempuan, perubahan hukum status perseorangan—perceraian, poligami, persamaan
akses pendidikan baik ditingkat lanjutan maupun perguruan tinggi, dan berbagai
pengembangan tentang kesempatan profesional bagi perempuan.
Sementara itu, pada periode
1945-1959 muncul organisasi perempuan, yaitu Bint el-Nile (Daughter
of the Nile) yang dipimpin oleh Doria Shafik. Pergerakan ini sebagai suatu
yang baru dan menyegarkan gerakan feminis, bertujuan untuk
memproklamirkan hak-hak politik secara penuh bagi perempuan.
Pergerakan perempuan mulai menyusut, dan terjadi pada masa pemerintahan
Gamal Abdul Nasser (1952-1970) ditandai dengan pengendalian ruang gerak
organisasi perempuan.
Salah
seorang tokoh perempuan yang bergerak dalam bidang politik yaitu Bothaina Kamel, dia
mencalonkan diri menjadi seorang presiden, namun pada akhirnya dia tidak
mendapatkan posisi yang diinginkan.
Pergerakan perempuan
di Mesir semakin hari semakin diakui dan mendapat tempat yang strategis,
terutama dalam ranah politik. Piagam Perempuan Mesir-pun terbentuk dalam badan
PBB, hal ini menjadi indikasi bahwa hak-hak perempuan sudah diakui dan
melembaga. Perempuan Mesir saat itu juga terlibat dalam persatuan al-Ikhwan
al-Muslimin. Salah satu tokohnya yaitu Hoda Abdel Moneim.
2.
Iran
Pada masa revolusi Iran, perempuan telah menjadi yang
terdepan dalam repolusi Islam. Perempuan dengan ruang pripatnya sebagai seorang
ibu maupun istri, telah memberikan pengaruh yang besar terhadap kemajuan repolusi.
Imam Khomeini berkata: “Seandainya kaum perempuan tidak berpartisipasi dalam
kebangkitan, repolusi Islam tidak akan Berjaya.”
Dalam perang,
transformasi politik, pawai keagamaan dan demonstrasi politis kaum perempuan
juga berperan besar. Dibidang sains, pembangunan dan berbagai persoalan sosial
kaum perempuan Iran terlihat secara intensif dan kontinyu. Berbeda dengan masa
Pahlepi, perempuan pada masa ini memiliki kesadaran yang tinggi terhadap
perjuangan perempuan.
Berkat repolusi Islam,
perempuan tergiring ke jalan yang sangat ideal. Dengan tetap mempertahankan
hijab, wibawa Islam dan kualitas ketakwaannya, perempuan tetap berjaya—dalam
bidang politik, sosial, jihad, sains dan ilmu keagamaan.
Dibandingkan 22 tahun
lalu, hak-hak perempuan Iran sekarang jauh lebih baik. Kebudayaan perempuan
Iran sangat tinggi. Sebanyak 62 persen lulusan sarjana Iran adalah perempuan.
dengan keadaan seperti ini, perempuan Iran berharap bisa sebanding dengan
laki-laki.
3.
Turki
Mustafa Kemal Attaturk, pendiri The Founder Of Modern
Turkey, melihat jilbab sebagai halangan sekularisasi dan pihaknya di dalam modernisasi Republik Turki. Visi Attaturk belum berhasil sebab
kecenderungan agama penduduk Turki, meskipun saat itu jilbab telah dilarang di
sekolah-sekolah, unipersitas dan masyarakat sipil. Lebih dari 60% dari perempuan Turki
menutupi kepala mereka dengan pilihannya. Tak hanya itu, para sekularis di
Turki juga khawatir terhadap Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang
berkuasa untuk kemudian menjadi gerakan keagamaan Islam yang berakar dan dapat
meningkatkan profil publik Islam akan jilbab. Tindakan AKP misalnya yang
didorong melalui RUU mencabut larangan selama puluhan tahun pada perempuan yang
mengenakan jilbab di unipersitas-unipersitas. Dan hal itu merupakan kekecewaan
dari pihak sekuler dan sebaliknya merupakan keberhasilan dan keuntungan bagi
kelas menengah yang tumbuh konserpatif membentuk basis politik AKP.
Konflik internal atas jilbab di
Turki menimbulkan suatu penjajaran menarik terhadap pelarangan jilbab
di Eropa. Apa artinya bila negara yang berada diperingkat kedua terbesar
mayoritas Muslim di dunia sama seperti negara-negara Eropa lainnya, di mana
umat Islam tidak hanya minoritas tetapi sering terpinggirkan?
Disebut-sebut bahwa pemakaian jilbab di Turki dilarang dengan alasan keamanan,
sebagai bentuk tindakan anti-terorisme, dan masalah terselubung dengan isu-isu
imigrasi. Di Turki, mengenakan jilbab adalah sebuah bentuk perjuangan untuk
mendefinisikan identitas. Dimana mengenai hal sosial dan politik dari
perjuangan ini yang pada akhirnya akan menentukan masa depan yang sangat
berarti bagi Turki.[1]
Perempuan Turki memakai kerudung sebagai simbol
resistensi (perlawanan) atas represi (penindasan) dan interpensi (campur
tangan) negara terhadap hak determinasi atas tubuh sendiri. Gerakan perempuan
Islam di Turki ditandai dengan aksinya melalui simbol kerudung, bahwa negara
tidak bisa menguasai perempuan. Yang menarik adalah bagaimana perempuan
menegosiasi dirinya di mata negara melalui pakaian. Mereka mulai merintis
independensi dana. Mereka hati-hati menerima dana internasional, karena mereka
tidak ingin tertolak oleh gerakan kanan hanya gara-gara kecurigaan
terhadap sumber dana.
Itulah selintas
gambaran mengenai perjuangan pergerakan perempuan yang ada di tiga negara
Islam, yakni Mesir, Iran dan Turki. Dalam pergerakannya membela hak-hak kaum
perempuan, mereka berkiprah sesuai/berdasarkan pada isu-isu atau kondisi
sosial-politik yang ada di negaranya masing-masing. Sehingga antara satu negara
dan negara lainnya—yang telah tersebut di atas, berbeda-beda namun tetap dalam
satu suara, yakni berjuang demi kebebasan hidup dan mendapatkan hak-hak dalam beragama dan bernegara.
Nama :
FAHAD MUHAMMAD AL-FARUQ
Prodi : Perbandingan Agama / P / B
Responding paper
Tofik Islam dan Kesetaraan Gender di Kalangan
masyarakat Muslim Indonesia.
A. Negara dan
Ideologi Ibuisme Masa Orde Lama dan Orde Baru
Pada masa ini dibagi pada masa pra
kemerdekaan dengan dimulainya ada gerakan perempuan sebagai gerakan nasionalis
dengan agenda isu ketidakadilan sistem kolonialisme dan perjuangan hak-hak
perempuan serta kesetaraan.
Lalu dilanjut dengan kongres
perempuan I pada tanggal 22-25 Desember 1928, dengan agenda pendidikan kaum
perempuan, yatim piatu, masalah janda, perkawinan, anak, reformasi UU
perkawinan dan kejahatan kawin paksa.
Lalu pada kongres perempuan kedua
tahun 1936 dengan penagngkatan isu women traficking, hak suara, kantor tenaga
kerja perempuan, sanitasi, dan kematian bayi.
Kongres ketiga dengan isu hak suara
perempuan dalam politik dan pada tahun 1955 diakui hak pilih perempuan dan
perempuan mendapat kursi di parlemen.
Di era Jepang, gerakan perempuan
dibubarkan dan muncul organisasi perempuan bentukan Jepang dengan nama Fujichai
Jawa Hokokai yang mengagendakan pelatihan pisik perempuan untuk menggalang
persatuan bagi jepang secara sembunyi-sembunyi.
Pada era kemerdekaan muncul kembali
organisasi perempuan dan dibentuklah KOWANI (kongres wanita indonesia) pada
tahun 1946. Di era Soekarno perempuan diakui hak politiknya dan mendapat kursi
di parlemen, disahkannya undang-undang berkeadilan gender UU 80/1985 tentang
prinsip persamaan upah bagi perempuan.
Di era soeharto lahir UU perkawinan
1974 bagi pns dimana pns tidak boleh bersitri lebih dari satu. Dan dibentuk
kementrian muda. Naum pada era orba terjadi subordinasi istri dengan istilah
ibuisme, kooptasi ormas, dan mulai muncul LSM perempuan. Baru setelah reformasi
kembali wanita mendapat hak dan kebebasan mereka dalam berbagai aspek
kehidupan.
Salah satu usaha untuk
memperjuangkan hak-hak perempuan di masa ini adalah ORNOP, ornop yaitu
Organisasi Non Pemerintah, yang amana organisasi ini adalah suatu lembaga yang
mengupayakan terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat yang
termarginalkan secara demokratis, baik dalam kehidupan ekonomi, sosial, hokum,
maupun lingkungan.
Di Indonesia gerakan ini muncul sejak tahun 1970-an, yang ditandai dengan
lahirnya YLBHI, LP3ES, Bina Desa, Bina Swadaya, YLKI, dan lain-lain.
Penggunaan istilah ornop sering dinilai dan diartikan
sebagai lawan pemerintah, sehingga ada upaya untuk menghaluskannya yaitu LSM,
Lembaga Swadaya Masyarakat. Pereduksian
ornop menjadi LSM dipandang merugikan dan rancu. Ini terbukti dengan masuknya
Dharma Wanita kedalam daftar nama LSM di Dunia yang tercantum dalam PBB,
padahal Dharma Wanita berada dibwah pemerintah.
Dimasa
tersebut gerakan dan aktipitas LSM tidak memperhatikan perspektif gender,
sehingga dalam berbagai kegiatannya kurang memperhatikan kelompok perempuan,
yang posisinya paling lemah dalam kehidupan ekkonomi, sosial, dan keadilan
hukum. Program-rogram ekonomi lebih banyak
melibatkan kaum laki-laki. Bahkan sulit mendapatkan keadilan dan
penilaian imbalan di tempat kerja.
Ornop
yang melindungi perempuan baru dimulai tahun 1980-an. Aktipis perempuan mulai
menganalisa kemiskinan di masyarakat. Hasil surpei membuktikan bahwa dalam
keluarga miskin, beban hidup perempuan lebih bera dari pada laki-laki.kita
lihat kadang-kadangperempua menangis
karena tidak tega melihat rengekan anaknya yang kelaparan akibat kemiskinan,
perempuan harus berpikir keras agar dia dapat memperoleh keuntunga hingga
akhirnya anak-anaknya dapat tercukupi.
Di
tahun 1980-an lahirlah Kalyanamitra yang melihat kemalangan posis perempuan di
sektor ekonomi. Betapa tidak adilnya hukum terhadap pelaku tindak kekerasan
terhadap perempuan di tempat kerja atau pun di rumah. Perjuangan
untuk mengembalikan hak-hak perempuan
tidaklah mudah, banyak tantangan yang dihadapi, seperti peran pemerintah. Namun
keadilan sedikit demi sedikit kian bergerak.
Awalnya
mereka melakukan penyadaran pendidikan melalui perpustakaan. Pendidikan ini
mulai dilihat oleh ornop pada tahun 1970-an yang membentuk dipisi perempuan
dilembaganya dan melakukan analisa gender di semua sektor aktipitas, dari upaya
yang hanya bersifat menyadarkan hingga
berkembang kepada gerakan adpokasi terhadap perempuan tindak kekerasan.
Menjelang
jatuhnya Soeharto, lahirlah Suara Ibu Peduli, Koalisi Perempuan, dan lain-lain.
Hal ini terjadi setelah kristalisasi dari ornop perempuan yang merasakan
perlunya bersama-sama berkoalisi untuk bahu-membahu mencapai tujuan.
Salah
satu contoh gerakan perempuan yakni Geraka Ibu Peduli yang mana mampu menggalang
partisipasi masyarakat dalam mendistribusikan kebutuhan mahasiswa disaat mereka
berdemo untuk menjatuhkan rezim Soeharto, hingga akhirnya berhasil. Di sini
terbukti bahwa perempuan yang dianggap
lemah, tetapi pada saat kritis ternyata memiliki keberanian dan mampu menyuplai
makanan untuk mahasisiwa yang berdemo yang jumlahnya ratusan ribu.
Gerakan-gerakan
perempuan sebaiknya tidak berdiri sendiri namun harus dibentuk jaringan kerja
dengan LSM lain dan pejabat pemerintah yang mempunyai keberpihakan kepada
perempuan agar cita-cita mewujudkan ak asasi perempuan cepat terwujud.
Pada
masa orde baru, bila membicarakan Darma Wanita dari referensi buku yang saya
kutif, Dharma Wanita ini lebih bersifat seremonial, rekreatif, ekslusif. Karena
Dharma Wanita ini jika suami menjadi kepala jabatan, maka sang istri otomatis
akan enjadi ketuanya, padahal bisa jadi sang ketua ini tidak memenuhi standar
kualifikasi untuk menduduki Jabatan tersebut. Tentunya kondisi ini semakin
tidak efektif karena ia tidak mampu memimpin organisasi dan tidak mampu
mengatur anggotanya, apalagi apabila ia tidak memahami ideologi gender. Dalam
Dharma Wanita seharusnya lebih mengutamakan mendiskusikan bagaimana usaha
penguatan dan pemberdayaan perempuan.
B. Peran Gerakan Perempuan Muslim dalam Memperjuangkan
Kesetaran Gender Masa Reformasi
Dalam
ormas Islam seperti Muhammadiyah, kontribusi Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah
dalam pelatakan awal keterlibatan perempuan dalam kepemimpinan, penddikan,
pelayanan sosial, kesehatan dan ruang-ruang publik lainnya juga semakin
meneguhkan pandangan bahwa terdapat akar kuat keterlibatan ormas Islam dalam
mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia.[1][3]
Apalagi meski berada dalam jaringan
struktural, kehadiran Pusat Studi Wanita (PSW) di UIN seluruh Indonesia semakin
meyakinkan bahwa usaha-usaha mewujudkan keadilan dan kesetaraan Gender telah
menjadi pisi umum dikalangan feminis Muslim Indonesia.
Selain
Muhammadiyah, NU pun turut serta dalam gerakan tersebut, yang mana secara
struktural dapat dirujuk pada keberadaan Muslimat dan Fatayat yakni dua ormas
Islam di bawah NU yang aktif menggulirkan dan memperjuangkan keadilan dan
kesetaraan Gender dalam Islam, terutama
dikalangan pesantren, dan secara non struktural dapat dirujuk pada keberadaan
program fiqh perempuan P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat)
yang dipelopori oleh Masdar F. Mas’udi dan Lies Marcoes Natsir; FK3 (Forum
Kajian Kitab Kuning) yang di pelopori oleh Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid;
LKAJ (Lembaga Kajian Agama dan Jender ) yang diketuai oleh Musdah Mulia, Rahima
(Pusat Informasi, pendidikan dan Pelatihan Hak-hak Perempuan dalam Islam) yang
diketuai oleh Farha Ciciek, Husen Muhammad, dan Syafiq Hasyim.
C. Agenda Gerakan Perempuan Muslim ke Depan
Agenda gerakan muslim kedepan, misalnya dengan cara memperingati setiap
moment Hari Ibu dan Hari Karrtini dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang
bermuatan edukatif, dan bermanfaat bagi setiap orang. Salah satu contoh
misalnya mengadakan seminar kesehatan.
Dalam kegiatan lain yang
berbeda misalnya, agenda perempuan dapat lebih ditekankan pada bidang
pendidikan, dakwah, dan sosial, hal ini karena lebih sesuai dengan jiwa dan
watak perempuan, atau pun dalam keterlibatannya di bidang hukum, walaupun banyak perbedaan antara
laki-laki dan perempuan namun secara pragmatis dapat disimpulkan bahwa yang
harus ditekankan dalam hal tersebut adalah kemampuan, bukan masalah jenis
kelamin, baik laki-laki atau pun perempuan apabila mampu maka tidak jadi
masalah dan harus di dukung.
[1][3] Jamhari Ismatu Ropi, Citra Perempuan Dalam
Islam; Pandangan Ormas Keagamaan, Gramedia Pustaka Agama, April, Jakarta: 2003,
h. 5
Nama : FAHAD MUHAMMAD AL-FARUQ
Prodi : Perbandingan Agama / V / B
Responding paper Topik:
RELASI GENDER DALAM AGAMA KRISTEN
a.
Kesetaraan Gender dalam
al-Kitab
Di dalam alkitab pada Kejadian 1:27 "Maka Allah menciptakan
manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia;
laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka" disini berarti bahwa Allah
menciptakan manusia baik perempuan dan laki-laki dengan derajat yang sama dan
menurut gambar Allah, disamping itu juga menekankan bahwa manusia itu sama
hakekat dengan Sang Pencipta. Hal ini berarti bahwa Allah menciptakan manusia
sebagai makluk yang mulia, kudus dan berakal budi, sehingga manusia bisa
berkomunikasi dengan Allah, dan layak untuk menerima mandat dari Allah untuk
menjadi pemimpin dari segala ciptaan Allah. Dari ungkapan "Segambar"
dengan Allah ini yang berarti dimiliki tidak hanya laki-laki saja akan tetapi
juga perempuan, dan keduanya mempunyai status yang sama. Oleh karena itu tidak
dibenarkan adanya diskriminasi atau dominasi dalam bentuk apapun hanya
dikarenakan perbedaan jenis kelamin.
Alkitab, yaitu pada masa hidup Yesus, diskriminasi dan dominasi
laki-laki atas perempuan masih tetap berlangsung. Ketika Yesus mulai mengangkat
tugas-Nya, Ia bersikap menentang disriminasi dan dominasi itu. Suatu ketika
pemimpin-pemimpin agama Yahudi menangkap seorang perempuan yang kedapatan
berzinah lalu dibawa kepada Yesus. Mereka minta supaya perempuan ini dihukum
rajam sesuai aturan Yahudi. Tetapi Yesus tidak peduli terhadap permintaan mereka.
Pasalnya, mereka menangkap perempuan itu tapi tidak menangkap laki-laki yang
tidur dengan dia. Yesus berkata kepada mereka: "Barangsiapa yang tidak
berdosa hendaknya ia yang pertama kali merajam perempuan ini". Tidak ada
yang berani melakukannya. Akhirnya Yesus menyuruh perempuan itu pulang dengan
nasihat supaya tidak berbuat dosa lagi (Yoh 8:2-11).
b.
Perempuan dalam Perspektif
Teologi Kristen
Laki-laki dan perempuan meskipun berbeda dalam brbagai hal, tetap
merupakan pribadi-pribadi yang mempunyai nilai yang sama. Karena keduanya
diciptakan berdasarkan “gambar” Tuhan. ajaran semacam ini, tampak pada naskh
pasca-paulus dalam Perjanjian Baru, yang mensistematisir agama Kristen
Patriarkhal. Dengan demikian, ajaran ini berlawanan dengan sistem ajaran Kristen
kerakyatan awal.
Pada gerakan kristen akhir-akhir ini, terdapat banyak aktivis dan
pemikir yang memberikan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan. Grimke
misalnya, menyatakan bahwa kelemahan wanita dalam hal intelektualitas dan
kepemimpinan bukanlah hal yang alami, namun karena adanya
penyimpangan-penyimpangan sosial. Sekali perempuan dibebeaskan dari
ketidakadilan sosial, maka ia akan mendapatkan hk dan kesempatan yang sama.
c.
Keadilan Gender Dalam Keluarga
Dalam Gambaran Gereja Katolik
Permasalahan gender dalam Katolik tidak terlepas dari konteks
tradisi dan budaya, khususnya budaya agama Yahudi. Dalam agama Yahudi,
laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan.
Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu
dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran. Begitu juga di
Indonesia, ajaran kristen tidak dapat terlepas dari budaya warga Indonesia.
Dalam Kejadian 2 disebutkan bahwa Allahg menciptakan manusia dari
bumi. Manusia yang pertama kali diciptakan adalah Adam. Kemudian dari tulang
rusuk Adam diciptakanlah Hawa. Kemudian disebutkan bahwa Adam jatuh ke dalam
dosa karena Hawa. Teks ini memunculkan pandangan bahwa perempuan adalah manusia
kedua. Perempuan juga dipandang sebagai sumber dosa. Gereja mengambil teks ini
sebagai dasar pandangan hubungan (relasi) antara laki-laki dengan perempuan.
Hubungan ini dipandang hanya berdasarkan jenis kelamin saja.
Kritik Feminis Teologi
Liberal Terhadap Doktrin Kristen
Sejak
rasionalisme berkembang menjadi sebuah aliran yang mengutamakan rasio (akal
budi) sebagai sumber ilmu pengetahuan, pengalaman menjadi tidak berdaya, karena
bagi rasionalisme sendiri rasio (akal) merupakan sumber ilmu pengetahuan yang
dapat dipercaya sehingga rasio tidak memerlukan pengalaman, karena pengalaman
hanya dapat berfungsi untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapatkan oleh
akal. Sikap skeptis terhadap pengalaman yang diagung-agungkan oleh para
penganut aliran empirisme, melahirkan keragu-raguan (skeptis) dalam diri
manusia sebagaimana diungkapkan oleh Ernest Renan. Renan, ketika berada dalam
situasi skeptis terhadap pengalaman, menulis demikian: kadang-kadang sikap
skeptis dan optimistis menghantar kita pada sebuah keyakinan bahwa kita berada
dalam kebenaran. Kebenaran sebagai hasil dari keragu-raguan manusia,
menimbulkan sebuah pertanyaan dari dalam diri manusia itu sendiri berkaitan
dengan Allah sebagai finalitas atau tujuan akhir dari iman manusia. Manusia
bertanya, adakah finalitas itu berada dalam pengalaman manusia? Renan
mengatakan bahwa finalitas itu diterima sebagai semacam hukum yang tersurat di
dalam kodrat, yang asal usulnya tidak perlu dicari dalam suatu akal, melainkan
dari dalam tuntutan-tuntutan yang ideal saja. Dengan demikian finalitas itu
bersifat imanen, maksudnya sesuatu yang tersusun dalam suatu kecenderungan buta
yang menyebabkan makhluk digerakkan menuju kepada kelestarian mereka. Keadaan
lingkungan, rintangan-rintangan dan pengalaman alam itu sendiri, telah menyebabkan
tujuan konkrit yang sama sekali tidak dikehendaki oleh suatu kecenderungan
awal. Jadi, finalitas sama sekali tidak diadakan oleh suatu akal transenden,
tetapi dibentuk secara bertahap oleh alam itu sendiri. Berkenaan dengan
finalitas sebagai tujuan akhir dari pencarian manusia, Renan tergerak untuk
menulis sebuah biografi tentang realitas kehidupan Yesus. Dalam buku itu, Renan
pertama-tama menyoroti peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam karya Yesus.
Salah satunya, Renan mengamati peristiwa mukjizat yang pernah dibuat oleh Yesus
sebagaimana diimani oleh orang-orang Kristen. Renan berpendapat, bahwa jika
mukjizat yang tertuang dalam kitab suci menjadi sumber inspirasi bagi orang
Kristen, maka metode yang kita gunakan adalah sebuah metode yang salah. Sebaliknya,
jika mukjizat menjadi sebuah inspirasi tanpa realitas, maka metode kita adalah
sebuah metode yang benar. Dengan mengatakan inspirasi tanpa sebuah realitas,
maka, sama halnya dengan mengatakan bahwa Injil adalah sebuah dongeng. Ditinjau
dari sudut pandang historis, Renan berpendapat bahwa sejarah tidak selalu
memberikan yang terbaik dalam setiap peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu,
agama hanyalah sebuah perasaan yang lahir dari pengalaman akan Allah yang tidak
ditemukan secara objektif di dalam kitab suci dan di dalam dunia. Maka,
untuk memahami peristiwa mukjizat yang dibuat oleh Yesus, kitab suci perlu
ditafsirkan secara tepat, karena secara ilmiah mukjizat itu tidak mungkin.
Yang
dimaksud oleh Renan dalam hal ini adalah bahwa setiap orang yang menjadikan
mukjizat sebagai sumber inspirasi dalam kehidupannya, ia tidak mempunyai suatu
metode yang benar, karena apa yang tertuang dalam kitab suci itu, sebenarnya
hanya merupakan sebuah ilusi belaka yang menghanyutkan manusia ke dalam
mimpi-mimpi akan sebuah realitas yang sesungguhnya tidak terjadi. Dalam hal ini
teologi liberal mencoba memisahkan iman dari akal dan pengalaman. Friedrich
Schleiermacher (1768-1834) seorang pendiri teologi liberal mengatakan, bahwa
kitab suci hanyalah sebuah endapan pengalaman manusiawi daripada pewahyuan
ilahi. Dengan kata lain, Schleiermacher mengatakan bahwa segala apa yang
tertulis di dalam kitab suci termasuk mukjizat hanya sebuah rekaman pengalaman
manusia. Jadi, Yesus dalam kehidupan umat kristiani hanya merupakan sebuah
contoh. Misi yang Dia bawa bukan untuk menyelamatkan umat manusia melainkan
dengan kematian-Nya, Ia membangkitkan kesadaran manusia akan Allah dan
memanggil mereka untuk menjalankan kehidupan moral yang baik dan benar.[28]
Gerakan Reformasi
Sosial Keagaman dalam Kesetaraan Gender abad-20
Asumsi
kaum feminis bahwa peran dan tugas perempuan yang dilimitasi oleh budaya
patriarki adalah omong kosong dan tuduhan yang sangat berlebihan. Sehingga atas
alasan itu mereka berupaya keras untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang
seolah-olah tertindas. Tuntutan untuk memberikan peran hingga setidaknya 30% di
ruang publik bagi perempuan adalah propaganda untuk mejustifikasi adanya
penindasan terhadap perempuan. Padahal, naiknya Megawati menjadi presiden
Republik Indonesia tempo hari adalah satu bukti bahwa peran perempuan di negara
ini bukanlah obyek penindasan sebagaimana dituduhkan. Juga di Thailand, India,
Philipina dan Pakistan serta negara-negara di Asia Tenggara tidaklah seburuk
yang dituduhkan oleh kaum feminis sebagai negara yang tidak memberikan peran
bagi perempuan di ruang publik. Kalaupun ada persoalan-persoalan yang
menyangkut perempuan, titik soalnya bukanlah pada kebijakan-kebijakan publik
yang mendiskriminasi peran perempuan.
Agama
tidak pernah memasung keberdayaan perempuan dalam perannya di ruang publik. Hal
ini dibuktikan dalam sejarah merebut kemerdekaan tempo dulu. Peran perempuan di
ruang publik tidaklah sedikit. Ambil saja sebagai contoh Cut Nyak Dien,
Laksamana Malahayati, RA Dewi Sartika, RA Kartini, dll. perjuangan dan
kepahlawanan mereka sudah dianggap setara dengan kaum lelaki. Kaum perempuan
saat itu tidaklah sibuk memperjuangkan hak-haknya sebagai perempuan. Tetapi
mereka ikut serta bersama kaum lelaki untuk meneriakkan pekik kemerdekaan
karena tanahnya telah dijajah. Nasionalisme perempuan dengan nasionalisme kaum
lelaki tidaklah berbeda, yakni sama-sama berjuang mengusir penjajah dari tanah
airnya. Bukan sibuk mengurusi hak-haknya sebagai perempuan yang seolah-olah
dijajah kaum lelaki. Namun demikian, peran perempuan bagi rumah tangganya pun
tidak bisa dianggap sepele. Tetap saja punya porsi yang sama sebagai seorang
perempuan yang memiliki keberdayaan. Asumsi peran perempuan di dalam rumah
tangga sebagai yang tertindas adalah propaganda picisan yang hanya memandang
bahwa keberdayaan perempuan hanya berada di ruang publik. Karena itu, tuntutan
yang dipaksakan agar perempuan punya peran di ruang publik sampai ditarget
hingga 30% adalah pandangan ortodoks. Agama sebagai embrio lahirnya budaya
tidaklah mengamanahkan agar kaum perempuan menjadi lemah tak berdaya. Bahwa
budaya yang sepertinya mendisposisi peran perempuan bukanlah semata-mata
bertujuan mendiskriminasinya, tetapi justru menghormati dan menyayangi
perempuan sebagaimana diamanahkan di dalam teks-teks agama. Itupun sangat
berkaitan erat dengan kodrat biologisnya, bukan pada peran dan tanggung jawab
sosialnya.
Nama : FAHAD
MUHAMMAD AL-FARUQ
Prodi :
Perbandingan Agama / P / B
Responding
paper Tofik:
RELASI GENDER DI DALAM AGAMA YAHUDI
Wanita dalam agama Yahudi sebelum direkonstruksi oleh para gerakan feminis
sangatlah berada dalam diskriminasi dan kerendahan sosial dari semenjak perkembangan
awal agama Yahudi sampai pada abad 18 oleh Moses seorang pembaharu Yahudi dalam
bidang:
a. Pemikiran keagamaan atau rasionalisasi agama.
b. Gerakan emansipasi yang dipengaruhi oleh repolusi Francis.
c. Gerakan reformasi meliputi: reformasi hukum-hukum keagamaan, pendirian
sekolah dan lembaga pendidikan bagi perempuan oleh Issac Meyer, dibolehkannya
Rabbi perempuan.
Dan pada abad ke 19-20 dilakukan reinterpretasi Talmud di dalam bidang
hukum perkawinan, perceraian, hak waris yang sebelumnya mendiskriminasi perempuan
oleh teks-teks misoginis.
Citra Perempuan dalam Tradisi Yahudi.
Perempuan di masa Yahudi satu sisi dipandang sebagai sosok yang lembut,
baik dan sopan. Namun di sisi lain perempuan dianggap sebagai asal mula dosa
dan penyebab kematian. Dalam hukum pernikahan Yahudi tak ada batasan poligami
bagi laki-laki. Seorang perempuan boleh diperjual-belikan oleh laki-laki baik
ayah ataupun suaminya.
Perempuan wajib melakukan pekerjaan rumah tangga baik yang berat maupun
yang ringan. Perempuan yang sudah menikah juga tidak berhak mendapat harta
apapun kecuali maskawin yang diberikan suaminya. Mereka juga dianggap kotor
dengan mengeluarkan darah haid dan mereka harus diasingkan.
Bahkan perempuan mendapat diskriminasi dalam hal waris dimana perempuan
mendapat bagian paling kecil dalam pembagian harta warisan. Bahkan perempuan
yang belum berumur dua belas tahun tidak boleh mendapat harta warisan.
Teologi Feminis dan Rekonstruksi Peran Perempuan
dalam Kehidupan Masyarakat Yahudi
Peran perempuan dalam
Yudaisme tradisional telah terlalu disalahpahami. Posisi perempuan dipahami
dipandang rendah dalam Yudaisme oleh orang-orang yang berpikir modern, padahal
posisi perempuan dalam halakhah (hukum Yahudi) sangat berpengaruh pada periode
al-kitabiah, di abad ke-20 M, justru banyak pemimpin wanita penting dari orang
Yahudi (misalnya, Gloria Steinem dan Betty Friedan) dan beberapa komentator
telah menyarankan bahwa ini bukan kebetulan atau yang pertama kali,
penghormatan yang diberikan kepada perempuan dalam tradisi Yahudi adalah bagian
dari etnis budaya Yahudi. dalam Yudaisme tradisional, perempuan sebagian besar
dipandang sebagai bagian yang terpisah namun setara kewajiban dan tanggung
jawab wanita berbeda dari pria, tapi tidak kalah pentingnya (pada kenyataannya,
dalam beberapa hal, tanggung jawab perempuan dianggap lebih penting, seperti
yang akan kita bahas). dalam Yudaisme, tidak seperti dalam Kekristenan
tradisional, Adonay belum pernah dilihat sebagai eksklusif laki-laki atau
perempuan Yudaisme selalu menjaga ajaran bahwa Tuhan lebih berkualitas sifat
maskulin dan feminin-Nya salah satu rapi Khasid menjelaskan, bahwa Adonay tidak
memiliki tubuh, tidak berkelamin, maka gagasan bahwa Adonay adalah laki-laki
atau perempuan yang terang-terangan tidak masuk akal baik laki-laki maupun
perempuan diciptakan menurut gambar Adonay menurut sebagian besar ahli Yahudi,
"manusia" diciptakan (Beresyit 1: 27) dengan dual gender, dan
kemudian dipisahkan ke dalam laki-laki dan perempuan. Menurut Yahudi
tradisional, perempuan dikaruniai tingkat yang lebih besar "binah"nya
(intuisi, pemahaman, dan kecerdasan) daripada laki-laki, repi'im menyimpulkan
dari kenyataan bahwa wanita itu "dibangun" (Beresyit 2: 22) bukan
"dibentuk" (Beresyit 2: 7), dan Ibrani akar dari
"membangun" mempunyai konsonan yang sama seperti kata "binah.
telah dikatakan bahwa matriarkh (Sarah, Rebecca, Rakhel, dan Leah) yang
menentukan patriark (Aprah'am, Yitskhaq, dan Ya'aqop) dalam nubuatan perempuan
juga tidak ikut serta dalam penyembahan berhala di masa lalu.
Perempuan memiliki
kehormatan memegang posisi dalam Yudaisme sejak zaman nepi'im Miriam dianggap
salah satu pembebas dari B'nay Yisyra'el, bersama dengan saudara-saudaranya
Mosyeh dan Aharon. salah satu Hakim-hakim adalah seorang wanita sekaligus napi'ah
(Deporah) 7 dari 55 napi di dalam al-Kitab adalah wanita (lihat bagian para napi).
Selain itu, tertera dalam Sepuluh Perintah Adonay adalah menghormati ibu dan ayah,
perhatikan bahwa ayah datang pertama di dalam Kitab Syemot 20: 12, tapi ibu
datang pertama dalam Kitab Lepi 19: 3, dan banyak sumber-sumber tradisional
menunjukkan bahwa pembalikan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kedua
orang tua sama-sama berhak untuk menghormati dan dihormati. namun tidak dapat
dipungkiri, bagaimanapun juga, Talmud juga memiliki banyak hal-hal negatif
tentang perempuan berbagai tulisan misynah di berbagai traktat menggambarkan
perempuan sebagai makhluk yang malas, iri, sombong dan rakus, rentan terhadap
gosip, dan sangat rentan terhadap hal gaib dan sihir namun perlu dicatat bahwa
Talmud juga telah mengatakan hal-hal negatif tentang laki-laki, sering
menggambarkan laki-laki sebagai sangat rentan terhadap nafsu dan hasrat seksual
terlarang (zina dan penyimpangan seksual).
Nama : FAHAD MUHAMMAD AL-FARUQ
Prodi : Perbandingan Agama / V / B
Responding paper Topik:
Relasi
gender di dalam Agama Hindu dan Buddha
Kesetaraan merupakan keadaan yang menunjukkan adanya tingkatan yang sama,
kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu
sama lain. Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai mahkluk Tuhan
memiliki tingkat atau kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan yang sama
itu bersumber dari pandangan bahwa semua manusia tanpa dibedakan adalah diciptakan
dengan kedudukan yang sama, yaitu sebagai makhluk mulia dan tinggi derajatnya
dibanding makhluk lain.
Pengertian gender dalam agama Hindu merupakan hubungan sosial yang
membedakan perilaku antara perempuan secara proposional menyangkut moral, etika,
dan budaya, bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan diharapkan untuk
berperan dan bertindak sesuai ketentuan sosial, moral, etika, dan budaya di
mana mereka berada. Ada yang pantas dikerjakan oleh laki-laki ditinjau dari
sudut sosial, moral, dan budaya, tetapi tidak pantas dikerjakan oleh
perempuan,demikian pula sebaliknya. Sesuai ajaran agama hindu, gender bukan
merupakan perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan. agama hindu
mengajarkan bahwa seluruh umat manusia di perlakukan sama di hadapan tuhan
sesuai dengan dharma baktinya.
Tetapi disisi lain perlu kita juga perlu menyadari bahwa pada
dasarnya kita mengenal ada 4 kasta di agama Hindu yang dapat memicu adanya
sikap bias gender, diantaranya adalah:
1. Kasta Brahmana merupakan kasta tertinggi ,bertugas menjalankan
upacara-upacara keagamaan. Adapun yang termasuk kasta ini adalah para brahmana.
2. Kasta Ksatria bertugas menjalankan pemerintahan yang termasuk
kasta ini adalah para raja, bangsawan, dan prajurit.
3. Kasta Waisya
kasta dari golongan pekerja ,seperti para petani dan pedagang.
4. Kasta Sudra merupakan kasta kasta yang paling rendah seperti
rakyat biasa (pekerja kasar).
Dalam Hindu, gerakan keadilan dan kesetaraan semestinya diaplikasikan, di
implementasikan dalam kehidupan sehari-hari yang dibarengi dengan budaya dan
tradisi yang bermoral yang berdasarkan Dharma. Tradisi-tradisi yang tidak
bersesuaian dengan kaidah agama hendaknya mulai dikikis perlahan-lahan menuju
kearah kaidah agama yang hakiki, sebab tidak ada sedikit pun ruang gerak
manusia yang terlepas dari hukum agama yang diyakini. Sedangkan kalau Relasi
Gender dalam agama Buddha Kondisi masyarakat India pada masa pra-Buddha
diwarnai oleh perlakuan yang diskriminatif atas kasta dan gender. Salah satu ajaran
Brahmanisme yang sangat seksis mengatakan bahwa hanya keturunan laki-laki yang
berhak melaksanakan ritual penyucian pada saat upacara kematian orang tua
mereka (baca = ayah), dan akan mengangkat ayah mereka masuk ke alam surga.
Perempuan tidak berhak dan diyakini tidak memiliki kemampuan untuk
menyelamatkan orang tua mereka. Dalam situasi demikian, Buddha hadir
membawa pembaharuan. Kasta dihapuskan, perempuan diberi hak dan kesempatan yang
hampir sama dengan laki-laki dalam menjalani kehidupan religius maupun sosial.
Totalitas sikap Buddha yang adil gender ialah didirikannya Sangha
Bhikkhuni atau komunitas perempuan yang menjalani hidup suci secara
selibat. Perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan atas jalan
hidupnya sendiri: menjadi perumah-tangga biasa, atau meninggalkan peran
tradisional tersebut dan hidup sebagai bhikkhuni.
Buddha Gautama telah mewujudkan keadilan gender yang hampir setara, yang
pada konteks jaman tersebut merupakan hal yang sangat radikal. Pembaharuan yang
dibawa oleh Buddha tersebut bertolak dari Hukum Karma yang diajarkannya:
Kemuliaan seseorang tidak berasal pada kelahirannya yang berjenis kelamin atau
dari keturunan (kasta) tertentu, melainkan ditentukan oleh perbuatan yang
dilakukan. Ritual-ritual persembahan atau pengorbanan tidak dapat menyucikan
batin dan membebaskan seseorang dari samsara; oleh karenanya, salah satu
keyakinan yang mendiskreditkan perempuan karena dianggap tidak dapat menyucikan
orang tuanya setelah mereka meninggal adalah tidak benar. Buddha menegaskan
potensi pencapaian spiritual yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan asal
tekun melatih diri dengan menyempurnakan: Sila (moralitas), Samadhi
(konsentrasi), dan Pañña (kebijaksanaan).
Tidak ada bias gender atau seksisme dalam “ajaran Buddha yang fundamental
dan universal”. Setelah Buddha mangkat (Parinibbana), status perempuan
mengalami kemerosotan lagi. Perkembangan Buddhisme belakangan, terutama sejak
munculnya sekte-sekte, telah melahirkan pandangan-pandangan negatif terhadap
perempuan yang bertentangan dengan semangat ajaran Buddha yang egaliter.
Pendapat lain mengklaim bahwa sifat non-egaliter dalam agama Buddha muncul
karena pengaruh Hindu dan Konfusianisme, serta kepercayaan-kepercayaan lokal
yang patrtiarkis di mana agama Buddha berkembang.
Sebenarnya kesetaraan gender dalam perspektif Buddha merupakan reaksi dari
penolakan terhadap 4 kasta yang telah disebutkan diatas sehingga
Kepincangan-kepincangan dalam memersepsi gender yang berkembang harus
diluruskan dengan sikap dan cara yang bijak. Kekerasan dalam rumah-tangga yang
antara lain dipicu oleh perasaan superior laki-laki terhadap perempuan,
orang-tua (bisa ayah atau ibu) terhadap anak, majikan terhadap pegawai/pembantu
salah satunya disebabkan oleh adanya persepsi yang salah tentang gender. Pihak
yang merasa lebih berkuasa/kuat bisa menekan pihak yang lebih lemah. Setiap
orang perlu menyadari sepenuhnya bahwa semua orang, bahkan semua makhluk
mendambakan kebahagiaan. Jika seseorang tidak ingin terluka atau disakiti,
hendaknya ia juga tidak menyakiti atau melukai pihak lain. Ajaran Buddha
tentang Metta (cinta kasih) dan Karuna (belas kasihan) mencegah manusia untuk
menyakiti makhluk lain. Merubah cara berpikir yang memusatkan pada diri sendiri
dengan siap-siaga memberikan pertolongan dan menciptakan kebahagiaan bagi pihak
lain akan mengurangi rasa tidak puas dan bisa mensyukuri apa yang telah
dimiliki.
Nama : FAHAD MUHAMMAD AL-FARUQ
Prodi : Perbandingan Agama / V / B
Responding paper Topik:
RELASI GENDER DALAM AGAMA KHONGHUCU
Untuk memahami bagaimana agama
Khonghucu berbicara tentang perempuan, maka wajib pula mengetahui sejarahnya,
sejak dari awal dan perkembangannya sampai disempurnakan. Agama Khonghucu
istilah aslinya disebut Ji Kau, atau agama Ji, yang berarti agama bagi Yang
Lembut Hati, yang terbimbing, yang terpelajar dalam ajaran suci.
Agama ini mempunyai masa
perkembangan yang sangat panjang sebelum memiliki bentuknya seperti yang
sekarang, sehingga meliputi kurun waktu 2068 tahun. Maka dari itu, kitab suci
agama Khonghucu ini terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yang dinamai
Ngo King atau Kitab Suci Yang Lima yang berasal dari zaman para Nabi sebelum
lahir Nabi Khongcu, yang merupakan kitab yang mendasari mengenai keimanan,
peribadahan dalam agama Khonghucu. Kelompok kedua dinamai SU SI atau Kitab Yang
Empat, yang langsung berasal dari Nabi Khongcu dan murid-murdinya sampai kepada
Bingcu, merupakan Kitab Suci Yang Pokok.
Diceritakan bahwa sebelum masa
kelahiran Nabi Khongcu, seorang lelaki apalagi seorang raja pada zaman itu
seakan-akan berhak mempunyai seorang istri sah dengan beberapa orang selir.
Sing Jien (Nabi Khongcu), sejak kecil
tepatnya ketika berusia tiga tahun, telah kehilangan ayahandanya, sehingga
pendidikannya semata-mata tergantung pada ibunda dan nenek luarnya. Ternyata
ibu Tien Cai seorang yang teguh iman dan bijaksana untuk merawat, membimbing
dan mendidik anaknya sebaik-baiknya. Hal ini berdampak pada kehidupan Khongcu
selanjutnya. Beliau begitu menghormati perempuan, sehingga pada akhir hayatnya
hanya beristri seorang perempuan saja.
Kedudukan
Perempuan dalam Hubungan Perkawinan
Di dalam kitab Sanjak (Shi-Ching,
bagian Chiang Chung-tsu, Sanjak 3, berjudul “Menjinjing Busana”), terdapat
sanjak yang memperlihatkan bagaimana seorang perempuan berupaya mempertahankan
martabatnya di hadapan laki-laki. Begini bunyinya, “Chung, kekasihku yang
terhormat, kumohon janganlah bertindak
demikian, melompat masuk ke kebunku, hingga mematahkan dahan pohon
cendanaku. Kerusakan itu dapat kuabaikan, tetapi bila ada seorang sekitar
mengetahui perbuatanmu itu, mereka akan bertanya, ‘Gerangan apakah yang membawa
pemuda itu ke sana?’, kata-kata mereka inilah yang kukhawatirkan. Engkau, Chung
mendapat jantung-hatiku; tetapi umpatcaci merekalah yang akan mencemarkan
daku.” Sanjak ini menunjukkan kepada kita bahwa meskipun perempuan
bebas-merdeka pada zaman itu, tetapi mereka tidak menyetujui percintaan bebas
tanpa batas-batas kesusilaan.
Nabi Khongcu sangat menaruh hormat
pada perempuan, khususnya terhadap Lembaga Perkawinan, seperti dapat kita ikuti
pada teks berikut.
Di dalam Kitab Sanjak tertulis,
“Keselarasan hidup bersama anak istri itu laksana alat musik yang ditabuh
harmonis. Kerukunan di antara kakak dan adik itu membangun damai dan bahagia.
Maka demikianlah hendaknya engkau berbuat di dalam rumah tanggamu,
bahagiakanlah istri dan anak-anakmu.”
Di dalam kitab Tengah Sempurna, ditegaskan
bahwa. “Jalan Suci seorang Kuncu pada dasarnya terdapat dalam hati tiap pria
dan perempuan dan pada puncaknya meliputi di mana pun diantara langit dan
bumi.”
Dari beberapa teks di atas, terlihat
jelas dikehendaki terpeliharanya hubungan yang harmonis antara suami-istri,
sesama saudara tidak memandang gender, sehingga dapat dibangun kehidupan sosial
yang saling menghargai peranan satu sama lain, mengingat manusia diciptakan
oleh Tuhan Yang Maha Esa di dunia ini memiliki arti dan fungsinya masing-masing.
Penghormatan Nabi Khonghucu terhadap
kedudukan perempuan tersebut mempunyai dampak yang luas sekali baik dalam
kehidupan politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya seperti diceritakan
dalam teks-teks, dapat dikatakan sampai Dinasti Chou Timur (770-225 SM) masih
bebas, tidak mengalami kekangan dan mempunyai kedudukan yang terhormat.
Peranan
Perempuan dalam Kehidupan Politik
Di dalam Kitab Bingcu, diceritakan
pada zaman Raja Bu (pendiri Dinasti Chou 1122-255 SM), di antara sepuluh orang
menteri yang cakap terdapat seorang perempuan. Hal ini menunjukkan sesungguhnya
dalam bidang pendidikan, kualitas pendidikan yang diberikan baik kepada
laki-laki maupun perempuan tidak terdapat pembedaan, sehingga memungkinkan
perempuan menduduki tempat terhormat.
Pada zaman Dinasti Tang (618-907
SM), tersebutlah seorang kaisar yang bijaksana dan didampingi seorang permasuri
yang bijaksana pula.
Kedudukan
Perempuan dalam Pendidikan
Menurut Kitab Lee Ki (Catatan
Kesusilaan), Bab Peraturan Dalam, perempuan dan laki-laki secara terpisah
menerima pendidikan. Sejak mulai dapat berbicara, “logat dan perhiasan” yang
dipakai tidak sama. Pada umur enam, diajarkan angka dan nama tempat, pada umur
tujuh tahun diajarkan khasiat dan manfaat bahan-bahan makanan, pada umur
sepuluh, laki-laki harus keluar belajar, sedangkan perempuan tetap tinggal di
dalam rumah belajar berbicara sopan santun, etiket menenun, menjahit, memasak,
bersembahyang dan lain-lain hingga berusia lima belas tahun. Hanya tempat
penerimaan saja yang berbeda, tetapi kualitas pendidikan sama. Di sini nampak
sudah adanya emansipasi dalam pendidikan.
Kedudukan
Perempuan dalam Ekonomi dan Sosial
Di dalam Kitab Shi-Ching (Sanjak) melukiskan
teladan utama perempuan dalam memelihara ulat sutera, dan membikin benang
sutera dan mempunyai pengaruh besar dalam pertanian, kehutanan dan perikanan.
Diperkirakan di zaman kuno itu, barangkali pertanian dan perdagangan berada di
tangan perempuan. Bentuk pembagian kerja “pria berburu, wanita bercocok tanam”,
menenun sutera dan berniaga dan pada Dinasti Ch’ou berubah menjadi “pria
bercocok tanam, wanita menenun”.
Dalam pengurusan harta keluarga,
seorang istri dimintakan peran aktifnya agar jangan sampai terjadi pemborosan,
seperti diungkapkan ayat berikut “Di dalam mengatur rumah tangga tidak berani
berlaku sewenang-wenang kepada para pembantu dan pelayan, apalagi kepada istri
dan anak-anaknya. Maka, mereka mendapatkan simpati orang, demikianlah mereka
mengabdi kepada orang tua masing-masing.”
Sejak zaman Chun Chiu (722-481 SM)
di dalam kemargaan, perempuan dianggap tidak berwenang menurun-temurunkan nama
keluarganya. Nampaknya hal ini terkait dengan peran yang harus dimainkan
laki-laki sebagai kepala keluarga.
Dalam rangka membenarkan nama-nama,
ajaran Khonhucu mengajarkan lima hubungan sosial, yang dinamakan Ngo Lun, yaitu
hubungan antara raja dengan menteri, ayah dengan anak, kakak dengan adik, suami
dengan istri, dan antara seorang individu dengan individu lainnya. Dalam
prakteknya, kelima hubungan sosial ini hendaknya didasarkan pada cinta kasih
sebagai pencerminan dari rasa kasih sayang dengan mengindahkan nilai
sopan-santun.
Secara garis besar, di dalam ajaran
Khonghucu tidak mengenal adanya diskriminasi perempuan. Dan manakala di dalam
naskah-naskah yang terkait dengan ajaran Khonghucu dijumpai wacana-wacana yang
bernada anti perempuan, kesemuanya itu adalah bukan berasal dari Ajaran
Khonghucu dan boleh jadi karena emosi dan egoisme pada cendekiawan laki-laki
pada waktu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar