Responding Paper “Islam dan Gender”
Khilda Fauzia
1112034000194
A.
Gerakan
Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender di Mesir
Perempuan di Mesir menjadi pencetus bagi
perjuanangan feminis tidak hanya di Negara mereka sendiri, tetapi juga di sepanjang
wilayah timur tengah. Bahkan perempuan Mesir-lah yang, misalnya, memprakarsai
pembatalan kewajiban cadar pada awal abad ke-12, diawali oleh penanggalan cadar
Huda Shaarawi dan Saiza Nabarawi di stasiun kereta api Kairo setelah kembali
dari sebuah konferensi feminis internasional, dan mereka mendeklasarikan
“keinginan perempuan untuk mengakhiri pemisahan antara laki-laki dan perempuan
serta pengekagan atas perempuan di rumah”. Perempuan Mesir menyebut diri mereka
sebagai kelompok feminis pada 1923 dengan membentuk Persatuan Feminis Mesir
(EFU).[1]
Di Mesir terdapat beberapa tokoh
pembaharuan, di antaranya adalah Qasim Amin, Zainab al-Fawwas, dan Zainab
al-Ghazali al-Zubaili. Berikut pembahasan tentang kedua tokoh tersebut.
1. Qasim Amin
Qasim Amin adalah salah satu tokoh feminis
muslim yang pertama kali memunculkan gagasan tentang emansipasi wanita muslim
melalui karya-karyanya. Qasim Amin memunculkan gagasannya didasari oleh
keterbelakangan umat Islam yang menurutnya disebabkan salah satunya oleh persepsi
dan perlakuan yang salah terhadap wanita. Ada empat pemikiran Qasim Amin yang
akan kita bahas, yaitu hijab, perkawinan, poligami, dan perceraian.
Hijab
Hijab adalah cara berpakaian bagi wanita
dengan menutup seluruh tubuh disertai dengan cadar.[2] Penutupan ini karena anggapan aurat wanita
seluruh tubuh tidak terkecuali muka dan telapak tangan. Selain dari
itu wanita harus dipisahkan dalam pergaulan, karena anggapan umum di Mesir waktu itu wanita adalah pembawa fitnah dan penggoda
pria.
Kata hijab dalam pembahasan ini tercakup di
dalamnya menutup tubuh dengan pakaian dan mengurung diri dari masyarakat. Dalam
bahasa Indonesia biasa disebut “dipingit”. Dalam hal ini Qasim Amin bukan
menolak sama sekali konsep hijab, sebagai salah satu tata kesopanan yang perlu
dilestarikan. Menurut Qasim Amin, hijab yang berlaku di Mesir (pingitan
perempuan) tidak sesuai dengan syariat Islam. Ia menilai hijab seperti itu
telah melampaui batas, sehingga dapat menghambat pembinaan potensi umat
manusia.[3]
Berdasarkan komparasi antara Barat dan
Timur, khususnya Mesir, Qasim Amin menilai bahwa Barat telah melampaui batas
kemanusiaan dalam hal membuka aurat, sementara di Timur (Mesir) terjadi
sebaliknya. Kaum wanita Mesir pada dasarnya baru dipingit dan apabila keluar
rumah mereka harus berpakaian dengan menutup seluruh tubuh tidak terkecuali
muka dan telapak tangan, sehingga wanita merupakan barang simpanan yang tidak
memeroleh kesempatan untuk mengembangkan akal pikiran dan perasaan yang
dimilikinya secara fitrah.[4]
Keadaan sekarang sudah jauh berbeda dengan
suasana yang terjadi 20 tahun silam. Perbedaan zaman tersebut menghendaki agar
hijab (pingitan) yang dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat Mesir
sedikit demi sedikit akan hilang dengan sendirinya.[5]
Menurut Qasim Amin, hijab tidak perlu
dipertahankan karena tidak ada nash yang mewajibkan hijab. Cara hijab yang
berlaku di Mesir hanyalah sebuah tradisi yang lahir sebagai interaksi pergaulan
antara bangsa yang kemudian dinilai baik dan diambil sebagai pakaian islami. Padahal,
agama tidak menghendaki demikian. Hal itulah yang membuat Qasim Amin terpanggil
untuk menilai kembali tradisi tersebut.[6] Dengan berpedoman kepada surat an-Nur
ayat 30, ia mengatakan bahwa ayat tersebut membolehkan wanita menampakkan
sebagian anggota tubuhnya dihadapan ajnabi, hanya saja Alquran tidak menyatakan
secara jelas bagian-bagian yang boleh ditampakkan itu. Menurut beliau, ulama
mazhab empat sepakat mengatakan bahwa bagian tubuh yang tidak diharuskan
menutupnya adalah muka dan telapak tangan. Pendapat ini sesuai dengan Hadis
yang diriwayatkan ‘Aisyah:
Nabi
mengatakan kepada Asma binti Abi Bakr, ketika ia memakai pakaian tipis, “Wanita
yang sudah dewasa tidak boleh menampakkan badannya kecuali ini dan ini.” Nabi
menunjuk kepada muka dan dua telapak tangan.[7]
Selanjutnya
Qasim Amin mengatakan, niqab dan burqu tidak termasuk ajaran Islam, bukan aspek
ibadah dan bukan pula aspek kesopanan. Tetapi ia merupakan tradisi lama yang
telah ada sejak sebelum Islam. Oleh karena itu tradisi ini tidak dikenal di
beberapa negara Islam lainnya. Islam menyuruh umatnya menutup dada dengan
khimar, bukan memakai burqu atau niqab.[8]
Pakaian yang
menutup muka bagi wanita memisahkan diri dari pergaulan dan mengurung diri di
rumah saja, dan itu melambangkan keterbelakangannya serta membuat wanita tidak
dapat bergerak sesuai kewanitaannya. Gal itu bisa membawa rasa rendah diri
wanita dalam masyarakat.
Perkawinan
Kemudian
Qasim Amin lebih mengkhususkan perhatiannya dalam masalah perkawinan, karena
lembaga inilah yang menyatukan dua jenis insan yang berbeda dan pergaulannya
nanti melebihi dari bentuk pergaulan apa pun. Tidak ada hubungan lain yang
memberikan kemungkinan pergaulan serapat perkawinan. Bahkan hanya melalui
perkawinanlah bisa berubah yang sebelumnya haram menjadi halal, dosa menjadi
pahala, dan maksiat menjadi ibadah.
Menurut
Qasim Amin, urusan pendidikan saja tidak akan ada artinya bila tidak diberi
perhatian yang kuat bagi perkawinan, yang menyangkut dengan sejumlah aturan
hukum dan adat kebiasaan yang berlaku. Dalam hal ini Qasim Amin melihat dari
cara memilih jodoh, di mana wanita diperlakukan sebagai barang atau benda mati,
tidak boleh menentukan pilihan. Kebiasaan demikian tidak saja diterima oleh
masyarakat awam, bahkan didukung oleh pendapat ulama fiqh umumnya. Kekeliruan
ini semakin kentara sewaktu menganalisis definisi perkawinan yang terdapat
dalam kitab-kitab fiqh. Sebagai contoh, dikemukakan bahwa nikah adalah aqd
yamlik bihi al-rajul budh’a al-marat (sebuah transaksi yang membuat laki-laki dapat
menikmati kehormatan wanita).[9]
Menurut Qasim Amin, definisi tersebut menggambarkan bahwa suatu perkawinan
hanya terletak pada kewanitaannya secara biologis, tidak tergambar tujuan yang
lebih bermakna yang ingin dicapai dalam suatu perkawinan. Padahal, tujuan
perkawinan menurut Islam ialah ditegakkan atas dasar mawaddah wa-rahmah, hal
itu sesuai dengan maksud surat ar-Rum ayat 21.[10]
Pembinaan kasih
sayang yang dimaksud oleh ayat tersebut tidak akan
terwujud apabila suami-istri tidak saling mencintai, hormatmenghormati, dan
sayang-menyayangi.
Itulah
sebabnya, dalam memilih jodoh, menurut Qasim Amin, sepanjang
tidak melanggar ketentuan agama, supaya mereka diberi kelonggaran
terlebih dahulu, mencari kecocokan sebelum melaksanakan
perkawinan. Jangan hendaknya wanita dipaksa menerima
lamaran pria atau lamaran tersebut diterima oleh orangtuanya
tanpa persetujuan dari yang bersangkutan.
Jadi dalam
hal ini Qasim Amin ingin merombak kebiasaan Mesir dalam penetapan jodoh yang
dimonopoli oleh satu pihak saja. Maka wanita mesti punya hak yang sama dalam
menentukan siapa yang akan menjadi suaminya. Cara ini baru bisa diterima akal
dan akan berakibat pula terjadinya rasa kasih sayang yang hakiki. Keluarga yang
memulai perkawinan dengan rasa kasih sayang itu akan kelihatan seperti di
sorga. Qasim Amin mengatakan hal itu sambil mengutip ucapan Umar, “Pemberian
yang terbaik bagi seorang manusia selain iman adalah wanita salehah.”[11]
Poligami
Poligami ialah
beristri lebih dari satu orang. Kebiasaan ini telah ada sebelum
lahirnya Islam. Islam datang membawa peraturan untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya praktik poligami. Meluasnya praktik
poligami pada suatu bangsa, menurut Qasim Amin, dapat dipandang
sebagai merosotnya harkat dan martabat wanita dalam pandangan
bangsa tersebut. Sejarah menunjukkan bahwa semakin tinggi
martabat kaum wanita, semakin turun frekuensi praktik poligami.
Namun poligami itu sendiri tidak pernah hapus sama sekali, agaknya
problem ini semakin berkepanjangan.[12]
Poligami di
samping tidak sesuai dengan perasaan wanita, juga tidak sesuai dengan prinsip
yang terkandung dalam Alquran. Poligami merupakan penghinaan yang menyakitkan
kaum wanita. Tidak ada seorang wanita pun yang merelakan suaminya bercumbu
dengan wanita lain, sebagaimana seorang suami tidak merelakan orang lain
mencintai istrinya. Poligami hanya sebagai ajang pertikaian dan sumber
perpecahan di kalangan anak-anak yang dilahirkan.[13]
Walaupun ada
ayat yang sepertinya membolehkan poligami, tetapi dikaitkan dengan berlaku
adil. Jika seorang suami tidak bisa berlaku adil dalam menghadapi istri lebih
dari satu, maka wajib baginya membatasi diri dengan beristri satu. Hal ini
sesuai dengan maksud surat an-Nisa’ ayat 3. Kemudian dalam surat yang sama ayat
129, Allah menegaskan bahwa manusia tidak mampu berlaku adil dalam berpoligami,
kendatipun sangat ingin berlaku demikian.[14]
Hal ini
jelas bahwa Islam menganut prinsip monogami, bukan poligami. Ditambahkannya
bahwa jika ada orang yang berpandangan poligami itu haram, maka pandanga
tersebut tidak jauh dari maksud kedua ayat di atas, jika saja sunnah Rasulullah
tidak menunjukkan kebolehannya.
Pandangan
Qasim Amin tentang praktik poligami sebenarnya tidak terlepas kaitannya dengan
ide menempatkan wanita pada posisi yang mulia. Beliau dapat menerima pandangan
hukum tentang kebolehan poligami dalam keadaan tertentu, seperti si istri
mengidap penyakit yang membuat ia tidak mampu melaksanakan kewajibannya sebagai
istri atau ia mandul, tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu, menurutnya,
tidak terdapat dalam Islam hal yang membolehkan poligami. Dan ia mengatakan
bahwa dalam setiap keadaan, monogami adalah lebih baik. Sakitnya istri bukan
kehendak istri itu sendiri, dan dengan demikian dipandang tidak etis kalau hal
itu dijadikan alasan berpoligami. Praktik poligami secara sosiologis dapat
membawa rendahnya martabat wanita dalam masyarakat, dan secara psikologis tidak
ada wanita yang siap menerima kehadiran wanita lain di samping suaminya.
Perceraian
Perceraian
adalah memutuskan ikatan perkawinan. Islam membolehkan perceraian walaupun
pelakunya sangat dimurkai. Hal ini mengisyaratkan bahwa perceraian harus
dihindari sedapat mungkin, kecuali jalan damai tidak mungkin ditempuh lagi.
Dalam
masalah ini Qasim Amin mengkritik para fuqaha yang seolah-olah memberi jalan
luas bagi terjadinya talaq, seperti dilihat bahwa pembahasan fiqh lebih
menekankan pada teknis pelaksanaan sah-tidaknya talaq tanpa memerhatikan aspek
sosiologis dan aspek keadilan.[15]
Oleh karena itu, sebagai ahli hukum Qasim Amin ingin meninjau kembali sistem
perceraian yang tidak adil menurutnya itu.
Talaq hanya
dibenarkan dalam keadaan tertentu saja. Ini didasarkan kepada beberapa dalil,
baik Alquran[16]
maupun Sunah.[17]
Selain itu, ia mengatakan bahwa talaq yang dijatuhkan baru dianggap sah apabila
diucapkan di hadapan dua saksi. Ini berdasarkan Alquran surat Talaq: 2.
Lebih lanjut
dalam masalah ini Qasim Amin menyarankan kepada pemerintah sebagai berikut:
Wanita harus diberi hak minta cerai dan setiap perceraian perlu dihadapkan
kepada qadhi yang dihadiri oleh dua saksi. Sebelum qadhi memutuskan cerai,
lebih dahulu harus diusahakan agar perceraian tidak terjadi dengan memberi
nasihat kepada suami-istri, kemudian diberi kesempatan berpikir selama satu
minggu. Apabila yang bersangkutan tetap bertahan untuk bercerai, qadhi
membentuk satu tim pendamai antara keluarga dari kedua belah pihak. Bila hal
demikian juga gagal, maka suami dibolehkan menjatuhkan talaq dengan syarat di
hadapan qadhi dan dua saksi serta harus ada bukti tertulis.[18]
Usul ini sangat baik ditetapkan untuk mencegah kesemena-menaan menjatuhkan
talaq tanpa melihat akibat lebih jauh bagi keluarga dan anak-anak.
2. Zainab al-Fawwas
Dia adalah seorang perempuan terpelajar autodidak Lebanon yang lahir
pada decade 1850-an. Dia tumbuh di sebuah desa tak dikenal hingga menjadi
seorang fugr terkenal di lingkaran intelektual Lebanon dan Mesir, yang
memadukan dalam dirinya perkawinan yang terencana dan pengembangan diri yang
disiplin.
Akan tetapi, karena Zainab tidak pernah keluar dari harem, mengadopsi
kehidupan terpingitnya ke dalam sebuah drama menjadi sangat sulit. Dari dalam
haremnya, satu-satunya yang dapat dilakukan Zainab adalah mengisi kolom-kolom
media Arab dengan artikel-artikel dan puisi-puisi yang menyuarakan kebenciannya
pada hijab dan mengecam pengucilan perempuan. Keduanya, paparannya, merupakan
kendala utama bagi bangkitnya kebebasan kaum Muslim, dan juga menjelaskan
lemahnya perlawanan menghadapi tentara colonial Barat.[19]
3. Zainab al-Ghazali al-Zubaili
Zainab al-Ghazali al-Zubaili adalah perempuan yang sangat luar biasa.
Tokoh wanita Mesur dan pelopor gerakan perempuan Islam. Untuk memperjuangkan
persamaan hak kaum wanita, yang saat itu tindakan zalim pemerintah Mesir
terjadi di mana-mana.
Pada tahun 1936, ketika itu usia Zainab al-Ghazali 18 tahun, ia
mendirikan Asosiasi Wanita Muslim, untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan kaum
perempuan yang sesuai norma-norma Islam dan ditujukan untuk
kepentingan-kepentingan Islam. Ia juga aktif di organisasi persatuan kelompok
Feminis Mesir, yang dibentuk oleh Huda al-Sharawi tahun 1923. Namun tak lama ia
kemudian mengundurkan diri dari organisasi itu karena bersebrangan pendapat
mengenai perjuangan menuntut kesetaraan.
Zainab al-Ghazali al-Zubaili banyak dipengaruhi oleh pendiri Ikhwanul
Muslimin, Syaikh Hasan al-Banna. Ia memegang teguh padangannya bahwa tidak ada
konflik antara agama dan politik. Ia adalah orang yang lantang mempertahankan
syari’ah dan kerap menghadapi masalah dengan rezim Mesir saat itu.
B.
Gerakan
Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender di Iran
Gerakan menuntut kesetaraan gender juga terjadi di
Iran. Tokoh yang berperan dalam hal ini adalah Imam Khomeini. Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran juga
tercatat sebagai ulama besar yang memposisikan perempuan di tempat yang layak.
Beliau sangat menghormati kaum perempuan dan senantiasa menekankan peran besar
mereka di keluarga dan masyarakat. Wajar memang karena salah satu hasil besar
Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini adalah mengubah pandangan
dan sikap masyarakat terhadap perempuan.
Dalam
pandangan agama, ajaran Ilahi membantu manusia untuk menggapai akhlak mulia dan
mengangkat derajat mereka. Al-Quran menilai seluruh manusia memiliki kemuliaan
secara fitrah, karena manusia baik itu pria atau wanita adalah pilihan Tuhan.
Ayatullah Khomeini mengakui bahwa perempuan memilki kehormatan dan menilainya
sebagai ayat Tuhan serta indikasi kasih sayang Allah Swt. Imam Khomeini
berpendapat bahwa di berbagai zaman termasuk era jahiliyah dan pemerintahan
rezim Pahlevi di Iran, kehormatan perempuan telah dilupakan dan terbukalah
peluang kezaliman terhadap kaum Hawa.
Poin
penting dan patut direnungkan serta yang kerap ditekankan dalam pandangan Imam
Khomeini terkait posisi manusiawi perempuan adalah kaum Hawa harus disadarkan
terkait peran sejati mereka. Imam Khomeini menilai posisi perempuan harus
sesuai dengan kapasitasnya termasuk posisi sebagai ibu, istri dan anak. Dalam
pandangan Imam Khomeini, perempuan sebagai ibu adalah pendidik masyarakat dan
keberuntungan atau kehancuran sebuah negara sangat tergantung pada kinerja para
ibu. Imam memandang posisi ibu sebagai simbol rahmat dan kasih sayang Ilahi.
Imam
Khomeini sangat menekankan posisi perempuan sebagai seorang ibu. Beliau
berkata, "Posisi dan cakupan ibu lebih luas dari sekolah di mana anak
dididik di sana. Apa yang didengar oleh seorang anak dari ibu lain dari yang
mereka dengar dari guru.." Pendiri Republik Islam Iran meyakini seorang
anak lebih baik perkembangannya ketika dididik oleh ibu dari pada ayah.
Imam
Khomeini juga mengisyaratkan saat-saat sulit seorang ibu ketika mengandung,
melahirkan dan menyusui. Selanjutnya ketika ibu harus berkorban banyak untuk
melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Imam Khomeini menegaskan, penderitaan
yang dirasakan seorang ibu tidak mungkin dapat ditanggung oleh seorang ayah
meskipun hanya satu malam.
Dalam hal
ini Imam Khomeini mengisyaratkan hadis indah dari Rasulullah Saw yang
menyebutkan, "Surga di bawah telapak kaki para ibu." Wajar mengingat
peran pendidik ibu terhadap anak maka hubungan ibu dan anak harus tetap
dipertahankan, karena dampak dari dipisahkannya anak dari ibunya akan
memunculkan kendala besar bagi keluarga dan masyarakat.
Kemenangan
Revolusi Islam Iran membuktikan bahwa muslimah dalam kapasitasnya sebagai
manusia dan sesuai dengan cita-citanya mampu melakukan kewajibannya. Imam
menilai hak menentukan nasib sendiri bukan saja hak dari setiap perempuan,
namun menjadi kawajiban agama mereka. Imam juga menyebutnya sebagai pelaksanaan
kewajiban agama. Terkait hal ini, Imam Khomeini mengatakan, "Perempuan
bukan berada di pinggir sebuah masyarakat, namun ia merupakan poros dari sebuah
masyarakat. Tak diragukan lagi bahwa perempuan juga sama seperti pria memiliki
hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan mempertanggung jawabkan setiap
perbuatannya."
Imam
Khomeini senantiasa meyakini bahwa perempuan sama seperti pria harus terlibat
dalam menentukan nasibnya sendiri termasuk dalam pemilu, urusan politik dan
aktivitas sosial. Kaum Hawa harus terlibat aktif dalam berbagai masalah
tersebut. Tak diragukan lagi, salah satu peluang partisipasi luas adalah
masalah membangun negara dan masyarakat serta isu ini tidak mungkin terealisasi
tanpa melibatkan kaum perempuan.
Sama seperti
masyarakat Iran sebelum revolusi, dikarenakan tidak adanya partisipasi
perempuan dan laki-laki yang mumpuni, maka masyarakat ini mengalami kemunduran.
Terkait hal ini Imam Khomeini mengatakan, "Seluruh rakyat Iran baik itu
pria atau wanita harus membangun negara yang rusak. Negara tidak mungkin dapat
diperbaiki jika hanya mengandalkan kaum pria. Pria dan wanita harus bergandeng
tangan membangun negara yang rusak ini. Wanita pemberani menjadi mitra kaum
pria dalam membangun Iran sama seperti mereka membangun diri di bidang sains
dan budaya."
Salah satu
pentas peran sosial perempuan dalam pandangan agama adalah partisipasi penting
mereka di bidang budaya. Imam Khomeini terkait hal ini menandaskan,
"Kalian menyadari bahwa kebudayaan Islam selama ini terzalimi. Dalam kurun
waktu terakhir, bahkan sejak kebangkitan Nabi dan setelah umat ini ditinggal
oleh beliau hingga saat ini, budaya Islam senantiasa terzalimi. Syariat Islam
terzalimi. Budaya ini harus dibangkitkan kembali dan kalian para perempuan sama
seperti kaum pria memiliki tanggung jawab dalam hal ini. Seperti kaum pria yang
aktif di bidang sains dan budaya, kalian para perempuan juga harus aktif."
Islam
sangat menekankan tanggung jawab seluruh umat muslim. Pria maupun wanita
sama-sama memiliki tanggung jawab syar'i untuk aktif memantau perkembangan di
masyarakat muslim dan apa yang terjadi di struktur pemerintahan Islam. Imam
Khomeini menyebut hal ini sebagai persyaratan bagi kemajuan dan keberhasilan
sebuah negara. Imam Khomeini berkata, "Perempuan harus menyadari dirinya
bertanggung jawab dalam mengawasi berbagai perkara. Pria dan wanita harus
terlibat dalam masalah sosial dan politik... Mereka harus memantau parlemen dan
kinerja pemerintah. Mereka juga harus berani mengemukakan pendapatnya."
Perang yang
dipaksakan oleh rezim terguling Irak, Saddam Husein kepada Iran ternyata
membuka peluang bagi perempuan Iran yang penuh pengorbanan untuk mementaskan
keimanan dan nilai-nilai tinggi kemanusiaan mereka dalam bentuknya yang
terbaik. Imam meyakini tugas membela masyarakat berada di pundak kaum pria dan
wanita Iran. Beliau berkata, "Semoga hal ini tidak terjadi, jika
pemerintahan Islam diserang maka seluruh rakyat baik pria maupun wanita harus
bergerak. Kewajiban mempertahankan negara bukan hanya berada di pundak kaum
pria atau hanya menjadi kewajiban segelintir orang. Seluruh rakyat harus
mempertahankan negara."
Salah satu
wacana yang saat ini tidak dipahami dengan benar adalah isu kebebasan. Kini
dengan dalih kebebasan perempuan, kaum Hawa dijauhkan dari nilai kemanusiaan
dan dibelenggu dengan materi. Hasilnya adalah munculnya berbagai kendala dan
krisis, rusaknya moral dan maraknya kriminal serta kejahatan yang kita saksikan
di masyarakat Barat.
Namun dalam
pandangan Islam, salah satu keunggulan manusia adalah kebebasan yang dibarengi
dengan rasa tanggung jawab. Dengan demikian manusia dapat menentukan nasibnya
sendiri dan menyaksikan dampak dari perbuatan baik atau buruk dirinya. Menurut
Imam Khomeini arti sebenarnya dari kebebasan yang dimiliki perempuan adalah
perempuan dengan mempertahankan ajaran agama dan nilai-nilai kemanusiaan mampu
memainkan peran konstruktif di masyarakat dan negara.
Dalam
pandangan Imam Khomeini kebebasan perempuan bukan berarti ia berhias diri dan
menghadiri berbagai acara, namun beliau menilai kemampuan perempuan di bidang
sains dan budaya sebagai kebebasan sejati kaum Hawa. Dalam hal ini Imam
Khomeini mengatakan, "Saat ini perempuan di Republik Islam Iran menjadi
mitra kaum pria dalam upaya membangun diri dan negara. Ini adalah arti sejati
bagi kebebasan pria dan wanita."
Dari
seluruh pandangan Imam Khomeini tentang perempuan dapat disimpulkan bahwa
perempuan adalah poros dan bagian inti keluarga serta sama seperti kaum pria,
mereka mampu aktif di berbagai bidang sosial dan memainkan peran signifikan.
Namun perbedaan ada antara peran pria dan wanita adalah perbedaan yang wajar
dan alami serta telah diperhitungkan. Karena perempuan berbeda dengan pria.
Perempuan adalah makhluk yang penuh kasih sayang dan lembut serta sensitif. Dan
peran utama mereka adalah menjadi ibu dan istri serta pendidik yang baik bagi
generasi mendatang.[20]
Mengenai hak-hak wanita, menurut Imam Khomeini wanita harus memiliki hak-hak kemanusiawian yang sesuai
dengan realitasnya. Terkadang hak yang didapat oleh laki-laki tak bisa didapat
oleh wanita atau terkadang bisa diraih tapi dalam bentuk yang tidak sempurna
atau hanya sebagian saja. Hal ini sama dengan intimidasi hak dan bertentangan
dengan kemanusiaan serta hukum Tuhan.
Imam di
dalam hal “persamaan” antara pria dan wanita mengatakan:
“Islam
memiliki pandangan khusus terhadap wanita. Islam pertama muncul di jazirah Arab
dimana wanita pada masa itu seperti barang dagangan dan perbedaan status yang
sangan jauh dengan lelaki. Akan tetapi Islam datang untuk menghapus itu semua
dan Islam datang untuk “menyamakan”mereka dengan laki-laki”. Beliau menambahkan
juga, “wanita dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam menentukan masa
depannya dan kami ingin wanita sampai pada kedudukan yang tinggi dan wanita
harus mampu untuk itu”.
Pada
wawancara surat kabar Belanda dalam menjawab pertanyaan koresponden.
“Apa
hak-hak wanita di dalam Negara Islam?”
Imam
mengatakan:
“Dari sisi
hak kemanusiaan (sisi insaniyyah nya) tidak ada beda antara hak lelaki dan
wanita, karena dua-duanya adalah manusia dan mereka memiliki hak dalam
menentukan masa depannya masing-masing. Dan sebagian hal yang berbeda dari
mereka tidak ada hubungan dengan sisi kemanusiaannya.”
“Berusahalah
dalam meraih ilmu dan ketaqwaan, karena ilmu adalah milik bersama tanpa
pengecualian. Sekarang para wanita menjadi partner dalam belajar atau hal
lainnya di dalam semua bidang ilmu pengetahuan begitu juga industri.”
“Apakah
wanita bisa sampai pada tahap ijtihad? Dan apa peranan wanita di dalam negara
Islam?”
Beliau
menjawab:
“Ada
kemungkinan wanita sampai pada tahap ijtihad tapi tidak bisa menjadi marja’
taqlid untuk orang lain. Di dalam aturan Islam wanita memiliki hak yang sama
dengan lelaki seperti hak belajar, mengajar, bekerja, kepemilikan, hak memilih,
hak dipilih, sehingga di setiap bidang, dimana lelaki memiliki hak untuk itu
wanita pun memilikinya.”
“Wanita
juga memiliki hak berpolitik dan inilah tugas mereka. Seluruh wanita dan
laki-laki harus masuk dalam masalah sosial, politik bahkan harus menjadi pemantau
perkembangan politik yang ada, dan tidak hanya itu mereka juga di tuntut untuk
menyumbangkan ide-ide mereka.”
“Sekarang
wanita harus melaksanakan tugas sosial dan agama mereka dan menjaga kehormatan
umum dan di bawah kehormatan tersebut mereka melakukan urusan sosial dan
politiknya.”
“Wanita di
dalam urusan sosial politiknya harus menjadi partner para lelaki, dengan syarat
menjaga hal-hal yang telah di atur dalam Islam.”
Pandangan
Imam tentang Karir dan Pekerjaan.
“Provokasi
jahat sedemikian rupa menyalahartikan kebebasan wanita sehingga mereka
menyangka Islam datang hanya memerintahkan wanita diam di rumah saja”
Kenapa kita
mesti menentang kalau wanita belajar? Kenapa kita mesti menentang kalau wanita
bekerja? Apakah wanita tidak mampu melakukan pekerjaan kenegaraan?”
“Seluruh
aktifitasnya ada di dalam ikhtiyar mereka, mereka bebas menentukan masa
depannya”
Menjadi
jelaslah bahwa Islam menempatkan wanita dalam kedudukan yang tinggi sama dengan
laki-laki. Dari sisi insaniyyah-nya wanita dan laki-laki adalah sama, tidak ada
penghalang dikarenakan perbedaannya dalam meraih kedudukan yang tinggi disi
Allah. Di dalam Islam kita telah mengenal Sayyidah Fatimah Azzahra (putri
Rasulullah) yang membela dan mendampingi perjuangan Ayahnya, Sayyidah Maryam yang
dengan kelembutannya menjaga sang kekasih Allah, Isa Almasih, juga Sayyidah
Asiah (istri Firaun) yang dengan kesabarannya bisa terjaga dari pengaruh buruk
Firaun.[21]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar