Senin, 07 Desember 2015



Responding Paper “Islam dan Gender”
Khilda Fauzia
1112034000194
A.    Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender  di Mesir
Perempuan di Mesir menjadi pencetus bagi perjuanangan feminis tidak hanya di Negara mereka sendiri, tetapi juga di sepanjang wilayah timur tengah. Bahkan perempuan Mesir-lah yang, misalnya, memprakarsai pembatalan kewajiban cadar pada awal abad ke-12, diawali oleh penanggalan cadar Huda Shaarawi dan Saiza Nabarawi di stasiun kereta api Kairo setelah kembali dari sebuah konferensi feminis internasional, dan mereka mendeklasarikan “keinginan perempuan untuk mengakhiri pemisahan antara laki-laki dan perempuan serta pengekagan atas perempuan di rumah”. Perempuan Mesir menyebut diri mereka sebagai kelompok feminis pada 1923 dengan membentuk Persatuan Feminis Mesir (EFU).[1]
Di Mesir terdapat beberapa tokoh pembaharuan, di antaranya adalah Qasim Amin, Zainab al-Fawwas, dan Zainab al-Ghazali al-Zubaili. Berikut pembahasan tentang kedua tokoh tersebut.
1.      Qasim Amin
Qasim Amin adalah salah satu tokoh feminis muslim yang pertama kali memunculkan gagasan tentang emansipasi wanita muslim melalui karya-karyanya. Qasim Amin memunculkan gagasannya didasari oleh keterbelakangan umat Islam yang menurutnya disebabkan salah satunya oleh persepsi dan perlakuan yang salah terhadap wanita. Ada empat pemikiran Qasim Amin yang akan kita bahas, yaitu hijab, perkawinan, poligami, dan perceraian.
Hijab
Hijab adalah cara berpakaian bagi wanita dengan menutup seluruh tubuh disertai dengan cadar.[2] Penutupan ini karena anggapan aurat wanita seluruh tubuh tidak terkecuali muka dan telapak tangan. Selain dari itu wanita harus dipisahkan dalam pergaulan, karena anggapan  umum di Mesir waktu itu wanita adalah pembawa fitnah dan penggoda pria.
Kata hijab dalam pembahasan ini tercakup di dalamnya menutup tubuh dengan pakaian dan mengurung diri dari masyarakat. Dalam bahasa Indonesia biasa disebut “dipingit”. Dalam hal ini Qasim Amin bukan menolak sama sekali konsep hijab, sebagai salah satu tata kesopanan yang perlu dilestarikan. Menurut Qasim Amin, hijab yang berlaku di Mesir (pingitan perempuan) tidak sesuai dengan syariat Islam. Ia menilai hijab seperti itu telah melampaui batas, sehingga dapat menghambat pembinaan potensi umat manusia.[3]
Berdasarkan komparasi antara Barat dan Timur, khususnya Mesir, Qasim Amin menilai bahwa Barat telah melampaui batas kemanusiaan dalam hal membuka aurat, sementara di Timur (Mesir) terjadi sebaliknya. Kaum wanita Mesir pada dasarnya baru dipingit dan apabila keluar rumah mereka harus berpakaian dengan menutup seluruh tubuh tidak terkecuali muka dan telapak tangan, sehingga wanita merupakan barang simpanan yang tidak memeroleh kesempatan untuk mengembangkan akal pikiran dan perasaan yang dimilikinya secara fitrah.[4]
Keadaan sekarang sudah jauh berbeda dengan suasana yang terjadi 20 tahun silam. Perbedaan zaman tersebut menghendaki agar hijab (pingitan) yang dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat Mesir sedikit demi sedikit akan hilang dengan sendirinya.[5]
Menurut Qasim Amin, hijab tidak perlu dipertahankan karena tidak ada nash yang mewajibkan hijab. Cara hijab yang berlaku di Mesir hanyalah sebuah tradisi yang lahir sebagai interaksi pergaulan antara bangsa yang kemudian dinilai baik dan diambil sebagai pakaian islami. Padahal, agama tidak menghendaki demikian. Hal itulah yang membuat Qasim Amin terpanggil untuk menilai kembali tradisi tersebut.[6]       Dengan berpedoman kepada surat an-Nur ayat 30, ia mengatakan bahwa ayat tersebut membolehkan wanita menampakkan sebagian anggota tubuhnya dihadapan ajnabi, hanya saja Alquran tidak menyatakan secara jelas bagian-bagian yang boleh ditampakkan itu. Menurut beliau, ulama mazhab empat sepakat mengatakan bahwa bagian tubuh yang tidak diharuskan menutupnya adalah muka dan telapak tangan. Pendapat ini sesuai dengan Hadis yang diriwayatkan ‘Aisyah:
Nabi mengatakan kepada Asma binti Abi Bakr, ketika ia memakai pakaian tipis, “Wanita yang sudah dewasa tidak boleh menampakkan badannya kecuali ini dan ini.” Nabi menunjuk kepada muka dan dua telapak tangan.[7]
Selanjutnya Qasim Amin mengatakan, niqab dan burqu tidak termasuk ajaran Islam, bukan aspek ibadah dan bukan pula aspek kesopanan. Tetapi ia merupakan tradisi lama yang telah ada sejak sebelum Islam. Oleh karena itu tradisi ini tidak dikenal di beberapa negara Islam lainnya. Islam menyuruh umatnya menutup dada dengan khimar, bukan memakai burqu atau niqab.[8]
Pakaian yang menutup muka bagi wanita memisahkan diri dari pergaulan dan mengurung diri di rumah saja, dan itu melambangkan keterbelakangannya serta membuat wanita tidak dapat bergerak sesuai kewanitaannya. Gal itu bisa membawa rasa rendah diri wanita dalam masyarakat.
Perkawinan
Kemudian Qasim Amin lebih mengkhususkan perhatiannya dalam masalah perkawinan, karena lembaga inilah yang menyatukan dua jenis insan yang berbeda dan pergaulannya nanti melebihi dari bentuk pergaulan apa pun. Tidak ada hubungan lain yang memberikan kemungkinan pergaulan serapat perkawinan. Bahkan hanya melalui perkawinanlah bisa berubah yang sebelumnya haram menjadi halal, dosa menjadi pahala, dan maksiat menjadi ibadah.
Menurut Qasim Amin, urusan pendidikan saja tidak akan ada artinya bila tidak diberi perhatian yang kuat bagi perkawinan, yang menyangkut dengan sejumlah aturan hukum dan adat kebiasaan yang berlaku. Dalam hal ini Qasim Amin melihat dari cara memilih jodoh, di mana wanita diperlakukan sebagai barang atau benda mati, tidak boleh menentukan pilihan. Kebiasaan demikian tidak saja diterima oleh masyarakat awam, bahkan didukung oleh pendapat ulama fiqh umumnya. Kekeliruan ini semakin kentara sewaktu menganalisis definisi perkawinan yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh. Sebagai contoh, dikemukakan bahwa nikah adalah aqd yamlik bihi al-rajul budh’a al-marat (sebuah transaksi yang membuat laki-laki dapat menikmati kehormatan wanita).[9] Menurut Qasim Amin, definisi tersebut menggambarkan bahwa suatu perkawinan hanya terletak pada kewanitaannya secara biologis, tidak tergambar tujuan yang lebih bermakna yang ingin dicapai dalam suatu perkawinan. Padahal, tujuan perkawinan menurut Islam ialah ditegakkan atas dasar mawaddah wa-rahmah, hal itu sesuai dengan maksud surat ar-Rum ayat 21.[10]
Pembinaan kasih sayang yang dimaksud oleh ayat tersebut tidak akan terwujud apabila suami-istri tidak saling mencintai, hormatmenghormati, dan sayang-menyayangi.
Itulah sebabnya, dalam memilih jodoh, menurut Qasim Amin, sepanjang tidak melanggar ketentuan agama, supaya mereka diberi kelonggaran terlebih dahulu, mencari kecocokan sebelum melaksanakan perkawinan. Jangan hendaknya wanita dipaksa menerima lamaran pria atau lamaran tersebut diterima oleh orangtuanya tanpa persetujuan dari yang bersangkutan.
Jadi dalam hal ini Qasim Amin ingin merombak kebiasaan Mesir dalam penetapan jodoh yang dimonopoli oleh satu pihak saja. Maka wanita mesti punya hak yang sama dalam menentukan siapa yang akan menjadi suaminya. Cara ini baru bisa diterima akal dan akan berakibat pula terjadinya rasa kasih sayang yang hakiki. Keluarga yang memulai perkawinan dengan rasa kasih sayang itu akan kelihatan seperti di sorga. Qasim Amin mengatakan hal itu sambil mengutip ucapan Umar, “Pemberian yang terbaik bagi seorang manusia selain iman adalah wanita salehah.”[11]
Poligami
Poligami ialah beristri lebih dari satu orang. Kebiasaan ini telah ada sebelum lahirnya Islam. Islam datang membawa peraturan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya praktik poligami. Meluasnya praktik poligami pada suatu bangsa, menurut Qasim Amin, dapat dipandang sebagai merosotnya harkat dan martabat wanita dalam pandangan bangsa tersebut. Sejarah menunjukkan bahwa semakin tinggi martabat kaum wanita, semakin turun frekuensi praktik poligami. Namun poligami itu sendiri tidak pernah hapus sama sekali, agaknya problem ini semakin berkepanjangan.[12]
Poligami di samping tidak sesuai dengan perasaan wanita, juga tidak sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam Alquran. Poligami merupakan penghinaan yang menyakitkan kaum wanita. Tidak ada seorang wanita pun yang merelakan suaminya bercumbu dengan wanita lain, sebagaimana seorang suami tidak merelakan orang lain mencintai istrinya. Poligami hanya sebagai ajang pertikaian dan sumber perpecahan di kalangan anak-anak yang dilahirkan.[13]
Walaupun ada ayat yang sepertinya membolehkan poligami, tetapi dikaitkan dengan berlaku adil. Jika seorang suami tidak bisa berlaku adil dalam menghadapi istri lebih dari satu, maka wajib baginya membatasi diri dengan beristri satu. Hal ini sesuai dengan maksud surat an-Nisa’ ayat 3. Kemudian dalam surat yang sama ayat 129, Allah menegaskan bahwa manusia tidak mampu berlaku adil dalam berpoligami, kendatipun sangat ingin berlaku demikian.[14]
Hal ini jelas bahwa Islam menganut prinsip monogami, bukan poligami. Ditambahkannya bahwa jika ada orang yang berpandangan poligami itu haram, maka pandanga tersebut tidak jauh dari maksud kedua ayat di atas, jika saja sunnah Rasulullah tidak menunjukkan kebolehannya.
Pandangan Qasim Amin tentang praktik poligami sebenarnya tidak terlepas kaitannya dengan ide menempatkan wanita pada posisi yang mulia. Beliau dapat menerima pandangan hukum tentang kebolehan poligami dalam keadaan tertentu, seperti si istri mengidap penyakit yang membuat ia tidak mampu melaksanakan kewajibannya sebagai istri atau ia mandul, tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu, menurutnya, tidak terdapat dalam Islam hal yang membolehkan poligami. Dan ia mengatakan bahwa dalam setiap keadaan, monogami adalah lebih baik. Sakitnya istri bukan kehendak istri itu sendiri, dan dengan demikian dipandang tidak etis kalau hal itu dijadikan alasan berpoligami. Praktik poligami secara sosiologis dapat membawa rendahnya martabat wanita dalam masyarakat, dan secara psikologis tidak ada wanita yang siap menerima kehadiran wanita lain di samping suaminya.


Perceraian
Perceraian adalah memutuskan ikatan perkawinan. Islam membolehkan perceraian walaupun pelakunya sangat dimurkai. Hal ini mengisyaratkan bahwa perceraian harus dihindari sedapat mungkin, kecuali jalan damai tidak mungkin ditempuh lagi.
Dalam masalah ini Qasim Amin mengkritik para fuqaha yang seolah-olah memberi jalan luas bagi terjadinya talaq, seperti dilihat bahwa pembahasan fiqh lebih menekankan pada teknis pelaksanaan sah-tidaknya talaq tanpa memerhatikan aspek sosiologis dan aspek keadilan.[15] Oleh karena itu, sebagai ahli hukum Qasim Amin ingin meninjau kembali sistem perceraian yang tidak adil menurutnya itu.
Talaq hanya dibenarkan dalam keadaan tertentu saja. Ini didasarkan kepada beberapa dalil, baik Alquran[16] maupun Sunah.[17] Selain itu, ia mengatakan bahwa talaq yang dijatuhkan baru dianggap sah apabila diucapkan di hadapan dua saksi. Ini berdasarkan Alquran surat Talaq: 2.
Lebih lanjut dalam masalah ini Qasim Amin menyarankan kepada pemerintah sebagai berikut: Wanita harus diberi hak minta cerai dan setiap perceraian perlu dihadapkan kepada qadhi yang dihadiri oleh dua saksi. Sebelum qadhi memutuskan cerai, lebih dahulu harus diusahakan agar perceraian tidak terjadi dengan memberi nasihat kepada suami-istri, kemudian diberi kesempatan berpikir selama satu minggu. Apabila yang bersangkutan tetap bertahan untuk bercerai, qadhi membentuk satu tim pendamai antara keluarga dari kedua belah pihak. Bila hal demikian juga gagal, maka suami dibolehkan menjatuhkan talaq dengan syarat di hadapan qadhi dan dua saksi serta harus ada bukti tertulis.[18] Usul ini sangat baik ditetapkan untuk mencegah kesemena-menaan menjatuhkan talaq tanpa melihat akibat lebih jauh bagi keluarga dan anak-anak.
2.      Zainab al-Fawwas
Dia adalah seorang perempuan terpelajar autodidak Lebanon yang lahir pada decade 1850-an. Dia tumbuh di sebuah desa tak dikenal hingga menjadi seorang fugr terkenal di lingkaran intelektual Lebanon dan Mesir, yang memadukan dalam dirinya perkawinan yang terencana dan pengembangan diri yang disiplin.
Akan tetapi, karena Zainab tidak pernah keluar dari harem, mengadopsi kehidupan terpingitnya ke dalam sebuah drama menjadi sangat sulit. Dari dalam haremnya, satu-satunya yang dapat dilakukan Zainab adalah mengisi kolom-kolom media Arab dengan artikel-artikel dan puisi-puisi yang menyuarakan kebenciannya pada hijab dan mengecam pengucilan perempuan. Keduanya, paparannya, merupakan kendala utama bagi bangkitnya kebebasan kaum Muslim, dan juga menjelaskan lemahnya perlawanan menghadapi tentara colonial Barat.[19]
3.      Zainab al-Ghazali al-Zubaili
Zainab al-Ghazali al-Zubaili adalah perempuan yang sangat luar biasa. Tokoh wanita Mesur dan pelopor gerakan perempuan Islam. Untuk memperjuangkan persamaan hak kaum wanita, yang saat itu tindakan zalim pemerintah Mesir terjadi di mana-mana.
Pada tahun 1936, ketika itu usia Zainab al-Ghazali 18 tahun, ia mendirikan Asosiasi Wanita Muslim, untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan kaum perempuan yang sesuai norma-norma Islam dan ditujukan untuk kepentingan-kepentingan Islam. Ia juga aktif di organisasi persatuan kelompok Feminis Mesir, yang dibentuk oleh Huda al-Sharawi tahun 1923. Namun tak lama ia kemudian mengundurkan diri dari organisasi itu karena bersebrangan pendapat mengenai perjuangan menuntut kesetaraan.
Zainab al-Ghazali al-Zubaili banyak dipengaruhi oleh pendiri Ikhwanul Muslimin, Syaikh Hasan al-Banna. Ia memegang teguh padangannya bahwa tidak ada konflik antara agama dan politik. Ia adalah orang yang lantang mempertahankan syari’ah dan kerap menghadapi masalah dengan rezim Mesir saat itu.
B.     Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender  di Iran
Gerakan menuntut kesetaraan gender juga terjadi di Iran. Tokoh yang berperan dalam hal ini adalah Imam Khomeini. Imam Khomeini, pendiri Republik Islam Iran juga tercatat sebagai ulama besar yang memposisikan perempuan di tempat yang layak. Beliau sangat menghormati kaum perempuan dan senantiasa menekankan peran besar mereka di keluarga dan masyarakat. Wajar memang karena salah satu hasil besar Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini adalah mengubah pandangan dan sikap masyarakat terhadap perempuan.
Dalam pandangan agama, ajaran Ilahi membantu manusia untuk menggapai akhlak mulia dan mengangkat derajat mereka. Al-Quran menilai seluruh manusia memiliki kemuliaan secara fitrah, karena manusia baik itu pria atau wanita adalah pilihan Tuhan. Ayatullah Khomeini mengakui bahwa perempuan memilki kehormatan dan menilainya sebagai ayat Tuhan serta indikasi kasih sayang Allah Swt. Imam Khomeini berpendapat bahwa di berbagai zaman termasuk era jahiliyah dan pemerintahan rezim Pahlevi di Iran, kehormatan perempuan telah dilupakan dan terbukalah peluang kezaliman terhadap kaum Hawa.
Poin penting dan patut direnungkan serta yang kerap ditekankan dalam pandangan Imam Khomeini terkait posisi manusiawi perempuan adalah kaum Hawa harus disadarkan terkait peran sejati mereka. Imam Khomeini menilai posisi perempuan harus sesuai dengan kapasitasnya termasuk posisi sebagai ibu, istri dan anak. Dalam pandangan Imam Khomeini, perempuan sebagai ibu adalah pendidik masyarakat dan keberuntungan atau kehancuran sebuah negara sangat tergantung pada kinerja para ibu. Imam memandang posisi ibu sebagai simbol rahmat dan kasih sayang Ilahi.
Imam Khomeini sangat menekankan posisi perempuan sebagai seorang ibu. Beliau berkata, "Posisi dan cakupan ibu lebih luas dari sekolah di mana anak dididik di sana. Apa yang didengar oleh seorang anak dari ibu lain dari yang mereka dengar dari guru.." Pendiri Republik Islam Iran meyakini seorang anak lebih baik perkembangannya ketika dididik oleh ibu dari pada ayah.
Imam Khomeini juga mengisyaratkan saat-saat sulit seorang ibu ketika mengandung, melahirkan dan menyusui. Selanjutnya ketika ibu harus berkorban banyak untuk melahirkan dan membesarkan anak-anaknya. Imam Khomeini menegaskan, penderitaan yang dirasakan seorang ibu tidak mungkin dapat ditanggung oleh seorang ayah meskipun hanya satu malam.
Dalam hal ini Imam Khomeini mengisyaratkan hadis indah dari Rasulullah Saw yang menyebutkan, "Surga di bawah telapak kaki para ibu." Wajar mengingat peran pendidik ibu terhadap anak maka hubungan ibu dan anak harus tetap dipertahankan, karena dampak dari dipisahkannya anak dari ibunya akan memunculkan kendala besar bagi keluarga dan masyarakat.
Kemenangan Revolusi Islam Iran membuktikan bahwa muslimah dalam kapasitasnya sebagai manusia dan sesuai dengan cita-citanya mampu melakukan kewajibannya. Imam menilai hak menentukan nasib sendiri bukan saja hak dari setiap perempuan, namun menjadi kawajiban agama mereka. Imam juga menyebutnya sebagai pelaksanaan kewajiban agama. Terkait hal ini, Imam Khomeini mengatakan, "Perempuan bukan berada di pinggir sebuah masyarakat, namun ia merupakan poros dari sebuah masyarakat. Tak diragukan lagi bahwa perempuan juga sama seperti pria memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan mempertanggung jawabkan setiap perbuatannya."
Imam Khomeini senantiasa meyakini bahwa perempuan sama seperti pria harus terlibat dalam menentukan nasibnya sendiri termasuk dalam pemilu, urusan politik dan aktivitas sosial. Kaum Hawa harus terlibat aktif dalam berbagai masalah tersebut.  Tak diragukan lagi, salah satu peluang partisipasi luas adalah masalah membangun negara dan masyarakat serta isu ini tidak mungkin terealisasi tanpa melibatkan kaum perempuan.
Sama seperti masyarakat Iran sebelum revolusi, dikarenakan tidak adanya partisipasi perempuan dan laki-laki yang mumpuni, maka masyarakat ini mengalami kemunduran. Terkait hal ini Imam Khomeini mengatakan, "Seluruh rakyat Iran baik itu pria atau wanita harus membangun negara yang rusak. Negara tidak mungkin dapat diperbaiki jika hanya mengandalkan kaum pria. Pria dan wanita harus bergandeng tangan membangun negara yang rusak ini. Wanita pemberani menjadi mitra kaum pria dalam membangun Iran sama seperti mereka membangun diri di bidang sains dan budaya."
Salah satu pentas peran sosial perempuan dalam pandangan agama adalah partisipasi penting mereka di bidang budaya. Imam Khomeini terkait hal ini menandaskan, "Kalian menyadari bahwa kebudayaan Islam selama ini terzalimi. Dalam kurun waktu terakhir, bahkan sejak kebangkitan Nabi dan setelah umat ini ditinggal oleh beliau hingga saat ini, budaya Islam senantiasa terzalimi. Syariat Islam terzalimi. Budaya ini harus dibangkitkan kembali dan kalian para perempuan sama seperti kaum pria memiliki tanggung jawab dalam hal ini. Seperti kaum pria yang aktif di bidang sains dan budaya, kalian para perempuan juga harus aktif."
Islam sangat menekankan tanggung jawab seluruh umat muslim. Pria maupun wanita sama-sama memiliki tanggung jawab syar'i untuk aktif memantau perkembangan di masyarakat muslim dan apa yang terjadi di struktur pemerintahan Islam. Imam Khomeini menyebut hal ini sebagai persyaratan bagi kemajuan dan keberhasilan sebuah negara. Imam Khomeini berkata, "Perempuan harus menyadari dirinya bertanggung jawab dalam mengawasi berbagai perkara. Pria dan wanita harus terlibat dalam masalah sosial dan politik... Mereka harus memantau parlemen dan kinerja pemerintah. Mereka juga harus berani mengemukakan pendapatnya."
Perang yang dipaksakan oleh rezim terguling Irak, Saddam Husein kepada Iran ternyata membuka peluang bagi perempuan Iran yang penuh pengorbanan untuk mementaskan keimanan dan nilai-nilai tinggi kemanusiaan mereka dalam bentuknya yang terbaik. Imam meyakini tugas membela masyarakat berada di pundak kaum pria dan wanita Iran. Beliau berkata, "Semoga hal ini tidak terjadi, jika pemerintahan Islam diserang maka seluruh rakyat baik pria maupun wanita harus bergerak. Kewajiban mempertahankan negara bukan hanya berada di pundak kaum pria atau hanya menjadi kewajiban segelintir orang. Seluruh rakyat harus mempertahankan negara."
Salah satu wacana yang saat ini tidak dipahami dengan benar adalah isu kebebasan. Kini dengan dalih kebebasan perempuan, kaum Hawa dijauhkan dari nilai kemanusiaan dan dibelenggu dengan materi. Hasilnya adalah munculnya berbagai kendala dan krisis, rusaknya moral dan maraknya kriminal serta kejahatan yang kita saksikan di masyarakat Barat.
Namun dalam pandangan Islam, salah satu keunggulan manusia adalah kebebasan yang dibarengi dengan rasa tanggung jawab. Dengan demikian manusia dapat menentukan nasibnya sendiri dan menyaksikan dampak dari perbuatan baik atau buruk dirinya. Menurut Imam Khomeini arti sebenarnya dari kebebasan yang dimiliki perempuan adalah perempuan dengan mempertahankan ajaran agama dan nilai-nilai kemanusiaan mampu memainkan peran konstruktif di masyarakat dan negara.
Dalam pandangan Imam Khomeini kebebasan perempuan bukan berarti ia berhias diri dan menghadiri berbagai acara, namun beliau menilai kemampuan perempuan di bidang sains dan budaya sebagai kebebasan sejati kaum Hawa. Dalam hal ini Imam Khomeini mengatakan, "Saat ini perempuan di Republik Islam Iran menjadi mitra kaum pria dalam upaya membangun diri dan negara. Ini adalah arti sejati bagi kebebasan pria dan wanita."
Dari seluruh pandangan Imam Khomeini tentang perempuan dapat disimpulkan bahwa perempuan adalah poros dan bagian inti keluarga serta sama seperti kaum pria, mereka mampu aktif di berbagai bidang sosial dan memainkan peran signifikan. Namun perbedaan ada antara peran pria dan wanita adalah perbedaan yang wajar dan alami serta telah diperhitungkan. Karena perempuan berbeda dengan pria. Perempuan adalah makhluk yang penuh kasih sayang dan lembut serta sensitif. Dan peran utama mereka adalah menjadi ibu dan istri serta pendidik yang baik bagi generasi mendatang.[20]
Mengenai hak-hak wanita, menurut Imam Khomeini wanita harus memiliki hak-hak kemanusiawian yang sesuai dengan realitasnya. Terkadang hak yang didapat oleh laki-laki tak bisa didapat oleh wanita atau terkadang bisa diraih tapi dalam bentuk yang tidak sempurna atau hanya sebagian saja. Hal ini sama dengan intimidasi hak dan bertentangan dengan kemanusiaan serta hukum Tuhan.
Imam di dalam hal “persamaan” antara pria dan wanita mengatakan:
“Islam memiliki pandangan khusus terhadap wanita. Islam pertama muncul di jazirah Arab dimana wanita pada masa itu seperti barang dagangan dan perbedaan status yang sangan jauh dengan lelaki. Akan tetapi Islam datang untuk menghapus itu semua dan Islam datang untuk “menyamakan”mereka dengan laki-laki”. Beliau menambahkan juga, “wanita dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam menentukan masa depannya dan kami ingin wanita sampai pada kedudukan yang tinggi dan wanita harus mampu untuk itu”.
Pada wawancara surat kabar Belanda dalam menjawab pertanyaan koresponden.
“Apa hak-hak wanita di dalam Negara Islam?”
Imam mengatakan:
“Dari sisi hak kemanusiaan (sisi insaniyyah nya) tidak ada beda antara hak lelaki dan wanita, karena dua-duanya adalah manusia dan mereka memiliki hak dalam menentukan masa depannya masing-masing. Dan sebagian hal yang berbeda dari mereka tidak ada hubungan dengan sisi kemanusiaannya.”
“Berusahalah dalam meraih ilmu dan ketaqwaan, karena ilmu adalah milik bersama tanpa pengecualian. Sekarang para wanita menjadi partner dalam belajar atau hal lainnya di dalam semua bidang ilmu pengetahuan begitu juga industri.”
“Apakah wanita bisa sampai pada tahap ijtihad? Dan apa peranan wanita di dalam negara Islam?”
Beliau menjawab:
“Ada kemungkinan wanita sampai pada tahap ijtihad tapi tidak bisa menjadi marja’ taqlid untuk orang lain. Di dalam aturan Islam wanita memiliki hak yang sama dengan lelaki seperti hak belajar, mengajar, bekerja, kepemilikan, hak memilih, hak dipilih, sehingga di setiap bidang, dimana lelaki memiliki hak untuk itu wanita pun memilikinya.”
“Wanita juga memiliki hak berpolitik dan inilah tugas mereka. Seluruh wanita dan laki-laki harus masuk dalam masalah sosial, politik bahkan harus menjadi pemantau perkembangan politik yang ada, dan tidak hanya itu mereka juga di tuntut untuk menyumbangkan ide-ide mereka.”
“Sekarang wanita harus melaksanakan tugas sosial dan agama mereka dan menjaga kehormatan umum dan di bawah kehormatan tersebut mereka melakukan urusan sosial dan politiknya.”
“Wanita di dalam urusan sosial politiknya harus menjadi partner para lelaki, dengan syarat menjaga hal-hal yang telah di atur dalam Islam.”
Pandangan Imam tentang Karir dan Pekerjaan.
“Provokasi jahat sedemikian rupa menyalahartikan kebebasan wanita sehingga mereka menyangka Islam datang hanya memerintahkan wanita diam di rumah saja”
Kenapa kita mesti menentang kalau wanita belajar? Kenapa kita mesti menentang kalau wanita bekerja? Apakah wanita tidak mampu melakukan pekerjaan kenegaraan?”
“Seluruh aktifitasnya ada di dalam ikhtiyar mereka, mereka bebas menentukan masa depannya”
Menjadi jelaslah bahwa Islam menempatkan wanita dalam kedudukan yang tinggi sama dengan laki-laki. Dari sisi insaniyyah-nya wanita dan laki-laki adalah sama, tidak ada penghalang dikarenakan perbedaannya dalam meraih kedudukan yang tinggi disi Allah. Di dalam Islam kita telah mengenal Sayyidah Fatimah Azzahra (putri Rasulullah) yang membela dan mendampingi perjuangan Ayahnya, Sayyidah Maryam yang dengan kelembutannya menjaga sang kekasih Allah, Isa Almasih, juga Sayyidah Asiah (istri Firaun) yang dengan kesabarannya bisa terjaga dari pengaruh buruk Firaun.[21]


[1] Haideh Moghissi, Feminisme dan Fundamentalisme Islam, (Yigyakarta: LKiS, 2005), h. 174-175.
[2] Abu al-‘Ala al-Maududi, al-Hijab, Dar al-Fikr, Mesir, tt, hal. 41.
[3] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal.  77.
[4] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 78.
[5] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 89.
[6] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 80.
[7] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 83.
[8] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 89.
[9] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 139.
[10] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 140.
[11] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 146.
[12] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 146.
[13] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 152.
[14] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 153-154.
[15] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 161.
[16] Surat an-Nisa’: 19, 34, 35, 128.
[17] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 159-161.
[18] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah, Dar al-Ma’arif, Kairo, 1970, hal. 171-172.
[19] Fatima Mernissi, Perempuan-Perempuan Harem, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 167-168.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar