Responding Paper “Relasi Gender DAlam Agama Konghucu”
Khilda Fauzia
1112034000194
A.
Status
Perempuan dalam Tradisi dan Teks-teks Suci Konghucu
Tata aturan kosmis merupakan sumber wahyu Tuhan dan
merupakan model bagi tata aturan manusia, bahwa keluarga dipandang sebagai
pusat komunitas yang suci dan bahwa seluruh manusia, baik laki-laki maupun
perempuan, bekerja dalam setting kontekstual, hirarkis dan koreogarafial yang
tinggi. Hubungan-hubungan dan tingkah laku yang dianggap pantas bagi mereka
diperinci dalam istilah-istilah yang cukup spesifik.
Dalam tata aturan kosmis tentang segala sesuatu, perempuan
dianggap sebagai yin sehingga bisa disamakan kekuatan perempuan identik dengan
bumi, dengan segala sesuatu yang rendah dan inferior. Kekuatan feminin ini
dicirikan sebagai mengalah, reseptik dan tunduk, dan ia memajukan dirinya
melalui perasaan tekun. Dari pola kosmis ini dapat disimpulkan bahwa posisi
perempuan dalam tata aturan manusia pasti rendah dan inferior seperti bumi, dan
bahwa tingkah laku yang layak bagi seorang perempuan adalah mengalah, lemah,
pasif, seperti bumi. Bagi laki-laki dipandang superior, tetapi mereka tidak
dapat berbuat apapun tanpa perempuan sebagai komplemen.
Di dalam aturan manusia, perempuan hanya dilihat dalam
konteks keluarga, sementara laki-laki dilihat dalam tata aturan sosial politik
yang lebih luas. Di dalam keluarga seorang perempuan harus tunduk pada tiga
kewajiban, yakni, sebagai anak perempuan ia harus tunduk pada ayahnya; sebagai
istri harus tunduk pada suami; setelah tua harus tunduk pada anaknya. Jika para
penganut konfusianisme memanggil laki-laki dengan sheng-Tao (jalan
kebijaksanaan), maka untuk perempuan disebut fu-Tao, kata Cina untuk fu
menunjukkan seorang perempuan dengan membawa sapu, berarti wilayah domestik sebagai
tempatnya yang tepat.
Begitu juga dalam sistem kanak-kanak perempuan, semata-mata
untuk mempersiapkan mereka pada peranan masa depannya sebagai istri dan ibu.
Berbeda dengan anak laki-laki, yang pergi keluar rumah pada umur 10 tahun demi
pendidikan sejarah dan hal-hal klasik, maka anak perempuan tetap di rumah,
terasing dalam tempat tinggal perempuan dan di bawah bimbingan seorang
pengatur. Mereka belajar sikap yang baik dan keterampilan-keterampilan domestik
seperti menjahit dan menenun.
“Seorang gadis pada usia sepuluh tahun berhenti keluar rumah
(dari pondokan perempuan). Pengaturnya mengajarkannya (seni) berbicara dan
bersikap menyenangkan untuk patuh dan taat, untuk memegang serabut jerami,
untuk belajar (seluruh) pekerjaan perempuan, bagaimana menyediakan pakaian,
menyaksikan korban, menyediakan minuman dan saus, memenuhi warung dan piring
dengan asinan dan air asin dan membantu membawa peralatan untuk upacara-upacara
.”
Pada umur 15 tahun, menurut kronologis ini, seorang gadis
akan menerima tusuk konde pada upacara kedatangan usia baru. Pada umur 20 tahun
dia harus kawin. Tiga bulan sebelum perkawinan, seorang perempuan muda harus
belajar empat aspek karakter perempuan yakni sifat baik, bicara, bersikap, dan
bekerja. (Book of Rites, bab 44).
Bagi para penganut konfusius upacara perkawinan adalah salah
satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan sosial, sebagaimana
disebutkan bahwa perkawinan menandai terbentuknya satu hubungan baru dalam
rantai hubungan keluarga, perjalanan suci dari satu generasi ke generasi lain.
“Upacara perkawinan dimasukkan untuk menjadikan satu ikatan
cinta antara (dua keluarga yang berbeda) nama keluarga, dengan satu pandangan,
pada sifat retrospektifnya, untuk menyelamatkan pelayanan-pelayanan pada
leluhur, dan pada kuil prospektifnya”.[1]
B.
Peran
Perempuan dalam Sejarah Sosial dan Keagamaan Konghucu
secara sosial keagamaan mengenai
kemargaan perempuan tidak ada wewenang dalam nama keluarga, karena dalam peran
laki-laki sangat memiliki tanggungjawab dalam membina keluarga.
Dalam memenuhinya ada beberapa oetunjuk sebagai berikut:
1. Tiga pokok kepatuhan
Sebagai seorang anak, wanita harus patuh pada ayahnya.
Sebagai wanita yang sudah menikah ia harus mengikuti suaminya, dan sebagai
seorang janda ia mengikuti anak-anak lakinya.
2. Lima pokok utama tentang
hubungan-hubungan
Para penguasa dan warga Negara, ayah dan anak laki-laki,
suami dan istri, anak sulung dan anak bungsu, orang yang ada pada kategori
pertama harus memberikan jen kepada yang kedua, sedangkan orang yang ada pada kategori
kedua harus memeilhara semua peraturan dan ketetapan secara rinci.
3. Tujuh kejahatan sebagai dasar untuk
bercerai
Ketidaktundukan pada keluarga suami
Kegagalan memberikan anak laki-laki
Berhubungan seks dengan orang lain
Kecemburuan
Mengidap penyakit yang tidak dapat disembuhkan
Banyak bicara
Suka mencuri[2]
4. Kesucian bagi wanita
Bagi seorang wanita,
menjaga kesuciannya lebih dari menjaga integritas pribadinya. Istilah ini
dimaksudkan lebih luas dari sekedar soal pantangan seksual, tetapi mencakup
pengertian yang lebih umum tentang kehormatan.[3]
C.
Reinterpretasi
dan adaptasi Peran-Peran Gender Tradisional dalam Perspektif Konghucu
Didalam
gerakan neo-konfusianisme ini para feminolog bergabung dan menulis banyak buku
tentang wanita. Wanita mengajar wanita dengan cara konfusian. Aspek-aspek
diskriminasi, pembatasan-pembatasan terhadap aspek wanita diterima dengan rasa
syukur dan disiplin, mereka menjadi konfusianis yang sungguh-sungguh dan tekun
dibanding dengan laki-laki. Sesudah revolusi, wanita dan laki-laki melakukan
evaluasi kritis tentang ajaran-ajaran yang sudah ada. Proses itu berjalan
dengan baik.
Karya
pan chao, penting untuk menyinggung karya pan chao (?-11 6M.) dari dinasti Han.
Dia adalah pengajar wanita kofusianisme pertama yang mengajar kepada sesama
wanita. Pada masa dinasti Han. (206 S.M-220 M.) konfusianisme menafsirkan peran
Negara menjadi ortodoks dan pada saat itu ada usaha untuk membawa wanita masuk
dalam arus utama tradisi. Sehingga pan chao dapat menjadi seorang pengajar para
wanita di istana dan menulis sebuah buku “instruction for women”. Dalam bagian
pertama buku itu, dia menulis sesuatu tentang keprihatinannya terhadap wanita
yang tidak kawin dalam keluarganya. Baginya wanita yang tidak kawin tiak
dipersiapkan oleh keluarganya untuk masa depan mereka bekerja sebagai istri.
Ajaran
ini mengartikan bahwa pertama, wanita harus bersikap rendah hati, patuh,
seperti halnya bumi, merendahkan diri dihadapan yang lain; kedua dia harus
bekerja keras dan pandai dalam pekerjaan sehari-hari; dan ketiga, di harus
sepenuhnya masuk dalam tanggung jawab seorang istri terhadap suaminya,
sanak-saudara dan lain-lain.
D.
Status perempuan dalam neo-konfusianisme
Dengan
jatuhnya dinasti han pada tahun 22M, konfusianisme dipudarkan oleh budhisme dan
taoisme. Agama ini tidak memainkan peran penting dalam wilayah tersebut sampai
kemunculannya kembali dalam bentuk neo-konfusianisme pada masa dinasti sung
(960-1279M). ketika neo-konfusianisme muncul, terjadi perubahan besar yang
sangat berpengaruh dalam kehidupan perempuan.
Generasi
awal neo-konfusianisme bekerja dengan tekun membangkitkan kembali kekuatan
konfusianime dalam rangka mengembalikan tetitorial yang hilang, yang menjadi
wilayah orang-orang budha. Tantangan mereka adalah mengukuhkan kembali keluarga
dan Negara sebagai titik pusat kewajiban keagamaan. Mereka menentang
orang-orang budha atas usahanya secara pribadi lepas dari dunia daripada
mengarahkan energy mereka untuk membangun tata aturan manusia. Akan tetapi
mereka cukup terkesan dengan kedalaman spiritualisme orang-orang budha.
Bagaimana mereka mencampur keduanya? Neo-konfusianisme yang dihasilkan, pada
lahirnya lebih mengarah pada tradisi keagamaan jika dibandingkan dengan konfusianisme
awal dan lebih dipusatkan pada persoalan-persoalan metafisik, interioritas
manusia dan praktik-praktik keagamaan seperti meditasi.
Sikap
kehati-hatian yang besar terhadap keinginan dan nafsu manusia ini diarahkan
kewilayah hubungan manusia, sebagai landasan keagamaan konfusianisme. Cheng I
(1033-1107), salah satu pemimpin neo-konfusianisme sung, mereflesikan
kehati-kehatian ini dalam statmen berikut yang termuat dalam antologi
tulisan-tulisan neo-konfusianisme yang paling terkenal, reflection on things at
hand (chin-ssu lu);
Kesucian
menjadi kebaikan yang penting bagi perempuan pada priode klasik, seperti yang
kita lihat dalam biorafis of exemplary women, dan janda ditekankan untuk tetap
setia pada suaminya dengan tidak kawin lagi. Akan tetapi pada priode klasik
tidak ditemukan apapun yang sesuai dengan tingkatan kedalaman kesucian yang
diperlihatkan neo-konfusianisme. Statemen yang paling menakutkan dalam hal ini
dibuat oleh ch’eng I mengenai pernikahan kembali para janda.
Didalam
suatu peristiwa ada seorang perempuan yang secara sadis mengoyak tubuhnya
karena tekanan yang dilakukan oleh orang tuanya untuk menikah lagi. Pertama, ia
menggunduli rambutnya, kemudian memotong telinganya, dan akhirnya hidungnya,
semuanya merupakan sikap menentang yang menegaskan kebulatan tekadnya untuk
setia pad suaminya yang telah meninggal.
Neo-konfusianisme
tidak dipakai sebagai ortodoksi Negara sampai sekitar seratus tahun setelah
kematian dinasti sung, yaitu, sampai dinasti yuan dan awal dinasti ming (paruh
terakhir abad keempat belas). Aspek laian ortodoksi baru yang penting untuk
dicatat, sekali lagi, adalah popularitas teks yang ditulis oleh perempuan untuk
perempuan. Yang terpenting adalah instructions for the inner quarters
(nei-hsun) oleh kaisar perempuan kedua dari dinasti ming, empress (kaisar
perempuan) Hsu.
Ciri
khas kedua yang perlu dicata yakni kaisar Hsu secara serius mengambil pandangan
neo-konfusianisme bahwa seluruh umat manusia terpanggil untuk menjadi seorang
bijaksana. Maka ia mendorong perempuan untuk mengikuti jalan kebijakan, dengan
menjelaskan dmikian: jauh lebih berharga batu permata dari mutiara atau permata
jade (batu nefrit) (nei-hsun 3:22b) sebai bagian dari kebijakan perempuan ini,
dia mengharapkan perempuan dapat memainkan peranan penting baik dalam moralitas
keluarga maupun negara, oleh karenanya ia mengembalikan peranan mereka sebagai
penasihat moral yang telah mereka punyai pada masa konfusianisme klasik tetapi
kemudia dihilangkan oleh Neo-konfusianisme. [4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar