A. Ayat-Ayat dalam al-Qur’an yang Adil Gender
1. Laki-laki maupun perempuan mendapatkan
hasil sesuai usahanya
وَلَا
تَتَمَنَّوْا۟ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ ۚ
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌۭ مِّمَّا ٱكْتَسَبُوا۟ ۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌۭ مِّمَّا ٱكْتَسَبْنَ
ۚ وَسْـَٔلُوا۟ ٱللَّهَ مِن فَضْلِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَىْءٍ
عَلِيمًۭا
Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada
bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa’: 32)
2.
Baik
laki-laki maupun perempuan memiliki tugas yang sama untuk menyeru kepada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
وَلْتَكُن
مِّنكُمْ أُمَّةٌۭ يَدْعُونَ إِلَى ٱلْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali ‘Imran: 104)
3. Laki-laki dan perempuan
memiliki hak politik yang sama.
وَٱلْمُؤْمِنُونَ
وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍۢ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ
وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ
إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌۭ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al-Taubah : 71)
4.
Islam menjunjung tinggi persamaan antara laki-laki dan perempuan
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍۢ وَٰحِدَةٍۢ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًۭا كَثِيرًۭا وَنِسَآءًۭ ۚ
وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ
كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًۭا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan
istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. Al-Nisa’: 1)
5. Kaum perempuan boleh berbai’at
kepada Rasulullah Saw. sebagaimana halnya laki-laki.
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّبِىُّ إِذَا جَآءَكَ ٱلْمُؤْمِنَٰتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَىٰٓ أَن لَّا
يُشْرِكْنَ بِٱللَّهِ شَيْـًۭٔا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا
يَقْتُلْنَ أَوْلَٰدَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَٰنٍۢ يَفْتَرِينَهُۥ بَيْنَ
أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِى مَعْرُوفٍۢ ۙ فَبَايِعْهُنَّ
وَٱسْتَغْفِرْ لَهُنَّ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ
Hai Nabi,
apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji
setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak
akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan
berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak
akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka
dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Mumtahanah: 12)
6.
Islam
menyuruh anak untuk berbakti kepada ibu dan ayahnya.
وَوَصَّيْنَا
ٱلْإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍۢ
وَفِصَٰلُهُۥ فِى عَامَيْنِ أَنِ ٱشْكُرْ لِى وَلِوَٰلِدَيْكَ إِلَىَّ ٱلْمَصِيرُ
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (QS. Luqman: 14)
۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ
وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ
أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّۢ وَلَا تَنْهَرْهُمَا
وَقُل لَّهُمَا قَوْلًۭا كَرِيمًۭا. وَٱخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ
ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيرًۭا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil". (QS. Al-Isra’ : 23-23).
7. Laki-laki maupun perempuan yang berbuat salah (mencuri)
mendapatkan hukuman yang sama.
وَٱلسَّارِقُ
وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقْطَعُوٓا۟ أَيْدِيَهُمَا جَزَآءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلًۭا
مِّنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌۭ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al-Maidah: 38)
B.
Ayat-Ayat yang Bias Gender
1.
Kesaksian seorang pria sama halnya dengan kesaksian dua orang
perempuan.
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٍۢ مُّسَمًّۭى
فَٱكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِٱلْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ
كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ ٱللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ
ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ
شَيْـًۭٔا ۚ فَإِن كَانَ ٱلَّذِى عَلَيْهِ ٱلْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ
لَا يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُۥ بِٱلْعَدْلِ ۚ
وَٱسْتَشْهِدُوا۟ شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ ۖ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌۭ وَٱمْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ أَن تَضِلَّ
إِحْدَىٰهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَىٰهُمَا ٱلْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ
ٱلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُوا۟ ۚ وَلَا تَسْـَٔمُوٓا۟ أَن تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا
أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰٓ أَجَلِهِۦ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ ٱللَّهِ وَأَقْوَمُ
لِلشَّهَٰدَةِ وَأَدْنَىٰٓ أَلَّا تَرْتَابُوٓا۟ ۖ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً
حَاضِرَةًۭ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا
تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوٓا۟ إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٌۭ
وَلَا شَهِيدٌۭ ۚ وَإِن تَفْعَلُوا۟ فَإِنَّهُۥ فُسُوقٌۢ بِكُمْ ۗ وَٱتَّقُوا۟
ٱللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱللَّهُ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۭ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya,
maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang
itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak
mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu).
Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika
muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 282)
2. Poligami
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ
ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟
فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا
تَعُولُوا۟
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’: 3)
Muhammad Abduh juga termasuk pendukung monogami,
menurutnya praktik poligami yang
ada di awal Islam itu, tidak boleh ada lagi di dunia modern ini, karena itu poligami harus
dilarang. Nabi dan para sahabat itu sangat adil, namun hal ini mustahil bagi
manusia lainnya. Kendati syari’at membolehkan
beristeri empat, jika memang mampu dan bisa berlaku adil, namun dalam analisis
akhirnya, mustahil manusia bisa berlaku adil. Jika seseorang benar-benar
memahami betapa sulitnya berlaku sama, maka dia akan sadar bahwa mustahil untuk
beristeri lebih dari satu. [1]
Sayyid Qutub dalam kitabnya yang berjudul " fi
zilal al qur'an" mengatakan bahwa poligami merupakan perbuatan rukhsah,
maka hanya di lakukan dalam keadaan darurat, yang benar-benar mendesak.
kebolehan inipun masih di syaratkan bisa berbuat adil terhadap istri-istri.
keadilan yang di tuntut di sini termasuk dalam bidang nafkah, muamalah,pergaulan,
serta pembagian malam.sedang bagi calon suami yang tidak bisa berbuat adil,
maka di haruskan cukup satu saja.[2]
Dalam karyanya ma’álim fi al-thariq (Petunjuk
Jalan) ia mengatakan bahwa kelompok yang menentang Islamisasi masyarakat dan negara harus
diperlakukan selayaknya kaum jahiliyah atau dianggap murtad. Menurut beliau rezim Mesir adalah
rezim yang tidak Islami dan sah untuk digulingkan. Sayyid Qutb menolak
modernisasi dalam Islam dan beliau juga berpendapat bahwa Islam tidak perlu belajar
kepada dunia Barat.[3]
Sedangkan menurut Amina Wadud, ayat ini tentang
perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian wali laki-laki yang bertanggung jawab,
untuk mengelola kekayaan anak-anak yatim perempuan tidak bisa diharapkan untuk
mengelola dengan adil harta tersebut. Solusinya adalah dengan menikahi anak
yatim tersebut.
Menurut Amina
Wadud ada 3 pembenaran umum terhadap poligami yang tidak ada persetujuan
langsung dalam Al-Qur’an, yaitu: 1). Finansial. Dalam konteks masalah ekonomi
seperti pengangguran, seorang laki-laki yang mampu secara finansial hendaknya
mengurus lebih dari satu istri. Lagi-lagi, pola pikir ini mengasumsikan bahwa
semua wanita adalah beban finansial, pelaku reproduksi, tapi bukan produsen. 2). Dasar pemikiran lain untuk berpoligami difokuskan pada wanita
yang tidak dapat mempunyai anak. 3). Jika kebutuhan
seksual seorang laki-laki tidak dapat terpuaskan oleh seorang istri, dia harus
mempunyai dua. Alasan ini jelas tidak Qur’ani karena berusaha menyatujui nafsu
laki-laki yang tidak terkendali.
3.
Pembagian
Warisan.
يُوصِيكُمُ
ٱللَّهُ فِىٓ أَوْلَٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ ۚ فَإِن
كُنَّ نِسَآءًۭ فَوْقَ ٱثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِن كَانَتْ
وَٰحِدَةًۭ فَلَهَا ٱلنِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَٰحِدٍۢ مِّنْهُمَا
ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٌۭ ۚ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُۥ
وَلَدٌۭ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُ ۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ
إِخْوَةٌۭ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُ ۚ مِنۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍۢ يُوصِى بِهَآ أَوْ
دَيْنٍ ۗ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ
نَفْعًۭا ۚ فَرِيضَةًۭ مِّنَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًۭا
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’: 10)
Hak wanita untuk mewarisi kekayaan—umumnya, seorang wanita berhak
beroleh separuh bagain seorang pria—adalah ajaran Islam lainnya yang dipandang
baru dan tampaknya tak menyenangkan oleh kaum wanita Madinah. Corak
agricultural atau pertanian masyarakat Madinah agaknya menjadikan hukum waris
baru, yang mencakup pembagian tanah, lebih kompleks dalam berbagai konsekuensinya
ketimbang bagi masyarakat Mekah yang bercorak komersial atau perdagangan, di
mana kekayaan dihimpun dan berupa barang-barang material dan di mana bahkan sebelum Islam agaknya sudah lazim kaum
wanita mewarisinya.[4]
Penegasan atas hak wanita untuk mewarisi dan mengelola harta kekayaan
dan penghasilan tanpa mengacu pada wali lelaki—karena merupakan pengakuan
terhadap hak wanita atas kemandirian ekonomi (yang paling krusial dari berbagai
bidang menyangkut otonomi personal)—juga secara fundamental menyifati institusi
control lelaki sebagai suatu system menyeluruh.[5]
4.
Hadits misoginis
tentang kepemimpinan perempuan
Al-Bukhâri
dalam kitab hadisnya menyebutkan, hadîts yang diriwayatkan oleh Abû Bakrah:
حَدَّثَنَاعُثْمَانُ
بْنُ الْهَيْثَمِ
حَدَّثَنَا عَوْفٌ
عَنْ الْحَسَن
عَن أَبِي
بَكْرَةَ قَالَ
لَقَدْ نَفَعَنِي
اللَّهُ بِكَلِمَةٍ
سَمِعْتُهَا مِنْ
رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيَّامَ الْجَمَلِ
بَعْدَ مَاكِدْتُ
أَنْ أَلْحَقَ
بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ
فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ
قَالَ لَمَّا
بَلَغَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّ
أَهْلَ فَارِسَ
قَدْ مَلَّكُوا
عَلَيْهِمْ بِنْتَ
كِسْرَى قَالَ
لَنْ يُفْلِحَ
قَوْمٌ وَلَّوْ
أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
(BUKHARI - 4073) : Telah menceritakan kepada
kami Utsman bin Haitsam Telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari
Abu Bakrah dia berkata; Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan
suatu kalimat yang pernah aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang
Jamal tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku ingin
berperang bersama mereka.- Dia berkata; 'Tatkala sampai kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa penduduk Persia telah di pimpin oleh
seorang anak perempuan putri raja Kisra, beliau bersabda: "Suatu kaum
tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita.
Abû
Bakrah mengatakan bahwa hadîts tersebut dikemukakan oleh Nabi Saw. Ketika
mengetahui orang-orang Persia mengangkatseorang wanita untuk menjadi pemimpin
mereka. Kemudian Rasûlullâh bertanya: “Siapakah yang telah menggantikannya
sebagai pemimpin”. Jawab Abû Bakrah ; “Mereka menyerahkan kekuasaan kepada
putrinya”. Lalu Rasûlullâh bersabdasebagaimana tersebut di atas.
Berdasarkan
hadîts ini, menurut Mernissi, persoalan mendasar yang perlu dipertanyakan
adalah “mengapa hadîts tersebut diungkapkan oleh Abû Bakrah, ketika Âisyah
mengalami kekalahan pada Perang Jamal?
Menurut
Mernissi, bahwa Abû Bakrah mengemukakan hadîts tersebut ketika menolak untuk
ikut terlibat dalam perang saudara. Dalam hal ini, Ibn Hajar al-Asqalani
menceritakan, ketika Abû Bakrah dihubungi oleh Âisyah, secara terbuka ia
menyatakan sikap menentang fitnah. Abû Bakrah menjawab: “Adalah benar anda Umi
kami, adalah benar anda memiliki atas kami, tetapi saya mendengar Rasûlullâh
bersabda: (seperti tersebut di atas).
Mernissi
melakukan kritiknya terhadap Abû Bakrah dalam kaitannya meriwayatkan hadîts
tersebut, yaitu: Berdasarkan konteks historis, Abû Bakrah mengingat hadîts
tersebut ketika Âisyah mengalami kekalahan dalam Perang Jamal, ketika melawan
Alî ibn Abî Thâlib.Pada hal sikap awal yang diambil Abû Bakrah adalah bersikap
netral. Lantas, mengapa kemudian ia justru mengungkapkan hadîts tersebut, yang
seakanmenyudutkan Âisyah.
Berdasarkan
alasan tersebut di atas, Mernissi berkesimpulan bahwa meskipun hadis tersebut
dimuat dalam Sahih al-Bukhari, namun masih diperdebatkan oleh para fuqahâ.
Menurutnya, hadîts tersebut dijadikan argumentasi untuk menggusur kaum wanita
dalam proses pengambilankeputusan. Namun al-Thabarî meragukannya, dengan
mengatakan tak cukup alasan untuk merampas kemampuan wanita dalam pengambilan
keputusan dan tidak ada alasanuntuk melakukan pembenaran atas pengucilan mereka
dari kegiatan politik.
Namun,
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nur Khoirin, menyimpulkan bahwa
secara kuantitatif, hadîts tersebut termasuk hadîts Ahad, dan secara
kualitatif Abû Bakrah merupakan seorang yang shalih dan warâ’, seperti
penilaian Ibn Sa’ad. Silsilahnya pun dapat dilacak, bahwa Abû Bakrah mempunyai
nama, yaitu; Nufi’ ibn Masrûq.[6]
[4] Leila Ahmed, Wanita
dan Gender Dalam Islam: Akar-akar Historis Perdepatan Modern, terjemah, M.
S. Nasrullah, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000), h.61-62.
[5] Leila Ahmed, Wanita
dan Gender Dalam Islam: Akar-akar Historis Perdepatan Modern, terjemah, M.
S. Nasrullah, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 2000), h. 76.
[6] Nur Mukhlis Zakariya, Kegelisahan Intelektual Seoarang Feminis (Telaah
Pemikiran Fatima Mernissi tentang Hermeneutika Hadits, UIN Sunan Ampel
Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar