RESPONDING PAPER “RELASI GENDER DALAM
ISLAM”
Khilda Fauzia
1112034000194
Islam diturunkan sebagai pembawa rahmat
bagi seluruh alam, termasuk kaum perempuan. Nilai-nilai fundamental yang
mendasari ajaran Islam seperti perdamaian, pembebasan, dan egalitarianism—termasuk
persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan—banyak tercermin dalam
ayat-ayat al-Qur’an. Kisah-kisah tentang peran penting kaum perempuan di zaman
Nabi Muhammad Saw., seperti Siti Khadijah, Siti ‘Aisyah, dan lain-lain, telah banyak
ditulis. Begitu pula tentang sikap beliau yang menghormati kaum perempuan dan
memperlakukanya sebagai mitra dalam perjuangan.
Namun dalam kenyataan dewasa ini dijumpai
kesenjangan antara ajaran Islam yang mulia tersebut dengan kenyataannya dalam
kehidupan sehari-hari. Khusus tentang kesederajatan antara lelaki dan
perempuan, masih banyak tantangan dijumpai dalam merealisasikan ajaran ini,
bahkan di tengan masyarakat Islam sekalipun. Kaum perempuan masih tertinggal
dalam banyak hal dari mitra lelaki mereka.
Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi
antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan
perempuan memiliki derajat yang sama. Namun masalahnya terletak pada
implementasi atau operasionalisasi ajaran tersebut. Banyak factor seperti
lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat, system (termasuk system ekonomi
dan politik), serta sikap dan perilaku individual yang menentukan status kaum
perempuan dan ketimpangan gender tersebut.
Asal Usul Kejadian Perempuan
Dalam sumber ajaran Islam, asal usul,
substansi, dan proses kejadian perempuan tidak dijelaskan secara terperinci.
Bahkan nama Hawa, yang dipersepsikan sebagai perempuan pertama dan sekaligus
menjadi istri Adam, sama sekali tidak pernah disinggung dalam al-Qur’an.
Berbeda dengan sumber ajaran Kristen yang banyak menjelaskan asal usul kejadian
perempuan (Hawa/Eva). Seperti dalam Kitab Kejadian (genesis) 1:26-27, 2:18-24, Tradisi
Imamat 2:7, Tradisi Yahwis 2:18-24. Di antara naskah yang paling berpengaruh
ialah Kitab Kejadian 2:21-23 yang menyatakan bahwa:
Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur
nyenyak: ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk daripadanya,
lalu menutup tempat itu dengan daging (22) Dan dari rusuk yang diambil Tuhan
Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan. Lalu dibawa-Nya
kepada manusia itu (23).
Persepsi seperti ini juga banyak berpengaruh
dalam Dunia Islam, seperti yang dikatakan oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsîr al-Manâr bahwa,
“Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian
Lama (Kejadian 2:21) niscaya pendapat yang keliru (mendeskreditkan perempuan)
tidak pernah terlintas dalam benak seorang Muslim.[1]
Dalam Hadits ditemukan beberapa riwayat yang
menerangkan asal usul kejadian perempuan yang mirip sekali dengan Kitab
Kejadian dalam Alkitab, dan hadits-hadits itu banyak dikutip dalam beberapa
kitab tafsir mu’tabar. Di antara hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut:
Ketika Allah mengusir iblis keluar dari
Taman ‘And lalu di dalamnya ditempatkan Adam. Karena ia tidak mempunyai teman
bermain, maka Allah menidurkannya kemudian mengambil unsur dari tulang rusuk
kirinya lalu Dia menggantikan daging di tempat semula kemudian Dia menciptakan
Hawa daripadanya. Ketika bangun, Adam menemukan seorang perempuan duduk di
dekat kepalanya. Adam bertanya, “Siapa Anda?” hawa menjawab, “Perempuan.” Adam
kembali bertanya, “Kenapa engkau diciptakan?“ Hawa Menjawab, “Supaya engkau
mendapatkan kesenangan dari diri saya?”. Para malaikat berkata, “Siapa
namanya?” Dia menjawab, “Hawa”. Mereka bertanya, “Mengapa dipanggil Hawa?”
Dijawab, “Karena diciptakan dari sebuah benda hidup”.
Dalam hadits lain dikatakan”
“Jagalah perempuan itu baik-baik, karena
perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Bagian tulang rusuk yang paling rapuh
adalah bagian atasnya. Jika engkau berusaha meluruskannya ia akan patah, jika
engkau membiarkanya maka ia akan terus bengkok, oleh karena itu jagalah
perempuan itu baik-baik”.
Akan tetapi, ada ulama yang mempersoalkannya
dari segi matan karena dinilai
tidak sejalan dengan al-Qur’an, khususnya dalam al-Qur’an Surah al-Nisâ’ [4]: 1
yang menegaskan
1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
[263] Maksud dari padanya menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian
tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di
samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa
Yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
[264] Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu
atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As
aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
Kata mihna dalam ayat tersebut di
atas jumhur mufassir menafsirkannya dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. dengan berdasarkan hadits-hadits di atas. Sedangkan segolongan
memberikan penafsiran yang berbeda, seperti yang dikemukaka dalam Tafsîr al-Râzy bahwa:
Yang dimaksud dengan dan daripadanya Allah menciptakan ‘zauj’-nya yaitu dari jenis (gen) Adam. Sebagaimana firman Allah: sungguh telah datang dari “diri” kamu sekalian seorang
Rasul. Dan Allah menjadikan untukmu sekalian pasangan-pasangan dari kamu. Sekiranya hawa adalah makhluk pertama (dari tulang rusuk—pen), maka niscaya
manusia diciptakan dari dua nafs, bukan dari satu nafs (nafsin wâhidah). Dapat pula ditegaskan bahwa kata “min” dari ayat tersebut (min nafsin wâhidah) adalah li ibtida
al-ghâyah. Sekiranya ia menunjuk
kepada penciptaan awal (li ibtida
al-takhlîq) maka Adamlah yang lebih
pantas disebut sebagai manusia pertama. Jika dikatakan kamu sekalian diciptakan
dari nafs yang satu, dan Allah dengan kehendak-Nya juga menciptakan Adam dari tanah (turâb). Maka dengan
kehendak-Nya juga menciptakan Hawa dari turâb. Jika demikian adaya maka
apa gunanya mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam?
Hadits yang di sebutkan di atas adalah shahîh (dilihat dari
segi sanad), maka ada
ulama tertentu—seperti Muhammad Abduh—yang cenderung menakwilkannya. Di antara
orang yang cenderung pada pendapat seperti ini adalah Dr. M. Quraish Shihab
karena ia juga menghendaki istilah “tulang rusuk yang bengkok” dipahami secara majâzî (kiasan), yaitu
memperingatkan kepada kaum laki-laki agar bijaksana dalam menghadapi kaum
perempuan.”
Apabila kata “kiri” dalam tradisi intelektual
Arab berkonotasi negative dan sebaliknya kata “kanan” berkonotasi positif,
hadits tersebut dapat mengesankan depersonalisasi sumber ciptaan kaum
perempuan. Karena rusuk secara teoritis bukan manusia. Sebagai akibatnya lebih
jauh bisa memperkukuh kesan androsentrisme—suatu paham yang mengaggap kaum
laki-laki sebagai pemeran utama dalam hidup bermasyarakat—di kalangan kaum
laki-laki karena menganggap perempuan adalah subordinasi yang berfungsi komplementer
terhadap dirinya dan dengan demikian akan memberikan posisi inferiority complex kepada kaum
perempuan.
Konsep teologi lain yang memberikan citra
negative kepada kaum perempuan adalah anggapan bahwa Hawa menjadi penyebab
langsung tergelincirnya Adam dari surge ke bumi. Karen rayuannyalah Adam menjadi lengah dan memakan buah
terlarang yang menyebabkannya terlempar ke bumi. “Dosa asal” ini ditimpakan
kepada Hawa dan selanjutnya anggapan ini sangat membekas di alam bawah sadar
kaum perempuan dan merelakan dirinya senantiasa berada di bawah otoritas dan
dominasi kaum laki-laki.
Dalam Islam, “kasus” Adam bukan hanya
semata-mata ditimpakan kepada Hawa tetapi kepada mereka berdua secara
bersama-sama. Hal ini dapat dipahami dari penegasan al-Qur’an yang selalu
menggunakan kata ganti dhamîr humâ dalam mengungkap kasus Adam tersebut (QS al-Baqarah [2]: 36, al-A’raf
[7]: 20-24). Tidak ada satu pun ayat dan hadits yang mengisyaratkan Hawa
sebagai pelaku utama atau penyebab utama terjadinya “kasus” Adam tersebut.
Bahkan rasa penyesalan dan tobat mereka kepada Tuhan dinyatakan bersama-sama
dan Tuhan mengampuni keduanya (QS Âli ‘Imran [3]: 195).
Berkembangnya pendapat dalam dunia Islam
bahwa perempuan adalah subordinasi dari laki-laki bisa didekati dengan melihat
kenyataan sejarah bahwa banyak mantan pengikut setia ajaran Kristen bahkan
tokoh-tokoh mereka masuk agama Islam dan dengan sendirinya warisan intelektual
dari agama sebelumnya tidak mudah ditinggalkan. Apalagi jika ajaran agama yang
baru dianutnya terdapat beberapa persamaan dengan ajaran agama sebelumnya.
Disadari atau tidak, sejumlah mufassir banyak
mengutip kisah-kisah Israiliyyat dalam menjelaskan ayat-ayat mengenai
perempuan. Demikian pula para fiqahâ’, kebanyakan di antara mereka mendapatkan wawasan intelektual dari
Timur Tengah yang secara geokultural masyarakatnya menganut system kekerabatan
kebapakan (patriarchal) yang sangat kental (untuk tidak menyebut ekstrem).
Kepemimpinan Perempuan
Dalam bidang
kepemimpinan, Islam bertolak dari status manusia sebagai khalifah. Akhir surah
al-Ahzâb mempertegas kekhalifahan manusia ini di muka bumi sebagai
pengemban amanat Allah untuk mengolah, memelihara, dan mengembangkan bumi.
Inilah tugas pokok manusia –tidak berbeda antara perempuan dengan laki-laki.
Mengenai status kekhalifahan tadi,
Rasulullah Saw. menegaskan bahwa semua manusia adalah pemimpim (“Kaliah
semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya”). Islam mengangkat derajat manusia dan memberikan kepercayaan
yang tinggi, karena setiap manusia secara fungsional dan social adalah
pemimpin.[2]
Rasulullah memberikan gambaran yang lebih
konkret, yaitu di dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam perkembangan budaya
beliau menempatkan laki-laki dan perempuan pada bidang tertentu, tapi
masing-masing tetap berpotensi sebagai pemimpin. Itu yang ditegaskan dalam lanjutan hadits
tadi, “Lelaki adalah pemimpin keluarga, sementara perempuan adalah pemimpin
di rumah tangga”. Ini adalah penjelasan yang berkaitan dengan perkembangan
peradaban dan budaya manusia, yang pada gilirannya menempatkan laki-laki
sebagai kepala keluarga, artintya laki-laki berfungsi sebagai suami, dan ayah
itu berarti pemimpin untuk seluruh keluarga.
Biasanya yang dipersoalkan orang adalah
kepemimpinan perempuan di dalam dunia politik berdasarkan hadits lâ yaflâhû
qaumun wallau amrahum imra’atûn (tidak akan sukses suatu kaum yang
menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan). Perlu kita catat bahwa kualitas
hadits tersebut bukan shahih, karena tidak termuat dalam kitab Shahihaini,
tapi hadits ini masyhur beredar. Namun kemudian hadits ini dijabarkan di dalam
beberapa pemikiran fiqih secara tekstual, sehingga perempuan tidak boleh
menjadi pemimpin masyarakat. Akan tetapi, tidak ada kitab fiqih yang mengatakan
perempua tidak boleh menjadi pemimpin di dalam rumah tangga, semua kebudayaan
mengakui hal ini. hanya yang dipermasalahkan adalah kepemimpinan yang di luar
rumah tangga. Hal ini juga ada kaitannya dengan perempyuan karier yang bekerja
di luar rumah tangga.
Mengenai hadits tadi, sebagian ulama
berpendapat bahwa perempuan tidak boleh memegang jabatan penting seperti
jabatan kepala Negara, hakim, dan sebagainya. Akan tetapi, kalau kita lihat
realitasnya dalam sejarah Islam, banyak perempuan Islam yang tampil sebagai
pemimpin. Aisyah, istri Nabi Muhammad Saw. diakui sebagai seorang mufti. Maka
dia memberikan fatwa sekali bersahabat Nabi yang lain (Abu Bakar, Umar, Ibnu
Abbas, dll). Bahkan kedudukannya sebagai panglima pada perang Unta juga diakui.
Kemudian di dalam perkembangan sejarqah Indonesia juga banyak terdapat tokoh,
pahlawan, dan raja wanita, seperti Cut Nyak Dien di Aceh. Di dalam al-Qur’an
disebutkan juga tentang seorang ratu di zaman Nabi Sulaiman, yaitu Ratu Balqis.
Sebagian ulama tidak berpendapat bahwa
perempuan tidak bisa jadi pemimpin, dengan alas an hadits tadi sekadar
pemberitaan, bukan ketentuan umu. Karena hadits tadi diceritakan oleh Nabi
berkaitan dengan peristiwa suksesi di Persa. Ketika itu Raja Persia meninggal
dunia, para petinggi kerajaan menyepakati puteri raja tadi dinobatkan menjadi
ratu. Peristiwa itulah yang direspons oleh Nabi, karena terbukti ratu tadi
tidak berhasil mengendalikan Negara. Nabi hanya berhenti di situ, tidak membuat
penegasan melarang seluruh perempuan menjadi pemimpin masyarakat. Di dalam
al-Qur’an pun tidak ada pelarangan.
Kemudian Imam Thabari mempertegas bahwa,
walaupun kita menggunakan hadits tadi sebagai dasar hukum, tetapi hanya menyangkut
satu masalah khusus, yaitu bahwa perempuan tidak boleh memegang pucuk pimpinan
tertinggi Negara, perempuan tidak bisa jadi khalifah, tapi selain itu bisa. Ada
tiga Negara Islam yang saat ini menampilkan perempuan sebagai pemimpin, yaitu
Pakistan, Bangladesh, dan Turki, tentu di Negara-negara tadi banyak ulama dan
mengerti, namun karena luasnya wawasan mereka, maka mereka bisa menerima
perempuan sebagai pemimpin.
Hakikat Penciptaan Lelaki dan Perempuan
Allah Swt. menciptakan alam dan seisinya
yang beraneka ragam termasuk di dalamnya manusia, lelaki dan perempuan. Di
antara semua makhluk-Nya, manusia diciptakan dalam bentuk yang terbaik (ahsani
taqwîm) dan dengan kedudukan yang paling terhormat, sebagaimana diungkap
dalam al-Qur’an surah al-Isra’ [17]: 70:
70. dan
Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan.
[862]
Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan
dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.
Ini
merupakan perwujudan sifat kemuliaan manusia (al-karâmah al-insâniyyah),
yang tercermin pada kenyataan bahwa manusia memiliki akal, perasaan, dan
menerima petunjuk. Dengan kemuliaan ini, manusia dipersiapkan untuk menjalankan
dua misi sekaligus. Pertama, manusia adalah hamba (‘âbid) yang
fungsinya adalah mengabdi kepada-Nya sebagaimana disebutkan dalam ayat ..
Dan tidaklah Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah-Ku. Kedua,
manusia adalah wakil atau pelaksana kekuasaan (khalîfah) Allah di muka bumi. Untuk fungsi ini manusia diberi
kekuasaan mengelola, mengolah, dan memanfaatkan bumi dan seisinya.
Peran
sebagai wakil Allah (khalîfah) untuk
mengelola dunia yang dipercayakan kepada manusia, baik laki-laki maupun
perempuan, membawa konseksuensi. Pertama, manusia secara kodrati akan
senantiasa berusaha untuk berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif
sehingga dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari pengelolaan mereka
terhadap bumi ini. Kedua, ada perbedaaan yang bersifat kodrati antara
laki-laki dan perempuan karena peran yang berbeda, dan dengan saling melengkapi
antara laki-laki dan perempuan maka terjadi sinergi untuk memperoleh mafaat
yang maksimal. Ketiga, karena hakikat kemuliaan manusia (al-karâmah
al-insâniyyah) dank arena mengemban misi sebagai khalîfah di bumi, maka ada
serangkaian hak asasi yang menjadi hak manusia, yang integral dan inheren serta
tidak terpisahkan dari kemanusiaan itu sendiri. Keempat, bagi perempuan,
karena mereka mengemban peran-peran tertentu, maka selain memiliki hak asasi
secara umum yang berlaku bagi perempuan dan laki-laki, mereka juga memiliki
hak-hak khusus yang memungkinkan terlaksananya peran yang dipercayakan
kepadanya.
Tentang penciptaan laki-laki dan perempuan itu sendiri, al-Qur’an
mengatakan bahwa salah satu tanda kebesaran Allah adalah diciptakannya manusia
berpasangan, laki-laki dan perempuan.
21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir.[3]
1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.[4]
[263] Maksud dari padanya menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian
tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di
samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa
Yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
[264] Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu
atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As
aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.[5]
Dari ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa laki-laki dan perempuan
diciptakan dengan maksud agar mereka hidup tenang dan tenteram, agar
saling mencintai dan mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan
perempuan, dan agar saling mengenal. Ayat-ayat di
atas mengindikasikan hubungan yang respirokal atau timbal balik antara
laki-laki dan perempuan. Tidak satu pun yang mengindikaskan adanya superioritas
suatu jenis atau jenis lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Lily Zakiyah Munir. Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan
dalam Perspektif Islam. Bandung: Penerbit Mizan. 1999.
Muhammad Rasyid Ridha. Tafsîr al-Manâr.
Juz IV. Kairo : Dar al-Manar. 1367.
[2] Lily Zakiyah Munir, Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan
dalam Perspektif Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 69-70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar