Senin, 07 Desember 2015



RESPONDING PAPER “RELASI GENDER DALAM ISLAM”
Khilda Fauzia
1112034000194

Islam diturunkan sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam, termasuk kaum perempuan. Nilai-nilai fundamental yang mendasari ajaran Islam seperti perdamaian, pembebasan, dan egalitarianism—termasuk persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan—banyak tercermin dalam ayat-ayat al-Qur’an. Kisah-kisah tentang peran penting kaum perempuan di zaman Nabi Muhammad Saw., seperti Siti Khadijah, Siti ‘Aisyah, dan lain-lain, telah banyak ditulis. Begitu pula tentang sikap beliau yang menghormati kaum perempuan dan memperlakukanya sebagai mitra dalam perjuangan.
Namun dalam kenyataan dewasa ini dijumpai kesenjangan antara ajaran Islam yang mulia tersebut dengan kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari. Khusus tentang kesederajatan antara lelaki dan perempuan, masih banyak tantangan dijumpai dalam merealisasikan ajaran ini, bahkan di tengan masyarakat Islam sekalipun. Kaum perempuan masih tertinggal dalam banyak hal dari mitra lelaki mereka.
Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan perempuan memiliki derajat yang sama. Namun masalahnya terletak pada implementasi atau operasionalisasi ajaran tersebut. Banyak factor seperti lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat, system (termasuk system ekonomi dan politik), serta sikap dan perilaku individual yang menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan gender tersebut.
Asal Usul Kejadian Perempuan
Dalam sumber ajaran Islam, asal usul, substansi, dan proses kejadian perempuan tidak dijelaskan secara terperinci. Bahkan nama Hawa, yang dipersepsikan sebagai perempuan pertama dan sekaligus menjadi istri Adam, sama sekali tidak pernah disinggung dalam al-Qur’an. Berbeda dengan sumber ajaran Kristen yang banyak menjelaskan asal usul kejadian perempuan (Hawa/Eva). Seperti dalam Kitab Kejadian (genesis) 1:26-27, 2:18-24, Tradisi Imamat 2:7, Tradisi Yahwis 2:18-24. Di antara naskah yang paling berpengaruh ialah Kitab Kejadian 2:21-23 yang menyatakan bahwa:
Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak: ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk daripadanya, lalu menutup tempat itu dengan daging (22) Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan. Lalu dibawa-Nya kepada manusia itu (23).
Persepsi seperti ini juga banyak berpengaruh dalam Dunia Islam, seperti yang dikatakan oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsîr al-Manâr bahwa, “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama (Kejadian 2:21) niscaya pendapat yang keliru (mendeskreditkan perempuan) tidak pernah terlintas dalam benak seorang Muslim.[1]
Dalam Hadits ditemukan beberapa riwayat yang menerangkan asal usul kejadian perempuan yang mirip sekali dengan Kitab Kejadian dalam Alkitab, dan hadits-hadits itu banyak dikutip dalam beberapa kitab tafsir mu’tabar. Di antara hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut:
Ketika Allah mengusir iblis keluar dari Taman ‘And lalu di dalamnya ditempatkan Adam. Karena ia tidak mempunyai teman bermain, maka Allah menidurkannya kemudian mengambil unsur dari tulang rusuk kirinya lalu Dia menggantikan daging di tempat semula kemudian Dia menciptakan Hawa daripadanya. Ketika bangun, Adam menemukan seorang perempuan duduk di dekat kepalanya. Adam bertanya, “Siapa Anda?” hawa menjawab, “Perempuan.” Adam kembali bertanya, “Kenapa engkau diciptakan?“ Hawa Menjawab, “Supaya engkau mendapatkan kesenangan dari diri saya?”. Para malaikat berkata, “Siapa namanya?” Dia menjawab, “Hawa”. Mereka bertanya, “Mengapa dipanggil Hawa?” Dijawab, “Karena diciptakan dari sebuah benda hidup”.
Dalam hadits lain dikatakan”
“Jagalah perempuan itu baik-baik, karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk. Bagian tulang rusuk yang paling rapuh adalah bagian atasnya. Jika engkau berusaha meluruskannya ia akan patah, jika engkau membiarkanya maka ia akan terus bengkok, oleh karena itu jagalah perempuan itu baik-baik”.
Akan tetapi, ada ulama yang mempersoalkannya dari segi matan karena dinilai tidak sejalan dengan al-Qur’an, khususnya dalam al-Qur’an Surah al-Nisâ’ [4]: 1 yang menegaskan
1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

[263] Maksud dari padanya menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
[264] Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
Kata mihna dalam ayat tersebut di atas  jumhur mufassir menafsirkannya dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. dengan berdasarkan hadits-hadits di atas. Sedangkan segolongan memberikan penafsiran yang berbeda, seperti yang dikemukaka dalam Tafsîr al-Râzy bahwa:
Yang dimaksud dengan dan daripadanya Allah menciptakan ‘zauj’-nya yaitu dari jenis (gen) Adam. Sebagaimana firman Allah: sungguh telah datang dari “diri” kamu sekalian seorang Rasul. Dan Allah menjadikan untukmu sekalian pasangan-pasangan dari kamu. Sekiranya hawa adalah makhluk pertama (dari tulang rusuk—pen), maka niscaya manusia diciptakan dari dua nafs, bukan dari satu nafs (nafsin wâhidah). Dapat pula ditegaskan bahwa kata “min” dari ayat tersebut (min nafsin wâhidah) adalah li ibtida al-ghâyah. Sekiranya ia menunjuk kepada penciptaan awal (li ibtida al-takhlîq) maka Adamlah yang lebih pantas disebut sebagai manusia pertama. Jika dikatakan kamu sekalian diciptakan dari nafs yang satu, dan Allah dengan kehendak-Nya juga menciptakan Adam dari tanah (turâb). Maka dengan kehendak-Nya juga menciptakan Hawa dari turâb. Jika demikian adaya maka apa gunanya mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam?
Hadits yang di sebutkan di atas adalah shahîh (dilihat dari segi sanad), maka ada ulama tertentu—seperti Muhammad Abduh—yang cenderung menakwilkannya. Di antara orang yang cenderung pada pendapat seperti ini adalah Dr. M. Quraish Shihab karena ia juga menghendaki istilah “tulang rusuk yang bengkok” dipahami secara majâzî (kiasan), yaitu memperingatkan kepada kaum laki-laki agar bijaksana dalam menghadapi kaum perempuan.”
Apabila kata “kiri” dalam tradisi intelektual Arab berkonotasi negative dan sebaliknya kata “kanan” berkonotasi positif, hadits tersebut dapat mengesankan depersonalisasi sumber ciptaan kaum perempuan. Karena rusuk secara teoritis bukan manusia. Sebagai akibatnya lebih jauh bisa memperkukuh kesan androsentrisme—suatu paham yang mengaggap kaum laki-laki sebagai pemeran utama dalam hidup bermasyarakat—di kalangan kaum laki-laki karena menganggap perempuan adalah subordinasi yang berfungsi komplementer terhadap dirinya dan dengan demikian akan memberikan posisi inferiority complex kepada kaum perempuan.
Konsep teologi lain yang memberikan citra negative kepada kaum perempuan adalah anggapan bahwa Hawa menjadi penyebab langsung tergelincirnya Adam dari surge ke bumi. Karen rayuannyalah Adam menjadi lengah dan memakan buah terlarang yang menyebabkannya terlempar ke bumi. “Dosa asal” ini ditimpakan kepada Hawa dan selanjutnya anggapan ini sangat membekas di alam bawah sadar kaum perempuan dan merelakan dirinya senantiasa berada di bawah otoritas dan dominasi kaum laki-laki.
Dalam Islam, “kasus” Adam bukan hanya semata-mata ditimpakan kepada Hawa tetapi kepada mereka berdua secara bersama-sama. Hal ini dapat dipahami dari penegasan al-Qur’an yang selalu menggunakan kata ganti dhamîr humâ dalam mengungkap kasus Adam tersebut (QS al-Baqarah [2]: 36, al-A’raf [7]: 20-24). Tidak ada satu pun ayat dan hadits yang mengisyaratkan Hawa sebagai pelaku utama atau penyebab utama terjadinya “kasus” Adam tersebut. Bahkan rasa penyesalan dan tobat mereka kepada Tuhan dinyatakan bersama-sama dan Tuhan mengampuni keduanya (QS Âli ‘Imran [3]: 195).
Berkembangnya pendapat dalam dunia Islam bahwa perempuan adalah subordinasi dari laki-laki bisa didekati dengan melihat kenyataan sejarah bahwa banyak mantan pengikut setia ajaran Kristen bahkan tokoh-tokoh mereka masuk agama Islam dan dengan sendirinya warisan intelektual dari agama sebelumnya tidak mudah ditinggalkan. Apalagi jika ajaran agama yang baru dianutnya terdapat beberapa persamaan dengan ajaran agama sebelumnya.
Disadari atau tidak, sejumlah mufassir banyak mengutip kisah-kisah Israiliyyat dalam menjelaskan ayat-ayat mengenai perempuan. Demikian pula para fiqahâ’, kebanyakan di antara mereka mendapatkan wawasan intelektual dari Timur Tengah yang secara geokultural masyarakatnya menganut system kekerabatan kebapakan (patriarchal) yang sangat kental (untuk tidak menyebut ekstrem).
Kepemimpinan Perempuan
Dalam bidang kepemimpinan, Islam bertolak dari status manusia sebagai khalifah. Akhir surah al-Ahzâb mempertegas kekhalifahan manusia ini di muka bumi sebagai pengemban amanat Allah untuk mengolah, memelihara, dan mengembangkan bumi. Inilah tugas pokok manusia –tidak berbeda antara perempuan dengan laki-laki.
Mengenai status kekhalifahan tadi, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa semua manusia adalah pemimpim (“Kaliah semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”). Islam mengangkat derajat manusia dan memberikan kepercayaan yang tinggi, karena setiap manusia secara fungsional dan social adalah pemimpin.[2]
Rasulullah memberikan gambaran yang lebih konkret, yaitu di dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam perkembangan budaya beliau menempatkan laki-laki dan perempuan pada bidang tertentu, tapi masing-masing tetap berpotensi sebagai pemimpin.  Itu yang ditegaskan dalam lanjutan hadits tadi, “Lelaki adalah pemimpin keluarga, sementara perempuan adalah pemimpin di rumah tangga”. Ini adalah penjelasan yang berkaitan dengan perkembangan peradaban dan budaya manusia, yang pada gilirannya menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga, artintya laki-laki berfungsi sebagai suami, dan ayah itu berarti pemimpin untuk seluruh keluarga.
Biasanya yang dipersoalkan orang adalah kepemimpinan perempuan di dalam dunia politik berdasarkan hadits lâ yaflâhû qaumun wallau amrahum imra’atûn (tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan). Perlu kita catat bahwa kualitas hadits tersebut bukan shahih, karena tidak termuat dalam kitab Shahihaini, tapi hadits ini masyhur beredar. Namun kemudian hadits ini dijabarkan di dalam beberapa pemikiran fiqih secara tekstual, sehingga perempuan tidak boleh menjadi pemimpin masyarakat. Akan tetapi, tidak ada kitab fiqih yang mengatakan perempua tidak boleh menjadi pemimpin di dalam rumah tangga, semua kebudayaan mengakui hal ini. hanya yang dipermasalahkan adalah kepemimpinan yang di luar rumah tangga. Hal ini juga ada kaitannya dengan perempyuan karier yang bekerja di luar rumah tangga.
Mengenai hadits tadi, sebagian ulama berpendapat bahwa perempuan tidak boleh memegang jabatan penting seperti jabatan kepala Negara, hakim, dan sebagainya. Akan tetapi, kalau kita lihat realitasnya dalam sejarah Islam, banyak perempuan Islam yang tampil sebagai pemimpin. Aisyah, istri Nabi Muhammad Saw. diakui sebagai seorang mufti. Maka dia memberikan fatwa sekali bersahabat Nabi yang lain (Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas, dll). Bahkan kedudukannya sebagai panglima pada perang Unta juga diakui. Kemudian di dalam perkembangan sejarqah Indonesia juga banyak terdapat tokoh, pahlawan, dan raja wanita, seperti Cut Nyak Dien di Aceh. Di dalam al-Qur’an disebutkan juga tentang seorang ratu di zaman Nabi Sulaiman, yaitu Ratu Balqis.
Sebagian ulama tidak berpendapat bahwa perempuan tidak bisa jadi pemimpin, dengan alas an hadits tadi sekadar pemberitaan, bukan ketentuan umu. Karena hadits tadi diceritakan oleh Nabi berkaitan dengan peristiwa suksesi di Persa. Ketika itu Raja Persia meninggal dunia, para petinggi kerajaan menyepakati puteri raja tadi dinobatkan menjadi ratu. Peristiwa itulah yang direspons oleh Nabi, karena terbukti ratu tadi tidak berhasil mengendalikan Negara. Nabi hanya berhenti di situ, tidak membuat penegasan melarang seluruh perempuan menjadi pemimpin masyarakat. Di dalam al-Qur’an pun tidak ada pelarangan.
Kemudian Imam Thabari mempertegas bahwa, walaupun kita menggunakan hadits tadi sebagai dasar hukum, tetapi hanya menyangkut satu masalah khusus, yaitu bahwa perempuan tidak boleh memegang pucuk pimpinan tertinggi Negara, perempuan tidak bisa jadi khalifah, tapi selain itu bisa. Ada tiga Negara Islam yang saat ini menampilkan perempuan sebagai pemimpin, yaitu Pakistan, Bangladesh, dan Turki, tentu di Negara-negara tadi banyak ulama dan mengerti, namun karena luasnya wawasan mereka, maka mereka bisa menerima perempuan sebagai pemimpin.
Hakikat Penciptaan Lelaki dan Perempuan
Allah Swt. menciptakan alam dan seisinya yang beraneka ragam termasuk di dalamnya manusia, lelaki dan perempuan. Di antara semua makhluk-Nya, manusia diciptakan dalam bentuk yang terbaik (ahsani taqwîm) dan dengan kedudukan yang paling terhormat, sebagaimana diungkap dalam al-Qur’an surah al-Isra’ [17]: 70:
70. dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

[862] Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh penghidupan.
Ini merupakan perwujudan sifat kemuliaan manusia (al-karâmah al-insâniyyah), yang tercermin pada kenyataan bahwa manusia memiliki akal, perasaan, dan menerima petunjuk. Dengan kemuliaan ini, manusia dipersiapkan untuk menjalankan dua misi sekaligus. Pertama, manusia adalah hamba (‘âbid) yang fungsinya adalah mengabdi kepada-Nya sebagaimana disebutkan dalam ayat .. Dan tidaklah Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk menyembah-Ku. Kedua, manusia adalah wakil atau pelaksana kekuasaan (khalîfah) Allah di muka bumi. Untuk fungsi ini manusia diberi kekuasaan mengelola, mengolah, dan memanfaatkan bumi dan seisinya.
Peran sebagai wakil Allah (khalîfah) untuk mengelola dunia yang dipercayakan kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan, membawa konseksuensi. Pertama, manusia secara kodrati akan senantiasa berusaha untuk berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif sehingga dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari pengelolaan mereka terhadap bumi ini. Kedua, ada perbedaaan yang bersifat kodrati antara laki-laki dan perempuan karena peran yang berbeda, dan dengan saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan maka terjadi sinergi untuk memperoleh mafaat yang maksimal. Ketiga, karena hakikat kemuliaan manusia (al-karâmah al-insâniyyah) dank arena mengemban misi sebagai khalîfah di bumi, maka ada serangkaian hak asasi yang menjadi hak manusia, yang integral dan inheren serta tidak terpisahkan dari kemanusiaan itu sendiri. Keempat, bagi perempuan, karena mereka mengemban peran-peran tertentu, maka selain memiliki hak asasi secara umum yang berlaku bagi perempuan dan laki-laki, mereka juga memiliki hak-hak khusus yang memungkinkan terlaksananya peran yang dipercayakan kepadanya.
Tentang penciptaan laki-laki dan perempuan itu sendiri, al-Qur’an mengatakan bahwa salah satu tanda kebesaran Allah adalah diciptakannya manusia berpasangan, laki-laki dan perempuan.
21. dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.[3]
 
1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.[4]

[263] Maksud dari padanya menurut jumhur mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa Yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
[264] Menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu dengan nama Allah.
13. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.[5]
Dari ayat-ayat di atas, jelaslah bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dengan maksud agar mereka hidup tenang dan tenteram, agar saling mencintai dan mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan, dan agar saling mengenal. Ayat-ayat di atas mengindikasikan hubungan yang respirokal atau timbal balik antara laki-laki dan perempuan. Tidak satu pun yang mengindikaskan adanya superioritas suatu jenis atau jenis lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Lily Zakiyah Munir. Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam. Bandung: Penerbit Mizan. 1999.
Muhammad Rasyid Ridha. Tafsîr al-Manâr. Juz IV. Kairo : Dar al-Manar. 1367.


[1] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Manâr, Juz IV, Kairo : Dar al-Manar, 1367, h. 330.
[2] Lily Zakiyah Munir, Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 69-70.
[3] QS. Al-Rûm [30]: 21.
[4] QS. Al-Nisâ’ [4]:1.
[5] QS. Al-Hujurat [49]: 13.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar