Senin, 07 Desember 2015



Responding Paper  “Relasi Gender dalam Agama Hindu dan Buddha”
Khilda Fauzia
1112034000194
A.    Ketidaksetaraan Gender dalam tradisi dan teks-teks Hindu 
Dalam agama Hindu, gerakan keadilan dan kesejahteraan semestinya diaplikasikan, diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari yang dibarengi dengan budaya dan tradisi yang bermoral yang berdasarkan Dharma. Tradisi-tradisi yang tidak bersesuaian dengan kaidah agama hendaknya mulai dikikis perlahan-lahan menuju ke arah kaidah agama yang hakiki, sebab tidak ada sedikit pun ruang gerak manusia yang terlepas dari hukum agama yang diyakini.[1]
Dalam tradisi masyarakat Hindu, bila dalam sebuah keluarga belum melahirkan anak laki-laki, terasa ada yang kurang. Karena dalam pandangan Hindu, putra (anak laki-laki) yang akan menyebrangkan jiwa orang tua ke surge. Dalam agama Hindu, sejak awal kehidupan, perkawinan merupakan salah satu lembaga efektif.
Dalam Weda Smerti disebutkan bahwa hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan berusaha dengan tidak jemu-jemu supaya mereka tidak bercerai dan jangan melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain. Perkawinan hanya sekali dan jangan melanggar kesetiaan.
Dasar hukum sebuah tradisi yang diturunkan adalah Dharma yang menjamin kesetaraan, keseimbangan terbebas dari pertentangan dualism. Ini mnejamin tidak ada perbedaan antara lemah dan kuat, kaya dan miskin, rakyat dan kaum bangsawan, laki-laki dan perempuan serta semua yang bersifat dualism. Hal ini bertilak belakang dengan perilaku sebagian besar masyarakat Indonesia yang dikarenakan oleh warisan budaya feodalisme telah menunjukkkan angka perilaku kekerasan terhadap pihak yang lemah, dalam hal ini khususnya perempuan dan anak-anak.
Terdapat kecenderungan agama, budaya, tradisi adat ditafsirkan dengan menempatkan perempuan sebagai warga negara kelas dua sehingga terus-menerus menjadi korban juga perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak.
Dalam teks-teks keagamaan Hindu, derajat wanita tidaklah direndahkan. Wanita dianggap sebagai pemelihara hidup diakrenakan ia haid dan melahirkan. Istri menjadi pendamping suami dalam mengarungi hidup guna mencapai kebahagiaan. Berikut beberapa gender dalam teks-teks keagamaan Hindu:
“Prajanartha sriyah srstah samtanartham ca manawah tasmat sadharano dharma crutau patnya sahaditah”
Artinya: Untuk menjadi ibu wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah laki-laki diciptakan oleh upacara keagamaan saat perkawinan, karena itu ditetapkan di dalam Weda untuk dilakukan oleh suami bersama dengan istrinya.”
Kamamamaranattistheg grhe karyantum atyapi, nacaivainam prayacchettu guna hinaya karhicit.”
Artinya: Tetapi walaupun wanita itu sudah cukup umur untuk kawin, hendaknya ia ditahan saja di rumah oleh orang tuanya sampai mati daripada dia di kawinkan dengan laki-laki yang tidak memiliki sifat baik.
“Panam durjana samsargah patya ca wirako’tanam, swapno,nya geha wascca marisamdursanani sat.”
Artinya: Meminum minuman keras, bergaul dengan orang-orang jahat, berpisah dari suami tidur pada jam-jam tidak layak, mengembara keluar daerah, berdiam di rumah laki-laki lain adalah enam sebab jatuhnya seorang wanita yang menyebabkan kehancuran. [Manawa Dharma Sastra IX]
Selain itu adapula teks-teks keagamaan Hindu yang sangat menghormati perempuan, seperti:
“Yatra naryastu pujyante
Ramante tatra dewatah
Yatraitastu na pujyante
Sarwastalah kriyah”
Artinya: Dimana wanita dihormati, di sana ada kebahagiaan dan kesejahteraan. Dan dimana wanita tidak di hormati, tidak ada pekerjaan yang menghasilkan. [Manawa Dharma Sastra III 55].
Kekerasan terhadap perempuan apalagi sampai merampas hak-hak perempuan adalah tindakan yang menempatkan pada posisi yang sangat tidak dihormati. Artinya kebahagiaan yang sesungguhnya hanya dapat diperoleh apabila perempuan menempati posisinya dihormati dan bahagia. Tanpa itu, kebahagiaan hidup pun tidak dapat diperoleh. Tidak ada alasan wanita untuk tidak dihormati dan memperoleh haknya secara penuh sebab tidak ada seorangpu yang dapat memperlakukan seorang wanita dengan kekerasan sebagaimana Manawa Dharma sastra menjelaskan sebagai berikut:
Na kaccitdyositah bhaktah
Parahya parisaksitum
Etiarupayayogaistu cakyastah
Pariraksiatam
Artinya: Tak seorang laki-laki pun dapat menjaga wanita dengan kekerasan, tetapi ia dapat dijaga dengan cara-cara sebagai berikut: [Manawa Dharma Sastra IX 10]
Araksita grhe ruddhah
Purusairaptakaribhih
Atmanam atmanayastu
Rakseyustah syraksitah
Artinya: Wanita tetap tinggal di rumah, dipercayakan di bawah kepercayaan dan pembantu-pembantu yang setia tidaklah terjaga baik, tetapi mereka yang atas kemauan mereka menjaga diri mereka sendiri adalah terjaga baik. [Manawa Dharma Sastra IX 12]
Pada dasarnya tidaklah dibenarkan mengekang atau menjaga perempuan dengan batasan-batasan norma apapun tanpa persetujuan dan kesadaran dari perempuan itu sendiri. Pada dasarnya sejak dahulu dalam Manawa Dharma Sastra sebuah sumber peradaban umat manusia menjelaskan bahwa antara laki-laki dengan perempuan adalah sederajat dengan hak dan kewajiban yang sama, bahkan perempuan diberi keistimewaan tersendiri dalam hukum Hindu. Perempuan, sekalipun telah jatuh moralnya, kewajiban hak laki-laki adalah menjaganya dan mengembalikan kehormatannya dengan cara-cara yang bijaksana untuk menjadikannya menjadi istri yang utama. Tetapi perempuan itu sendiri yang jatuh moralnya menurut hukum agama pun berakibat sama. Sehingga pada dasarnya untuk menempati posisi dihormati, perempuan punya tanggung jawab menjaga etika dan moralnya sendiri karena apabila perempuan itu jatuh moralnya, berakibat pada penderitaan dan kehancuran.
“Panam durjana samsargah patya ca wirako’tanam, swapno,nya geha wascca marisamdursanani sat.”
Artinya: Meminum minuman keras, bergaul dengan orang-orang jahat, berpisah dari suami tidur pada jam-jam tidak layak, mengembara keluar daerah, berdiam di rumah laki-laki lain adalah enam sebab jatuhnya seorang wanita yang menyebabkan kehancuran. [Manawa Dharma Sastra IX]
B.     Relasi Kuasa Dewa-Dewa dan Dewi-Dewi
Dalam mitologi Hindu dikenal adanya Dewa-Dewi yang mana Dewa-Dewi tersebut merupakan personifikasi dari alam atau sebagai perwujudan dari gelar kemahakuasaan Tuhan. Kepercayaan tentang dewa-dewi dalam agama Hindu sudah mucul sejak zaman Weda, yaitu pada masa agama Hindu baru berkembang. Dewa-dewi banyak disebut-sebut dalam Weda sebagai makhluk di bawah derajat Tuhan. Pada zaman Wedda, dewa-dewi banyak dipuja sebgai pelindung diri manusia.
Dalam Hindu dikenal banyak nama dewa-dewi, posisi dewa-dewi sama halnya dengan malaikat dalam agama samawi, dewa-dewi tertinggi dalam agama Hindu dikenal dengan Tri Murthi yang dipercaya sebagai manifestasi Tuhan dalam 3 bentuk, yakni:
·         Dewa Brahma—Dewa pencipta, manifestasi Tuhan dalam menciptakan
·         Dewa Wisnu—Dewa pemelihara, manifestasi Tuhan dalam memelihara
·         Dewa Siwa—Dewa pelebur atau pemusnah, manifestasi Tuhan dalam menghancurkan.[2]
Dewa (Maskulin) dan Dewi (Feminin) adalah keberadaan supranatural yang menguasai unsur-unsur alam atau aspek-aspek tertentu dalam kehidupan manusia. Mereka disembah, dianggap suci dan keramat, dan dihormati oleh umat Hindu. Dewa memiliki bermacam-macam wujud, biasanya berwujud manusia atau binatang. Mereka hidup abadi. Mereka memiliki kepribadian masing-masing. Mereka memiliki emosi, kecerdasan, seperti layaknya manusia. Beberapa fenomena alam seperti petir, hujan, banjir, badai, dab sebagainya, termasuk keajaiban adalah ciri khas mereka sebagai pengatur alam. Para makhluk supranatural yang menguasai unsur-unsur alam atau aspek-aspek tertentu dalam kehidupan manusia yang berjenis kelamin pria disebut “Dewa”, sedangkan “Dewi” adalah sebutan untuk yang berjenis kelamin wanita.[3]
Seperti halnya umat manusia dewa-dewi pun mempunyai istri yang kita kenal dengan dewi-dewi atau sering disebut juga dengan sakti. Dewa Brahma mempunyai istri Dewi Saraswati, Dewa Wisnu mempunyai istri Dewi Laksmi dan Dewa Siwa yang mempunyai istri Dewi Durgana dan Dewi Uma. Dewa-dewa dan dewi-dewi dalam agama Hindu juga mempunyai tugas dan kekuasaan masing-masing:
·         Dewa Brahma yang memiliki kuasa dalam penciptaan jagat raya. Ia adalah anggota pertama Tri Murthi Hindu yang juga termask di dalamnya dewa Viwnu dan Dewa Siwa. Pasangannya yang mulia adalah Saraswati, dewi dari ilmu pengetahuan. Ia memberikanya pengetahuan yang diperlukan untuk tujuan penciptaan.[4]
·         Dewa Wisnu yang bergelas sebagai “Shtiti” (pemelihara) yang bertugas memelihara dan melindungi semua ciptaan Tuhan (Brahma). Dewi Laksmi dalam agama Hindu, Laksmi adalah dewi kekayaan, kesuburan, kemakmuran, keberuntungan, kecantikan, keadilan, dan kebijaksanaan.
·         Dewa Siwa yang memiliki kuasa meleburkan, memusnahkan, dan menghancurkan. Ia menghilangkan kejahatan, menganugerahkan anugerah, memberikan berkah, menghancurkan ketidakpedulian, dan membangkitkan kebijaksanaan pada pemujaanya. Dewi DDurga yang disebut juga dengan banyak nama lainnnya, seperti Sakti, Parwati, Ambika, dan Kali. Dalam bentuk Uma, ia dikenal sebagai pasangan Dewa Siwa. Dewi Durga adalah salah satu dewi yang banyak dipuja dalam agama Hindu. Durga disebut juga Ibu Mulia, melindungi manusia dari kejahatan dan penderitaan dengan menghancurkan kekuatan jahat seperti keegoisan, kecemburuan, prasangka, benci, dan ego.[5]
Dalam Padma purana disebutkan bahwa Dewa Brahma membagi setengah dirinya dalam menciptakan Dewi Saraswati. Bukan hanya setengah badan tetapi juga adalah setengah jiwanya. Hal ini yang dimaksudkan dengan konsep Ardhanareswari dalam Hindu.
Dalam Siswatattwa dikenal konsep Ardhanareswari yaitu symbol Tuhan dalam amnifestasi sebagai setengah purusan dan pradana. Kedudukan dan peranan purusa disimbolkan denganSiwa sedangkan pradana disimbolkan denganDewi Uma. Di dalam proses penciptaan, Siwa memerankan fungsi maskulin sedangkan Dewi Uma memerankan fungsi feminine. Tiada suatu apapun akan tercipta jika kekuatan purusa dan pradana tidak menyatu. Penyatuan kedua unsur ini diyakini tetap memberikan bayu bagi terciptanya berbagai makhluk dan tumbuhan yang ada.
Dapat dilihat bersama dalam kehidupan sehari-hari masyarakat memberikan penghargaam yang besar terhadap perempuan. Masyarakat melakukan pemujaan kepada Dewi yang dapat membantu kehidupan manusia di dunia ini, seperti Dewi Sri (Dewi Padi) yang merupakan sumber kehidupan manusia, pemujaan sebagai tanda bakti dan terima kasih juga ditujukan kepada Dewi Saraswati (Dewi pengetahuan). Dewai Saraswati berdiri di atas bunga teratai melambangkan ia sebagai perempuan mampu berdiri dalam situasi apapun. Dewi Durga mempunyai kekuatanmagis yang luar baisa, yang dapat memberi kekuatan dan menghancurkan kehidupan ini. dewi Sri Sedana, merupakan para Dewi uang yang mempengaruhi perekonomian seseorang. Tugas yang dilakukan para Dewi itu adalah sama dengan Dewa sesuai manifestasinya.[6]
C.     Gender, Sistem Kasta, dan Masyarakat yang Seksis
Dalam agama Hindu terdapat konsep “sati” sebagai keutamaan istri yang mengorbankan dirinya untuk terjun ke dalam panasnya api yang membakar suaminya. Konsep “satti” itu tak memberikan keuntungan terhadap seorang istri yang ditinggalkan oleh suaminya karena alasan apapun, dan merupakan sebuah perwujudan dari kesetiaan seorang istri terhadap suami, tetapi lambat laun tradisi ini dilarang oleh Negara-negara.
Ada 4 kasta dalam agama Hindu:
1.      Kasta Brahmana merupakan kasta tertinggi bertugas menjalankan upacara-upacara keagamaan. Adapun yang termasuk kasta ini adalah para Brahmana.
2.      Kasta Ksatria bertugas menjalankan pemerintahan yang termasuk kasta ini adalam para raja, bangsawan, dan prajurit.
3.      Kasta Waisya kasta dari golongan pekerja, seperti para petani dan pedagang.
4.      Kasta sudra, merupakan kasta yang paling rendah seperti rakyat biasa (pekerja kasar).[7]
Selanjutanya sebuah system kasta yang dianut oleh pemeluk agama Hindu, tetapi masih saja mengatur hubngan perkawinan dengan interpretasi yang timpang.
Kasta hanya merupakan kategori professional. Kasta-kasta itu diumpamakan seperti beberapa bagian dalam tubuh kita. Tidak hanya ada bagian yang dapat dipandang rendah. Bila para sudra hanya dibandingkan dengan kedua kaki kita, apakah kita ingin membuang kaki kita? Kita memnghargai dan merawat kaki kita seperti halnya angggota tubuh lainnya. Kita tidak memandang kaki sebagai bagian tubuh kita yang hina.[8]
System kasta dalam agama hindu hanya berfungsi untuk menempatkan seseorang sesuai dengan potensi atau kemampuan yang dimilikinya.
D.    Feminism Hindu: Perjuangan Melawan Ketidaksetaraaan.
Dalam Hindu, wanita selalu diberikan kedudukan yang terhormat sejajar dengan laki-laki. Dimana saja wanita dihormati di sana.  Keharmonisan akan tercipta adan sebaliknya, dimana wanitanya tidak dihormati cepat atau lambat akan terjadi prahata di dalam rumah tangga. Wanita dikatakan sebagai lambang keutamaan cita-cita yang luhur dan utama dan sebagai barometer maju mundurnya rumah tangga. Jadilah wanita yang bersifat mayurastri, yang mempunyai wibawa dan kharismatik sebagai seorang wanita dan mampu memberikan pengayoman dan keharmonisan dalam rumah tangga.
Dalam keluarga yang harmonis, tiap hari anggota keluarga diajarkan saling mengeluarkan pemikiran yang positif, anggota diajak sembahyang bersama dan diisi juga dengan berbagai nasihat. Seorang ibu tidak saja dihormati dan menempatkan sesuai dengan tugas dan mampu menghormati dan menempatkan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Seorang ibu mempunyai swadharma yang begitu komplek dalam kehidupan ini. dair mengandung anak, melahirkan, mendidik, dan memberikan kehidupan sehingga anaknya berhasil menjadi anak yang suputra, mendampingi suami dalam keadaan apapun, mengatur rumah tanga dan sebagainya.
Wanita sangat menentukan maju mundurnya kehidupan keluarga, maysarakat dan negera bahkan sering dijadikan cermin perkembangan keluarga, masyarakat dan Negara. Dengan demikian seorang ibu hendaknya memperlihatkan wajah yang berseri-seri sehingga keharmonisan dan kebahagiaan dalam keluarga menjadi terwujud.
Salah satu contoh gerakan feminism dalam agama Hindu adalah yang terjadi di masyarakat Hindu Bali. Agama hindu yang masuk ke Bali mempengaruhi relasi gender dalam masyarakat Bali. Konsep yang jelas terlihat adalah konsep kasta yang menyebabkan adanya pembagian masyarakat berdasarkan kasta. (Lansing, 1995: 27). Peraturan mengenai kasta tersebut mempengaruhi adanya peraturan pernikahan antarkasta. System patrilineal melalui konsep purusa yang mengutamakan laki-laki juga dipengaruhi oleh agama Hindu.
Disebutkan bahwa purusa yang berarti laki-laki diambil dari konsep agama Hindu. Dalam konsep tersebut purusa merupakan suatu kosmologi, matero pokok, dan dianggap sebgai penyebab efisiensi alam semesta. Dalam bowker disebutkan pula bahwa konsep purusa bersifat kepahlawanan untuk kejayaan kitab suci Veda dan kesejahteraan semua makhluk. Merujuk hal tersebut, terlihat bahwa konsep puruja (laki-laki) dipengaruhi oleh agama Hindu dan dianggap hal utama bagi terciptanya harmoni bagi semua makhluk.
Menurut Panetje, keluarga dari pihak laki-laki mendapat perhatian lebih dahulu daripada keluarga dari pihak ibu. Namun, bukan berarti hubungan si anak dengan ibunya atau keluarganya dari pancar ibu (wadu) tidak ada artinya sama sekali. Hubungan dengan keluarga pancar wadu baru mendapat perhatian sesudah hubugan dengan bapaknya tidak ada lagi.
Walaupun pendominasian peran laki-laki dalam kehidupan dan kultur agama Hindu di Bali, apabila ditinjau dari segi fungsi purusa, juga dapat diperankan oleh kaum perempuan. Dalam masyarakat Hindu di Bali, perempuan juga memegang peran yang sangat penting salam menjaga nama baik keluarganya.
·         Pernikahan
Masyarakat Bali mengadopsi system kasta dari India sebagai bagiandari agama Hindu. Amsyarakat dibagi ke dalam empat kasta, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Menurut Panetje (1986:20). Empat kasta yang disebut catur wangsa itu satu sama lain sangat terpisah. Seseorang masuk salah satu kasta itu hanya karena keturunan melalui garis pancar laki-laki (purusa).
Pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang berkasta lebih rendah merupakan sebuah pelanggaran. Pelanggaran tersebut berupa hukuman pembuangan bagi laki-laki dan perempuan. Meskipun dianggap pelanggaran adat, pernikahan tersebut tetap sah. Pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang ebrkasta lebih tinggi juga menimbulkan pelanggaran hukuman denda bagi laki-laki.
·         Poligami
Konsep patriarkhi di Bali tampak pula dalam praktek pernikahan poligami. Seorang laki-laki bolhe menikahi lebih dari satu perempuan tanpa batasan. Menurut Korn (dalam Panetje, 1986: 101) hanya di sesa Tengahan Pagringsingan terdapat perkecualian atas adat poligami. Di tempat tersebut terdapat adat monogamy. Panetje menjelaskan bahwa para raja atau bangsawan yang mempunyai banyak istri, mengkategorikan istri-istri mereka. Seorang istri yang sederajat dengan suaminya diangkat menajdi istri pertama disebut prameswari atau padmi. Adapun istri-istri yang lain disebut penawing. Apabila mereka telah berstatus janda, kedudukan hukum seorang padmi berbeda dengan istri yang berkedudukan sebagai penawing.
E.     Status Perempuan dalam Agama Buddha
Kondisi masyarakat india pada masa pra-Buddha diwarnai oleh perlakuan yang diskriminatif atas kasta dan gender. Salah satu ajaran Brahmanisme yang sangat seksis mengatakan bahwa hanya keturunan laki-laki yang berhak melaksanakan ritual penyucian pada saat  upacara kematian orang utan mereka (ayah), dan akan mengangkat ayah mereka masuk ke surge. Perempuan tidak berhak dan diyakini tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan orang tua mereka.
Totalitas sikap Buddha yang adil gender adalah didirikannya Sangha Bhikkhuni atau komunitas perempuan yang menjalani hidup suci secara selibat. Perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan atas jalan hidupnya sendiri menjadi perumah-tangga biasa. Atau meninggalkan peran tradisional tersebut dan hidup sebagai bikkhuni. Buddha Gautama telah mewujudkan keadilan gender yang hampir setara, yang pada konteks jaman tersebut merupakan hal yang sangat radikal.
Buddha datang untuk menghapus system kasta. Menurut Buddha yang menjadikan derajat seseorang tinggi bukanlah keturunan, dll, tetapi perbuatannya. Orang yang selalu berbuat baik akan menempati derajat yang tinggi dan orang yang selalu berbuat jahat akan menempati derajat rendah.
F.      Sejarah Munculnya Kerahiban Perempuan
Semenjak Sangha Bhikkhuni ada, umur Sangha Bhikkhu akan menjadi setengahnya dari 1000 tahun menjadi 500 tahun.
Cerita penolakan Buddha sebanyak 3 kali terhadap ibu tirinya yang ingin ditahbiskan menjadi bikkhuni. Akhirnya Buddha menerima bhikkhuni dengan syarat 8 garu dhamma.
Delapan garu dhamma atau delapan aturan keras bagi bhikkhuni, dua diantaranya adalah:
Seorang bhikkhuni, walaupun sudah menjalankan sampai 100 tahun kebiksuniannya, harus menyapa dengan hormat terhadap seorang bhikkhu walaupun bhikkhu tersebut baru sehari menjadi biksu.
Seorang bhikkhuni tidak diperbolehkan untuk menasehati seorang bhikkhu, namun seorang bhikkhu boleh menasehati seorang bhikkhuni.
 Ciri-ciri Buddha yang berjumlah 32 (mahapurusa) salah satunya adalah alat kelamin laki-lakinya terbungkus oleh selaput, membuat banyak penganut Buddha tradisi Therawada meyakini bahwa Buddha haruslah seorang pria. Padahal di dalam teks Therawada sendiri (Tripitaka Pali) dikatakan bahwa Buddha adalah orang yang tercerahkan yang mencapai nibbana (nirwana), yaitu terbebas dari keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan ketidaktahuan/kebodohan batin (moha). Bahkan di Tripitaka Pali banyak disebutkan bahwa perempuan juga bisa mencapai pencerahan. Jadi sangat tidak masuk akal jika dikatakan bahwa perempuan tidak bisa menjadi Buddha. Pemikiran inilah yang kemudian berkembang di dalam pemikiran buddhisme tradisi Mahayana sehingga ada konsep Buddha wanita. Dan mungkin kita perlu meragukan keaslian konsep mahapurusa atau 32 ciri Buddha apakah memang dari Buddha sendiri atau tambahan yang dibuat untuk meninggikan beliau sehingga masyarakat pada saat itu lebih bisa meyakini beliau.
Anggapan dilahirkan sebagai perempuan lebih rendah mungkin karena desakan kaum brahmanisme pada saat itu yang semakin kuat (sekitar abad ke-3 sebelum masehi). Apalagi ditambah dengan anggapan bahwa Buddha haruslah seorang laki-laki sehingga saat ini masih ada sebagian kecil umat Buddha yang menganggap kelahiran sebagai wanita adalah lebih rendah, padahal perempuan juga bisa mencapai nirwana atau setara dengan Buddha.
Mahayana adalah buddhime yang lebih liberal. Mahayana sendiri terdiri dari berbagai macam tradisi-tradisi kecil. Sebagian pemikiran Mahayana mengangkat kaum perempuan sehingga dalam Jataka Cina dapat ditemukan bodhisatta yang terlahir sebagai perempuan sebelum akhirnya terlahir sebagai laki-laki yaitu Buddha Gotama. Namun, hal tersebut dirasa tidak sesuai dengan ajaran Buddha sehingga pada akhirnya lahir konsep Buddha Perempuan di Cina yang terwujud dalam awalokiteswara (guan-yin). Untuk membuat kesejajaran gender, dikembangkan konsep bodhisatwa. Bodhisattva mempunyai pengertian yang lebih luas daripada bodhisatta, yaitu orang yang mampu menjadi Buddha namun tidak langsung memasuki nirwana, tetapi mengabdikan dirinya demi makhluk lain. Jadi Bodhisatwa bukan hanya ada satu orang seperti halnya dalam bodhisatta. Evolusi Bodhisatwa guan-yin menjadi perempuan juga memberikan dampak penghormatan terhadap perempuan dan memberikan arti bahwa perempuan juga bisa menjadi Buddha.
Diskriminasi selanjutnya adalah terhadap bhikkhuni. Dikatakan sejak awal kemunculan sangha perempuan, sangha bhikkhu akan berkurang umurnya. Namun, kenyataannya sangha Mahayana hingga saat ini yang mempunyai biksuni tetap bertahan dan bahkan salah satu biksuninya amat dihormati (biksuni Cheng-Yen, pendiri Tzu Chi).
Dikatakan juga Buddha menolak tiga kali permintaan ibu tirinya untuk menjadi bikkhuni. Mungkin pada kasus ini, ibu tirinya adalah seorang ratu sehingga jika Buddha menerimanya, akan terjadi ketidakstabilan politik kerajaan dan Sangha Bhikkhu akan mengalami masalah. Buddha adalah orang yang sangat bijaksana sehingga beliau berhati-hati ketika mengambil keputusan. Atau mungkin saja cerita penolakan tersebut belakangan timbul untuk maksud tertentu.
Setelah kematian Buddha, ucapan-ucapan beliau belum ditulis. Hanya diturunkan melalui ucapan-ucapan dari satu generasi ke generasi selanjutnya, sehingga memungkinkan adanya penafsiran-penafsiran atau tambahan-tambahan di dalam kitab suci Tripitaka. Tripitaka Pali (Therawada) ditulis 4 abad setelah kematian Buddha sehingga ada kemungkinan tidak sama persisi seperti yang Buddha katakan. Begitu pula Tripitaka Cina (Mahayana) dan sutra-sutra tambahan dibuat beberapa abad setelah kematian Buddha. Namun demikian, bagi umat Buddha hal tersebut tidak menjadi masalah karena ajaran Buddha perlu dilaksanakan untuk dibuktikan bukan menerima mentah-mentah isi kitab suci. Saatnya kita mulai berpikir lebih kritis dan memandang biksuni sama ketika kita memandang biksu. Penghormatan seseorang terhadap biksuni juga harus sama dengan penghormatannya terhadap biksu.[9]
G.   Reinterpretasi dan Adaptasi Peran-Peran Gender Tradisional[10]
Ajaran Budha yang paling dasar, yaitu egalitarianisme, ternyata justru menjebak. Karena agam Budha yang dipercaya tidak seksis, ternyata ada teks-teks ajarannya yang bersifat seksis. Sehingga perlu adanya reinterpretasi dan kalau perlu, reformasi.

No.
Delapan peraturan diskriminatif dalam 8 garu darma atau 8 aturan keras
`1
Seorang bukhuni, bahkan yang sudah tahbis 100 tahun, harus menyapa dengan sopan, berdiri pada saat kehadiran, membungkuk, dan melakukan tugas-tugasnya seorang bhikkhu yang baru di tahbis sehari.
2
Seorang bhikhuni tidak boleh melaksanakan masa vassa-nya di daerah yang tidak ada bhikkhunya.
3
Setiap dua minggu, seorang bhikhuni yang mengnunggu dua hal dari bhikhuni sangha; tanggal upacara aposattha dan waktu para bhikkhu untuk memberi ajaran.
4
Selesai masa vassa para bhikhuni melakukan pavarana(memohon nasihat tentang apakah kesalahan yang telah di perbuat kepada kedua sangha, sangha bhikhu dan sangha bhikhuni, dalam hubungannya dengan apa yang dilihat, didengar, dan apa yang dicurugai.
5
Seorang bhikhuni yang melanggar pelanggaran serius harus menjalani hukuman dihadapan kedua sangha (sanhgha bhikhuni dan sangha bhikhu
6
Ketika seorang samaneri telah berlatih melakukan 6 sila (5 sila yang pertama ditambah sila yang mengatur makan sekali dalam sehari sebelum makan siang) selama dua tahun , bhikkhuni gtersebut dapat diminta pentahbisan dari kedua sangha.
7
Seorang bhikhuni tidak boleh menghina atau melecehkan seorang bhikhu dalam kesempatan apapun.
8
Seorang bhikhuni tidak diperbolehkan untuk menasehati seorang bhikhu, seorang bhikhu boleh menasehati seorang bhikhuni.




[1] Widana, I Wayan, Ketidakadilan Gender dalam Tafsir Hindu: Sebuah Pengantar Gerakan Keadilan Gender dalam Perspektif Hindu, h. 28.
[4] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu, (Surabaya: Paramita, 2003), h. 200.
[5] Bansi Pandit, Pemikiran Hindu, (Surabaya: Paramita, 2003), h. 211.
[7] Ali Mukti, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: PT Hanindita, 1988), h. 70.
[8] Sharma, Mengapa Tradisi Hindu dan Upacara Hindu, (Surabaya: Paramita, 2007), h. 135.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar