Responding Paper “Relasi Gender dalam Agama Hindu dan Buddha”
Khilda Fauzia
1112034000194
A. Ketidaksetaraan
Gender dalam tradisi dan teks-teks Hindu
Dalam agama Hindu, gerakan keadilan dan
kesejahteraan semestinya diaplikasikan, diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari yang dibarengi dengan budaya dan tradisi yang bermoral yang
berdasarkan Dharma. Tradisi-tradisi yang tidak bersesuaian dengan kaidah
agama hendaknya mulai dikikis perlahan-lahan menuju ke arah kaidah agama yang
hakiki, sebab tidak ada sedikit pun ruang gerak manusia yang terlepas dari
hukum agama yang diyakini.[1]
Dalam tradisi masyarakat Hindu, bila dalam
sebuah keluarga belum melahirkan anak laki-laki, terasa ada yang kurang. Karena
dalam pandangan Hindu, putra (anak laki-laki) yang akan menyebrangkan jiwa
orang tua ke surge. Dalam agama Hindu, sejak awal kehidupan, perkawinan
merupakan salah satu lembaga efektif.
Dalam Weda Smerti disebutkan bahwa
hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan berusaha
dengan tidak jemu-jemu supaya mereka tidak bercerai dan jangan melanggar
kesetiaan antara satu dengan yang lain. Perkawinan hanya sekali dan jangan
melanggar kesetiaan.
Dasar hukum sebuah tradisi yang diturunkan
adalah Dharma yang menjamin kesetaraan, keseimbangan terbebas dari pertentangan
dualism. Ini mnejamin tidak ada perbedaan antara lemah dan kuat, kaya dan
miskin, rakyat dan kaum bangsawan, laki-laki dan perempuan serta semua yang
bersifat dualism. Hal ini bertilak belakang dengan perilaku sebagian besar
masyarakat Indonesia yang dikarenakan oleh warisan budaya feodalisme telah
menunjukkkan angka perilaku kekerasan terhadap pihak yang lemah, dalam hal ini khususnya
perempuan dan anak-anak.
Terdapat kecenderungan agama, budaya,
tradisi adat ditafsirkan dengan menempatkan perempuan sebagai warga negara
kelas dua sehingga terus-menerus menjadi korban juga perlu mendapatkan
perhatian dari semua pihak.
Dalam teks-teks keagamaan Hindu, derajat
wanita tidaklah direndahkan. Wanita dianggap sebagai pemelihara hidup
diakrenakan ia haid dan melahirkan. Istri menjadi pendamping suami dalam
mengarungi hidup guna mencapai kebahagiaan. Berikut beberapa gender dalam
teks-teks keagamaan Hindu:
“Prajanartha sriyah srstah samtanartham ca
manawah tasmat sadharano dharma crutau patnya sahaditah”
Artinya: Untuk menjadi ibu wanita
diciptakan dan untuk menjadi ayah laki-laki diciptakan oleh upacara keagamaan
saat perkawinan, karena itu ditetapkan di dalam Weda untuk dilakukan oleh suami
bersama dengan istrinya.”
“Kamamamaranattistheg grhe karyantum
atyapi, nacaivainam prayacchettu guna hinaya karhicit.”
Artinya: Tetapi walaupun wanita itu sudah
cukup umur untuk kawin, hendaknya ia ditahan saja di rumah oleh orang tuanya
sampai mati daripada dia di kawinkan dengan laki-laki yang tidak memiliki sifat
baik.
“Panam durjana samsargah patya ca
wirako’tanam, swapno,nya geha wascca marisamdursanani sat.”
Artinya: Meminum minuman keras, bergaul
dengan orang-orang jahat, berpisah dari suami tidur pada jam-jam tidak layak,
mengembara keluar daerah, berdiam di rumah laki-laki lain adalah enam sebab
jatuhnya seorang wanita yang menyebabkan kehancuran. [Manawa Dharma Sastra IX]
Selain itu adapula teks-teks keagamaan
Hindu yang sangat menghormati perempuan, seperti:
“Yatra naryastu pujyante
Ramante tatra dewatah
Yatraitastu na pujyante
Sarwastalah kriyah”
Artinya: Dimana wanita dihormati, di sana
ada kebahagiaan dan kesejahteraan. Dan dimana wanita tidak di hormati, tidak
ada pekerjaan yang menghasilkan. [Manawa Dharma Sastra III 55].
Kekerasan terhadap perempuan apalagi sampai
merampas hak-hak perempuan adalah tindakan yang menempatkan pada posisi yang
sangat tidak dihormati. Artinya kebahagiaan yang sesungguhnya hanya dapat
diperoleh apabila perempuan menempati posisinya dihormati dan bahagia. Tanpa
itu, kebahagiaan hidup pun tidak dapat diperoleh. Tidak ada alasan wanita untuk
tidak dihormati dan memperoleh haknya secara penuh sebab tidak ada seorangpu
yang dapat memperlakukan seorang wanita dengan kekerasan sebagaimana Manawa
Dharma sastra menjelaskan sebagai berikut:
Na kaccitdyositah bhaktah
Parahya parisaksitum
Etiarupayayogaistu cakyastah
Pariraksiatam
Artinya: Tak seorang laki-laki pun dapat menjaga
wanita dengan kekerasan, tetapi ia dapat dijaga dengan cara-cara sebagai
berikut: [Manawa Dharma Sastra IX 10]
Araksita grhe ruddhah
Purusairaptakaribhih
Atmanam atmanayastu
Rakseyustah syraksitah
Artinya: Wanita tetap tinggal di rumah,
dipercayakan di bawah kepercayaan dan pembantu-pembantu yang setia tidaklah
terjaga baik, tetapi mereka yang atas kemauan mereka menjaga diri mereka
sendiri adalah terjaga baik. [Manawa Dharma Sastra IX 12]
Pada dasarnya tidaklah dibenarkan mengekang
atau menjaga perempuan dengan batasan-batasan norma apapun tanpa persetujuan
dan kesadaran dari perempuan itu sendiri. Pada dasarnya sejak dahulu dalam
Manawa Dharma Sastra sebuah sumber peradaban umat manusia menjelaskan bahwa
antara laki-laki dengan perempuan adalah sederajat dengan hak dan kewajiban
yang sama, bahkan perempuan diberi keistimewaan tersendiri dalam hukum Hindu.
Perempuan, sekalipun telah jatuh moralnya, kewajiban hak laki-laki adalah
menjaganya dan mengembalikan kehormatannya dengan cara-cara yang bijaksana
untuk menjadikannya menjadi istri yang utama. Tetapi perempuan itu sendiri yang
jatuh moralnya menurut hukum agama pun berakibat sama. Sehingga pada dasarnya
untuk menempati posisi dihormati, perempuan punya tanggung jawab menjaga etika
dan moralnya sendiri karena apabila perempuan itu jatuh moralnya, berakibat
pada penderitaan dan kehancuran.
“Panam durjana samsargah patya ca
wirako’tanam, swapno,nya geha wascca marisamdursanani sat.”
Artinya: Meminum minuman keras, bergaul
dengan orang-orang jahat, berpisah dari suami tidur pada jam-jam tidak layak,
mengembara keluar daerah, berdiam di rumah laki-laki lain adalah enam sebab
jatuhnya seorang wanita yang menyebabkan kehancuran. [Manawa Dharma Sastra IX]
B. Relasi Kuasa Dewa-Dewa dan Dewi-Dewi
Dalam mitologi Hindu dikenal adanya
Dewa-Dewi yang mana Dewa-Dewi tersebut merupakan personifikasi dari alam atau
sebagai perwujudan dari gelar kemahakuasaan Tuhan. Kepercayaan tentang
dewa-dewi dalam agama Hindu sudah mucul sejak zaman Weda, yaitu pada masa agama
Hindu baru berkembang. Dewa-dewi banyak disebut-sebut dalam Weda sebagai
makhluk di bawah derajat Tuhan. Pada zaman Wedda, dewa-dewi banyak dipuja
sebgai pelindung diri manusia.
Dalam Hindu dikenal banyak nama dewa-dewi,
posisi dewa-dewi sama halnya dengan malaikat dalam agama samawi, dewa-dewi
tertinggi dalam agama Hindu dikenal dengan Tri Murthi yang dipercaya sebagai
manifestasi Tuhan dalam 3 bentuk, yakni:
·
Dewa Brahma—Dewa pencipta, manifestasi Tuhan dalam menciptakan
·
Dewa Wisnu—Dewa pemelihara, manifestasi Tuhan dalam memelihara
·
Dewa Siwa—Dewa pelebur atau pemusnah, manifestasi Tuhan dalam
menghancurkan.[2]
Dewa (Maskulin) dan Dewi (Feminin) adalah
keberadaan supranatural yang menguasai unsur-unsur alam atau aspek-aspek
tertentu dalam kehidupan manusia. Mereka disembah, dianggap suci dan keramat,
dan dihormati oleh umat Hindu. Dewa memiliki bermacam-macam wujud, biasanya
berwujud manusia atau binatang. Mereka hidup abadi. Mereka memiliki kepribadian
masing-masing. Mereka memiliki emosi, kecerdasan, seperti layaknya manusia.
Beberapa fenomena alam seperti petir, hujan, banjir, badai, dab sebagainya,
termasuk keajaiban adalah ciri khas mereka sebagai pengatur alam. Para makhluk
supranatural yang menguasai unsur-unsur alam atau aspek-aspek tertentu dalam
kehidupan manusia yang berjenis kelamin pria disebut “Dewa”, sedangkan “Dewi”
adalah sebutan untuk yang berjenis kelamin wanita.[3]
Seperti halnya umat manusia dewa-dewi pun
mempunyai istri yang kita kenal dengan dewi-dewi atau sering disebut juga
dengan sakti. Dewa Brahma mempunyai istri Dewi Saraswati, Dewa Wisnu mempunyai
istri Dewi Laksmi dan Dewa Siwa yang mempunyai istri Dewi Durgana dan Dewi Uma.
Dewa-dewa dan dewi-dewi dalam agama Hindu juga mempunyai tugas dan kekuasaan
masing-masing:
·
Dewa Brahma yang memiliki kuasa dalam penciptaan jagat raya. Ia adalah
anggota pertama Tri Murthi Hindu yang juga termask di dalamnya dewa Viwnu dan
Dewa Siwa. Pasangannya yang mulia adalah Saraswati, dewi dari ilmu pengetahuan.
Ia memberikanya pengetahuan yang diperlukan untuk tujuan penciptaan.[4]
·
Dewa Wisnu yang bergelas sebagai “Shtiti” (pemelihara) yang bertugas
memelihara dan melindungi semua ciptaan Tuhan (Brahma). Dewi Laksmi dalam agama
Hindu, Laksmi adalah dewi kekayaan, kesuburan, kemakmuran, keberuntungan,
kecantikan, keadilan, dan kebijaksanaan.
·
Dewa Siwa yang memiliki kuasa meleburkan, memusnahkan, dan
menghancurkan. Ia menghilangkan kejahatan, menganugerahkan anugerah, memberikan
berkah, menghancurkan ketidakpedulian, dan membangkitkan kebijaksanaan pada
pemujaanya. Dewi DDurga yang disebut juga dengan banyak nama lainnnya, seperti
Sakti, Parwati, Ambika, dan Kali. Dalam bentuk Uma, ia dikenal sebagai pasangan
Dewa Siwa. Dewi Durga adalah salah satu dewi yang banyak dipuja dalam agama
Hindu. Durga disebut juga Ibu Mulia, melindungi manusia dari kejahatan dan
penderitaan dengan menghancurkan kekuatan jahat seperti keegoisan, kecemburuan,
prasangka, benci, dan ego.[5]
Dalam Padma purana disebutkan bahwa Dewa
Brahma membagi setengah dirinya dalam menciptakan Dewi Saraswati. Bukan hanya
setengah badan tetapi juga adalah setengah jiwanya. Hal ini yang dimaksudkan
dengan konsep Ardhanareswari dalam Hindu.
Dalam Siswatattwa dikenal konsep
Ardhanareswari yaitu symbol Tuhan dalam amnifestasi sebagai setengah purusan
dan pradana. Kedudukan dan peranan purusa disimbolkan denganSiwa sedangkan
pradana disimbolkan denganDewi Uma. Di dalam proses penciptaan, Siwa memerankan
fungsi maskulin sedangkan Dewi Uma memerankan fungsi feminine. Tiada suatu
apapun akan tercipta jika kekuatan purusa dan pradana tidak menyatu. Penyatuan
kedua unsur ini diyakini tetap memberikan bayu bagi terciptanya berbagai
makhluk dan tumbuhan yang ada.
Dapat dilihat bersama dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat memberikan penghargaam yang besar terhadap perempuan.
Masyarakat melakukan pemujaan kepada Dewi yang dapat membantu kehidupan manusia
di dunia ini, seperti Dewi Sri (Dewi Padi) yang merupakan sumber kehidupan
manusia, pemujaan sebagai tanda bakti dan terima kasih juga ditujukan kepada
Dewi Saraswati (Dewi pengetahuan). Dewai Saraswati berdiri di atas bunga
teratai melambangkan ia sebagai perempuan mampu berdiri dalam situasi apapun.
Dewi Durga mempunyai kekuatanmagis yang luar baisa, yang dapat memberi kekuatan
dan menghancurkan kehidupan ini. dewi Sri Sedana, merupakan para Dewi uang yang
mempengaruhi perekonomian seseorang. Tugas yang dilakukan para Dewi itu adalah
sama dengan Dewa sesuai manifestasinya.[6]
C. Gender, Sistem Kasta, dan Masyarakat yang
Seksis
Dalam agama Hindu terdapat konsep “sati”
sebagai keutamaan istri yang mengorbankan dirinya untuk terjun ke dalam
panasnya api yang membakar suaminya. Konsep “satti” itu tak memberikan
keuntungan terhadap seorang istri yang ditinggalkan oleh suaminya karena alasan
apapun, dan merupakan sebuah perwujudan dari kesetiaan seorang istri terhadap
suami, tetapi lambat laun tradisi ini dilarang oleh Negara-negara.
Ada 4 kasta dalam agama Hindu:
1. Kasta Brahmana merupakan kasta tertinggi
bertugas menjalankan upacara-upacara keagamaan. Adapun yang termasuk kasta ini
adalah para Brahmana.
2. Kasta Ksatria bertugas menjalankan
pemerintahan yang termasuk kasta ini adalam para raja, bangsawan, dan prajurit.
3. Kasta Waisya kasta dari golongan pekerja,
seperti para petani dan pedagang.
4. Kasta sudra, merupakan kasta yang paling
rendah seperti rakyat biasa (pekerja kasar).[7]
Selanjutanya sebuah system kasta yang
dianut oleh pemeluk agama Hindu, tetapi masih saja mengatur hubngan perkawinan
dengan interpretasi yang timpang.
Kasta hanya merupakan kategori
professional. Kasta-kasta itu diumpamakan seperti beberapa bagian dalam tubuh
kita. Tidak hanya ada bagian yang dapat dipandang rendah. Bila para sudra hanya
dibandingkan dengan kedua kaki kita, apakah kita ingin membuang kaki kita? Kita
memnghargai dan merawat kaki kita seperti halnya angggota tubuh lainnya. Kita
tidak memandang kaki sebagai bagian tubuh kita yang hina.[8]
System kasta dalam agama hindu hanya
berfungsi untuk menempatkan seseorang sesuai dengan potensi atau kemampuan yang
dimilikinya.
D. Feminism Hindu: Perjuangan Melawan
Ketidaksetaraaan.
Dalam Hindu, wanita selalu diberikan
kedudukan yang terhormat sejajar dengan laki-laki. Dimana saja wanita dihormati
di sana. Keharmonisan akan tercipta adan
sebaliknya, dimana wanitanya tidak dihormati cepat atau lambat akan terjadi
prahata di dalam rumah tangga. Wanita dikatakan sebagai lambang keutamaan
cita-cita yang luhur dan utama dan sebagai barometer maju mundurnya rumah
tangga. Jadilah wanita yang bersifat mayurastri, yang mempunyai wibawa dan
kharismatik sebagai seorang wanita dan mampu memberikan pengayoman dan
keharmonisan dalam rumah tangga.
Dalam keluarga yang harmonis, tiap hari
anggota keluarga diajarkan saling mengeluarkan pemikiran yang positif, anggota
diajak sembahyang bersama dan diisi juga dengan berbagai nasihat. Seorang ibu
tidak saja dihormati dan menempatkan sesuai dengan tugas dan mampu menghormati
dan menempatkan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Seorang ibu mempunyai
swadharma yang begitu komplek dalam kehidupan ini. dair mengandung anak,
melahirkan, mendidik, dan memberikan kehidupan sehingga anaknya berhasil
menjadi anak yang suputra, mendampingi suami dalam keadaan apapun, mengatur
rumah tanga dan sebagainya.
Wanita sangat menentukan maju mundurnya
kehidupan keluarga, maysarakat dan negera bahkan sering dijadikan cermin
perkembangan keluarga, masyarakat dan Negara. Dengan demikian seorang ibu
hendaknya memperlihatkan wajah yang berseri-seri sehingga keharmonisan dan
kebahagiaan dalam keluarga menjadi terwujud.
Salah satu contoh gerakan feminism dalam
agama Hindu adalah yang terjadi di masyarakat Hindu Bali. Agama hindu yang
masuk ke Bali mempengaruhi relasi gender dalam masyarakat Bali. Konsep yang
jelas terlihat adalah konsep kasta yang menyebabkan adanya pembagian masyarakat
berdasarkan kasta. (Lansing, 1995: 27). Peraturan mengenai kasta tersebut
mempengaruhi adanya peraturan pernikahan antarkasta. System patrilineal melalui
konsep purusa yang mengutamakan laki-laki juga dipengaruhi oleh agama Hindu.
Disebutkan bahwa purusa yang berarti
laki-laki diambil dari konsep agama Hindu. Dalam konsep tersebut purusa
merupakan suatu kosmologi, matero pokok, dan dianggap sebgai penyebab efisiensi
alam semesta. Dalam bowker disebutkan pula bahwa konsep purusa bersifat
kepahlawanan untuk kejayaan kitab suci Veda dan kesejahteraan semua makhluk.
Merujuk hal tersebut, terlihat bahwa konsep puruja (laki-laki) dipengaruhi oleh
agama Hindu dan dianggap hal utama bagi terciptanya harmoni bagi semua makhluk.
Menurut Panetje, keluarga dari pihak
laki-laki mendapat perhatian lebih dahulu daripada keluarga dari pihak ibu.
Namun, bukan berarti hubungan si anak dengan ibunya atau keluarganya dari
pancar ibu (wadu) tidak ada artinya sama sekali. Hubungan dengan keluarga
pancar wadu baru mendapat perhatian sesudah hubugan dengan bapaknya tidak ada
lagi.
Walaupun pendominasian peran laki-laki
dalam kehidupan dan kultur agama Hindu di Bali, apabila ditinjau dari segi
fungsi purusa, juga dapat diperankan oleh kaum perempuan. Dalam masyarakat
Hindu di Bali, perempuan juga memegang peran yang sangat penting salam menjaga
nama baik keluarganya.
·
Pernikahan
Masyarakat Bali mengadopsi system kasta dari India
sebagai bagiandari agama Hindu. Amsyarakat dibagi ke dalam empat kasta, yaitu
Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Menurut Panetje (1986:20). Empat kasta
yang disebut catur wangsa itu satu sama lain sangat terpisah. Seseorang masuk
salah satu kasta itu hanya karena keturunan melalui garis pancar laki-laki
(purusa).
Pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang
berkasta lebih rendah merupakan sebuah pelanggaran. Pelanggaran tersebut berupa
hukuman pembuangan bagi laki-laki dan perempuan. Meskipun dianggap pelanggaran
adat, pernikahan tersebut tetap sah. Pernikahan seorang laki-laki dengan
perempuan yang ebrkasta lebih tinggi juga menimbulkan pelanggaran hukuman denda
bagi laki-laki.
·
Poligami
Konsep patriarkhi di Bali tampak pula dalam praktek
pernikahan poligami. Seorang laki-laki bolhe menikahi lebih dari satu perempuan
tanpa batasan. Menurut Korn (dalam Panetje, 1986: 101) hanya di sesa Tengahan
Pagringsingan terdapat perkecualian atas adat poligami. Di tempat tersebut
terdapat adat monogamy. Panetje menjelaskan bahwa para raja atau bangsawan yang
mempunyai banyak istri, mengkategorikan istri-istri mereka. Seorang istri yang
sederajat dengan suaminya diangkat menajdi istri pertama disebut prameswari
atau padmi. Adapun istri-istri yang lain disebut penawing. Apabila mereka telah
berstatus janda, kedudukan hukum seorang padmi berbeda dengan istri yang
berkedudukan sebagai penawing.
E. Status Perempuan dalam Agama Buddha
Kondisi masyarakat india pada masa
pra-Buddha diwarnai oleh perlakuan yang diskriminatif atas kasta dan gender.
Salah satu ajaran Brahmanisme yang sangat seksis mengatakan bahwa hanya
keturunan laki-laki yang berhak melaksanakan ritual penyucian pada saat upacara kematian orang utan mereka (ayah),
dan akan mengangkat ayah mereka masuk ke surge. Perempuan tidak berhak dan
diyakini tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan orang tua mereka.
Totalitas sikap Buddha yang adil gender
adalah didirikannya Sangha Bhikkhuni atau komunitas perempuan yang
menjalani hidup suci secara selibat. Perempuan memiliki kebebasan untuk
menentukan pilihan atas jalan hidupnya sendiri menjadi perumah-tangga biasa.
Atau meninggalkan peran tradisional tersebut dan hidup sebagai bikkhuni.
Buddha Gautama telah mewujudkan keadilan gender yang hampir setara, yang pada
konteks jaman tersebut merupakan hal yang sangat radikal.
Buddha datang untuk menghapus system kasta.
Menurut Buddha yang menjadikan derajat seseorang tinggi bukanlah keturunan,
dll, tetapi perbuatannya. Orang yang selalu berbuat baik akan menempati derajat
yang tinggi dan orang yang selalu berbuat jahat akan menempati derajat rendah.
F. Sejarah Munculnya Kerahiban Perempuan
Semenjak Sangha Bhikkhuni ada, umur
Sangha Bhikkhu akan menjadi setengahnya dari 1000 tahun menjadi 500 tahun.
Cerita penolakan Buddha
sebanyak 3 kali terhadap ibu tirinya yang ingin ditahbiskan menjadi bikkhuni.
Akhirnya Buddha menerima bhikkhuni dengan syarat 8 garu dhamma.
Delapan garu dhamma atau delapan aturan keras bagi
bhikkhuni, dua diantaranya adalah:
Seorang bhikkhuni, walaupun sudah menjalankan sampai
100 tahun kebiksuniannya, harus menyapa dengan hormat terhadap seorang bhikkhu
walaupun bhikkhu tersebut baru sehari menjadi biksu.
Seorang bhikkhuni tidak diperbolehkan untuk menasehati
seorang bhikkhu, namun seorang bhikkhu boleh menasehati seorang bhikkhuni.
Ciri-ciri Buddha yang berjumlah 32 (mahapurusa)
salah satunya adalah alat kelamin laki-lakinya terbungkus oleh selaput, membuat
banyak penganut Buddha tradisi Therawada meyakini bahwa Buddha haruslah seorang
pria. Padahal di dalam teks Therawada sendiri (Tripitaka Pali) dikatakan
bahwa Buddha adalah orang yang tercerahkan yang mencapai nibbana (nirwana),
yaitu terbebas dari keserakahan (lobha), kebencian (dosa) dan
ketidaktahuan/kebodohan batin (moha). Bahkan di Tripitaka Pali
banyak disebutkan bahwa perempuan juga bisa mencapai pencerahan. Jadi sangat
tidak masuk akal jika dikatakan bahwa perempuan tidak bisa menjadi Buddha.
Pemikiran inilah yang kemudian berkembang di dalam pemikiran buddhisme tradisi
Mahayana sehingga ada konsep Buddha wanita. Dan mungkin kita perlu meragukan
keaslian konsep mahapurusa atau 32 ciri Buddha apakah memang dari Buddha
sendiri atau tambahan yang dibuat untuk meninggikan beliau sehingga masyarakat
pada saat itu lebih bisa meyakini beliau.
Anggapan dilahirkan sebagai
perempuan lebih rendah mungkin karena desakan kaum brahmanisme pada saat itu
yang semakin kuat (sekitar abad ke-3 sebelum masehi). Apalagi ditambah dengan
anggapan bahwa Buddha haruslah seorang laki-laki sehingga saat ini masih ada
sebagian kecil umat Buddha yang menganggap kelahiran sebagai wanita adalah
lebih rendah, padahal perempuan juga bisa mencapai nirwana atau setara dengan
Buddha.
Mahayana adalah buddhime yang
lebih liberal. Mahayana sendiri terdiri dari berbagai macam tradisi-tradisi
kecil. Sebagian pemikiran Mahayana mengangkat kaum perempuan sehingga dalam
Jataka Cina dapat ditemukan bodhisatta yang terlahir sebagai perempuan sebelum
akhirnya terlahir sebagai laki-laki yaitu Buddha Gotama. Namun, hal tersebut
dirasa tidak sesuai dengan ajaran Buddha sehingga pada akhirnya lahir konsep
Buddha Perempuan di Cina yang terwujud dalam awalokiteswara (guan-yin). Untuk
membuat kesejajaran gender, dikembangkan konsep bodhisatwa. Bodhisattva
mempunyai pengertian yang lebih luas daripada bodhisatta, yaitu orang yang
mampu menjadi Buddha namun tidak langsung memasuki nirwana, tetapi mengabdikan
dirinya demi makhluk lain. Jadi Bodhisatwa bukan hanya ada satu orang seperti
halnya dalam bodhisatta. Evolusi Bodhisatwa guan-yin menjadi perempuan juga
memberikan dampak penghormatan terhadap perempuan dan memberikan arti bahwa
perempuan juga bisa menjadi Buddha.
Diskriminasi selanjutnya
adalah terhadap bhikkhuni. Dikatakan sejak awal kemunculan sangha perempuan, sangha
bhikkhu akan berkurang umurnya. Namun, kenyataannya sangha Mahayana hingga saat
ini yang mempunyai biksuni tetap bertahan dan bahkan salah satu biksuninya amat
dihormati (biksuni Cheng-Yen, pendiri Tzu Chi).
Dikatakan juga Buddha menolak tiga kali permintaan ibu
tirinya untuk menjadi bikkhuni. Mungkin pada kasus ini, ibu tirinya adalah
seorang ratu sehingga jika Buddha menerimanya, akan terjadi ketidakstabilan
politik kerajaan dan Sangha Bhikkhu akan mengalami masalah. Buddha
adalah orang yang sangat bijaksana sehingga beliau berhati-hati ketika
mengambil keputusan. Atau mungkin saja cerita penolakan tersebut belakangan
timbul untuk maksud tertentu.
Setelah kematian Buddha,
ucapan-ucapan beliau belum ditulis. Hanya diturunkan melalui ucapan-ucapan dari
satu generasi ke generasi selanjutnya, sehingga memungkinkan adanya
penafsiran-penafsiran atau tambahan-tambahan di dalam kitab suci Tripitaka.
Tripitaka Pali (Therawada) ditulis 4 abad setelah kematian Buddha sehingga ada
kemungkinan tidak sama persisi seperti yang Buddha katakan. Begitu pula
Tripitaka Cina (Mahayana) dan sutra-sutra tambahan dibuat beberapa abad setelah
kematian Buddha. Namun demikian, bagi umat Buddha hal tersebut tidak menjadi
masalah karena ajaran Buddha perlu dilaksanakan untuk dibuktikan bukan menerima
mentah-mentah isi kitab suci. Saatnya kita mulai berpikir lebih kritis dan
memandang biksuni sama ketika kita memandang biksu. Penghormatan seseorang
terhadap biksuni juga harus sama dengan penghormatannya terhadap biksu.[9]
G. Reinterpretasi dan Adaptasi Peran-Peran Gender Tradisional[10]
Ajaran Budha yang paling dasar, yaitu
egalitarianisme, ternyata justru menjebak. Karena agam Budha yang dipercaya
tidak seksis, ternyata ada teks-teks ajarannya yang bersifat seksis. Sehingga
perlu adanya reinterpretasi dan kalau perlu, reformasi.
No.
|
Delapan peraturan diskriminatif dalam 8 garu darma
atau 8 aturan keras
|
`1
|
Seorang bukhuni, bahkan yang sudah tahbis 100 tahun,
harus menyapa dengan sopan, berdiri pada saat kehadiran, membungkuk, dan melakukan
tugas-tugasnya seorang bhikkhu yang baru di tahbis sehari.
|
2
|
Seorang bhikhuni tidak boleh melaksanakan masa
vassa-nya di daerah yang tidak ada bhikkhunya.
|
3
|
Setiap dua minggu, seorang bhikhuni yang mengnunggu
dua hal dari bhikhuni sangha; tanggal upacara aposattha dan waktu para
bhikkhu untuk memberi ajaran.
|
4
|
Selesai masa vassa para bhikhuni melakukan
pavarana(memohon nasihat tentang apakah kesalahan yang telah di perbuat
kepada kedua sangha, sangha bhikhu dan sangha bhikhuni, dalam hubungannya
dengan apa yang dilihat, didengar, dan apa yang dicurugai.
|
5
|
Seorang bhikhuni yang melanggar pelanggaran serius
harus menjalani hukuman dihadapan kedua sangha (sanhgha bhikhuni dan sangha
bhikhu
|
6
|
Ketika seorang samaneri telah berlatih melakukan 6
sila (5 sila yang pertama ditambah sila yang mengatur makan sekali dalam
sehari sebelum makan siang) selama dua tahun , bhikkhuni gtersebut dapat
diminta pentahbisan dari kedua sangha.
|
7
|
Seorang bhikhuni tidak boleh menghina atau
melecehkan seorang bhikhu dalam kesempatan apapun.
|
8
|
Seorang bhikhuni tidak diperbolehkan untuk
menasehati seorang bhikhu, seorang bhikhu boleh menasehati seorang bhikhuni.
|
[1] Widana, I Wayan, Ketidakadilan Gender dalam Tafsir Hindu: Sebuah
Pengantar Gerakan Keadilan Gender dalam Perspektif Hindu, h. 28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar