Senin, 07 Desember 2015



Responding Paper “Relasi Gender Dalam Yahudi”
Khilda Fauzia
1112034000194
Isu gender menjadi agenda penting dari semua pihak karena realitas perbedaan gender yang berimplikasi pada perbedaan status, peran, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan ketidakadilan gender atau diskriminasi maupun penindasan. ketidakadilan ini dapat terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik dalam wilayah domestic maupun public, dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, ekonomi, politik, maupun pembangunan secara lebih luas. Problem ketidakadilan gender ini dalam banyak kasus menjadi isu yang cukup sensitid dan tidak mudah dipecahkan, terutama ketika terkait dengan doktrin agama, bahkan seolah-olah mendapatkan legitimasi teologis, tak terkecuali agama Yahudi.
A.    Bias Gender di dalam Talmud
Talmud adalah ringkasan yang lengkap dan padat yang terdiri dari 63 volume. Isinya mencakup pemikiran hukum, cerita rakyat, keilmuan, teori kedokteran dan teori ilmiah, filsafat, teologi, biografi, anekdot, dan banyak lagi. Sebenarnya, Talmud adalah ensiklopedia kebudayaan Yahudi, suatu perkembangan dari usaha di berbagai bidang yang dilakukan para Rabbi untuk mengadaptasikan kehidupan perjanjian kepada kondisi Diaspora yang dicapai setelah tahun 70 M, ketika kuil dihancurkan dan orang-orang Yahudi diusir dari Yerussalem. Kata Talmud sendiri berarti “ajaran-ajaran”, dan kata tersebut disebutkan untuk mengingatkan pada Torah.
Dari dua karya pseudepigraphal yang Swidler telilti, Kitab Jubilee dan  Perjanjian 12 Patriakh, kedua-duanya dikarang antara tahun 109-106 SM, merupakan bukti nyata. Hal terpenting dari ide-ide kedua pengarang tersebut adalah menghindarkan diri dari berbuat zina, khususnya dengan orang-orang asing. Mereka mencampur-adukkan kebencian terhadap orang asing dengan pandangan bahwa perempuan sebagian besar adalah nymphomaniac (tergila-gila untuk menjadi cantik). Dalam kata-kata pengaran Jubilee sendiri  dikatakan: “Karena semua perbuatan perempuan adalah zina dan nafsu, dan tidak ada kebijakan bersama mereka, maka perbuatan-perbuatan tersebut adalah buruk. Semua orang yang terlibat dalam perkawinan campuran, termasuk ayahnya yang Yahudi mengizinkan anak perempuannya kawin campur, harus dibunuh.
Kesucian, paling tidak oleh sebagian golongan Pharisi, menjadi demikian ditekankan dan mengikat secara hukum, sehingga perbuatan zina merupakan satu dari cara-cara yang prinsip yang menodai kesucian menjadi satu idee fixe. Karena mentalitas ini, tinggal selangkah lagi untuk sampai kepada pendapat bahwa perempuan adalah seorang penggoda, penyebab pertama perbuatan dosa.[1]
Dalam tradisi Yahudi, perempuan di satu sisi digambarkan sebagai makhluk yang kuat, baik dan sopan, seperti bhatsheba sebagai perempuan yang pandai, Deborah sebagai nabi perempuan, ruth sebagai orang yang terpandang dan esther seorang juru selamat rakyatnya. Namun, dalam tradisi Yahudi juga ditemukan jaran bahwa perempuan merupakan asal mula dosa, seperti yang dijelaskan di atas, dan juga melalui perempuan manusia akan mati. Laki-laki harus bekerja dan perempuan harus melahirkan dalam kesakitan.
Perempuan yang melahirkan, 33 hari dianggap kotor apabila anaknya laki-laki. Kalau anaknya perempuan, maka masa tidak sucinya menjadi berlipat. Jika telah selesai masa tidak sucinya, ia harus mencari pendeta untuk membuat penebusan disa untuknya. Bahkan dalam Talmud, ada teks doa: “Saya berterima kasih pada-Mu Tuhan, karena tidak menjadikanku perempuan”.[2]
Perbedaan biologis di antara manusia menjadi objek dasar pembuatan pranata kehidupan (pandangan seksis). Kitab kejadian, keluaran, I Raja-raja, II Raja-raja, yesaya, yeremia, yehezkiel, hosea, dalam perjanjian lama sangat sarat dengan peringatan akan penguasa sewenang-wenang yang membuat pranata kehidupan tidak manusiawi itu. Dalam pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam diusir dari surga.[3]
Dalam Yahudi memercayai sebuah kepercayaan dasar: bahwa laki-laki dan perempuan adalah ciptaan Tuhan, pencipta alam semesta. Tetapi, hilang sengketa segera muncul sesudah diciptakan pria pertama Adan, dan wanita pertama Hawa. Konsepsi Yahudi dalam hal penciptaan Adan dan Hawa diuraikan secara rinci di dalam kitab perjanjian lama, kejadian 2:4-3:24, yaitu intinya: Tuhan melarang mereka memakan buah dari pohon terlarang. Ular datang dan membujuk Hawa untuk memakannya, dan selanjutnya Hawa membujuk Adam untuk memakan bersamanya. Ketika Tuhan menegur Adam atas apa yang telah dilakukannya tersebut, Adam meletakkan kesalahan semua kepada Hawa: wanita yang kau berikan kepada saya, dia memberi buah tersebut kepada saya, lalu saya memakannya. Akibatnya Tuhan berikan kepada Hawa: saya akan menambah kesusahan kepadamu pada waktu kau hamil dan pada waktu kau melahirkan. Hasratmu hanya untuk suamimu dan dia akan mengatur kamu.
Kepada Adam, Tuhan berfirman:karena kamu mendengarkan apa yang dikatakan istrimu sehingga kamu mematuhinya dan memakan buah tersebut, sata turunkan kamu ke bumi, kamu akan memakan segala sesuatu yang ada di bumi sampai kau mati.
Para pendeta Yahudi telah memberikan Sembilan kutukan yang dibebaskan kepada wanita sebagai hasil dosa Adam dan Hawa. Kepada wanita Tuhan memberika Sembilan kutukan dan kematian, beban berupa darah menstruasi dan darah keperawanan, kehamilan, kelahiran, membesarkan anak, penutupan kepala dalam berkabung, menjadi budak melayani tuannya, tidak dipercaya kesaksiannya, dan setelah itu semua adalah kematian.

B.     Citra Perempuan dalam Tradisi Yahudi
Dalam hukum perkawinan agama Yahudi, poligami diharuskan dan jumlahnya tidak dibatasi karena tidak terdapat batasan dan larangan untuk itu. Kedudukan seorang istri atau anak perempuan berdasarkan hukum Yahudi adalah lemah sekali. Seorang wanita yang sudah dikawinkan, menjadi seolah-olah dibeli oleh suaminya dari bapaknya, dan suaminya menjadi tuannya. Ia tak ubahnya sebagai anak kecil atau burung patah sayap. Ia tak berhak membeli maupun menjual. Semua harta bendanyta menjadi milik suaminya. Istri tidak berhak memiliki apa-apa selain maskawin yang diterimakan kepadanya. Di samping itu, kaum wanita sebagai istri wajib melakukan kewajiban semua pekerjaan rumah tangga. Baik yang berat maupun ringan. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan taat.
Seperti halnya juga dalam hukum waris agama Yahudi bahwa anak laki-laki yang merupakan pewaris utama dari orang tuanya. Kalau anak laki-laki ini banyak maka yang tertualah yang lebih utama, dan memperoleh warisan dua kali lipat dari bagian-bagian saudara yang lain. Sedangkan anak perempuan yang belum berumur dua belas tahun tidak berhak menerima warisan.
Perempuan adalah symbol yang mendalam sejauh mana masyarakat Yahudi menerima atau menolak modernitas dan westernisasi, artinya adalah masyarakat Yahudi kontemporer justru perempua mendapatkan penilaian khusus dengan menjadi sebuah symbol diterima atau ditolaknya modernitas dan westernitas.[4]
C.    Teologi Feminis dan rekonstruksi peran perempuan dalam kehidupan masyarakat  Yahudi
Bicara mengenai gender berarti membicarakan peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Hubungan laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah hubungan antarumat manusia. Apapun yang baik dalam hubungan antara satu manusia dengan manusia yag lain, adalah baik dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan menghindarri ketidakadilan gender (gender inequalities). Baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan, tetapi ia menjadi persoalan karena perbedaan gender ini sering kali menimbulkan ketidakadilan. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan gender dimaksud adalah stereotip, marjinalisasi, diskriminasi, tindakan kekerasan dan beban kerja. Oleh karena itu diperlukan upaya menciptakan relasi laki-laki dan perempuan yang adil dan harmoni.
Menurut Erich Fromm seorang Yahudi, seorang psikoanalisis social berkebangsaan Jerman yang juga merupakan anggota Partai Sosialis Amerika era 1950-an, ia menyatakan bahwa hubungan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah hubungan antara sebuah kelompok yang menang dan yang kalah. Di Amerika Serikat tahun 1949 hal ini dianggap lucu ketika mengatakan demikian, apalagi di zaman sekarang ini. karena sudah jelas bisa kita lihat, kaum perempuan di kota-kota besar tentu saja tidak tampak, tidak merasa, dan tidak bertindak seperti layaknya kelompok yang kalah. Dia menambahkan kaum perempuan telah menyelesaikan emansipasinya, dan oleh sebab itu berada sejajar dengan kaum laki-laki dan membuatnya bisa tampil.[5]
Tokoh berikutnya adalah Betty Friedan. Ia pernah mengatakan: “Jadi saya pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Di seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres Senatar agar meluruskan undang-undang yang mempengaruhi peran wanita.”
Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat, friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for Woman pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
Betty Friedan sendiri terlahir dengan nama Betty Naomi Goldstein pada tanggan 4 Februari 1921. Pada gilirannya Frieda berkembang menjadi seorang aktivis feminis Yahudi Amerika kenamaan pada duari medio 1960-an. Puncak momentumnya terjadi setelah ia berhasil mengarang The Feminine Mystique. Buku yang menjadi rujukan kaum feminis ini menggambarkan peran wanita dalam masyarakat industry. Friedan mengkritik habis peran ibu rumah tangga penuh waktu yang baginya sangat mengekang dan jauh dari penghargaan terhadap hak wanita.
Buku Friedan pun terjual laris. The Feminine Mystique berubah menjadi “kitab suci” kaum wanita dan Friedan pun digadang-gadang menjadi pencetus feminism gelombang kedua setelah ombaknya pernah menyapu dunia abad 18.
Teori yang sangat ternama sekali darinya adalah apa yang disebut oleh Friedan dengan istilah Androgini. Androgini sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminine pada saat yang bersamaan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahawa Yunani yaitu αѵήρ (anér, yang berarti laki-laki) dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) yang dapat merujuk kepada salah satu dari dua konsep terkait gender.
Namun sejatinya, kata androgini muncul pertama kali sebagai sebuah kata majemuk dalam Yudaisme Rabinik sebagai alternative untuk menghindari kata hemaprodit yang bermasalah dalam tradisi Yahudi.
Akan tetapi, sekalipun telah menapaki karir yang sangat memuncak dalam dunia feminism, gagasan Freidan pun juga menjadi sasaran kritik. Menariknya orang yang mengkritik Friedan adalah seorang feminis lainnya yang bernama Zillah Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah seorang professor Politik dan aktivis feminis dari Ithaca New York. Ia menulis kritikan tajam terhadap gagasan konsep wanita bekerja milik Friedan. Dalam bukunya, Radical Future of Liberal Feminism, Eisenstein mengkritik:
Tidak pernah jelas apakah pengaturan ini seharusnya meringankan beban ganda perempuan(keluarga dan pekerjaan) atau secara signifikan menstruktur ulang siapa yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Bagaimana tanggung jawab ini dilaksanakan?”
Henry Makow dalam tulisannya, Gloria Steinem: How the CIA Used Feminism to Destabilize Sosiety, telah menjelaskan dengan baik bagaimana peran CIA dalam memobilisir isu feminism. Pakar konspirasi kenamaan ini mengatakan bagaimana media elit telah menciptakan feminism gelombang kedua sebagai bagian dari agenda elit untuk meruntuhkan peradaban dan mendirikan New World Order. Kesalahpahaman utama kita tentan CIA, kata Makow, adalah bahwa CIA melayani kepentingan AS. Nyatanya, ia selalu menjadi instrument dinasti elit minyak dan perbankan internasional ( Rothschild, Rockefeller, Morgan) yang dikoordinasi oleh Royal Institute for Internall Affairs di London dan cabang mereka di AS, Councul for Foreign Relations. Lembaga ini didirikan dan diisi oleh orang-orang berdarah biru dari penguasa perbankan New York dan lulusan perkumpulan pagan rahasia, “Akull and Bones”.
Jutaan pria Amerika pun akhirnya dilemahkan dan dipisahkan dari hubungannya dengan keluarga (dunia dan masa depa). Wanita Amerika diperdaya hingga mencurahkan diri dalam karir keduniaan ketimbang dalam kasih-sayang tiada akhir kepada suami dan anakanaknya. Banyak wanita sudah tak layak untuk menjadi isteri dan ibu. Orang-orang yang terisolasi dan sendirian, terhalangi (pertumbuhannya) dan lapar akan kasih sayang, mudah sekali dibodohi dan dimanipulasi. Tanpa pengaruh sehat kedua orang tua yang mencintai, begitulah anak-anak mereka jadinya.
Penindasan terhadap wanita adalah kebohongan. Opembagian peran berdasarkan jenis kelamin tak pernah sekaku yang dipropagandakan kaum feminis. “Ibu saya sukses menjalankan bisnis impor tali arloji dari Swiss pada tahun 1950-an. Saat pendapatan ayah saya meningkat, dia bersedia berhenti dan berkonsentrasi mengurus anak-anak. Wanita bebas mengejar karir jika mereka mau. Bedanya, dahulu peran mereka sebagai istri dan ibu dipahami, dan disahkan secara social, sebagaimana mestinya. Hingga Gloria Steinem dan CIA datang bersama-sama,” jelas Makow panjang lebar.[6]
Dalam buku The Book of Hiding Gender Ethnicity Annihilation and Esther Biblical Limit dikatakan: Meskipun beberapa mungkin melihat Koalisi Kristen sebagai contoh ekstrim, itu merupakan kecenderungan yang jauh lebih umum dalam budaya kontemporer, dan tanpa akademi untuk memahami sastra Alkitab terutama sebagai sastra moral, yaitu sebagai sastra yang memberikan model peran dan pedoman cara hidup seseorang, secara social, seksual, spiritual, dan sebagainya. Berkenaan dengan kitab Ester, kecenderungan ini jelas dan pilu jelas dalam bagian dari Sedgwick. Dan kita tidak boleh lupa bawa meskipun terutama di kalangan non-Yahudi penafsiran bahwa orang menemukan repudiations moralistic keyahudian dari teks, baik tradisi Yahudi dan Kristen telah digunakan Ester untuk menopang representasi normatif perempuan sebagai obyektif santik, pasif, patuh, rela berkorban.[7]


[1] Arvin Sharma, Perempuan Dalam Agama-Agama Dunia, penerjemah Syafaatun al-Mirzanah, dkk, (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, McGill-Project, 2002), h. 231-232.
[2] K. Young Katherine (ed), Fundamentalism and Woman in World Religion, (New York: T & T Clark International, 2008)
[3] Arvin Sharma, Perempuan Dalam Agama-Agama Dunia, penerjemah Syafaatun al-Mirzanah, dkk, (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, McGill-Project, 2002), h. 247.
[4] Nassaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999),
[5] Erich Fromm, Cinta, Seksualitas, dan Matriarki, Jalasutra, Togyakarta dan Jakarta, 2007, h. 144.
[7] Timothy K. Beal, The Book of Hiding Gendder Ethnicity Annihilation and Esther Biblical Limit, Routledge, New York, 2002, h. 40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar