Responding Paper “Relasi Gender Dalam
Yahudi”
Khilda Fauzia
1112034000194
Isu gender menjadi agenda penting dari
semua pihak karena realitas perbedaan gender yang berimplikasi pada perbedaan
status, peran, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang
menimbulkan ketidakadilan gender atau diskriminasi maupun penindasan.
ketidakadilan ini dapat terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik dalam
wilayah domestic maupun public, dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan,
ekonomi, politik, maupun pembangunan secara lebih luas. Problem ketidakadilan
gender ini dalam banyak kasus menjadi isu yang cukup sensitid dan tidak mudah
dipecahkan, terutama ketika terkait dengan doktrin agama, bahkan seolah-olah
mendapatkan legitimasi teologis, tak terkecuali agama Yahudi.
A. Bias
Gender di dalam Talmud
Talmud adalah ringkasan yang lengkap dan
padat yang terdiri dari 63 volume. Isinya mencakup pemikiran hukum, cerita
rakyat, keilmuan, teori kedokteran dan teori ilmiah, filsafat, teologi,
biografi, anekdot, dan banyak lagi. Sebenarnya, Talmud adalah ensiklopedia
kebudayaan Yahudi, suatu perkembangan dari usaha di berbagai bidang yang
dilakukan para Rabbi untuk mengadaptasikan kehidupan perjanjian kepada kondisi
Diaspora yang dicapai setelah tahun 70 M, ketika kuil dihancurkan dan
orang-orang Yahudi diusir dari Yerussalem. Kata Talmud sendiri berarti
“ajaran-ajaran”, dan kata tersebut disebutkan untuk mengingatkan pada Torah.
Dari dua karya pseudepigraphal yang
Swidler telilti, Kitab Jubilee dan Perjanjian 12 Patriakh, kedua-duanya
dikarang antara tahun 109-106 SM, merupakan bukti nyata. Hal terpenting dari
ide-ide kedua pengarang tersebut adalah menghindarkan diri dari berbuat zina,
khususnya dengan orang-orang asing. Mereka mencampur-adukkan kebencian terhadap
orang asing dengan pandangan bahwa perempuan sebagian besar adalah nymphomaniac
(tergila-gila untuk menjadi cantik). Dalam kata-kata pengaran Jubilee
sendiri dikatakan: “Karena semua
perbuatan perempuan adalah zina dan nafsu, dan tidak ada kebijakan bersama
mereka, maka perbuatan-perbuatan tersebut adalah buruk. Semua orang yang
terlibat dalam perkawinan campuran, termasuk ayahnya yang Yahudi mengizinkan
anak perempuannya kawin campur, harus dibunuh.
Kesucian, paling tidak oleh sebagian
golongan Pharisi, menjadi demikian ditekankan dan mengikat secara hukum,
sehingga perbuatan zina merupakan satu dari cara-cara yang prinsip yang menodai
kesucian menjadi satu idee fixe. Karena mentalitas ini, tinggal
selangkah lagi untuk sampai kepada pendapat bahwa perempuan adalah seorang
penggoda, penyebab pertama perbuatan dosa.[1]
Dalam tradisi Yahudi, perempuan di satu
sisi digambarkan sebagai makhluk yang kuat, baik dan sopan, seperti bhatsheba
sebagai perempuan yang pandai, Deborah sebagai nabi perempuan, ruth
sebagai orang yang terpandang dan esther seorang juru selamat rakyatnya.
Namun, dalam tradisi Yahudi juga ditemukan jaran bahwa perempuan merupakan asal
mula dosa, seperti yang dijelaskan di atas, dan juga melalui perempuan manusia
akan mati. Laki-laki harus bekerja dan perempuan harus melahirkan dalam
kesakitan.
Perempuan yang melahirkan, 33 hari dianggap
kotor apabila anaknya laki-laki. Kalau anaknya perempuan, maka masa tidak
sucinya menjadi berlipat. Jika telah selesai masa tidak sucinya, ia harus
mencari pendeta untuk membuat penebusan disa untuknya. Bahkan dalam Talmud, ada
teks doa: “Saya berterima kasih pada-Mu Tuhan, karena tidak menjadikanku
perempuan”.[2]
Perbedaan biologis di antara manusia
menjadi objek dasar pembuatan pranata kehidupan (pandangan seksis). Kitab
kejadian, keluaran, I Raja-raja, II Raja-raja, yesaya, yeremia, yehezkiel,
hosea, dalam perjanjian lama sangat sarat dengan peringatan akan penguasa
sewenang-wenang yang membuat pranata kehidupan tidak manusiawi itu. Dalam
pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap
perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam diusir dari
surga.[3]
Dalam Yahudi memercayai sebuah kepercayaan
dasar: bahwa laki-laki dan perempuan adalah ciptaan Tuhan, pencipta alam
semesta. Tetapi, hilang sengketa segera muncul sesudah diciptakan pria pertama
Adan, dan wanita pertama Hawa. Konsepsi Yahudi dalam hal penciptaan Adan dan
Hawa diuraikan secara rinci di dalam kitab perjanjian lama, kejadian 2:4-3:24,
yaitu intinya: Tuhan melarang mereka memakan buah dari pohon terlarang. Ular
datang dan membujuk Hawa untuk memakannya, dan selanjutnya Hawa membujuk Adam
untuk memakan bersamanya. Ketika Tuhan menegur Adam atas apa yang telah
dilakukannya tersebut, Adam meletakkan kesalahan semua kepada Hawa: wanita
yang kau berikan kepada saya, dia memberi buah tersebut kepada saya, lalu saya
memakannya. Akibatnya Tuhan berikan kepada Hawa: saya akan menambah
kesusahan kepadamu pada waktu kau hamil dan pada waktu kau melahirkan. Hasratmu
hanya untuk suamimu dan dia akan mengatur kamu.
Kepada Adam, Tuhan berfirman:karena kamu
mendengarkan apa yang dikatakan istrimu sehingga kamu mematuhinya dan memakan
buah tersebut, sata turunkan kamu ke bumi, kamu akan memakan segala sesuatu
yang ada di bumi sampai kau mati.
Para pendeta Yahudi telah memberikan
Sembilan kutukan yang dibebaskan kepada wanita sebagai hasil dosa Adam dan
Hawa. Kepada wanita Tuhan memberika Sembilan kutukan dan kematian, beban
berupa darah menstruasi dan darah keperawanan, kehamilan, kelahiran,
membesarkan anak, penutupan kepala dalam berkabung, menjadi budak melayani
tuannya, tidak dipercaya kesaksiannya, dan setelah itu semua adalah kematian.
B. Citra Perempuan dalam Tradisi Yahudi
Dalam hukum perkawinan agama Yahudi,
poligami diharuskan dan jumlahnya tidak dibatasi karena tidak terdapat batasan
dan larangan untuk itu. Kedudukan seorang istri atau anak perempuan berdasarkan
hukum Yahudi adalah lemah sekali. Seorang wanita yang sudah dikawinkan, menjadi
seolah-olah dibeli oleh suaminya dari bapaknya, dan suaminya menjadi tuannya.
Ia tak ubahnya sebagai anak kecil atau burung patah sayap. Ia tak berhak
membeli maupun menjual. Semua harta bendanyta menjadi milik suaminya. Istri
tidak berhak memiliki apa-apa selain maskawin yang diterimakan kepadanya. Di
samping itu, kaum wanita sebagai istri wajib melakukan kewajiban semua
pekerjaan rumah tangga. Baik yang berat maupun ringan. Kewajiban ini harus
dilaksanakan dengan taat.
Seperti halnya juga dalam hukum waris agama
Yahudi bahwa anak laki-laki yang merupakan pewaris utama dari orang tuanya. Kalau
anak laki-laki ini banyak maka yang tertualah yang lebih utama, dan memperoleh
warisan dua kali lipat dari bagian-bagian saudara yang lain. Sedangkan anak
perempuan yang belum berumur dua belas tahun tidak berhak menerima warisan.
Perempuan adalah symbol yang mendalam
sejauh mana masyarakat Yahudi menerima atau menolak modernitas dan
westernisasi, artinya adalah masyarakat Yahudi kontemporer justru perempua
mendapatkan penilaian khusus dengan menjadi sebuah symbol diterima atau
ditolaknya modernitas dan westernitas.[4]
C. Teologi
Feminis dan rekonstruksi peran perempuan dalam kehidupan masyarakat Yahudi
Bicara mengenai gender berarti membicarakan
peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Hubungan
laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah hubungan antarumat manusia. Apapun
yang baik dalam hubungan antara satu manusia dengan manusia yag lain, adalah
baik dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan menghindarri
ketidakadilan gender (gender inequalities). Baik bagi kaum laki-laki
maupun perempuan. Perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan, tetapi ia menjadi persoalan karena perbedaan gender
ini sering kali menimbulkan ketidakadilan. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan
gender dimaksud adalah stereotip, marjinalisasi, diskriminasi, tindakan
kekerasan dan beban kerja. Oleh karena itu diperlukan upaya menciptakan relasi
laki-laki dan perempuan yang adil dan harmoni.
Menurut Erich Fromm seorang Yahudi, seorang
psikoanalisis social berkebangsaan Jerman yang juga merupakan anggota Partai
Sosialis Amerika era 1950-an, ia menyatakan bahwa hubungan antara kaum
laki-laki dan kaum perempuan adalah hubungan antara sebuah kelompok yang menang
dan yang kalah. Di Amerika Serikat tahun 1949 hal ini dianggap lucu ketika
mengatakan demikian, apalagi di zaman sekarang ini. karena sudah jelas bisa
kita lihat, kaum perempuan di kota-kota besar tentu saja tidak tampak, tidak
merasa, dan tidak bertindak seperti layaknya kelompok yang kalah. Dia
menambahkan kaum perempuan telah menyelesaikan emansipasinya, dan oleh sebab
itu berada sejajar dengan kaum laki-laki dan membuatnya bisa tampil.[5]
Tokoh berikutnya adalah Betty Friedan. Ia
pernah mengatakan: “Jadi saya pikir pada saat itu setiap wanita akan
bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak
akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka.
Di seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan
menekan anggota Kongres Senatar agar meluruskan undang-undang yang mempengaruhi
peran wanita.”
Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan
untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di
Amerika Serikat, friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan
dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for
Woman pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di
Amerika yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
Betty Friedan sendiri terlahir dengan nama
Betty Naomi Goldstein pada tanggan 4 Februari 1921. Pada gilirannya Frieda
berkembang menjadi seorang aktivis feminis Yahudi Amerika kenamaan pada duari
medio 1960-an. Puncak momentumnya terjadi setelah ia berhasil mengarang The
Feminine Mystique. Buku yang menjadi rujukan kaum feminis ini menggambarkan
peran wanita dalam masyarakat industry. Friedan mengkritik habis peran ibu
rumah tangga penuh waktu yang baginya sangat mengekang dan jauh dari
penghargaan terhadap hak wanita.
Buku Friedan pun terjual laris. The
Feminine Mystique berubah menjadi “kitab suci” kaum wanita dan Friedan pun
digadang-gadang menjadi pencetus feminism gelombang kedua setelah ombaknya
pernah menyapu dunia abad 18.
Teori yang sangat ternama sekali darinya
adalah apa yang disebut oleh Friedan dengan istilah Androgini. Androgini
sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang
sama dalam karakter maskulin dan feminine pada saat yang bersamaan. Istilah ini
berasal dari dua kata dalam bahawa Yunani yaitu αѵήρ (anér, yang berarti
laki-laki) dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) yang dapat merujuk
kepada salah satu dari dua konsep terkait gender.
Namun sejatinya, kata androgini muncul
pertama kali sebagai sebuah kata majemuk dalam Yudaisme Rabinik sebagai
alternative untuk menghindari kata hemaprodit yang bermasalah dalam tradisi
Yahudi.
Akan tetapi, sekalipun telah menapaki karir
yang sangat memuncak dalam dunia feminism, gagasan Freidan pun juga menjadi
sasaran kritik. Menariknya orang yang mengkritik Friedan adalah seorang feminis
lainnya yang bernama Zillah Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah seorang
professor Politik dan aktivis feminis dari Ithaca New York. Ia menulis kritikan
tajam terhadap gagasan konsep wanita bekerja milik Friedan. Dalam bukunya, Radical
Future of Liberal Feminism, Eisenstein mengkritik:
“Tidak pernah jelas apakah pengaturan
ini seharusnya meringankan beban ganda perempuan(keluarga dan pekerjaan) atau
secara signifikan menstruktur ulang siapa yang bertanggung jawab atas
pengasuhan anak. Bagaimana tanggung jawab ini dilaksanakan?”
Henry Makow dalam tulisannya, Gloria
Steinem: How the CIA Used Feminism to Destabilize Sosiety, telah
menjelaskan dengan baik bagaimana peran CIA dalam memobilisir isu feminism.
Pakar konspirasi kenamaan ini mengatakan bagaimana media elit telah menciptakan
feminism gelombang kedua sebagai bagian dari agenda elit untuk meruntuhkan
peradaban dan mendirikan New World Order. Kesalahpahaman utama kita tentan CIA,
kata Makow, adalah bahwa CIA melayani kepentingan AS. Nyatanya, ia selalu
menjadi instrument dinasti elit minyak dan perbankan internasional (
Rothschild, Rockefeller, Morgan) yang dikoordinasi oleh Royal Institute for
Internall Affairs di London dan cabang mereka di AS, Councul for Foreign Relations.
Lembaga ini didirikan dan diisi oleh orang-orang berdarah biru dari penguasa
perbankan New York dan lulusan perkumpulan pagan rahasia, “Akull and Bones”.
Jutaan pria Amerika pun akhirnya dilemahkan
dan dipisahkan dari hubungannya dengan keluarga (dunia dan masa depa). Wanita
Amerika diperdaya hingga mencurahkan diri dalam karir keduniaan ketimbang dalam
kasih-sayang tiada akhir kepada suami dan anakanaknya. Banyak wanita sudah tak
layak untuk menjadi isteri dan ibu. Orang-orang yang terisolasi dan sendirian,
terhalangi (pertumbuhannya) dan lapar akan kasih sayang, mudah sekali dibodohi
dan dimanipulasi. Tanpa pengaruh sehat kedua orang tua yang mencintai,
begitulah anak-anak mereka jadinya.
Penindasan terhadap wanita adalah
kebohongan. Opembagian peran berdasarkan jenis kelamin tak pernah sekaku yang
dipropagandakan kaum feminis. “Ibu saya sukses menjalankan bisnis impor tali
arloji dari Swiss pada tahun 1950-an. Saat pendapatan ayah saya meningkat, dia
bersedia berhenti dan berkonsentrasi mengurus anak-anak. Wanita bebas mengejar
karir jika mereka mau. Bedanya, dahulu peran mereka sebagai istri dan ibu
dipahami, dan disahkan secara social, sebagaimana mestinya. Hingga Gloria
Steinem dan CIA datang bersama-sama,” jelas Makow panjang lebar.[6]
Dalam buku The Book of Hiding Gender
Ethnicity Annihilation and Esther Biblical Limit dikatakan: Meskipun
beberapa mungkin melihat Koalisi Kristen sebagai contoh ekstrim, itu merupakan
kecenderungan yang jauh lebih umum dalam budaya kontemporer, dan tanpa akademi
untuk memahami sastra Alkitab terutama sebagai sastra moral, yaitu sebagai
sastra yang memberikan model peran dan pedoman cara hidup seseorang, secara
social, seksual, spiritual, dan sebagainya. Berkenaan dengan kitab Ester,
kecenderungan ini jelas dan pilu jelas dalam bagian dari Sedgwick. Dan kita
tidak boleh lupa bawa meskipun terutama di kalangan non-Yahudi penafsiran bahwa
orang menemukan repudiations moralistic keyahudian dari teks, baik tradisi
Yahudi dan Kristen telah digunakan Ester untuk menopang representasi normatif
perempuan sebagai obyektif santik, pasif, patuh, rela berkorban.[7]
[1] Arvin Sharma, Perempuan Dalam Agama-Agama Dunia, penerjemah
Syafaatun al-Mirzanah, dkk, (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, McGill-Project,
2002), h. 231-232.
[2] K. Young Katherine (ed), Fundamentalism and Woman in World Religion,
(New York: T & T Clark International, 2008)
[3] Arvin Sharma, Perempuan Dalam Agama-Agama Dunia, penerjemah
Syafaatun al-Mirzanah, dkk, (Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, McGill-Project,
2002), h. 247.
[5] Erich Fromm, Cinta, Seksualitas, dan Matriarki, Jalasutra,
Togyakarta dan Jakarta, 2007, h. 144.
[7] Timothy K. Beal, The Book of Hiding Gendder Ethnicity Annihilation
and Esther Biblical Limit, Routledge, New York, 2002, h. 40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar