Pada Oktober 1996,
Taliban menyerang bagian Utara Kabul dengan jet dan artileri, dengan agenda
untuk meguasai Kabul dan Afghanistan sepenuhnya, dan memebersihkan Afghanistan
dari para kelompok pemberontakan, yang masih memperjuangkan ideologi komunis.
Dan seperti yang telah di perkirakan oleh semua orang, Taliban memenangkan
petarungan tersebut. Masa itu merupakan awal dari pengambilan alihan
pemerintahan Afghanistan ke tangan Taliban.
Segera setelah
Taliban menguasai Afghanistan, kelompok ini langsung mereformasi hukum-hukum
yang ada dan membuat hukum-hukum baru yang menggunakan hukum syariah islam
sebagai landasan utamanya. Taliban juga melarang warga afghanistan untuk
memiliki barang-barang yang berbau ’barat’, film-film, dan bahkan musik. Dari
semua hukum-hukum baru tersebut inilah, terdapat hukum yang secara tidak
langsung telah menaruh wanita kedalam posisi yang sangat tidak menguntungkan.
Selama era pemerintahan Taliban (1996 – 2001), wanita-wanita Afghanistan ini
berada dalam tekanan kebudayaan dan hukum yang tidak mempunyai landasan yang
jelas, dan bahkan seringkali hukum yang diterapkan bersifat terlalu berlebihan,
sehingga cenderung mengekang kebebasan wanita-wanita di Afganistan. Taliban
tidak hanya membuat ulang undang-undang dan peraturan hukum yang baru bagi
perempuan, tetapi juga mengatur secara detail hal-hal yang bersifat lebih
pribadi, seperti; perilaku, cara berpakaian, dan batasan untuk memperoleh
bangku pendidikan. Dan selama masa itu pula, Afghanistan menjadi negara yang
tertutup, dan tidak mengizinkan adanya kritik ataupun intervensi baik itu dari
negara lain maupun dari organisasi internasional yang perduli dengan situasi
tersebut.[1]
Perempuan dilarang keluar rumah tanpa didampingi muhrim; perempuan
dilarang mengenyam pendidikan; perempuan dilarang bekerja; dan beberapa
keterbelakangan lainnya yang diterapkan Taliban dengan dalih bahwa Islam
“membatasi” aktifitas perempuan.
Para perempuan cukup duduk-duduk manis di rumah agar dianggap suci.
Seolah-olah Islam tak “memanusiakan” perempuan. Perempuan diperlakukan seperti
keledai semasa Taliban di Afghanistan.
Tugas perempuan hanya mengurus tiga
hal semata: sumur, dapur dan kasur. Selebihnya, hanya lelaki yang bisa
memutuskan segala hal. Secara tidak langsung Illiza telah merendahkan kodratnya
sendiri yang notabenya seorang perempuan.[2]
Dalam masalah pendidikan perempuan
Afganistan, sangat tidak jauh berbeda dari apa yang perempuan dapatkan di dalam
system kemasyarakatan, hokum, dan budaya yang mengekang perempuan, akan tetapi
perempuan pada masa Taliban pun dilarang dalam mengenyam pendidikan. Pemerintah
Taliban melarang keras anak perempuan Afghanistan mendapatkan hak pendidikan
dasar. Berikut adalah beberapa dokumentasi tentang kondisi perempuan yang hanya
bisa mendapatkan pendidikan di pengungsian saja. Karena mereka dilarang untuk
mendapat pendidikan oleh pemerintahan Taliban.
Ket: Sejumlah anak perempuan tengah melakukan kegiatan belajar di dalam
sebuah tenda pengungsian di Jalalabad, Afghanistan pada 4 Oktober 2012. Warga
terpaksa membuat sekolah darurat secara mandiri agar anak perempuan mereka
mendapatkan pendidikan dasar.
Ket: Antusias
anak-anak saat hendak menjawab pertanyaan yang diberikan oleh seorang guru saat
mengikuti kegiatan belajar di kamp pengungsian di Jalalabad, Afghanistan.
Ket: Sudah hampir 30
tahun warga Afghanistan merasakan kedamaian penuh. Sejak 1979 ketika Soviet
melakukan invasi, kemudian pada 1990 terjadinya perang sipil, dan hingga kini,
5 tahun di bawah pemerintahan Taliban membuat tempat tinggal dan bangunan
sekolah hancur akibat aksi teror yang terus terjadi.
Ket: Seorang anak
perempuan meminum air dari sebuah kran usai mengikuti kegiatan belajar di kamp
pengungsian di Jalalabad, Afghanistan.
Ket: Selain di
Jalalabad, anak-anak di kamp pengungsian yang berada di wilayah Khost juga
merasakan hal yang sama.
Ket: Seorang anak perempuan
mencoba menjawab soal yang berada di papan tulis saat mengikuti kegiatan
belajar di kamp pengungsian di Jalalabad, Afghanistan, Rabu (11/9).
Ket: Suasana salah satu kelas di sekolah darurat yang didirikan di kamp pengungsian di Jalalabad, Afghanistan, Rabu (11/9).[3]
Malala Yousafzai, sang Pahlawan Pembela Hak
Pendidikan Bagi Perempuan.
Sekilas tidak ada yang special dari
gambar Malala di atas, akan tetapi dia adalah seorang penerima penghargaan
Nobel dalam kategori perjuangan hak-hak pendidikan bagi perempuan di
Afghanistan.
Malala menjadi terkenal ketika dia
mulai lantang menyuarakan hak-hak pendidikan bagi kaum perempuan di bawah
tekanan Taliban yang mengekang pendidikan bagi perempuan. Dia aktif menjadi
orator di Afghanistan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di Afghanistan.
Akan tetapi, suatu kejadian yang
naas menimpa Malala, suatu ketika pada saat Malala menunggangi mobil, mobil
yang dia tunggangi dicegat oleh seorang yang tidak dikenal dan disinyalir dia
adalah salah seorang Taliban. Lalu dia memaksa masuk ke dalam mobil dan
langsung menembak Malala di bagian kepala.
Malala langsung dilarikan ke rumah
sakit dan mendapatkan perawatan yang intensif sampai akhirnya dia sembuh. Dan
setelah kejadian tersebut, nama Malala menjadi mendunia dan bahkan dia sampai
mendapatkan penghargaan Nobel atas keberaniannya menentang Taliban.
Berikut kami juga akan memaparkan sedikit tentang masalah perempuan
ketika Taliban jatuh atau tepatnya pada masa pemerintahan Hamid Karzai. Setelah
Taliban dijatuhkan AS dan sekutunya tahun 2001, memang banyak hak perempuan
dicantumkan dalam undang-undang. Tetapi pada prakteknya, sama sekali belum
dilaksanakan.
Organisasi perempuan Afghanistan RAWA, sejak tahun 1977 memperjuangkan
hak-hak perempuan dan menentang kelompok Islam fundamentalis. Ketika Taliban
berkuasa para aktifis RAWA memberikan pengajaran kepada kaum perempuan termasuk
anak perempuan secara diam-diam. Mereka juga mendampingi para janda dan yatim
piatu di kamp-kamp pengungsian, termasuk menyelundupkan foto-foto eksekusi ke
luar negeri, dengan mempertaruhkan nyawa. Untuk itu, organisasi RAWA berulang
kali mendapat penghargaan. Para aktifisnya sering berkunjung ke berbagai negara
untuk memperoleh dukungan politik dan keuangan.
Salah seorang aktifis RAWA adalah, sebut saja namanya Sara yang berusia
27 tahun. Di luar negeri dia berpakaian santai, tetapi di Afghanistan dia
mengenakan burka, tertutup dari kepala sampai kaki. Dia menggunakan nama
samaran dan tidak mengijinkan dirinya difoto, supaya Taliban dan kelompok
ekstremis lainnya tidak bisa menemukannya. Ketika rejim Taliban melarang anak perempuan
untuk bersekolah, Sara mengikuti pelajaran membaca dan menulis yang diberikan
secara ilegal oleh RAWA. Para aktifis itu membangkitkan kesadaran politik dalam
diri Sara dan menjadi aktifis yang memperjuangkan demokrasi dan kesetaraan kaum
perempuan. Walaupun di Afghanistan hal itu bisa membahayakan nyawanya. Sebab
walaupun setelah rejim Taliban digulingkan oleh Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya dan Afghanistan memiliki pemerintahan yang dipilih secara
demokratis, tetapi bagi kaum perempuannya tidak banyak perubahan yang terjadi.
"Berbeda dengan gambaran pada media, sayangnya perempuan
Afghanistan masih tetap ditindas. Tepatnya dari dua pihak. Di satu pihak oleh
masyarakat di luar rumah, yaitu kelompok agama yang fundamentalis, wakil-wakil
gerakan Jihad, para warlords dan Taliban. Perempuan diculik di depan rumah dan
dinikahkan secara paksa dengan para pemimpin perang. Mereka diperkosa,
sebagiannya oleh gerombolan pria yang juga tidak ragu-ragu memperkosa anak
kecil atau generasi nenek mereka. Secara resmi sekolah-sekolah memang terbuka
bagi anak perempuan. Tetapi karena perdamaian belum terwujud, banyak anak
perempuan yang takut disergap saat menuju sekolah, diculik atau bahkan dibunuh.
Oleh sebab itu pihak keluarga lebih suka kalau anak perempuan tidak ke sekolah
atau ke kantor." Demikian ungkap Sara.
Menurut keterangan resmi separuh dari anak-anak di usia sekolah datang
menghadiri pelajaran yang diberikan, sepertiganya adalah anak perempuan. Sebuah
kemajuan, tetapi tidak ada persamaan kesempatan bagi anak perempuan.
Tekanan kedua dialami kaum perempuan Afghanistan dalam kehidupan
pribadi. Di rumah sendiri mereka merasakan kekerasan yang dilakukan para suami,
ayah, saudara lelaki atau sanak keluarga pria lainnya.
Sara menuturkan: "Sayangnya pemerintah di Kabul menganggap masalah
kekerasan terhadap perempuan hanya terjadi di rumah. Itu keliru. Kami dari RAWA
yakin, bahwa kekerasan di rumah berkaitan erat dengan keadaan politik di
Afghanistan. Selama ini tidak ada sanksi hukum bagi para suami atau ayah yang
suka memukul. Kekerasan tradisional terhadap perempuan tidak benar-benar
ditindak. Tambahan lagi petugas polisi dan kalangan pemerintahan juga sering
terlibat dalam kekerasan, perkosaan dan tindak kriminal lainnya. Itulah
sebabnya, mengapa kekerasan di rumah meningkat. Setiap harinya kaum lelaki
melihat mereka lolos dari kejaran hukum, bahkan dilindungi oleh sistem yang
berlaku."
Menurut Perhimpunan Revolusioner Perempuan Afghanistan RAWA, perkosaan
boleh dikatakan terjadi tiap hari, tetapi tidak pernah dibicarakan. Belum lama
ini ada kasus yang menjadi topik pemberitaan di dunia. Seorang gadis berusia 14
tahun diperkosa oleh tiga lelaki. Salah satunya adalah putra dari seorang
anggota parlemen. Orangtua gadis itu berani menggugat para pelakunya. Tetapi
Presiden Hamid Karzai kemudian justru mengampuni para pelaku tersebut. Menurut
Sara itu bukanlah kekecualian.
"Masalahnya, mereka tidak memberikan alasan, mengapa para pelaku
itu dibebaskan. Bagi kami, Presiden Karzai tidak lebih dari seorang sandera di
tangan kelompok fundamentalis dalam pemerintahan. Dia sebenarnya tidak punya
kekuasaan. jadi tidak ada yang menjelaskan, mengapa pelaku perkosaan tidak
terkena hukuman dan tidak ada keadilan bagi korban. Sikap itu membuat semakin
banyak perempuan yang bunuh diri, dan jumlahnya paling banyak di seluruh dunia.
Gadis-gadis muda membakar diri, karena tidak punya harapan akan masa depan yang
lebih baik."
RAWA berupaya
menghimpun berbagai gerakan demokrasi di Afghanistan guna melawan kelompok
ekstremis Islam. Tetapi untuk menghadapi golongan yang punya kekuasaan, uang
dan senjata, ini dibarengi bahaya besar. RAWA kini juga menuntut agar pasukan
asing ditarik dari Afghanistan, karena kehadiran mereka lebih merugikan dan
bukan menguntungkan. Pengukuhan Barack Obama sebagai presiden baru AS memang
disambut meriah di seluruh dunia, tetapi Sara tidak. Mengapa?
"Kami tidak optimis, sebab kata-kata pertama Obama mengenai
Afghanistan adalah perang dan bukan perdamaian. Dia hendak menambah pasukan AS.
Kami tidak yakin itu adalah jalan penyelesaiannya. Amerika harus mengubah total
politik luar negerinya di Afghanistan. Mereka tidak boleh mengandalkan kelompok
fundamentalis yang satu untuk memusnahkan kelompok fundamentalis lainnya. Yang
harus dibantu adalah kelompok-kelompok demokrasi. Selama mereka hanya
mengirimkan ribuan tentara, itu akan menemui kegagalan seperti halnya selama
ini."
Pertengahan tahun 2009 ini, di Afghanistan akan diselenggarakan
pemilihan presiden dan parlemen. Apakah itu akan membawa perubahan yang menentukan
di Afghanistan? Sara tidak punya harapan besar. Walaupun begitu organisasi
Perhimpunan Revolusioner Perempuan Afghanistan RAWA akan terus berjuang,
walaupun dana mereka sudah habis dan berbagai lembaga mereka terpaksa ditutup.
"Afghanistan tidaklah dimerdekakan. Kami tidak bebas dan masih
harus menempuh jalan yang panjang sampai dapat meraih kebebasan dan demokrasi.
Kami meminta bantuan semua warga di dunia untuk mendukung kekuatan dan
organisasi-organisasi demokrasi secara praktis, politis dan finansial.
Janganlah lupakan kami." Demikian pesan yang disampaikan Sara.[4]
Perempuan Afghanistan - Dulu dan Sekarang
Situasi perempuan di Afghanistan banyak mengalami kemunduran sejak
dekade 1960an. Ironisnya foto-foto masa lalu ini justru menunjukkan kehidupan
modern kaum hawa yang kini tertutup dan terisolir berkat kekuasaan Taliban.
Seorang jurubicara Taliban pernah berucap, wajah perempuan "adalah
sumber malapetaka buat laki-laki yang bukan muhrim." Tidak banyak yang
berubah di Afghanistan sejak demokrasi berjejak.
Masalah perempuan di Afghanistan tidak banyak berhubungan dengan burka.
Tapi kaum perempuan hingga kini masih dibatasi dalam hubungan sosial. Buat
mereka ada aturan tak tertulis tentang apa yang boleh dibicarakan, siapa yang
boleh ditemui dan kemana seorang perempuan boleh berpergian.[5]
[1]http://www.kompasiana.com/ameliazaneta/afghanistan-di-bawah-penguasaan-taliban_55005c47a333115b745107b1 diakses pada 7 Desember Pukul 08:00 WIB
[2]https://baranom.wordpress.com/2015/06/14/illiza-walikota-banda-aceh-yang-suka-politisasi-agama/ diakses
pada 7 Desember Pukul 08:00 WIB.
[3] http://www.merdeka.com/foto/dunia/247058/20130911195800-ketika-anak-perempuan-afghanistan-tersisihkan-dari-pendidikan-007-isn.html diakses pada 7 Desember Pukul 08:00 WIB.
[4] http://www.dw.com/id/perempuan-afghanistan-dulu-dan-sekarang/g-18625883 diakses
pada 7 Desember Pukul 08:00 WIB.
[5] http://www.dw.com/id/perempuan-afghanistan-dulu-dan-sekarang/g-18625883 diakses
pada 7 Desember Pukul 08:00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar