Rabu, 09 Desember 2015

sistem kemasyarakatan (sosial), budaya, politik, hukum, ritual agama, ekonomi, pendidikan yang bias gender contoh kasus di Afghanistan.

Pada Oktober 1996, Taliban menyerang bagian Utara Kabul dengan jet dan artileri, dengan agenda untuk meguasai Kabul dan Afghanistan sepenuhnya, dan memebersihkan Afghanistan dari para kelompok pemberontakan, yang masih memperjuangkan ideologi komunis. Dan seperti yang telah di perkirakan oleh semua orang, Taliban memenangkan petarungan tersebut. Masa itu merupakan awal dari pengambilan alihan pemerintahan Afghanistan ke tangan Taliban.
Segera setelah Taliban menguasai Afghanistan, kelompok ini langsung mereformasi hukum-hukum yang ada dan membuat hukum-hukum baru yang menggunakan hukum syariah islam sebagai landasan utamanya. Taliban juga melarang warga afghanistan untuk memiliki barang-barang yang berbau ’barat’, film-film, dan bahkan musik. Dari semua hukum-hukum baru tersebut inilah, terdapat hukum yang secara tidak langsung telah menaruh wanita kedalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Selama era pemerintahan Taliban (1996 – 2001), wanita-wanita Afghanistan ini berada dalam tekanan kebudayaan dan hukum yang tidak mempunyai landasan yang jelas, dan bahkan seringkali hukum yang diterapkan bersifat terlalu berlebihan, sehingga cenderung mengekang kebebasan wanita-wanita di Afganistan. Taliban tidak hanya membuat ulang undang-undang dan peraturan hukum yang baru bagi perempuan, tetapi juga mengatur secara detail hal-hal yang bersifat lebih pribadi, seperti; perilaku, cara berpakaian, dan batasan untuk memperoleh bangku pendidikan. Dan selama masa itu pula, Afghanistan menjadi negara yang tertutup, dan tidak mengizinkan adanya kritik ataupun intervensi baik itu dari negara lain maupun dari organisasi internasional yang perduli dengan situasi tersebut.[1]
Perempuan dilarang keluar rumah tanpa didampingi muhrim; perempuan dilarang mengenyam pendidikan; perempuan dilarang bekerja; dan beberapa keterbelakangan lainnya yang diterapkan Taliban dengan dalih bahwa Islam “membatasi” aktifitas perempuan.
Para perempuan cukup duduk-duduk manis di rumah agar dianggap suci. Seolah-olah Islam tak “memanusiakan” perempuan. Perempuan diperlakukan seperti keledai semasa Taliban di Afghanistan.
            Tugas perempuan hanya mengurus tiga hal semata: sumur, dapur dan kasur. Selebihnya, hanya lelaki yang bisa memutuskan segala hal. Secara tidak langsung Illiza telah merendahkan kodratnya sendiri yang notabenya seorang perempuan.[2]
            Dalam masalah pendidikan perempuan Afganistan, sangat tidak jauh berbeda dari apa yang perempuan dapatkan di dalam system kemasyarakatan, hokum, dan budaya yang mengekang perempuan, akan tetapi perempuan pada masa Taliban pun dilarang dalam mengenyam pendidikan. Pemerintah Taliban melarang keras anak perempuan Afghanistan mendapatkan hak pendidikan dasar. Berikut adalah beberapa dokumentasi tentang kondisi perempuan yang hanya bisa mendapatkan pendidikan di pengungsian saja. Karena mereka dilarang untuk mendapat pendidikan oleh pemerintahan Taliban.


Ket: Sejumlah anak perempuan tengah melakukan kegiatan belajar di dalam sebuah tenda pengungsian di Jalalabad, Afghanistan pada 4 Oktober 2012. Warga terpaksa membuat sekolah darurat secara mandiri agar anak perempuan mereka mendapatkan pendidikan dasar.




Ket: Antusias anak-anak saat hendak menjawab pertanyaan yang diberikan oleh seorang guru saat mengikuti kegiatan belajar di kamp pengungsian di Jalalabad, Afghanistan.


Ket: Sudah hampir 30 tahun warga Afghanistan merasakan kedamaian penuh. Sejak 1979 ketika Soviet melakukan invasi, kemudian pada 1990 terjadinya perang sipil, dan hingga kini, 5 tahun di bawah pemerintahan Taliban membuat tempat tinggal dan bangunan sekolah hancur akibat aksi teror yang terus terjadi.

Ket: Seorang anak perempuan meminum air dari sebuah kran usai mengikuti kegiatan belajar di kamp pengungsian di Jalalabad, Afghanistan.


Ket: Selain di Jalalabad, anak-anak di kamp pengungsian yang berada di wilayah Khost juga merasakan hal yang sama.


Ket: Seorang anak perempuan mencoba menjawab soal yang berada di papan tulis saat mengikuti kegiatan belajar di kamp pengungsian di Jalalabad, Afghanistan, Rabu (11/9).
 
Ket: Suasana salah satu kelas di sekolah darurat yang didirikan di kamp pengungsian di Jalalabad, Afghanistan, Rabu (11/9).[3]

Malala Yousafzai, sang Pahlawan Pembela Hak Pendidikan Bagi Perempuan.

            Sekilas tidak ada yang special dari gambar Malala di atas, akan tetapi dia adalah seorang penerima penghargaan Nobel dalam kategori perjuangan hak-hak pendidikan bagi perempuan di Afghanistan.
            Malala menjadi terkenal ketika dia mulai lantang menyuarakan hak-hak pendidikan bagi kaum perempuan di bawah tekanan Taliban yang mengekang pendidikan bagi perempuan. Dia aktif menjadi orator di Afghanistan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di Afghanistan.
            Akan tetapi, suatu kejadian yang naas menimpa Malala, suatu ketika pada saat Malala menunggangi mobil, mobil yang dia tunggangi dicegat oleh seorang yang tidak dikenal dan disinyalir dia adalah salah seorang Taliban. Lalu dia memaksa masuk ke dalam mobil dan langsung menembak Malala di bagian kepala.
            Malala langsung dilarikan ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan yang intensif sampai akhirnya dia sembuh. Dan setelah kejadian tersebut, nama Malala menjadi mendunia dan bahkan dia sampai mendapatkan penghargaan Nobel atas keberaniannya menentang Taliban.
Berikut kami juga akan memaparkan sedikit tentang masalah perempuan ketika Taliban jatuh atau tepatnya pada masa pemerintahan Hamid Karzai. Setelah Taliban dijatuhkan AS dan sekutunya tahun 2001, memang banyak hak perempuan dicantumkan dalam undang-undang. Tetapi pada prakteknya, sama sekali belum dilaksanakan.
Organisasi perempuan Afghanistan RAWA, sejak tahun 1977 memperjuangkan hak-hak perempuan dan menentang kelompok Islam fundamentalis. Ketika Taliban berkuasa para aktifis RAWA memberikan pengajaran kepada kaum perempuan termasuk anak perempuan secara diam-diam. Mereka juga mendampingi para janda dan yatim piatu di kamp-kamp pengungsian, termasuk menyelundupkan foto-foto eksekusi ke luar negeri, dengan mempertaruhkan nyawa. Untuk itu, organisasi RAWA berulang kali mendapat penghargaan. Para aktifisnya sering berkunjung ke berbagai negara untuk memperoleh dukungan politik dan keuangan.
Salah seorang aktifis RAWA adalah, sebut saja namanya Sara yang berusia 27 tahun. Di luar negeri dia berpakaian santai, tetapi di Afghanistan dia mengenakan burka, tertutup dari kepala sampai kaki. Dia menggunakan nama samaran dan tidak mengijinkan dirinya difoto, supaya Taliban dan kelompok ekstremis lainnya tidak bisa menemukannya. Ketika rejim Taliban melarang anak perempuan untuk bersekolah, Sara mengikuti pelajaran membaca dan menulis yang diberikan secara ilegal oleh RAWA. Para aktifis itu membangkitkan kesadaran politik dalam diri Sara dan menjadi aktifis yang memperjuangkan demokrasi dan kesetaraan kaum perempuan. Walaupun di Afghanistan hal itu bisa membahayakan nyawanya. Sebab walaupun setelah rejim Taliban digulingkan oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya dan Afghanistan memiliki pemerintahan yang dipilih secara demokratis, tetapi bagi kaum perempuannya tidak banyak perubahan yang terjadi.
"Berbeda dengan gambaran pada media, sayangnya perempuan Afghanistan masih tetap ditindas. Tepatnya dari dua pihak. Di satu pihak oleh masyarakat di luar rumah, yaitu kelompok agama yang fundamentalis, wakil-wakil gerakan Jihad, para warlords dan Taliban. Perempuan diculik di depan rumah dan dinikahkan secara paksa dengan para pemimpin perang. Mereka diperkosa, sebagiannya oleh gerombolan pria yang juga tidak ragu-ragu memperkosa anak kecil atau generasi nenek mereka. Secara resmi sekolah-sekolah memang terbuka bagi anak perempuan. Tetapi karena perdamaian belum terwujud, banyak anak perempuan yang takut disergap saat menuju sekolah, diculik atau bahkan dibunuh. Oleh sebab itu pihak keluarga lebih suka kalau anak perempuan tidak ke sekolah atau ke kantor." Demikian ungkap Sara.
Menurut keterangan resmi separuh dari anak-anak di usia sekolah datang menghadiri pelajaran yang diberikan, sepertiganya adalah anak perempuan. Sebuah kemajuan, tetapi tidak ada persamaan kesempatan bagi anak perempuan.
Tekanan kedua dialami kaum perempuan Afghanistan dalam kehidupan pribadi. Di rumah sendiri mereka merasakan kekerasan yang dilakukan para suami, ayah, saudara lelaki atau sanak keluarga pria lainnya.
Sara menuturkan: "Sayangnya pemerintah di Kabul menganggap masalah kekerasan terhadap perempuan hanya terjadi di rumah. Itu keliru. Kami dari RAWA yakin, bahwa kekerasan di rumah berkaitan erat dengan keadaan politik di Afghanistan. Selama ini tidak ada sanksi hukum bagi para suami atau ayah yang suka memukul. Kekerasan tradisional terhadap perempuan tidak benar-benar ditindak. Tambahan lagi petugas polisi dan kalangan pemerintahan juga sering terlibat dalam kekerasan, perkosaan dan tindak kriminal lainnya. Itulah sebabnya, mengapa kekerasan di rumah meningkat. Setiap harinya kaum lelaki melihat mereka lolos dari kejaran hukum, bahkan dilindungi oleh sistem yang berlaku."
Menurut Perhimpunan Revolusioner Perempuan Afghanistan RAWA, perkosaan boleh dikatakan terjadi tiap hari, tetapi tidak pernah dibicarakan. Belum lama ini ada kasus yang menjadi topik pemberitaan di dunia. Seorang gadis berusia 14 tahun diperkosa oleh tiga lelaki. Salah satunya adalah putra dari seorang anggota parlemen. Orangtua gadis itu berani menggugat para pelakunya. Tetapi Presiden Hamid Karzai kemudian justru mengampuni para pelaku tersebut. Menurut Sara itu bukanlah kekecualian.
"Masalahnya, mereka tidak memberikan alasan, mengapa para pelaku itu dibebaskan. Bagi kami, Presiden Karzai tidak lebih dari seorang sandera di tangan kelompok fundamentalis dalam pemerintahan. Dia sebenarnya tidak punya kekuasaan. jadi tidak ada yang menjelaskan, mengapa pelaku perkosaan tidak terkena hukuman dan tidak ada keadilan bagi korban. Sikap itu membuat semakin banyak perempuan yang bunuh diri, dan jumlahnya paling banyak di seluruh dunia. Gadis-gadis muda membakar diri, karena tidak punya harapan akan masa depan yang lebih baik."
RAWA berupaya menghimpun berbagai gerakan demokrasi di Afghanistan guna melawan kelompok ekstremis Islam. Tetapi untuk menghadapi golongan yang punya kekuasaan, uang dan senjata, ini dibarengi bahaya besar. RAWA kini juga menuntut agar pasukan asing ditarik dari Afghanistan, karena kehadiran mereka lebih merugikan dan bukan menguntungkan. Pengukuhan Barack Obama sebagai presiden baru AS memang disambut meriah di seluruh dunia, tetapi Sara tidak. Mengapa?
"Kami tidak optimis, sebab kata-kata pertama Obama mengenai Afghanistan adalah perang dan bukan perdamaian. Dia hendak menambah pasukan AS. Kami tidak yakin itu adalah jalan penyelesaiannya. Amerika harus mengubah total politik luar negerinya di Afghanistan. Mereka tidak boleh mengandalkan kelompok fundamentalis yang satu untuk memusnahkan kelompok fundamentalis lainnya. Yang harus dibantu adalah kelompok-kelompok demokrasi. Selama mereka hanya mengirimkan ribuan tentara, itu akan menemui kegagalan seperti halnya selama ini."
Pertengahan tahun 2009 ini, di Afghanistan akan diselenggarakan pemilihan presiden dan parlemen. Apakah itu akan membawa perubahan yang menentukan di Afghanistan? Sara tidak punya harapan besar. Walaupun begitu organisasi Perhimpunan Revolusioner Perempuan Afghanistan RAWA akan terus berjuang, walaupun dana mereka sudah habis dan berbagai lembaga mereka terpaksa ditutup.
"Afghanistan tidaklah dimerdekakan. Kami tidak bebas dan masih harus menempuh jalan yang panjang sampai dapat meraih kebebasan dan demokrasi. Kami meminta bantuan semua warga di dunia untuk mendukung kekuatan dan organisasi-organisasi demokrasi secara praktis, politis dan finansial. Janganlah lupakan kami." Demikian pesan yang disampaikan Sara.[4]






 
Perempuan Afghanistan - Dulu dan Sekarang
 
Situasi perempuan di Afghanistan banyak mengalami kemunduran sejak dekade 1960an. Ironisnya foto-foto masa lalu ini justru menunjukkan kehidupan modern kaum hawa yang kini tertutup dan terisolir berkat kekuasaan Taliban.



Seorang jurubicara Taliban pernah berucap, wajah perempuan "adalah sumber malapetaka buat laki-laki yang bukan muhrim." Tidak banyak yang berubah di Afghanistan sejak demokrasi berjejak.

Masalah perempuan di Afghanistan tidak banyak berhubungan dengan burka. Tapi kaum perempuan hingga kini masih dibatasi dalam hubungan sosial. Buat mereka ada aturan tak tertulis tentang apa yang boleh dibicarakan, siapa yang boleh ditemui dan kemana seorang perempuan boleh berpergian.[5]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar