RESPONDING PAPER “TEORI FEMINISME”
Khilda Fauzia
1112034000194
Pengertian Feminisme
Secara etimologis feminis berasal dari kata femme
(woman, berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak
kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Dalam hubungan ini perlu
dibedakan antara male dan female (sebagai aspek perbedaan biologis, sebagai
hakikat alamiah, masculine dan feminine (sebagai aspek perbedaan psikologis
cultural). Dengan kalimat lain, male-female mengacu pada seks, sedangkan
masculine-feminine mengacu pada jenis kelamin atau gender, sebagai he dan she
(shelden, 1986), jadi tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender.
Dalam pengertian yang luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak
segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh
kebudayaan dominan, baik dalam politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada
umumnya (Ratna, 184).
Dari ungkapkan teori diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa gerakan feminisme dilakukan untuk mencari keseimbangan gender. Gerakan
feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari rasisme, stereotyping,
seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme. Gerakan feminisme adalah
suatu gerakan yang meminta persamaan hak wanita dan lelaki atau juga yang
disebut dengan gerakan kesetaraan gender berasal dari pandangan hidup
masyarakat Barat. Menurut The New Encyclopedia of Britanica disebutkan bahawa :
“Feminism is the belief, largely originating in the West, in the social,
economic, and political equality of the sexes, represented worldwide by various
institutions committed to activity on behalf of women’s rights and interests”.
( Feminisme adalah keyakinan yang berasal dari Barat berkaitan dengan
kesetaraan sosial, ekonomi dan politik antara lelaki dan perempuan yang
tersebar ke seluruh dunia melalui organisasi yang bergerak atas nama hak-hak
dan kepentingan perempuan). Keseimbangan
gender adalah untuk mensejajarkan posisi maskulin dan feminin dalam konteks
satu budaya tertentu. Hal ini dikarenakan, dalam satu budaya tertentu feminine
sering dianggap inferior, tidak mandiri dan hanya menjadi subjek. Untuk itu
feminisme bisa juga dikatakan sebagai gerakan untuk memperjuangkan kaum
perempuan menjadi mandiri. Karena gerakan feminisme ini merupakan sebuah
ideologi yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi kaum perempuan untuk
mencapai kesetaraan sosial, feminisme berkembang menjadi beberapa bagian
seperti feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme anarkis, feminisme
sosialis, feminisme postkolonial, feminisme postmodern, feminisme marxis.
Sejarah Feminisme[1]
Munculnya gerakan feminisme
pada masyarakat Barat tidak terlepas dari sejarah masyarakat Barat yang
memandang rendah terhadap kedudukan perempuan, dan kekecewaan masyarakat Barat
terhadap pernyataan kitab suci mereka terhadap perempuan. Pakar sejarah Barat,
Philip J.Adler dalam buku “World Civilization” menggambarkan bagaimana kekejaman
masyarakat Barat dalam memandang dan memperlakukan perempuan. Sampai abad ke
17, masyarakat Eropah masih memandang perempuan sebagai jelmaan syaitan atau
alat bagi syaitan untuk menggoda manusia, dan meyakini bahawa sejak awal
penciptaannya, perempuan merupakan ciptaan yang tidak sempurna. Oleh sebab itu
perempuan disebut dengan “female” yang berasal dari bahasa Greek. Ayat “femina”
berasal dari kata “fe” dan “minus”. “Fe” bermakna “fides”, atau “faith” yang
bererti kepercayaan atau iman. Sedang “mina” berasal dari kata “minus” yang
bererti “kurang”. Maka “femina” adalah “seseorang yang mempunyai iman yang
kurang”.
Dalam kitab Bible terdapat banyak ayat yang memberikan pandangan
rendah terhadap kedudukan perempuan, seperti :
“Kejahatan lelaki lebih baik daripada kebajikan perempuan dan
perempuanlah yang mendatangkan malu dan nista” ( Sirakh 42 : 14 )
“Setiap keburukan hanya kecil dibandingkan dengan keburukan
perempuan, mudah-mudahan ia ditimpa nasib orang yang berdosa” ( Sirakh 25 :19)
“Derajatnya (perempuan) di bawah lelaki dan harus tunduk seperti
tunduknya manusia kepada Tuhan” (Efesus
5 : 22 )
“Permulaan dosa dari perempuan dan kerana dialah kita semua mesti
mati” (Sirakh 25
: 4 )
“Wujud kutukan Tuhan terhadap perempuan adalah kesengsaraan saat
mengandung, kesakitan ketika melahirkan, dan akan selalu ditindas lelaki kerana
mewariskan dosa Hawa” (
Kejadian 3: 16 )
“Perempuan harus tutup mulut di gereja, tidak ada hak untuk
bersuara, dan bertanya dalam satu jemaah. Jika harus bertanya tentang sesuatu
yang belum difahami, dia harus bertanya kepada suaminya di rumah” ( Korintus 14 : 34-35)
“Anak perempuan tidak mendapatkan warisan, kecuali jika tidak ada
pewaris lagi dari pihak lelaki ” (
Bilangan 27 : 8 )
“Seorang isteri tidak mempunyai hak pewarisan dari suaminya”( Bilangan 27 : 8-11)
Sikap Kitab suci Bible terhadap perempuan tersebut mengakibatkan
sikap gereja yang merendahkan perempuan sebagaimana dinyatakan oleh Paderi
St.John Chrysostom (345-407) “Wanita adalah syaitan yang tidak dapat dihindari,
suatu kejahatan dan bencana yang abadi dan menaik, sebuah risiko rumah tangga”.
Thomas Aquinas, dalam tulisannya “Summa Theologia” setuju dengan
pernyataan Aristotle yang menyatakan bahawa : “ Perempuan adalah lelaki yang
cacat atau memiliki kekurangan (defect male)”. Sedangkan Imanuel Kant
menyatakan bahwa : “Perempuan mempunyai perasaan yang kuat tentang
kecantikan dan keanggunan dan sebagainya, tetapi kurang dalam bidang kognitif
dan tidak dapat memutuskan tindakan moral “
Pada abad Pertengahan, gereja berperanan
sebagai pusat kekuasaan. Akibatnya kekuasaan politik memandang rendah terhadap
kedudukan perempuan. Sebahagian besar perempuan dianggap sebagai anak
kecil-dewasa yang dapat digoda atau dianggap tidak memiliki akal yang sempurna,
sehingga perempuan yang berkahwin di abad pertengahan tidak memiliki hak untuk
bercerai dari suaminya dengan alasan apapun juga. Francis Bacon dalam bukunya
“Marriage and Single Life” menerangkan bahawa perempuan menyimpan benih
keburukan sehingga harus selalu diawasi oleh ahli keluarga lelaki atau suaminya
apabila dia sudah berkahwin. Oleh sebab itu, hidup tanpa nikah merupakan
kehidupan ideal bagi seorang lelaki, kerana jauh dari pengaruh buruk perempuan
dan beban anak-anak, sehingga mereka dapat memberikan perhatian yang penuh pada
kehidupannya dalam masyarakat.
Perlawanan terhadap kekuasaan gereja telah
dimulai dengan terjadinya Revolusi Perancis (1789). Perjuangan kebebasan atas
dominasi gereja dan Raja tersebut juga memberikan pengaruh besar pada gerakan
perempuan dalam masyarakat Barat. Kaum perempuan saat itu bergerak memanfaatkan
gerakan politik di tengah pemberontakan rakyat yang berdasarkan kebebasan
(liberty), persamaan (equality) dan persaudaraan (fraternity). Pada waktu itu,
perempuan Perancis berjalan di pasar-pasar bersama dengan pasukan kebangsaan
menuntut agar Raja mengawal harga dan menyediakan roti di rumah-rumah. Gerakan
perempuan Perancis bersama kelompok revolusi menginginkan sistem kerajaan
digantikan dengan sistem republik, berdasarkan persamaan hak dan demokrasi.
Gerakan kebebasan politik terus berlangsung sehingga pada tahun 1792 kaum
perempuan memperoleh hak untuk dapat bercerai dari suaminya. Mary
Wollstonecraft pada tahun 1792 juga menulis buku “A Vindication of the Right of
Women” yang menentang anggapan bahawa perempuan hanya untuk memberi kepuasan
seksual kepada lelaki, dan menjelaskan bahawa perempuan mempunyai peluang yang
sama dengan lelaki dalam hal ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik. Sejarah
mencatatkan bahawa hanya pada tahun 1920 perempuan masyarakat Barat baru
mendapat hak memilih dalam pilihan raya.
Latar belakang kedudukan perempuan di Barat
tersebut akhirnya memunculkan gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak
dengan kaum lelaki. Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton pada tahun 1848
mengadakan sidang akhbar
Konvensyen Hak-hak Perempuan di Seneca Falls yang dihadiri oleh 300 peserta dan
menghasilkan deklarasi yang menuntut reformasi hukum perkahwinan, perceraian,
pewarisan harta dan anak. Konvensyen Perempuan di Seneca Falls itu merupakan
protes terhadap Konvensyen Penghapusan Perhambaan pada tahun 1840 di mana kaum
perempuan tidak diberi hak untuk mengemukakan pendapatnya.10 Tahun 1895,
Elizabeth Candy Stanton, menerbitkan buku “The Women Bible” di mana dia
mengkaji seluruh teks Bible yang berkaitan dengan perempuan, dan mengambil
kesimpulan bahawa kitab suci Bible mengandungi ajaran yang menghina perempuan,
dan dari ajaran inilah terbentuk dasar-dasar pandangan Kristian terhadap
perempuan. Berikutnya, Stanton berusaha meyakinkan bahawa Bible bukanlah
kata-kata Tuhan, tetapi sekadar himpunan tentang sejarah dan cerita yang
ditulis oleh kaum lelaki, dan oleh sebab itu perempuan tidak memiliki kewajipan
moral untuk mengikuti ajaran Bible.
Gerakan pembaharuan intelektual “Renaissance” di Barat memberi
pengaruh yang kuat terhadap gerakan feminisme dan kesamaan gender. “Declaration
of the Right of Man and of the Citizen” yang muncul pada tahun 1789
menjelaskan tentang kewarganegaraan Perancis gagal memberikan status yang sah
kepada perempuan sehingga pada tahun 1791 diisytiharkan “Declaration of the
Right of Women and the (Female) Citizen” yang menyatakan bahawa bukan
sahaja perempuan setaraf dengan lelaki, tetapi merupakan pasangan (partner) dalam
seluruh bidang kehidupan.
Kaum Feminisme kemudian mengembangkan konsep persaman gender, di
mana gender berbeza dengan kelamin, sebab kelamin (sex) merujuk kepada
anatomi-biologi, sedangkan gender dipengaruhi oleh keadaan sosial, budaya,
agama dan hukum. Oleh sebab itu menurut Lips dalam A New Psychology of
Women, gender tidak hanya terbatas pada jenis kelamin feminin dan maskulin,
tetapi juga pada jenis yang ketiga yang tidak dapat digolongkan dalam feminin
dan maskulin seperti kaum homoseksual, heteroseksual. H.T.Wilson dalam buku Sex
and Gender, mendefinisikan gender:
“Suatu dasar untuk menentukan perbezaan lelaki dan perempuan pada
kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi lelaki dan perempuan”. Oleh kerana itu
gerakan persamaan gender ini tidak mempersoalkan perbezaan identiti lelaki dan
perempuan dari segi anatomi biologi atau jenis kelamin, tetapi mengkaji aspek
sosial, budaya, psikologi, dan aspek–aspek non-biologi lainnya”.
Gerakan feminisme atau persamaan gender ini
berasal dari ajaran persamaan (equality) dalam segala hal dalam masyarakat
Barat. Salah satu teori feminisme radikal adalah menuntut persamaan hak antara
lelaki dan perempuan dalam soal hak sosial dan juga hak-hak seksual. Jika
kepuasan seksual dapat diperoleh antara hubungan lelaki dan perempuan, maka
dalam teori persamaan gender, kepuasan seksual dapat diperoleh dari kepuasan
hubungan sesama jenis kelamin, baik sesama lelaki (homoseksual) atau sesama
perempuan (lesbian). Oleh sebab itu kaum homoseksual atau kelompok lesbian harus
diberi hak sama sebagaimana yang diberikan kepada kaum lelaki dan wanita yang
lain. Bagi gerakan feminisme, seorang wanita tidak boleh mempunyai
kebergantungan hidup kepada lelaki baik dalam soal keperluan hidup, ekonomi,
politik, sampai kepada keperluan seksual. Sikap memberikan hak yang sama kepada
kaum homoseksual juga merupakan tindak balas terhadap kekejaman masyarakat
Barat terdahulu kepada kaum Homo. Robert Held, dalam bukunya “Inquisition”
menerangkan bagaimana sikap masyarakat Barat dahulu yang sangat kejam terhadap
kaum homo, dengan memuat gambar-gambar dan lukisan model alat yang dipakai
untuk penyeksaan seperti pencungkil mata, gergaji pembelah manusia, pemotong
lidah, alat penghancur kepala, terhadap perempuan dan kaum Homo. Sikap
kekejaman akhirnya menuntut kebebasan tanpa batas terhadap hak-hak perempuan
dan kaum Homo. Seakan-akan masyarakat Barat terjebak dalam dua sikap yang
berlebih-lebihan (sikap ekstrem) di mana dahulu mereka memperlakukan perempuan
dan kaum Homo dalam tingkat kekejaman dan sekarang mereka memberikan hak
kebebasan sebagai kemarahan atas perlakuan terdahulu. Dapat diambil kesimpulan
bahawa tuntutan kebebasan perempuan dan persamaan gender tersebut hanya sesuai
pada masyarakat Barat yang mempunyai sejarah penindasan terhadap perempuan, dan
tidak sesuai bagi masyarakat yang telah menghargai perempuan seperti masyarakat
Muslim yang mempunyai ajaran dan tradisi memuliakan perempuan.
Teori-Teori Feminisme
a.
Feminisme Kultural
Feminisme kultural memusatkan
perhatian pada eksplorasi nilai-nilai yang dianut perempuan yaitu bagaimana
mereka berbeda dari laki-laki. Feminisme kultural menyatakan bahwa proses
berada dan mengetahui perempuan bisa jadi merupakan sumber kekuatan yang lebih
sehat bagi diproduksinya masyarakat adil daripada preferensi tradisional pada
budaya androsentris bagi cara mengetahui dan cara mengada laki-laki.
b.
Feminisme Liberal
Feminisme liberal berpendapat
perempuan dapat mengklaim kesetaraan dengan laki-laki berdasarkan kemampuan
hakiki manusia untuk menjadi agen moral yang menggunakan akalnya, bahwa
ketimpangan gender adalah akibat dari pola pembagian kerja yang seksis dan
patriakal dan bahwa kesetaraan gender dapat dihasilkan dengan
mentransformasikan pembagian kerja melalui pemolaan ulang institusi-institusi kunci
hukum, kerja, keluarga, pendidikan dan media.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan
solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan
pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya
kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan
wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita
di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan
menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang
materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat
mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah,
berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
c. Feminisme Radikal
Feminisme Radikal didasarkan
pada keyakinan sentral (1) bahwa perempuan memiliki nilai mutlak positif
sebagai perempuan, keyakinan yang berlawanan dengan apa yang mereka klaim
sebagai perendahan secara universal terhadap perempuan (2) perempuan dimanapun
berada selalu tertindas secara kejam oleh patriarki.
d. Teori Psikoanalitis Feminis
Teori ini menjelaskan
penindasan perempuan berdasarkan deskripsi psikoanalitis dorongan psikis
laki-laki menggunakan kekerasan untuk memaksa perempuan tunduk.
e. Feminisme Sosialis
Proyek teoritis feminisme
sosialis mengembangkan tiga tujuan (1) untuk melakukan kritik atas penindasan
berbeda namun saling terkait yang dilakukan oleh patriarki dan kapitalisme dari
sudut pandang pengalaman perempuan (2) mengembangkan metode yang eksplisit dan
tepat untuk melakukan analisis sosial dari pemahaman yang luas tentang
materialisme historis (3) memasukkan pemahaman tentang signifikasi gagasan ke
dalam analisis materialis tentang determinasi kehidupan manusia. Feminisme
sosialis telah menetapkan proyek formal yaitu mencapai sintesis dan langkah
teoritis di luar teori feminis.
f. Teori Interseksionalitas
Teori ini diawali dari
pemahaman bahwa perempuan mengalami penindasan dalam berbagai konfigurasi dan
dalam berbagai tingkat intensitas. Penjelasan utama dari teori
interseksionalitas adalah semua perempuan secara potensial mengalami penindasan
berdasarkan gender, perempuan secara berbeda tertindas oleh beragam interaksi
tatanan ketimpangan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal berjudul “GERAKAN FEMINISME, PERSAMAAN GENDER DAN PEMAHAMAN
AGAMA ( BAHAGIAN I ) ditulis oleh Muhammad
Ariffin bin Ismail
[1] Muhammad Ariffin bin Ismail, “GERAKAN FEMINISME, PERSAMAAN GENDER DAN PEMAHAMAN AGAMA ( BAHAGIAN
I ) “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar