Responding Paper “Relasi Gender dalam Agama Kristen”
Khilda Fauzia
1112034000194
A. Status Perempuan dalam Ritual-Ritual dan
Kehidupan Sosial dalam Perjanjian Baru
Status perempuan dalam agama Kristen tidak
lebih baik dibandingkan nasib mereka dalam agama Yahudi. Agama Kristen
memberikan sedikit perhatian terhadap isu-isu tentang perempuan. Lahirnya agama
Kristen tidak memperbaiki kondisi mereka maupun memberikan hak-hak yang patut
mereka peroleh.
Agama Kristen tidak membebaskan perempuan
dari cengkraman otoritas kaum laki-laki ataupun melindungi mereka dari
penindasan dan kezaliman laki-laki. Sebaliknya, agama Kristen memaksa perempuan
untuk tunduk pada otoritas kaum lelaki dan menaati mereka secara mutlak. Paulis
berkata: “Wahai para Istri, patuhlaah kepada suamimu seperti kepada Tuhan,
karena suami adalah pemimpin istrinya sebagaimana Kristus adalah pemimpin
gereja”.[1]
Pembagian posisi atau peran yang tidak adil
sangat kental dalam tradisi agama Kristen cukup terlihat pada Perjanjian Baru,
khususnya naskah Paulus. Padahal naskah teologi kesetaraan gender jelas
diungkapkan di Perjanjian Lama. Sebagaimana diungkapkan Rosemary Radford
Ruether “Pernyataan penuh semangat yang membenarkan sikap merendahkan perempuan
saat ini harus dilihat sebagai wujud dari agama Kristen patriarkal paska Paulus
yang bertentangan dengan agama Kristen kerakyatan yag lebih awal”. Ia mengakui
bahwa sebenarnya tidak ada ayat-ayat dalam alkitab yang membenarkan untuk
merendahkan perempuan.[2]
Yesus merobohkan kebiasaan dan hukum Yahudi
yang telah berabad-abad dipraktekkan. Ia memperlalukan perempuan setara dengan
laki-laki. Sikap dan pandangannya menunuukkan bahwa Yesus menghormati kaum
perempuan. Sabda-Nya: Sebab siapapun yang melakukan kehendap Bapa-ku di sorga,
dialah saudara-ku laki-laki, dialah saudara-ku perempuan, dialah ibu-ku (Matius
12:50)
Demikian pula apabila kita memperhatikan
bagaimana seikap Yesus terhadap perempuan secara positif, misalnya dalam Lukas
7:36-50, diceritakan bahwa Yesus sangat memperhatikan dan menerima secara positif
perempuan berdosa yang datang kepadanya untuk mengurapi kakinya dengan minyak
marwastu. Hal ini sangat bertentangan dengan sikap para laki-laki yang juga
hadir di tempat yang sama. Laki-laki cenderung menolak dan menyalahkan
perempuan berdosa yang meminyaki kaki Yesus. Sangat menarik sikap Yesus kika
disbanding dengan laki-laki yang lain. Nampak bahwa sebagai laki-laki, Yesus
tidak memanfaatkan posisinya untuk mendominasi perempuan.[3]
Yesus juga berelasi dengan perempuan sejak
lahir. Yesus menerima visi pelayana dari Ibunya (Lukas 1: 46-55). Murid yang
setia mengikuti Yesus sampai di bawah salib adalah perempuan. Yesus meminta
ibunya menjadi ibu Yohanes, ini merupakan relasi baru kerahiman Allah (baca:
kerajaan allah). Yesus mengatakan bahwa janda yang mempersembahkan dua peser
uang dari hidupnya yang miskin berarti ia mempersembahkan seluruh nafasnya
(Markus 12: 41-44).
Yesus menerima perempuan sebagai murid.
Dalam Lukas 8: 1-3 dikatakan bahwa Maria Magdalena, Johana istri Khusa, Susana,
dan perempuan lain bergabung dengan Yesus dan para rasulnya mewartakan kabar
gembira. Yesus menerima Maria saudara Marta sebagai murid (:ukar 10: 38-42).
Yesus berbicara tentang teologi dengan perempuan Samaria (Yohanes 4: 1-42).
Yesus juga memberi peran baru kepada
perempuan. Yesus memberi peran kepada perempuan sama dengan laki-laki untuk
melalukan kehendak Allah, dengan menghadirkan Allah dalam kehidupan (Markus 3:
31-35). Yesus menyetujui pilihan Maria yang melanggar strereotip pekerjaan
perempuan sepeti yang dilakukan Marta yang sibuk melakukan perkerjaan domestic
(Lukas 10: 38-42). Yesus memberikan peran kepada perempuan tidak hanya sebagai
orang yang melahirkan dan memelihata anak, tetapu juga untuk mendengarkan
firman Allah dan memeliharanya (Lukas 11: 27-28). Ketika orang-orang menyatakan
pandangan umum tentang peran Bunda Maria sebagai ibu yang melahirkan dan
menyusui, Yesus menyatakan peran Bunda-Nya lebih dari itu: “Mendengarkan firman
Allah dan memeliharanya”. BUnda Maria mengajarkan visinya kepada Yesus bahwa
hanya Allah yang pantas dimuliakan. Allah menurunkan orang-orang yang yang
berkuasa dari tahtanya dan meninggikan orang yang rendah, Allah melimpahkan
yang baik bagi orang yang lapar dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan
hampa. Allah menjanjikan keselamatan kepada seluruh umat manusia (Lukas 1:
46-56: Nyanyian pujian Maria). Nyanyian Maria menggambarkan visi keadilan
gender, menghilangkan relasi timpang berbasis kekuasaan.
Dalam suratnya Pertus berkata pertama
kalinya: “Walai para budak, patuhlah kepada tuan-tuanmu dengan segala hormat,
tidak hanya kepada mereka yang bersikap baik dan penuh perhatian tetapi juga
pada mereka yang berlaku kasar.”
Di samping itu ada juga surat-surat Paulus
kepada beberapa jemaat di daerah pelayanannya yang menunjuk adanya dualism. Di
satu pihak Paulus mengatakan bahwa seseorang tidak boleh dibedakan dari
kebangsaannya (Yahudi dan Yunani). Seseorang juga tidak boleh dibedakan dari
statusnya (budak atau tuan; laki-laki atau perempuan). Semuanya sama di dalam
Kristus. Namun, dipihak lain secara jelas tampak dibedakannya status antara
laki-laki dan perempuan. Istri harus hormat dan tunduk pada suaminya, sebab
suami adalah kepala bagi istri.
Bila diperhatikan, di dalam Injil juga
memuat ulasan khusus mengenai laki-laki, karena umat Kristen percaya bahwa
laki-laki diciptakan sebagai bayang-bayang Tuhan dan permepuan hanyalah
diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Oleh karena itu para ahli teologi
sepakat bahwa laki-laki dan perempuan tidak akan pernah setara. Posisi
laki-laki dalam kehidupan social dan agama selalu melebihi perempuan. Paulus
berkata dalam surat pertamanya kepada umat Corithian: “Sekarang aku ingin
kalian mengetahui bahwa pemimpin setiap manusia adalah Kristus, dan pemimpin
perempuan adalah laki-laki, dan pemimpin Kristus adalah Tuhan.”
Paulus menyuruh laki-laki untuk mengasihi
para istri mereka; “Wahai para suami, cintailah suamimu, sebagaimana Kristus
mencintai gereja dan menyerahkan dirinya untuk istrinya”. Namun hal ini tidak
lebih dari sekadar nasihat belaka yang tidak pernah dipraktikkan. Gereja juga
menganjurkan agar laki-laki harus bersikap baik kepada istrinya, namun gereja
memberikan hak penuh kepada suami untuk mengontrol kehidupan, uang, dan segala
miliknya.
Tidak jarang ketika membaca dua teks secara
bersama-sama kita diperhadapkan pada pesan teks yang tampak saling
bertentangan. Misalnya apabila kita membaca Galatia 3:24 dan 1 Korintus 14:
34-35. Walaupun kedua teks tersebut sama-sama berasal dari Paulus, namun
menyampaikan berita yang berbeda. Galatia memberitakan tentang kesamaan dan hak
semua orang, laki-laki dan perempuan, sedangkan Korintus memberitakan tentang
keharusan perempuan untuk tunduk, merendah dan diam di hadapan laki-laki.
Karena itu, agam pemahaman gereja tidak
melulu dipengaruhi oleh penafsiran yang salah, maka membaca teks alkitab
hendaknya dilakukan secara tekstual, bukan secara harfiah. Membaca alkitab
secara terlepas antara bagian yang satu dengan bagian yang lain dan tidak
memahami konteks akan membawa pemahaman yang salah.
B. Perempuan dalam Perspektif Teolog Kristen
Agama Kristen menganggap perempuan sebagai
sumber kejahatan. “Mereka percaya bahwa setiap perempuan bersalah melakukan
dosa asal dan dia bertanggung jawab atas pengusiran Adam dari surge. Kisah Adam
dan Hawa adalah penyebab utama penindasan perempuan dalam agama Kristen.
“Tertullian” percaya bahwa kaum perempuan adalah pasangan Lucifer. Bukankah
perempuan mentaati setan dan menentang Tuhan? Teori yang dikembangkan dan
dijelaskan oleh Tertullian ini menyebabkan terjadinya penindasan dan penghinaan
terhadap perempuan Kristen selama beberapa abad.
Paulus secara tegas menganjurkan beberapa
hal berikut untuk kaum perempuan: “Perempuan kalian tidak boleh berbicara di
dalam gereja, karena mereka tidak berhak untuk berbicara jika mereka ingin
belajar, kalau perlu mereka harus bertanya kepada suaminya di rumah karena
sangat memalukan jika seorang perempuan berbicara di dalam gereja”. Hal ini
berarti bahwa kaum perempuan tidak berhak untuk bersuara di dalam gereja.[4]
Alkitab dalam teologi Calvinis adalah
sumber dari ajaran gereja. Sebagai sumber ajaran gereja, alkitab menduduki
posisi penting dalam perumusan dogma dan pengajaran umat. Namun, landasan
operasional tritunggal panggilan dan pengutusan gereja mengacu pada kesaksian
kanon alkitab yang ditafisrkan sesuai konteks masa kini. Teks alkitab dan
konteks umat percaya masa kini terjalin dalam relasi hermeneutika yang memakai
pendekatan yang komprehensif. Hermeneutika diperlukan guna menemukan kerugma atau
pesan firman bagi umat masa kini. Berbagai metode dan pendekatan telah
dikembangkan oleh para teolog Kristen guna mengkaji ulang pesan-pesan tertulis
agar menjadi kepentingan mertabat manusia dalam hubungannya dengan Tuhan,
sesame dna alam lingkungan.
Umat Kristen bertakhayul tentang perempuan.
Christen berkata: “Perempuan adalah kejahata yang tak terhindarkan, bersifat
menggoda, bahaya yang mengancam rumah tangga, rayuan maut, dan setan yang
tersembunyi.” Mayoritas teolog Kristen menyamakan tatanan social laki-laki
dengan tatanan yang diciptakan Tuhan atau hukum alam. Mereka meyakini bahwa
kepemimpinan laki-laki sifatnya melekat secara natural dan dikehendaki oleh
Tuhan. Oleh sebab itu meletakkan posisi perempuan setara dengan laki-laki
dianggap sebagai perbuatan yang melanggar ketentuan Tuhan.
Mereka percaya bahwa setiap perempuanlah
yang berdisa karena tergoda iblis untuk memakan buah poho pengetahuan yang
akhirnya membaut Adam tergoda oleh Hawa.[5]
Bible menceritakan juga kisah yang
diperankan oleh perempuan sebagai pemimpin, perjuangan hak asasi, pembela
bangsanya, pendamai, juga pelayan firman. Tetapi dibandingkan dengan kisah
tentang laki-laki, kisah para perempuan hebat ini sangat sedikit. Ada
ketidakseimbagan dalam meceritakan tentang kinerja laki-laki dan perempuan.
Ketidakseimbangan itu ada sebabnya.
Bagian dari bible yang paling sering dikuti
oleh teolog-teolog feminis dan diklaim sebagai dasar teolog mereka, yang juga
dikenal sebagai magna carta of humanitu adalah Galatia pasal 3 ayat 28-39 yang
menyatakan: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi dan orang Yunani, tidak ada
hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua
adalah satu di dalam Kristus Yesus:. Pada surat ini dipandang sebagai ayat yang
membebaskan wanita dari penindasan, dominasi, dan subordinasi pria.
C. Partisipasi
perempuan di dalam Gereja
Berbicara tentang peran tidak lepas dari bagian yang
kita mainkan setiap keadaan. Yang mana peran tersebut pernah dipikirkan atau
tidak. Perubahan dari masa ke masa juga akan mengubah peran kita. Seperti jika
masih kecil kita dididik oleh ibu da nada saatka juga kita akan mendidik anak.
Berdasarkan Kejadian 1:27, dilihat dari penciptaan perempuan maupun laki-laki
diberi kuasa atas alam. Kenyataannya yang sering mendapat kekuasaan adalah
laki-laki, sedangkan perempuan tidak diberi kekuasaan. Hal ini bisa dilihat
dari sejarah pada zaman kuno terkenal sebgai dunia kaum pria, dunia system
patriarchal. Pada zama itu wanita mejadi ternama hanya karena penyimpangan
perilaku mereka dalam dunia politik, masyarakat, atau akibat perbuatan seksual
mereka atau karena tindakan mereka yang luar biasa. Dalam dunia patriarchal
nilai, norma masyarakat dan budaya ditentunkan oleh pola tingkah laku pria,
sehingga pria sangat berpengaruh dan wanita cenderung direndahkan.[6]
Adanya kepentingan antara laki-laki dan perempuan yang
ada itu dibentuk oleh suatu budaya yag mana menetapkan system patriarkhi.
Gereja telah berusaha tidak adanya diskriminasi perempuan akan ttapi fakta
social yang ada dalam kehidupan kita adalah adanya diskriminasi antara
laki-laki dan perempuan. Akan tetapi dalam perjanjian baru banyak ditemui
tema-tema yang menjelaskan perempuan itu makhluk lemah, mudah dikuasai dan
lebih rendah.[7]
Permasalahan ini menjadi perdebatan yang sangat panjang sebagian orang
berpendapat adanya relasi gender dan sebagian juga berpendapat adanya perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya adanya pembedaan antara laki-laki
dan perempuan karena budaya setempat. Misalkan dalam masyarakat batak laki-laki
dan perempuan. Maskawin seolah-olah perempuan itu dibeli dan menjadi marga
suaminya. Factor budaya batak juga mempengaruhi seorang perempuan yang ingin
menjadi pendeta. Perlu diketahui bahwa dalam kegiatan di gereja, yang banyak
hadir adalah kaum perempuan. Tetapi dalam kepemimpinan seorang laki-laki yang
lebih banyak dijadikan, perempuan ada tetapi minimum. Hal ini disebabkan karena
system patriarkhi tertanam.
D. Kritik
Feminis Teologi Liberal terhadap doktrin-doktrin Kristen
Munculnya
teolog feminis sebagai suatu gerakan yang mengkritik dan menuntut kedudukan
perempuan dalam agaman dan gereja berawal dari gerakan hak asasi semua warga
pada tahun 70-an di Amerika di mana seluruh lapisan masyarakat menuntut
persamaan ha kantar manusa dalam seluruh aspek kehidupan.
Permasalahan gender dalam Katolik tidak terlepas dari
konteks tradisi dan budaya, khususnya budaya agaman Yahudi. Dalam agama Yahudi,
laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan.
Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender.
Gereja pada awalnya mengadopsi tradisi
Yahudi yang mana perempuan dianggap sebagai manusia
kedua dan perempun juga dipandang sebagai sumber dosa. Namun dalam perkembangan
selanjutnya, seiring dengan perkembangan zaman, gereja menolak ketidakadilan
gender, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Gereja Katolik mempunyai tradisi yaitu mengadakan
refleksi iman untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam Konsili
vatikan II di tahun 1960, Paus Yohanes XXIII mengumumkan bahwa gereja Katolik
semakin terbuka. Ruang untuk berdebat tentang isu-isu perempuan mulai terbuka
yang dikhususkan pada ketidakadilan gender. Dari keterbukaan inilah, masalah
gender dalam agaman diperhatikan.
Gerakan feminism dalam gereja berupaya ingin membangun
persaudaraan yang sederajat, laki-laki dan perempuan dalam persekutuan
berdasarkan injil Yesus Kristus.
Pengakuan akan adanya keterlibatan perempuan dalam
hidup menggereja didukung oleh pandangan positif teologi feminis. Tuntutan
perempuan untuk mendapatkan peran yang sama dengan laki-laki, janganlah
dimengerti sebagai berntuk perebutan peran sosiologis yang mengarah pada
perebutan kekuasaan, melainkan peran yang dimaksudkan di sini meurjuk pada
kontribusi perempuan.
Salah satu cara Katolik merekonstruksi peran perempuan
dalam kehidupan masyarakat Katolik adalah dengan memasukkan ajaran mariologi
terhadap teologi gereja Katolik.
Adanya mariologi merupakan perwakilan dari kaum
perempuan. Dengan adanya ajaran ini pual masyarakat sedikit demi sedikit tidak
terlalu merendahkan dan mengaggap sebelah mata terhadap perempuan, bahkan bunda
maria dalam katolik sangat dihormati.
Teologi ini mempunyai dua pokok pembahasan yaitu,
jalan penebusan dan maria sebagai mediator dari semua ramat. Selain itu juga
kaum perempuan dalam dunia politik mempunyai hak pilih aktif dan pasif dalam
pemilihan lembaga-lembaga. Kaum perempuan mendapat kesempatan yang sama dalam
mendapatkan pekerjaan di mana saja sesuai dengan kemampuannya seperti halnya
dengan kaum pria.
E. Spiritualisme
dan Perubahan Peran Perempuan di era Kristen Modern
Di dalam kitab Kejadian, asal usul wanita diceritakan
sebagai berikut: “Ke dalam suasana seperti itu teks datang lagi seperti napas
udara segar. Selruh dunia binatang sengaja disusun sebagai laporan, dan Adam
meneliti seluruh prosesi yang fantastid yang semata-mata mau menekankan bahwa
di antara mereka tidak ditemukan seseorang yang dapat menjadi temannya. Apa
yang sedang dicari ialah yang martabatnya yang cocok, pantas, serasi dengannya.
Memang demikianlah akhirnya allah menciptakan penolong yang “pantas” baginya,
seseorang yang mempunyai kesamaan atau kesepadanan derajat dengannya yang daoat
menjadi partner dan temannya.”
Dari
kisah di atas dapat disimpulkan bahwa kaum feminis semakin sadar akan beragam
sumber kenikmatan dalam kehidupan perempuan juga berbagai sumber kenikmatan
rasa sakit dan kehilangan, kecenderungan mereka untuk menolak kenikmatan
sebagai “kesadaran palsu” semakin berkurang. Analisis feminis terhadap
penyebaran wacana juga ditujukan pada isu-isu semisal aturan hukum atas
kehidupan perempuan dan pelanggengan hegemoni heteroseksual.[8]
Ada
beberapa kutipan yang ada dalam bible yang menyatakan tentang kesederajatan
antara kaum laki-laki dan perempuan seperti yang dijelaskan dalam kitab
kejadian ayat 1: 27 juga 5: 1-2 (Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya
sendiri. Laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka). Tidak hanya dalam
kitab Kejadian ada ayat yang menyebutkan “Tidak ada orang Yahudi atau orang
Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak da laki-laki atau perempuan,
karena kamu semua adalah satu di dalam Yesus Kristus” dari dua pernyataan
alkitab tersebut menjaid jelas bahwa kesetaraan gender dalam agama Kristen juga
dibahas dalam bible.[9]
[1] Fatimah Umar Nasif, Mengguggat Sejarah Perempuan, (Jakarta:
Cendekia Sentra Muslim. 2001), h. 46-47.
[2] Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama,
(Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013), h. 76.
[3] Retnowari, Perempuan-Perempuan
dalam Alkitab: Peran, Psrtisipasi, dan Perjuangannya, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2008), h. 83.
[4] Fatimah Umar Nasif, Mengguggat Sejarah Perempuan, (Jakarta:
Cendekia Sentra Muslim. 2001), h. 48.
[5] Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama,
(Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013), h. 76.
[6] Elisabeth Moltman Wendel, Pembebasan Kesetaraan Persaudarian:
Emansipasi Wania dalam Gereja dan Masyarakat, (Jakarta: Gunung Mulia,
1995), h. 1-3.
[7] Katherine Doob Sakenfeld, Perempuan dan Tafsir Kitab Sucii, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1998), h. 53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar