Senin, 07 Desember 2015



Responding Paper  “Relasi Gender dalam Agama Kristen”
Khilda Fauzia
1112034000194

A.    Status Perempuan dalam Ritual-Ritual dan Kehidupan Sosial dalam Perjanjian Baru
Status perempuan dalam agama Kristen tidak lebih baik dibandingkan nasib mereka dalam agama Yahudi. Agama Kristen memberikan sedikit perhatian terhadap isu-isu tentang perempuan. Lahirnya agama Kristen tidak memperbaiki kondisi mereka maupun memberikan hak-hak yang patut mereka peroleh.
Agama Kristen tidak membebaskan perempuan dari cengkraman otoritas kaum laki-laki ataupun melindungi mereka dari penindasan dan kezaliman laki-laki. Sebaliknya, agama Kristen memaksa perempuan untuk tunduk pada otoritas kaum lelaki dan menaati mereka secara mutlak. Paulis berkata: “Wahai para Istri, patuhlaah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah pemimpin istrinya sebagaimana Kristus adalah pemimpin gereja”.[1]
Pembagian posisi atau peran yang tidak adil sangat kental dalam tradisi agama Kristen cukup terlihat pada Perjanjian Baru, khususnya naskah Paulus. Padahal naskah teologi kesetaraan gender jelas diungkapkan di Perjanjian Lama. Sebagaimana diungkapkan Rosemary Radford Ruether “Pernyataan penuh semangat yang membenarkan sikap merendahkan perempuan saat ini harus dilihat sebagai wujud dari agama Kristen patriarkal paska Paulus yang bertentangan dengan agama Kristen kerakyatan yag lebih awal”. Ia mengakui bahwa sebenarnya tidak ada ayat-ayat dalam alkitab yang membenarkan untuk merendahkan perempuan.[2]
Yesus merobohkan kebiasaan dan hukum Yahudi yang telah berabad-abad dipraktekkan. Ia memperlalukan perempuan setara dengan laki-laki. Sikap dan pandangannya menunuukkan bahwa Yesus menghormati kaum perempuan. Sabda-Nya: Sebab siapapun yang melakukan kehendap Bapa-ku di sorga, dialah saudara-ku laki-laki, dialah saudara-ku perempuan, dialah ibu-ku (Matius 12:50)
Demikian pula apabila kita memperhatikan bagaimana seikap Yesus terhadap perempuan secara positif, misalnya dalam Lukas 7:36-50, diceritakan bahwa Yesus sangat memperhatikan dan menerima secara positif perempuan berdosa yang datang kepadanya untuk mengurapi kakinya dengan minyak marwastu. Hal ini sangat bertentangan dengan sikap para laki-laki yang juga hadir di tempat yang sama. Laki-laki cenderung menolak dan menyalahkan perempuan berdosa yang meminyaki kaki Yesus. Sangat menarik sikap Yesus kika disbanding dengan laki-laki yang lain. Nampak bahwa sebagai laki-laki, Yesus tidak memanfaatkan posisinya untuk mendominasi perempuan.[3]
Yesus juga berelasi dengan perempuan sejak lahir. Yesus menerima visi pelayana dari Ibunya (Lukas 1: 46-55). Murid yang setia mengikuti Yesus sampai di bawah salib adalah perempuan. Yesus meminta ibunya menjadi ibu Yohanes, ini merupakan relasi baru kerahiman Allah (baca: kerajaan allah). Yesus mengatakan bahwa janda yang mempersembahkan dua peser uang dari hidupnya yang miskin berarti ia mempersembahkan seluruh nafasnya (Markus 12: 41-44).
Yesus menerima perempuan sebagai murid. Dalam Lukas 8: 1-3 dikatakan bahwa Maria Magdalena, Johana istri Khusa, Susana, dan perempuan lain bergabung dengan Yesus dan para rasulnya mewartakan kabar gembira. Yesus menerima Maria saudara Marta sebagai murid (:ukar 10: 38-42). Yesus berbicara tentang teologi dengan perempuan Samaria (Yohanes 4: 1-42).
Yesus juga memberi peran baru kepada perempuan. Yesus memberi peran kepada perempuan sama dengan laki-laki untuk melalukan kehendak Allah, dengan menghadirkan Allah dalam kehidupan (Markus 3: 31-35). Yesus menyetujui pilihan Maria yang melanggar strereotip pekerjaan perempuan sepeti yang dilakukan Marta yang sibuk melakukan perkerjaan domestic (Lukas 10: 38-42). Yesus memberikan peran kepada perempuan tidak hanya sebagai orang yang melahirkan dan memelihata anak, tetapu juga untuk mendengarkan firman Allah dan memeliharanya (Lukas 11: 27-28). Ketika orang-orang menyatakan pandangan umum tentang peran Bunda Maria sebagai ibu yang melahirkan dan menyusui, Yesus menyatakan peran Bunda-Nya lebih dari itu: “Mendengarkan firman Allah dan memeliharanya”. BUnda Maria mengajarkan visinya kepada Yesus bahwa hanya Allah yang pantas dimuliakan. Allah menurunkan orang-orang yang yang berkuasa dari tahtanya dan meninggikan orang yang rendah, Allah melimpahkan yang baik bagi orang yang lapar dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa. Allah menjanjikan keselamatan kepada seluruh umat manusia (Lukas 1: 46-56: Nyanyian pujian Maria). Nyanyian Maria menggambarkan visi keadilan gender, menghilangkan relasi timpang berbasis kekuasaan.
Dalam suratnya Pertus berkata pertama kalinya: “Walai para budak, patuhlah kepada tuan-tuanmu dengan segala hormat, tidak hanya kepada mereka yang bersikap baik dan penuh perhatian tetapi juga pada mereka yang berlaku kasar.”
Di samping itu ada juga surat-surat Paulus kepada beberapa jemaat di daerah pelayanannya yang menunjuk adanya dualism. Di satu pihak Paulus mengatakan bahwa seseorang tidak boleh dibedakan dari kebangsaannya (Yahudi dan Yunani). Seseorang juga tidak boleh dibedakan dari statusnya (budak atau tuan; laki-laki atau perempuan). Semuanya sama di dalam Kristus. Namun, dipihak lain secara jelas tampak dibedakannya status antara laki-laki dan perempuan. Istri harus hormat dan tunduk pada suaminya, sebab suami adalah kepala bagi istri.
Bila diperhatikan, di dalam Injil juga memuat ulasan khusus mengenai laki-laki, karena umat Kristen percaya bahwa laki-laki diciptakan sebagai bayang-bayang Tuhan dan permepuan hanyalah diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Oleh karena itu para ahli teologi sepakat bahwa laki-laki dan perempuan tidak akan pernah setara. Posisi laki-laki dalam kehidupan social dan agama selalu melebihi perempuan. Paulus berkata dalam surat pertamanya kepada umat Corithian: “Sekarang aku ingin kalian mengetahui bahwa pemimpin setiap manusia adalah Kristus, dan pemimpin perempuan adalah laki-laki, dan pemimpin Kristus adalah Tuhan.”
Paulus menyuruh laki-laki untuk mengasihi para istri mereka; “Wahai para suami, cintailah suamimu, sebagaimana Kristus mencintai gereja dan menyerahkan dirinya untuk istrinya”. Namun hal ini tidak lebih dari sekadar nasihat belaka yang tidak pernah dipraktikkan. Gereja juga menganjurkan agar laki-laki harus bersikap baik kepada istrinya, namun gereja memberikan hak penuh kepada suami untuk mengontrol kehidupan, uang, dan segala miliknya.
Tidak jarang ketika membaca dua teks secara bersama-sama kita diperhadapkan pada pesan teks yang tampak saling bertentangan. Misalnya apabila kita membaca Galatia 3:24 dan 1 Korintus 14: 34-35. Walaupun kedua teks tersebut sama-sama berasal dari Paulus, namun menyampaikan berita yang berbeda. Galatia memberitakan tentang kesamaan dan hak semua orang, laki-laki dan perempuan, sedangkan Korintus memberitakan tentang keharusan perempuan untuk tunduk, merendah dan diam di hadapan laki-laki.
Karena itu, agam pemahaman gereja tidak melulu dipengaruhi oleh penafsiran yang salah, maka membaca teks alkitab hendaknya dilakukan secara tekstual, bukan secara harfiah. Membaca alkitab secara terlepas antara bagian yang satu dengan bagian yang lain dan tidak memahami konteks akan membawa pemahaman yang salah.
B.     Perempuan dalam Perspektif Teolog Kristen
Agama Kristen menganggap perempuan sebagai sumber kejahatan. “Mereka percaya bahwa setiap perempuan bersalah melakukan dosa asal dan dia bertanggung jawab atas pengusiran Adam dari surge. Kisah Adam dan Hawa adalah penyebab utama penindasan perempuan dalam agama Kristen. “Tertullian” percaya bahwa kaum perempuan adalah pasangan Lucifer. Bukankah perempuan mentaati setan dan menentang Tuhan? Teori yang dikembangkan dan dijelaskan oleh Tertullian ini menyebabkan terjadinya penindasan dan penghinaan terhadap perempuan Kristen selama beberapa abad.
Paulus secara tegas menganjurkan beberapa hal berikut untuk kaum perempuan: “Perempuan kalian tidak boleh berbicara di dalam gereja, karena mereka tidak berhak untuk berbicara jika mereka ingin belajar, kalau perlu mereka harus bertanya kepada suaminya di rumah karena sangat memalukan jika seorang perempuan berbicara di dalam gereja”. Hal ini berarti bahwa kaum perempuan tidak berhak untuk bersuara di dalam gereja.[4]
Alkitab dalam teologi Calvinis adalah sumber dari ajaran gereja. Sebagai sumber ajaran gereja, alkitab menduduki posisi penting dalam perumusan dogma dan pengajaran umat. Namun, landasan operasional tritunggal panggilan dan pengutusan gereja mengacu pada kesaksian kanon alkitab yang ditafisrkan sesuai konteks masa kini. Teks alkitab dan konteks umat percaya masa kini terjalin dalam relasi hermeneutika yang memakai pendekatan yang komprehensif. Hermeneutika diperlukan guna menemukan kerugma atau pesan firman bagi umat masa kini. Berbagai metode dan pendekatan telah dikembangkan oleh para teolog Kristen guna mengkaji ulang pesan-pesan tertulis agar menjadi kepentingan mertabat manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, sesame dna alam lingkungan.
Umat Kristen bertakhayul tentang perempuan. Christen berkata: “Perempuan adalah kejahata yang tak terhindarkan, bersifat menggoda, bahaya yang mengancam rumah tangga, rayuan maut, dan setan yang tersembunyi.” Mayoritas teolog Kristen menyamakan tatanan social laki-laki dengan tatanan yang diciptakan Tuhan atau hukum alam. Mereka meyakini bahwa kepemimpinan laki-laki sifatnya melekat secara natural dan dikehendaki oleh Tuhan. Oleh sebab itu meletakkan posisi perempuan setara dengan laki-laki dianggap sebagai perbuatan yang melanggar ketentuan Tuhan.
Mereka percaya bahwa setiap perempuanlah yang berdisa karena tergoda iblis untuk memakan buah poho pengetahuan yang akhirnya membaut Adam tergoda oleh Hawa.[5]
Bible menceritakan juga kisah yang diperankan oleh perempuan sebagai pemimpin, perjuangan hak asasi, pembela bangsanya, pendamai, juga pelayan firman. Tetapi dibandingkan dengan kisah tentang laki-laki, kisah para perempuan hebat ini sangat sedikit. Ada ketidakseimbagan dalam meceritakan tentang kinerja laki-laki dan perempuan. Ketidakseimbangan itu ada sebabnya.
Bagian dari bible yang paling sering dikuti oleh teolog-teolog feminis dan diklaim sebagai dasar teolog mereka, yang juga dikenal sebagai magna carta of humanitu adalah Galatia pasal 3 ayat 28-39 yang menyatakan: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi dan orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus:. Pada surat ini dipandang sebagai ayat yang membebaskan wanita dari penindasan, dominasi, dan subordinasi pria.
C.     Partisipasi perempuan di dalam Gereja
Berbicara tentang peran tidak lepas dari bagian yang kita mainkan setiap keadaan. Yang mana peran tersebut pernah dipikirkan atau tidak. Perubahan dari masa ke masa juga akan mengubah peran kita. Seperti jika masih kecil kita dididik oleh ibu da nada saatka juga kita akan mendidik anak. Berdasarkan Kejadian 1:27, dilihat dari penciptaan perempuan maupun laki-laki diberi kuasa atas alam. Kenyataannya yang sering mendapat kekuasaan adalah laki-laki, sedangkan perempuan tidak diberi kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari sejarah pada zaman kuno terkenal sebgai dunia kaum pria, dunia system patriarchal. Pada zama itu wanita mejadi ternama hanya karena penyimpangan perilaku mereka dalam dunia politik, masyarakat, atau akibat perbuatan seksual mereka atau karena tindakan mereka yang luar biasa. Dalam dunia patriarchal nilai, norma masyarakat dan budaya ditentunkan oleh pola tingkah laku pria, sehingga pria sangat berpengaruh dan wanita cenderung direndahkan.[6]
Adanya kepentingan antara laki-laki dan perempuan yang ada itu dibentuk oleh suatu budaya yag mana menetapkan system patriarkhi. Gereja telah berusaha tidak adanya diskriminasi perempuan akan ttapi fakta social yang ada dalam kehidupan kita adalah adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi dalam perjanjian baru banyak ditemui tema-tema yang menjelaskan perempuan itu makhluk lemah, mudah dikuasai dan lebih rendah.[7] Permasalahan ini menjadi perdebatan yang sangat panjang sebagian orang berpendapat adanya relasi gender dan sebagian juga berpendapat adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan karena budaya setempat. Misalkan dalam masyarakat batak laki-laki dan perempuan. Maskawin seolah-olah perempuan itu dibeli dan menjadi marga suaminya. Factor budaya batak juga mempengaruhi seorang perempuan yang ingin menjadi pendeta. Perlu diketahui bahwa dalam kegiatan di gereja, yang banyak hadir adalah kaum perempuan. Tetapi dalam kepemimpinan seorang laki-laki yang lebih banyak dijadikan, perempuan ada tetapi minimum. Hal ini disebabkan karena system patriarkhi tertanam.
D.    Kritik Feminis Teologi Liberal terhadap doktrin-doktrin Kristen 
Munculnya teolog feminis sebagai suatu gerakan yang mengkritik dan menuntut kedudukan perempuan dalam agaman dan gereja berawal dari gerakan hak asasi semua warga pada tahun 70-an di Amerika di mana seluruh lapisan masyarakat menuntut persamaan ha kantar manusa dalam seluruh aspek kehidupan.
Permasalahan gender dalam Katolik tidak terlepas dari konteks tradisi dan budaya, khususnya budaya agaman Yahudi. Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender.
Gereja pada awalnya mengadopsi tradisi Yahudi yang mana perempuan dianggap sebagai manusia kedua dan perempun juga dipandang sebagai sumber dosa. Namun dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan zaman, gereja menolak ketidakadilan gender, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Gereja Katolik mempunyai tradisi yaitu mengadakan refleksi iman untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Dalam Konsili vatikan II di tahun 1960, Paus Yohanes XXIII mengumumkan bahwa gereja Katolik semakin terbuka. Ruang untuk berdebat tentang isu-isu perempuan mulai terbuka yang dikhususkan pada ketidakadilan gender. Dari keterbukaan inilah, masalah gender dalam agaman diperhatikan.
Gerakan feminism dalam gereja berupaya ingin membangun persaudaraan yang sederajat, laki-laki dan perempuan dalam persekutuan berdasarkan injil Yesus Kristus.
Pengakuan akan adanya keterlibatan perempuan dalam hidup menggereja didukung oleh pandangan positif teologi feminis. Tuntutan perempuan untuk mendapatkan peran yang sama dengan laki-laki, janganlah dimengerti sebagai berntuk perebutan peran sosiologis yang mengarah pada perebutan kekuasaan, melainkan peran yang dimaksudkan di sini meurjuk pada kontribusi perempuan.
Salah satu cara Katolik merekonstruksi peran perempuan dalam kehidupan masyarakat Katolik adalah dengan memasukkan ajaran mariologi terhadap teologi gereja Katolik.
Adanya mariologi merupakan perwakilan dari kaum perempuan. Dengan adanya ajaran ini pual masyarakat sedikit demi sedikit tidak terlalu merendahkan dan mengaggap sebelah mata terhadap perempuan, bahkan bunda maria dalam katolik sangat dihormati.
Teologi ini mempunyai dua pokok pembahasan yaitu, jalan penebusan dan maria sebagai mediator dari semua ramat. Selain itu juga kaum perempuan dalam dunia politik mempunyai hak pilih aktif dan pasif dalam pemilihan lembaga-lembaga. Kaum perempuan mendapat kesempatan yang sama dalam mendapatkan pekerjaan di mana saja sesuai dengan kemampuannya seperti halnya dengan kaum pria.
E.     Spiritualisme dan Perubahan Peran Perempuan di era Kristen Modern
Di dalam kitab Kejadian, asal usul wanita diceritakan sebagai berikut: “Ke dalam suasana seperti itu teks datang lagi seperti napas udara segar. Selruh dunia binatang sengaja disusun sebagai laporan, dan Adam meneliti seluruh prosesi yang fantastid yang semata-mata mau menekankan bahwa di antara mereka tidak ditemukan seseorang yang dapat menjadi temannya. Apa yang sedang dicari ialah yang martabatnya yang cocok, pantas, serasi dengannya. Memang demikianlah akhirnya allah menciptakan penolong yang “pantas” baginya, seseorang yang mempunyai kesamaan atau kesepadanan derajat dengannya yang daoat menjadi partner dan temannya.”
Dari kisah di atas dapat disimpulkan bahwa kaum feminis semakin sadar akan beragam sumber kenikmatan dalam kehidupan perempuan juga berbagai sumber kenikmatan rasa sakit dan kehilangan, kecenderungan mereka untuk menolak kenikmatan sebagai “kesadaran palsu” semakin berkurang. Analisis feminis terhadap penyebaran wacana juga ditujukan pada isu-isu semisal aturan hukum atas kehidupan perempuan dan pelanggengan hegemoni heteroseksual.[8]
Ada beberapa kutipan yang ada dalam bible yang menyatakan tentang kesederajatan antara kaum laki-laki dan perempuan seperti yang dijelaskan dalam kitab kejadian ayat 1: 27 juga 5: 1-2 (Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya sendiri. Laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka). Tidak hanya dalam kitab Kejadian ada ayat yang menyebutkan “Tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak da laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Yesus Kristus” dari dua pernyataan alkitab tersebut menjaid jelas bahwa kesetaraan gender dalam agama Kristen juga dibahas dalam bible.[9]


[1] Fatimah Umar Nasif, Mengguggat Sejarah Perempuan, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim. 2001), h. 46-47.
[2] Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013), h. 76.
[3] Retnowari,  Perempuan-Perempuan dalam Alkitab: Peran, Psrtisipasi, dan Perjuangannya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), h. 83.
[4] Fatimah Umar Nasif, Mengguggat Sejarah Perempuan, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim. 2001), h. 48.
[5] Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama, (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2013), h. 76.
[6] Elisabeth Moltman Wendel, Pembebasan Kesetaraan Persaudarian: Emansipasi Wania dalam Gereja dan Masyarakat, (Jakarta: Gunung Mulia, 1995), h. 1-3.
[7] Katherine Doob Sakenfeld, Perempuan dan Tafsir Kitab Sucii, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), h. 53.
[8] Maurice Eminya, Teologi Keluarga, (Semarang: Kanisius, 2008), h. 27.
[9] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), h. 490.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar