Senin, 07 Desember 2015



RESPONDING PAPER “ISLAM DAN KESETARAN GENDER DI KALANGAN MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA
Khilda Fauzia
1112034000194

Kesetaraan gender tidak hanya diartikan sebagai sebuah sudut pandang (Perspektif) yang memiliki akar sejarah yang berbeda-beda melainkan telah menjadi sebuah gerakan dalam sejarah itu sendiri. Seorang aktivis gerakan perempuan Amina Wadud Muhsin memberikan kritik terhadap ayat- ayat al-Quran yang dianggap meupakan penyebab adanya bias gender. Pemahaman dituangkan dalam pikiranya yang menganalisis dari berbagai segi misalnya dari proses penciptaan, proses fungsi jasamani bahkan perbedaan ganjaran antara laki-laki dan perempuan diakhirat nanti.
Kemudian di Indonesia, yang memang mayoritas penduduknya beragama Islam, bagaimana Indonesia berbicara gender?
Beberapa puluh tahun silam, ada salah satu tokoh perempuan yang terkenal akan kegigihannya dalam perjuangan melawan penjajah. Hal ini sebagai bukti bahwa seorang wanita yang ‘seharusnya’ hanya bekerja di dapur, melayani suami dan sebagainya, tetapi ini mencerminkan bahwa wanita mampu untuk melangkah maju, bahkan bisa melebihi dari keberanian seorang laki-laki. Inilah yang perlu dicontoh keberanian seorang perempuan. Tokoh perempun yang terkenal itu bernama RA. Kartini. Ada beberapa yang bisa diambil pelajaran dari apa yang dikritik oleh Kartini, diantaranya yaitu:
1.      Sikap kaum bangsawan yang terkungkung oleh feodalisme Jawa yang menyesatkan
2.      Terpasungnya kemerdekaan kaum wanita oleh feodalisme Jawa.
3.      Prilaku Jawa yang terbelenggu oleh kekuasaan yang memiskinkan dan membodohkan orang lain
4.      Tertindasnya kemerdekaan Jawa sebagai bangsa oleh Belanda
Dengan pendidikan praktis yang berorientasi kepada nalar dan akhlak, Kartini berupaya menghapus semua keterkungkungan dan ketertindasan itu dan membangkitkan serta membuka cakrawala bangsanya. Dengan demikian, inti perjuangan Kartini, dengan segala pengorbanan jiwa raganya, tidak lain tertuju pada pendidikan yang mampu berfungsi sebagai instrument pembuka sekat yang memisahkan manusia dari hakikatnya sebagai manusia yang merdeka dari kemiskinan dan kebodohan. Itulah inti dari gagasan Kartini yang terungkap secara implisit dan mendominasi surat-surat dan dua notanya.
Lantas, bagaimana perkembangan gender di Indonesia? Ini akan dibahas pada point-point di bawah ini.
A.    Masa Kolonial (Sebelum Penjajahan Jepang)[1]
Pada masa ini yang menjadi subjek/pelaku adalah dari kalangan bangsawan dimana yang menjadi sasarannya adalah masalah reformasi pendidikan dan perkawinan.
Atas prakarsa “Boedi Oetomo” maka dalam tahun 1912 didirikan perkumpulan wanita yang pertama di jakarta yang dinamakan “Poetri Mardika” tujuan perkumpulan ini memberi bantuan, bimbingan dan penerangan kepada gadis pribumi dalam usaha menuntut pelajaran, memberi kesempatan kepada kaum wanita untuk bertindak di luar rumah tangga dan meyatakan pendapatnya di depan umum, berusaha menghilangkan rasa rendah pada wanita dan meninggikan derajatnya sehingga setingkat dengan kaum pria. Setelah itu banyak organisasi muncul seperti : Pawijatan Wanito di magelang, “PIKAT” di manando “Purborini” di Tegal.dan lain sebagainya.
Periode 1912 -1928 yaitu sejak berdirinya organisasi wanita yang pertama “ Poetri Mardika” sampai diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia yang pertama. Masa ini di tandai oleh apa yang dinamakan kebangkitan nasional dalam arti bahwa nampak kesadaaran bahwa bangsa pribumi yang berada di bawah penjajahan asing harus mengadakan persatuan-persatuan dalam kalangan sendiri untuk meninggikan derajatnya. Dalam kalangan wanita periode ini merupakan periode  pemupukan kesadaran untuk berorganisasi mengadakan usaha-usaha memajukan wanita.
Pergerakan wanita selama 25 tahun yang pertama pada pokoknya bersifat kultural dalam arti mereka memperjuangkan nilai-nilai baru dalam hal pendidikan kesusilaan dan perikemanusiaan, khususnya meninggikan para wanita dari keluarga dan masyarakat. Pada tanggal 22 desember 1928 ada perkumpulan wanita yang mengadakan kongres pertama yang menghasilkan 20 perkumpulan dari gerakan wanita yang disebut dengan (PPPI), perkembangannya badan federasi yang dinamakan “PPPi” pada tahun 1928 menjadi (PPII), kemudian di rubah lagi pada tahun 1029 menjadi (KPI), kemudian pada tahun 1935 sejak 1945 zaman kemerdekaan dinamakan “KOWANI”.
Pada periode 1928-1942, yaitu terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia yang pertama sampai pendudukan Jepang, masa ini di tandai semangat persatuan nasional. Pergerakan pemumukan dan pergerakan nasional pada umumnya memuncak yang nampak pada Sumpah Pemudah, dalam masa dengan semangat kebangsaan yang bernyala-nyala ini timbul pula “Isteri Sedar” di Bandung (1930), selain itu ada organisasi wanita yang juga bersemangat mengecam pemerintah kolonial, yaitu perkumpulan wanita “Mardi Wanita” didirikan tahun 1933 oleh anggota wanita partai politik “Pertindo” setelah partai ini dikenakan “Vergadeverbod” maka kelompok ini di ganti namanya “Persatuan Marhaen Indonesia” berpusat di Yogyakarta pada tahun 1935. Dalam kalangan lain juga ada kegiatan berorganisasi wanita bangsawan di Sala yaitu perkumpulan “Putri Noarpo Wandowo” tahun 1931, dan di tahun 1940 di Jakarta di bentuk perkumulan “Pekerja Perempuan Indonesia” yang terdiri dari mereka yang bekerja di perkantoran, pemerintah maupun swasta, satu hal yang mencerminkan kemajuan wanita ialah terbentuknya perkumpulan dalam kalanagan mahasisiwi yang dinamakan “Indonesia Vrouwelijke Studen tenvereniging-IVSV, sehingga banyak para wanita yang berkuliah.

B.     Masa Pra-Kemerdekaan (masa Penjajahan Jepang)[2]
Ketika masa pra-kemerdekaan, gerakan perempuan di Indonesia ditandai dengan munculnya beberapa tokoh perempuan yang rata-rata berasal dari kalangan atas, seperti: Kartini, Dewi Sartika, Cut Nya’ Dien dan lain-lain. Mereka berjuang mereaksi kondisi perempuan di lingkungannya. Perlu dipahami bila model gerakan Dewi Sartika dan Kartini lebih ke pendidikan dan itu pun baru upaya melek huruf dan mempersiapkan perempuan sebagai calon ibu yang terampil, karena baru sebatas itulah yang memungkinkan untuk dilakukan di masa itu. Sementara Cut Nya’ Dien yang hidup di lingkungan yang tidak sepatriarkhi Jawa, telah menunjukkan kesetaraan dalam perjuangan fisik tanpa batasan gender.
Pada periode ini (yaitu zaman kedudukan Jepang sampai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia antara tahun 1942-1945), dalam zaman pendudukan tentara asing ini semua perkumpulan dilarang kecuali kelompok-kelompok yang membantu Jepang dalam memenangkan peperangan untuk membentuk Asia Timur Raya. Dari tahun ke tahun diadakan usaha-usaha untuk mengatasi persoalan-persoalan, baik dari pemerintah maupun dari golongan-golongan dalam masyarakat terutama organisasi-organisasi wanita. Di antara kelompok-kelompok itu yang didirikan oleh penguasa Jepang ialah “Fuzin-Kai (perkumpulan wanita). Fuzinkai ialah membantu garis depan dengan memperkuat garis belakang, bantuan garis depan berupa latihan pekerjaan palang merah, penggunaan senjata, penyelenggaraaan dapur umum, pembuatan kaos kaki untuk prajurit serta segala sesuatu  yang berhubungan dengan perang, sedangkan garis belakang berupa menanam kapas untuk menambah bahan pakaian, mengurus hewan dan tanaman dan lain-lain. Dengan tidak disengaja “Fuzinkai” berguna sebagai persiapan untuk partisipasi dalam sebuah usaha menegakkan kemerdekaan negara dalam tahun-tahun pertama setelah Proklamasi yaitu “Persatuan Wanita Indonesia (Perwani)”.
C.    Negara dan ideologi ibuisme masa Orde Lama dan Orde Baru
Negara adalah suatu wadah yang di dalamnya terdiri dari unsur-unsur yang bisa dikatakan sebagai sebuah Negara, yaitu warga Negara, nama Negara, diakui oleh Negara lain, tempat Negara tersebut dan sebagainya.
Ideologi Ibuisme adalah suatu ideologi yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dengan menekankan fungsi reproduksi dan ”kodrat perempuan” untuk melayani, mengabdi, dengan menjadi ”istri yang patuh”. Ini menekankan pada posisi perempuan menjadi “ibu”. Ideologi itu dibahas panjang lebar oleh feminis Julia Suryakusuma dalam konsep ”ibuisme negara” (Sears, 1996). Konsep yang mencakup unsur-unsur ekonomi, politik, dan budaya itu diambil dari aspek paling menindas dari budaya ”peng-istrian” atau housewifization borjuis dan ibuisme priyayi (Mies, 1986 dan Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis, 1987).
Lahirnya era orde baru dilatarbelakangi oleh runtuhnya orde lama. Tepatnya pada saat runtuhnya kekuasaan Soekarno yang lalu digantikan oleh Soeharto. Salah satu penyebab yang melatarbelakangi runtuhnya orde lama dan lahirnya orde baru adalah keadaan keamanan dalam negri yang tidak kondusif pada masa orde lama. Terlebih lagi karena adanya peristiwa pemberontakan G30S PKI. Hal ini menyebabkan presiden Soekarno memberikan mandat kepada Soeharto untuk melaksanakan kegiatan pengamanan di Indonesia melalui surat perintah 11 maret atau Supersemar.
Namun di masa Soeharto dengan sistem pemerintahan Orde Baru, ada beberapa dampak yang paling mencolok yaitu meningkatnya angka pengangguran. Akibatnya terjadinya urbanisasi, banyak masyarakat desa pindah ke kota dengan menjadi pekerja rumah tangga atau menjadi buruh murah di perusahaan. Karena kebijakan neoliberal pembanguanan mencabut domain pekerjaan perempuan miskin diganti dengan mesin, modal besar. Karena terjadi perampasan pekerjaan perempuan di sawah membuat para perempuan menjadi buruh dilahan perkebunan dan bahkan itu menjadi budaya turun-temurun. Tidak ada jaminan keamaan (terjadinya pelecehan) bahkan ketika perempuan menjadi buruh harian lepas ditempatkan di wilayah yang tidak membutuhkan tenaga besar seperti tempat penyemaian, namun di situlah banyak racun dan pestisida yang berbahaya bagi perempuan. Bukan hanya tidak ada jaminan kesehatan dalam segi upah pun juga berbeda antara laki-laki dan perempuan atau bahkan jika seorang istri bekerja menjadi BHL maka gajinya tersebut diserahkan kepada suaminya.
Nah, Sejarah penindasan Pemerintah Orde Baru menciptakan pelembagaan ”istri” melalui berbagai kebijakannya, di antaranya melalui Panca Dharma Wanita yang dipromosikan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) sampai ke tingkat akar rumput. Bahkan kegiatannya pun di atur oleh rezim soeharto sehingga menghasilkan budaya “ikut suami” dan timbul ideologi ibuisme, dimana perempuan pada masa itu hanya melakukan kegiatan yang hanya meningkatkan kecakapannya dalam pekerjaan domestik, seperti menjadi ibu rumah tangga yang baik, mengurus anak dan lain sebagainya. Bahkan jika perempuan tersebut menjadi istri seorang pejabat, kegiatan istrinya dikontrol melalui suaminya.
Menurut ideologi yang disebarkan awal tahun 1970-an dan dikukuhkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) itu, perempuan mempunyai lima fungsi, yaitu sebagai penerus keturunan dan pembina generasi masa depan bangsa; sebagai ibu dan pendidik anak-anaknya; sebagai pengelola rumah tangga dan pekerja untuk menambah penghasilan keluarga; serta sebagai anggota masyarakat. Ideologi itu tak bisa dilepaskan dari peristiwa 1965 terkait tuduhan kepada Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi yang pada masanya sangat progresif memperjuangkan cita-cita kesetaraan. Namun, kedekatan salah satu sayapnya dengan Partai Komunis Indonesia membuat Gerwani dikutuk sebagai organisasi perempuan ”tak bermoral” dan ”ibu jahat” melalui berita-berita rekaan terkait pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya. Sifat itu bertentangan dengan semua nilai perempuan yang ”semestinya”; yang lemah lembut, penurut, patuh, sopan, penuh kasih sayang, setia. Pemerintah Orde Baru lalu menciptakan mitos-mitos yang dibangun di atas metafora seksual dalam setiap kampanye indoktrinasi sehingga tertanam dalam di benak masyarakat (Wieringa, 1999).
Lantas, dari dua zaman pemerintahan yang ada di Indonesia tersebut dapat dilihat bahwa pada masa Soekarno, organisasi perempuan berkembang pesat, maka pada masa Soeharto terjadi penghancuran organisasi perempuan. Penghancuran ini dilakukan melalui berbagai berita fitnah masif di berbgaia media kamiliteran dengan menyebarkan isu keterlibatan dan penyimpangan moral seksual para anggota organisasi perempuan yang berwatak progresif pada masa itu.[3]
D.    Peran Gerakan Perempuan Muslim dalam Memperjuangkan Kesetaran Gender Masa Reformasi
Dalam era reformasi yang diawali peristiwa 1 Mei 1998  berdampak baik positif maupun negatif. Dampak positifnya yaitu mampu menurunkan penguasa tahta rezim otoriter hingga naiknya masa transisi domokrasi. Namun disisi lain banyak terjadi pelecehan dan kekerasan seksual sehingga banyak korban pemerkosaan. Kasus ini menunjukan betapa lantangnya suara maskulinas dan kurangnya perhatian terhadap perempuan korban peristiwa tersebut.
Gerakan-gerakan perempuan yang sebelumnya tidak mempunyai energi muncul dengan berbagai usaha pemberdayaan hak- hak perempuan. Gerakan perempuan atau lebih tepatnya gerakan feminis menyangkut dua hal. Pertama, sikap yang teguh mengenai kesederajatan laki-laki dan perempuan; kedua, komitmen untuk mengubah struktur, sistem , alam pikiran yang menimbulkan ketidakadilan.
Tindakan di ruang publik oleh Suara Ibu Peduli (SIP)—yang meretas belenggu ketakutan selama 32 tahun—meluas dalam bentuk dukungan terhadap aksi mahasiswa yang menekan Presiden Soeharto agar ia mundur. Sampai beberapa tahun setelah reformasi, perempuan menemukan ruang sangat luas untuk berekspresi, sebelum menguatnya konservatisme agama yang dilembagakan melalui berbagai kebijakan di pusat dan daerah. Kebijakan yang mengancam pluralisme Indonesia itu menggunakan definisi ”moralitas” atas dasar agama tertentu, dengan tubuh perempuan sebagai subyek kriminalisasi. Dalam situasi seperti itu, konsep ”ibuisme negara” kembali menguat, sementara tak terlihat satu pun program dari Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu menanggapi masalah itu. Bahkan, persoalan poligami pun disikapi dengan gamang.
E.     Agenda Gerakan perempuan Muslim ke Depan
Berkenaan dengan kaum perempuan dan isunya, segenap hasil dan wacana kebudayaan sejak 950-an hingga 1980an tampak masuk ke dalam dua fase yang jelas. Fase pertama ditandai oleh feminisme yang semarak, dengan menemukan ekspresi dalam berbagai aktivitas organisasi dan dalam bentuk-bentuk karya sastra yang menunjukkan kesadaran kritis atas politik dominasi laki-laki dalam bidang psikologi dan bidang-bidang lain yang belum dieksplorasi sebelumnya. Sementara feminis-feminis pertama abad itu memusatkan dari mereka terutama untuk memperjuangkan dan berupaya membenahi berbagai ketidak-adilan yang terbuka dan disetujui secara formal atas kaum perempuan yang dilindungi dalam hukum dan dalam praktik-praktik sosial yang diterima.
Makna gender seperti dielaborasi oleh Islam mapan tetaplah wacan yang bersifat mengontrol di Timur Tengah Muslim hingga sekitar awal abad ke-19. Dalam konteks struktur kekuasaan global kontemporer, kita memerlukan feminisme yang senantiasa mengkritisi diri dan menyadari kedudukan historis dan politisnya. Sehingga kedepannya senantiasa pergerakan perempuan (feminimis) lebih maju lagi, dan ini terlihat di suatu organisasi kecil yang khusus ada Departemen Keputrian misalnya dan sebagainya.[4]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar