RESPONDING PAPER “ISLAM DAN KESETARAN GENDER DI
KALANGAN MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA“
Khilda Fauzia
1112034000194
Kesetaraan
gender tidak hanya diartikan sebagai sebuah sudut pandang (Perspektif) yang
memiliki akar sejarah yang berbeda-beda melainkan telah menjadi sebuah gerakan
dalam sejarah itu sendiri. Seorang aktivis gerakan perempuan Amina Wadud Muhsin memberikan
kritik terhadap ayat- ayat al-Quran yang dianggap meupakan penyebab adanya bias
gender. Pemahaman dituangkan dalam pikiranya yang menganalisis dari berbagai
segi misalnya dari proses penciptaan, proses fungsi jasamani bahkan perbedaan
ganjaran antara laki-laki dan perempuan diakhirat nanti.
Kemudian di
Indonesia, yang memang mayoritas penduduknya beragama Islam, bagaimana
Indonesia berbicara gender?
Beberapa puluh
tahun silam, ada salah satu tokoh perempuan yang terkenal akan kegigihannya
dalam perjuangan melawan penjajah. Hal ini sebagai bukti bahwa seorang wanita
yang ‘seharusnya’ hanya bekerja di dapur, melayani suami dan sebagainya, tetapi
ini mencerminkan bahwa wanita mampu untuk melangkah maju, bahkan bisa melebihi
dari keberanian seorang laki-laki. Inilah yang perlu dicontoh keberanian
seorang perempuan. Tokoh perempun yang terkenal itu bernama RA. Kartini. Ada
beberapa yang bisa diambil pelajaran dari apa yang dikritik oleh Kartini,
diantaranya yaitu:
1.
Sikap kaum bangsawan yang terkungkung oleh feodalisme Jawa yang
menyesatkan
2.
Terpasungnya kemerdekaan kaum wanita oleh feodalisme Jawa.
3.
Prilaku Jawa yang terbelenggu oleh kekuasaan yang memiskinkan dan
membodohkan orang lain
4.
Tertindasnya kemerdekaan Jawa sebagai bangsa oleh Belanda
Dengan
pendidikan praktis yang berorientasi kepada nalar dan akhlak, Kartini berupaya
menghapus semua keterkungkungan dan ketertindasan itu dan membangkitkan serta
membuka cakrawala bangsanya. Dengan demikian, inti perjuangan Kartini, dengan
segala pengorbanan jiwa raganya, tidak lain tertuju pada pendidikan yang mampu
berfungsi sebagai instrument pembuka sekat yang memisahkan manusia dari
hakikatnya sebagai manusia yang merdeka dari kemiskinan dan kebodohan. Itulah
inti dari gagasan Kartini yang terungkap secara implisit dan mendominasi
surat-surat dan dua notanya.
Lantas,
bagaimana perkembangan gender di Indonesia? Ini akan dibahas pada point-point
di bawah ini.
A. Masa Kolonial (Sebelum
Penjajahan Jepang)[1]
Pada masa ini yang menjadi subjek/pelaku
adalah dari kalangan bangsawan dimana yang menjadi sasarannya adalah masalah
reformasi pendidikan dan perkawinan.
Atas prakarsa “Boedi Oetomo” maka dalam
tahun 1912 didirikan perkumpulan wanita yang pertama di jakarta yang dinamakan
“Poetri Mardika” tujuan perkumpulan ini memberi bantuan, bimbingan dan
penerangan kepada gadis pribumi dalam usaha menuntut pelajaran, memberi
kesempatan kepada kaum wanita untuk bertindak di luar rumah tangga dan
meyatakan pendapatnya di depan umum, berusaha menghilangkan rasa rendah pada
wanita dan meninggikan derajatnya sehingga setingkat dengan kaum pria. Setelah
itu banyak organisasi muncul seperti : Pawijatan Wanito di magelang, “PIKAT” di
manando “Purborini” di Tegal.dan lain sebagainya.
Periode 1912 -1928 yaitu sejak berdirinya
organisasi wanita yang pertama “ Poetri Mardika” sampai diselenggarakannya
Kongres Perempuan Indonesia yang pertama. Masa ini di tandai oleh apa yang
dinamakan kebangkitan nasional dalam arti bahwa nampak kesadaaran bahwa bangsa
pribumi yang berada di bawah penjajahan asing harus mengadakan
persatuan-persatuan dalam kalangan sendiri untuk meninggikan derajatnya. Dalam
kalangan wanita periode ini merupakan periode pemupukan kesadaran
untuk berorganisasi mengadakan usaha-usaha memajukan wanita.
Pergerakan wanita selama 25 tahun yang
pertama pada pokoknya bersifat kultural dalam arti mereka memperjuangkan
nilai-nilai baru dalam hal pendidikan kesusilaan dan perikemanusiaan, khususnya
meninggikan para wanita dari keluarga dan masyarakat. Pada tanggal 22 desember
1928 ada perkumpulan wanita yang mengadakan kongres pertama yang menghasilkan
20 perkumpulan dari gerakan wanita yang disebut dengan (PPPI), perkembangannya
badan federasi yang dinamakan “PPPi” pada tahun 1928 menjadi (PPII), kemudian
di rubah lagi pada tahun 1029 menjadi (KPI), kemudian pada tahun 1935 sejak
1945 zaman kemerdekaan dinamakan “KOWANI”.
Pada periode 1928-1942, yaitu
terselenggaranya Kongres Perempuan Indonesia yang pertama sampai pendudukan
Jepang, masa ini di tandai semangat persatuan nasional. Pergerakan pemumukan
dan pergerakan nasional pada umumnya memuncak yang nampak pada Sumpah Pemudah,
dalam masa dengan semangat kebangsaan yang bernyala-nyala ini timbul pula
“Isteri Sedar” di Bandung (1930), selain itu ada organisasi wanita yang juga
bersemangat mengecam pemerintah kolonial, yaitu perkumpulan wanita “Mardi
Wanita” didirikan tahun 1933 oleh anggota wanita partai politik “Pertindo”
setelah partai ini dikenakan “Vergadeverbod” maka kelompok ini di ganti namanya
“Persatuan Marhaen Indonesia” berpusat di Yogyakarta pada tahun 1935. Dalam
kalangan lain juga ada kegiatan berorganisasi wanita bangsawan di Sala yaitu
perkumpulan “Putri Noarpo Wandowo” tahun 1931, dan di tahun 1940 di Jakarta di
bentuk perkumulan “Pekerja Perempuan Indonesia” yang terdiri dari mereka yang
bekerja di perkantoran, pemerintah maupun swasta, satu hal yang mencerminkan
kemajuan wanita ialah terbentuknya perkumpulan dalam kalanagan mahasisiwi yang
dinamakan “Indonesia Vrouwelijke Studen tenvereniging-IVSV, sehingga banyak
para wanita yang berkuliah.
B. Masa Pra-Kemerdekaan (masa
Penjajahan Jepang)[2]
Ketika masa pra-kemerdekaan, gerakan
perempuan di Indonesia ditandai dengan munculnya beberapa tokoh perempuan yang
rata-rata berasal dari kalangan atas, seperti: Kartini, Dewi Sartika, Cut Nya’
Dien dan lain-lain. Mereka berjuang mereaksi kondisi perempuan di
lingkungannya. Perlu dipahami bila model gerakan Dewi Sartika dan Kartini lebih
ke pendidikan dan itu pun baru upaya melek huruf dan mempersiapkan perempuan
sebagai calon ibu yang terampil, karena baru sebatas itulah yang memungkinkan
untuk dilakukan di masa itu. Sementara Cut Nya’ Dien yang hidup di lingkungan
yang tidak sepatriarkhi Jawa, telah menunjukkan kesetaraan dalam perjuangan
fisik tanpa batasan gender.
Pada periode ini (yaitu zaman kedudukan
Jepang sampai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia antara tahun 1942-1945), dalam
zaman pendudukan tentara asing ini semua perkumpulan dilarang kecuali
kelompok-kelompok yang membantu Jepang dalam memenangkan peperangan untuk
membentuk Asia Timur Raya. Dari tahun ke tahun diadakan usaha-usaha untuk
mengatasi persoalan-persoalan, baik dari pemerintah maupun dari
golongan-golongan dalam masyarakat terutama organisasi-organisasi wanita. Di
antara kelompok-kelompok itu yang didirikan oleh penguasa Jepang ialah
“Fuzin-Kai (perkumpulan wanita). Fuzinkai ialah membantu garis depan dengan
memperkuat garis belakang, bantuan garis depan berupa latihan pekerjaan palang
merah, penggunaan senjata, penyelenggaraaan dapur umum, pembuatan kaos kaki
untuk prajurit serta segala sesuatu yang berhubungan dengan perang,
sedangkan garis belakang berupa menanam kapas untuk menambah bahan pakaian,
mengurus hewan dan tanaman dan lain-lain. Dengan tidak disengaja “Fuzinkai”
berguna sebagai persiapan untuk partisipasi dalam sebuah usaha menegakkan
kemerdekaan negara dalam tahun-tahun pertama setelah Proklamasi yaitu
“Persatuan Wanita Indonesia (Perwani)”.
C.
Negara dan
ideologi ibuisme masa Orde Lama dan Orde Baru
Negara
adalah suatu wadah yang di dalamnya terdiri dari unsur-unsur yang bisa
dikatakan sebagai sebuah Negara, yaitu warga Negara, nama Negara, diakui oleh
Negara lain, tempat Negara tersebut dan sebagainya.
Ideologi
Ibuisme adalah suatu ideologi yang menempatkan perempuan dalam posisi
subordinat dengan menekankan fungsi reproduksi dan ”kodrat perempuan” untuk
melayani, mengabdi, dengan menjadi ”istri yang patuh”. Ini menekankan pada
posisi perempuan menjadi “ibu”. Ideologi itu dibahas panjang lebar oleh feminis
Julia Suryakusuma dalam konsep ”ibuisme negara” (Sears, 1996). Konsep yang
mencakup unsur-unsur ekonomi, politik, dan budaya itu diambil dari aspek paling
menindas dari budaya ”peng-istrian” atau housewifization borjuis dan ibuisme
priyayi (Mies, 1986 dan Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis, 1987).
Lahirnya
era orde baru dilatarbelakangi oleh runtuhnya orde lama. Tepatnya pada saat
runtuhnya kekuasaan Soekarno yang lalu digantikan oleh Soeharto. Salah satu
penyebab yang melatarbelakangi runtuhnya orde lama dan lahirnya orde baru
adalah keadaan keamanan dalam negri yang tidak kondusif pada masa orde lama.
Terlebih lagi karena adanya peristiwa pemberontakan G30S PKI. Hal ini
menyebabkan presiden Soekarno memberikan mandat kepada Soeharto untuk
melaksanakan kegiatan pengamanan di Indonesia melalui surat perintah 11 maret
atau Supersemar.
Namun
di masa Soeharto dengan sistem pemerintahan Orde Baru, ada beberapa dampak yang
paling mencolok yaitu meningkatnya angka pengangguran. Akibatnya terjadinya
urbanisasi, banyak masyarakat desa pindah ke kota dengan menjadi pekerja rumah
tangga atau menjadi buruh murah di perusahaan. Karena kebijakan neoliberal
pembanguanan mencabut domain pekerjaan perempuan miskin diganti dengan mesin,
modal besar. Karena terjadi perampasan pekerjaan perempuan di sawah membuat
para perempuan menjadi buruh dilahan perkebunan dan bahkan itu menjadi budaya
turun-temurun. Tidak ada jaminan keamaan (terjadinya pelecehan) bahkan ketika perempuan
menjadi buruh harian lepas ditempatkan di wilayah yang tidak membutuhkan tenaga
besar seperti tempat penyemaian, namun di situlah banyak racun dan pestisida
yang berbahaya bagi perempuan. Bukan hanya tidak ada jaminan kesehatan dalam
segi upah pun juga berbeda antara laki-laki dan perempuan atau bahkan jika
seorang istri bekerja menjadi BHL maka gajinya tersebut diserahkan kepada
suaminya.
Nah,
Sejarah penindasan Pemerintah Orde Baru menciptakan pelembagaan ”istri” melalui
berbagai kebijakannya, di antaranya melalui Panca Dharma Wanita yang
dipromosikan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) sampai ke tingkat akar
rumput. Bahkan kegiatannya pun di atur oleh rezim soeharto sehingga
menghasilkan budaya “ikut suami” dan timbul ideologi ibuisme, dimana perempuan
pada masa itu hanya melakukan kegiatan yang hanya meningkatkan kecakapannya
dalam pekerjaan domestik, seperti menjadi ibu rumah tangga yang baik, mengurus
anak dan lain sebagainya. Bahkan jika perempuan tersebut menjadi istri seorang
pejabat, kegiatan istrinya dikontrol melalui suaminya.
Menurut
ideologi yang disebarkan awal tahun 1970-an dan dikukuhkan dalam Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) itu, perempuan mempunyai lima fungsi, yaitu sebagai
penerus keturunan dan pembina generasi masa depan bangsa; sebagai ibu dan
pendidik anak-anaknya; sebagai pengelola rumah tangga dan pekerja untuk
menambah penghasilan keluarga; serta sebagai anggota masyarakat. Ideologi itu
tak bisa dilepaskan dari peristiwa 1965 terkait tuduhan kepada Gerakan Wanita Indonesia
(Gerwani), organisasi yang pada masanya sangat progresif memperjuangkan
cita-cita kesetaraan. Namun, kedekatan salah satu sayapnya dengan Partai
Komunis Indonesia membuat Gerwani dikutuk sebagai organisasi perempuan ”tak
bermoral” dan ”ibu jahat” melalui berita-berita rekaan terkait pembunuhan para
jenderal di Lubang Buaya. Sifat itu bertentangan dengan semua nilai perempuan
yang ”semestinya”; yang lemah lembut, penurut, patuh, sopan, penuh kasih
sayang, setia. Pemerintah Orde Baru lalu menciptakan mitos-mitos yang dibangun
di atas metafora seksual dalam setiap kampanye indoktrinasi sehingga tertanam
dalam di benak masyarakat (Wieringa, 1999).
Lantas,
dari dua zaman pemerintahan yang ada di Indonesia tersebut dapat dilihat bahwa
pada masa Soekarno, organisasi perempuan berkembang pesat, maka pada masa
Soeharto terjadi penghancuran organisasi perempuan. Penghancuran ini dilakukan
melalui berbagai berita fitnah masif di berbgaia media kamiliteran dengan
menyebarkan isu keterlibatan dan penyimpangan moral seksual para anggota
organisasi perempuan yang berwatak progresif pada masa itu.[3]
D. Peran
Gerakan Perempuan Muslim dalam Memperjuangkan Kesetaran Gender Masa Reformasi
Dalam era
reformasi yang diawali peristiwa 1 Mei 1998 berdampak baik positif maupun
negatif. Dampak positifnya yaitu mampu menurunkan penguasa tahta rezim otoriter
hingga naiknya masa transisi domokrasi. Namun disisi lain banyak terjadi
pelecehan dan kekerasan seksual sehingga banyak korban pemerkosaan. Kasus ini
menunjukan betapa lantangnya suara maskulinas dan kurangnya perhatian terhadap
perempuan korban peristiwa tersebut.
Gerakan-gerakan
perempuan yang sebelumnya tidak mempunyai energi muncul dengan berbagai usaha
pemberdayaan hak- hak perempuan. Gerakan perempuan atau lebih tepatnya gerakan
feminis menyangkut dua hal. Pertama, sikap yang teguh mengenai kesederajatan
laki-laki dan perempuan; kedua, komitmen untuk mengubah struktur, sistem , alam
pikiran yang menimbulkan ketidakadilan.
Tindakan
di ruang publik oleh Suara Ibu Peduli (SIP)—yang meretas belenggu ketakutan
selama 32 tahun—meluas dalam bentuk dukungan terhadap aksi mahasiswa yang
menekan Presiden Soeharto agar ia mundur. Sampai beberapa tahun setelah
reformasi, perempuan menemukan ruang sangat luas untuk berekspresi, sebelum
menguatnya konservatisme agama yang dilembagakan melalui berbagai kebijakan di
pusat dan daerah. Kebijakan yang mengancam pluralisme Indonesia itu menggunakan
definisi ”moralitas” atas dasar agama tertentu, dengan tubuh perempuan sebagai
subyek kriminalisasi. Dalam situasi seperti itu, konsep ”ibuisme negara”
kembali menguat, sementara tak terlihat satu pun program dari Solidaritas Istri
Kabinet Indonesia Bersatu menanggapi masalah itu. Bahkan, persoalan poligami
pun disikapi dengan gamang.
E.
Agenda Gerakan perempuan Muslim ke Depan
Berkenaan dengan
kaum perempuan dan isunya, segenap hasil dan wacana kebudayaan sejak 950-an
hingga 1980an tampak masuk ke dalam dua fase yang jelas. Fase pertama ditandai
oleh feminisme yang semarak, dengan menemukan ekspresi dalam berbagai aktivitas
organisasi dan dalam bentuk-bentuk karya sastra yang menunjukkan kesadaran
kritis atas politik dominasi laki-laki dalam bidang psikologi dan bidang-bidang
lain yang belum dieksplorasi sebelumnya. Sementara feminis-feminis pertama abad
itu memusatkan dari mereka terutama untuk memperjuangkan dan berupaya membenahi
berbagai ketidak-adilan yang terbuka dan disetujui secara formal atas kaum
perempuan yang dilindungi dalam hukum dan dalam praktik-praktik sosial yang
diterima.
Makna gender seperti
dielaborasi oleh Islam mapan tetaplah wacan yang bersifat mengontrol di Timur
Tengah Muslim hingga sekitar awal abad ke-19. Dalam konteks struktur kekuasaan
global kontemporer, kita memerlukan feminisme yang senantiasa mengkritisi diri
dan menyadari kedudukan historis dan politisnya. Sehingga kedepannya senantiasa
pergerakan perempuan (feminimis) lebih maju lagi, dan ini terlihat di suatu
organisasi kecil yang khusus ada Departemen Keputrian misalnya dan sebagainya.[4]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar