nama: oktavia damayanti
nim:1113032100056
RELASI GENDER DALAM ISLAM
Gender dalam Islam berakar pada
paradigma bahwa secara teologis, perempuan dan laki-laki diciptakan dari asal
yang sama, karenanya keduanya memiliki kualitas kemanusiaan yang sederajat.
Namun demikian, dalam konstalasi pemikiran Islam, ada tiga pandangan yang
berkembang, pandangan konservatif yang bernuansa patriarkhis, pandangan moderat
yang berbasis pada paradigma keseimbangan dan keadilan dan pandangan liberal
yang mencoba mendekonstruksi konsep konsep religiusitas yang dipandang
merugikan pihak perempuan. Namun jika merujuk pada sejarah dan filosofi
penciptaan, perempuan dengan kualitas femininitanya dan laki-laki dengan
maskulinitasnya memang harus diakui memiliki kekhasan masing-masing. Justru
karena kekhasan tersebut, keduanya komplementer karena merupakan wujud dualitas
makrokosmos yang akhirnya menciptakan keseimbangan.
Tidak mudah dalam membahas relasi
gender dalam islam, karna penyebabnya islam dianggap sebagai penghambat
pemberdayaan wanita. Bahkan, secara ekstrem, Islam dianggap telah memberikan
semacam legitimasi bagi dominasi pria atas kaum Hawa. Misalnya, mulai dari
adanya perbedaan porsi harta waris antara pria dengan wanita, larangan bagi
kaum wanita untuk terlibat secara aktif dalam dunia politik—semacam penolakan
terhadap Megawati untuk menjadi presiden atau poligami yang dianggap sebagai
pelecehan terhadap harkat derajat kaum Hawa, hingga masalah larangan wanita
menjadi imam shalat bagi kaum pria.
Lantas, muncullah upaya
reinterpretasi ajaran-ajaran Islam atau rekonstruksi atas pemahaman Islam.
Upaya ini dilakukan dengan semangat feminisme demi mewujudkan pemberdayaan kaum
wanita sekaligus melepaskan mereka dari “sangkar madu” kaum Adam. Rekonstruksi
ini dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa karya-karya Islam klasik tidak
lepas dari muatan maskulinitas para pengarangnya. Dengan kata lain, mereka
bermaksud mengatakan bahwa, para ulama kaum Muslim terdahulu telah melakukan
“ketidakadilan” gender. Oleh karena itu, adanya proses reinterpretasi dan
rekonstruksi pemahaman Islam yang akan memberikan “pencerahan” bagi relasi
pria-wanita adalah suatu keniscayaan.[1]
Pada dasarnya islam adalah agama
yang menegakkan keadilan dan keseimbangan bagi kaum laki-laki dan perempuan
dalam segala aspek kehidupan.relai gender yang kurang kurang adil adalah
kenyataan yang menyimpang dari spirit islam yang menekankan pada keadilan.
Cikal bakal terbentuknya hubungan ynag harmonis adalah berasal dari keluarga,
Keluarga adalah sel hidup utama yang membentuk organ tubuh masyarakat. Jika
keluarga baik, maka masyarakat secara keseluruhan akan ikut baik dan jika
keluarga rusak, masyarakat pun ikut rusak. Bahkan keluarga adalah miniature
umat yang menjadi sekolah pertama bagi manusia dalam mempelajari etika social
yang terbaik. Sehingga tidak ada umat tanpa keluarga, bahkan tidak ada masyarakat
humanisme tanpa keluarga.[2]
Gender pada hakekatnya adalah
sebuah tema yang digunakan untuk membedakan peran antara laki-laki dan
perempuan, hasil dari rekayasa manusia sebagai akibat pengaruh sosial budaya masyarakat
yang tidak bermakna kodrati. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia disebutkan
gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan
(distinction) dalam hal peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat. Tidak
dipungkiri, bahwa acapkali muncul relasi problematik antara perempuan dan
laki-laki. Bukan perbedaan alamiah keduanya tapi implikasi yang tercipta dari
perbedaan tersebut. Hampir tidak ada isu psikologis apapun yang begitu
kontroversial dan kompleks dibandingkan dengan isu ini.
Status dan Peran Perempuan dalam
Al-Qur’an, Al-Hadits dan Fiqih
Dalam rentang panjang sejarah
Islam, telah lahir beragam karya tafsir yang ditulis oleh para ulama dalam
rangka menjelaskan al-Qur’an. Dalam maenstream kitab tafsir yang ada,
terkandung opini yang melihat perbedaan kelamin sebagai cara pandang terhadap
ayat-ayat al-Qur’an. Implikasi cara pandang ini menimbulkan diskriminasi jender
dalam berbagai literatur tafsir yang kini diterima dan dijadikan pegangan umat
Islam. Husein Muhammad, menyinggung masalah tersebut dengan berkata bahwa
diskriminasi terjadi tidak hanya karena faktor ideologi dan budaya yang memihak
laki-laki, boleh jadi juga justifikasi oleh kaum agamawan.[3]seperti
contoh dalam menafsirkan Q.S. an-Nisa’ (4): 34.
Banyak mitos yang sudah tertanam
di masyarakat, misalnya tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya
ada di tangan ayah/suami, sementara tanggung jawab domestik adalah tanggung
jawab ibu/istri. Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran
perempuan dalam keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan
tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran
mutlak yang dibebankan kepada suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran
lain seperti pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya
menjadi peran mutlak ibu/istri. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk memberikan
keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun
masyarakat sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik
laki-laki saja atau milik perempuan saja.[4]
Rasulullah SAW. bersabda dalam hadisnya yang diriwayatkan
oleh ‘Abdullah bin Umar, yaitu:
حدثنا هشام بن عمار . حدثنا عيسى بن يونس . حدثنا عبد الرحمن بن
زياد بن أنعم عن عبد الله بن يزيد عن عبد الله بن عمرو:
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : إنما الدنيا متاع . وليس
من متاع الدنيا شيء أفضل من المرأة الصالحة
Artinya: “ Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: dunia itu
hanyalah sebuah harta, dan tidak ada harta dunia yang lebih utama dibandingkan
seorang wanita yang solehah.”[5]
Rasulullah saw. telah memulai
suatu tradisi baru dalam memandang kaum perempuan. Ia melakukan dekonstruksi
terhadap cara pandang masyarakat Arab yang masih didominasi cara pandang
Fir’aun. Setiap kelahiran bayi perempuan disambut dengan muka masam. Karena
itu, secara demonstratif Rasulullah sering membanggakan anak-anak perempuannya
di hadapan para sahabat. Tanpa malu-malu, Rasulullah juga menggandeng anak perempuannya
di muka umum (Hasyim, 1999:6). Sebagai manusia pilihan Tuhan, Muhammad
Rasulullah memberikan teladan bagi perlakukan baik terhadap kaum perempuan.
Sikap teladan Rasulullah yang menonjol adalah keadilannya dalam memperlakukan
istri-istrinya. Tidak pernah didengar sebuah riwayat pun yang menyatakan
Rasulullah berbuat tidak adil terhadap istri-istrinya. Memang antara satu istri
dengan istri-istrinya yang lain terkadang saling cemburu dan iri hati, namun
Rasulullah berusaha membagikan apa-apa yang dimilikinya kepada mereka secara
merata tanpa ada pengecualian (Hasyim, 1999:7).
Fenomena tampilnya perempuan
dalam berbagai sektor menunjukkan bahwa saat ini, baik di Barat maupun di dunia
Islam terutama di Indonesia, telah terjadi pergeseran paradigma pemikiran,
perubahan persepsi masyarakat dalam menakar harga perempuan di pentas sosial
politik. Perubahan itu, merupakan sebuah proses panjang dari orientasi sosial
dan kultural yang selama ini didominasi oleh arogansi
peradaban patriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai kelompok
marginal dalam tatanan kehidupan sosial. Kesadaran itu tidak saja menawarkan
struktur sosial yang equilibrium antara
strukturpatriarki dan matriarki, tetapi juga menantang sejauh
mana objektivitas dan supremasi ajaran Islam dalam menempatkan posisi perempuan
secara layak dan proportional berdasarkan Alquran.[6]
[1]
Islamic Doctrine, Relasi Gender dalam Pandangan Islam, dikutip pada
17 September 2013
melalui:http://islamicdoctrine.wordpress.com/2008/12/31/relasi-gender-dalam-pandangan-islam/
[2]
Vinda Samudera, Relasi Gender dalam Islam, dikutip pada tangga 17
September 2013 melalui:http://vindasamudra.blogspot.com/2012/12/relasi-gender-dalam-keluarga-islam.html
[3]
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 23-24.
[4]
file.upi.edu/Direktori/FPTK/.../Relasi_Gender-Lilis.pdf
[5]
Muhammad bin Yazīd, Sunan Ibn Mājah, (Beirut: Dar al-Fikr), juz 1, h. 596.
[6]
Gusnarib Wahab, Geder dalam Perspektif Islam:Studi Kepemimpinan pada
Lembaga Eksekutif dan Legislatif di Sulawesi Tengah, 8-Gusnarib-Wahab-.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar