Kamis, 26 November 2015

responding paper relasi gender dalam islam kel 2

nama: oktavia damayanti 
nim:1113032100056

RELASI GENDER DALAM ISLAM
Gender dalam Islam berakar pada paradigma bahwa secara teologis, perempuan dan laki-laki diciptakan dari asal yang sama, karenanya keduanya memiliki kualitas kemanusiaan yang sederajat. Namun demikian, dalam konstalasi pemikiran Islam, ada tiga pandangan yang berkembang, pandangan konservatif yang bernuansa patriarkhis, pandangan moderat yang berbasis pada paradigma keseimbangan dan keadilan dan pandangan liberal yang mencoba mendekonstruksi konsep konsep religiusitas yang dipandang merugikan pihak perempuan. Namun jika merujuk pada sejarah dan filosofi penciptaan, perempuan dengan kualitas femininitanya dan laki-laki dengan maskulinitasnya memang harus diakui memiliki kekhasan masing-masing. Justru karena kekhasan tersebut, keduanya komplementer karena merupakan wujud dualitas makrokosmos yang akhirnya menciptakan keseimbangan.
Tidak mudah dalam membahas relasi gender dalam islam, karna penyebabnya islam dianggap sebagai penghambat pemberdayaan wanita. Bahkan, secara ekstrem, Islam dianggap telah memberikan semacam legitimasi bagi dominasi pria atas kaum Hawa. Misalnya, mulai dari adanya perbedaan porsi harta waris antara pria dengan wanita, larangan bagi kaum wanita untuk terlibat secara aktif dalam dunia politik—semacam penolakan terhadap Megawati untuk menjadi presiden atau poligami yang dianggap sebagai pelecehan terhadap harkat derajat kaum Hawa, hingga masalah larangan wanita menjadi imam shalat bagi kaum pria.
Lantas, muncullah upaya reinterpretasi ajaran-ajaran Islam atau rekonstruksi atas pemahaman Islam. Upaya ini dilakukan dengan semangat feminisme demi mewujudkan pemberdayaan kaum wanita sekaligus melepaskan mereka dari “sangkar madu” kaum Adam. Rekonstruksi ini dilakukan karena adanya kepercayaan bahwa karya-karya Islam klasik tidak lepas dari muatan maskulinitas para pengarangnya. Dengan kata lain, mereka bermaksud mengatakan bahwa, para ulama kaum Muslim terdahulu telah melakukan “ketidakadilan” gender. Oleh karena itu, adanya proses reinterpretasi dan rekonstruksi pemahaman Islam yang akan memberikan “pencerahan” bagi relasi pria-wanita adalah suatu keniscayaan.[1]
Pada dasarnya islam adalah agama yang menegakkan keadilan dan keseimbangan bagi kaum laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan.relai gender yang kurang kurang adil adalah kenyataan yang menyimpang dari spirit islam yang menekankan pada keadilan. Cikal bakal terbentuknya hubungan ynag harmonis adalah berasal dari keluarga, Keluarga adalah sel hidup utama yang membentuk organ tubuh masyarakat. Jika keluarga baik, maka masyarakat secara keseluruhan akan ikut baik dan jika keluarga rusak, masyarakat pun ikut rusak. Bahkan keluarga adalah miniature umat yang menjadi sekolah pertama bagi manusia dalam mempelajari etika social yang terbaik. Sehingga tidak ada umat tanpa keluarga, bahkan tidak ada masyarakat humanisme tanpa keluarga.[2]
Gender pada hakekatnya adalah sebuah tema yang digunakan untuk membedakan peran antara laki-laki dan perempuan, hasil dari rekayasa manusia sebagai akibat pengaruh sosial budaya masyarakat yang tidak bermakna kodrati. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia disebutkan gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, prilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di dalam masyarakat. Tidak dipungkiri, bahwa acapkali muncul relasi problematik antara perempuan dan laki-laki. Bukan perbedaan alamiah keduanya tapi implikasi yang tercipta dari perbedaan tersebut. Hampir tidak ada isu psikologis apapun yang begitu kontroversial dan kompleks dibandingkan dengan isu ini.
Status dan Peran Perempuan dalam Al-Qur’an, Al-Hadits dan Fiqih
Dalam rentang panjang sejarah Islam, telah lahir beragam karya tafsir yang ditulis oleh para ulama dalam rangka menjelaskan al-Qur’an. Dalam maenstream kitab tafsir yang ada, terkandung opini yang melihat perbedaan kelamin sebagai cara pandang terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Implikasi cara pandang ini menimbulkan diskriminasi jender dalam berbagai literatur tafsir yang kini diterima dan dijadikan pegangan umat Islam. Husein Muhammad, menyinggung masalah tersebut dengan berkata bahwa diskriminasi terjadi tidak hanya karena faktor ideologi dan budaya yang memihak laki-laki, boleh jadi juga justifikasi oleh kaum agamawan.[3]seperti contoh dalam menafsirkan Q.S. an-Nisa’ (4): 34.
Banyak mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggung jawab domestik adalah tanggung jawab ibu/istri. Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi peran mutlak ibu/istri. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja.[4]
Rasulullah SAW. bersabda dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Umar, yaitu:

حدثنا هشام بن عمار . حدثنا عيسى بن يونس . حدثنا عبد الرحمن بن زياد بن أنعم عن عبد الله بن يزيد عن عبد الله بن عمرو:

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : إنما الدنيا متاع . وليس من متاع الدنيا شيء أفضل من المرأة الصالحة

Artinya: “ Sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: dunia itu hanyalah sebuah harta, dan tidak ada harta dunia yang lebih utama dibandingkan seorang wanita yang solehah.”[5]
Rasulullah saw. telah memulai suatu tradisi baru dalam memandang kaum perempuan. Ia melakukan dekonstruksi terhadap cara pandang masyarakat Arab yang masih didominasi cara pandang Fir’aun. Setiap kelahiran bayi perempuan disambut dengan muka masam. Karena itu, secara demonstratif Rasulullah sering membanggakan anak-anak perempuannya di hadapan para sahabat. Tanpa malu-malu, Rasulullah juga menggandeng anak perempuannya di muka umum (Hasyim, 1999:6). Sebagai manusia pilihan Tuhan, Muhammad Rasulullah memberikan teladan bagi perlakukan baik terhadap kaum perempuan. Sikap teladan Rasulullah yang menonjol adalah keadilannya dalam memperlakukan istri-istrinya. Tidak pernah didengar sebuah riwayat pun yang menyatakan Rasulullah berbuat tidak adil terhadap istri-istrinya. Memang antara satu istri dengan istri-istrinya yang lain terkadang saling cemburu dan iri hati, namun Rasulullah berusaha membagikan apa-apa yang dimilikinya kepada mereka secara merata tanpa ada pengecualian (Hasyim, 1999:7).
Fenomena tampilnya perempuan dalam berbagai sektor menunjukkan bahwa saat ini, baik di Barat maupun di dunia Islam terutama di Indonesia, telah terjadi pergeseran paradigma pemikiran, perubahan persepsi masyarakat dalam menakar harga perempuan di pentas sosial politik. Perubahan itu, merupakan sebuah proses panjang dari orientasi sosial dan kultural yang selama ini didominasi oleh arogansi peradaban patriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai kelompok marginal dalam tatanan kehidupan sosial. Kesadaran itu tidak saja menawarkan struktur sosial yang equilibrium antara strukturpatriarki dan matriarki, tetapi juga menantang sejauh mana objektivitas dan supremasi ajaran Islam dalam menempatkan posisi perempuan secara layak dan proportional berdasarkan Alquran.[6]



[1] Islamic Doctrine, Relasi Gender dalam Pandangan Islam, dikutip pada 17 September 2013 melalui:http://islamicdoctrine.wordpress.com/2008/12/31/relasi-gender-dalam-pandangan-islam/
[2] Vinda Samudera, Relasi Gender dalam Islam, dikutip pada tangga 17 September 2013 melalui:http://vindasamudra.blogspot.com/2012/12/relasi-gender-dalam-keluarga-islam.html
[3] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 23-24.
[4] file.upi.edu/Direktori/FPTK/.../Relasi_Gender-Lilis.pdf
[5] Muhammad bin Yazīd, Sunan Ibn Mājah, (Beirut: Dar al-Fikr), juz 1, h. 596.
[6] Gusnarib Wahab, Geder dalam Perspektif Islam:Studi Kepemimpinan pada Lembaga Eksekutif dan Legislatif di Sulawesi Tengah, 8-Gusnarib-Wahab-.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar