Kamis, 26 November 2015

responding paper Perempuan Agama dan perubahan sosial dalam islam kel 3

Nama: oktavia damayanti
Nim:1113032100056
    PEREMPUAN, AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL DALAM ISLAM

Feminisme sebagaimana riwayatnya, jelas merupakan hadharah (peradaban) Barat. Hadharah adalah kumpulan pemahaman tentang kehidupan, mulai dari ide dasar hingga ide-ide pengembangan dan ide perinciannya. Hadrah ini bersifat khas, tiap bangsa atau umat memiliki hadrahnya sendiri.feminisme, merupakan ide perempuan barat yang di pengaruhi kapitalisme yang sangat menganggungkan kebebasan setelah berabad-abad terkungkung dalam system gereja yang berkolusi kekaisaran. Kaum muslimin dalam sejarahnya yang panjang tidak mengenal sama sekali feminism. Sebab hadrah islam tidak mengajarkan kaum muslimin untuk hidup menindas kaum perempuan. Bahkan islam hadir di udnia dengan konsep yang jelas tentang laki-laki dan perempuan, pada saat manusia kebingungan tentang hakikat perempuan. Seminar-seminar yang di sponsori oleh bangsa Romawi di adakan untuk mendiskusikan tabiat dan karakter perempuan. Sebagai kesimpulan akhir, perempuan tidak sama dengan laki-laki, dan tidak akan di bangkitkan  pada kehidupan kedua kalinya nanti. Demikianlah pandangan Romawi hingga datangnya islam pada abad ke-7  dan gereja Roma pada abad pertengahan hingga munculnya gerakan Eropa. [1]
            Kondisi perempuan jika dilihat dari sejarah Islam baik itu ketika masa pra-Islam, masa kedatangan Rasulullah sampai pada periode pasca Islam mempunyai kedudukan yang tidak tentu dalam arti naik turun. Seperti kita lihat pada masa sebelum Islam datang, Perempuan menduduki posisi sebagai second mahluk, artinya perempuan disamakan dengan barang yang siapa saja bisa memiliki. Terutama masalah seksualitas wanita, ia hanya dipandang sebagai mesin memproduksi saja. Namun sejak kedatangan Rasulullah (kira-kira tahun 570 M), beliau membawa perubahan yang sangat radikal, dimana posisi perempuan diangkat derajatnya, meskipun masalah kesetaraan dan keadilan gender belum terlalu terlihat dengan jelas. Selanjutnya untuk memahami hal tersebut, maka dalam paper ini akan sedikit dipaparkan perinciannya.
            Kondisi Perempuan Pra Islam
Yang dimaksud dengan masa sebelum Islam adalah masa jahiliyah, yaitu suatu keadaan yang suram dan jauh dari risalah serta hilangnya jalan kebenaran, yang dialami bangsa arab khususnya dan seluruh umat manusia pada umumnya. Umat manusia hidup dalam kebobrokan moral, kecuali beberapa orang ahli kitab, dan kondisi kaum wanita saat itu sangat memilukan. Mereka hidup dalam keadaan menderita, merana dan teraniaya bahkan ada di antara mereka yang dikubur dalam keadaan hidup hingga mati. Sebuah bentuk kebencian masyarakat terhadap anak perempuan dan membiarkan hidup terhina, sebagaimana digambarkan dalam firman Allah yang artinya:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi khabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. al-Nahl :58-59)
Wanita yang sempat hidup dewasa mereka dilecehkan dan tidak memperoleh bagian dalam harta warisan. Mereka dijadikan sebagai alat pemuas nafsu para lelaki belaka. Yang ketika telah puas direguk, segera dibuang tak ada harga dan nilai. Di masa itu pula, para lelaki berhak menikahi banyak wanita tanpa batas, tidak mempedulikan akan keadilan dalam pernikahan.
Dan begitu pula keadaan wanita di lingkungan Bangsa Romawi. Mereka tidak diperlakukan melainkan hanya sebagai pemuas nafsu. atau sebagai pelayan-pelayan orang-orang kaya. tidak jauh berbeda keadaan mereka dalam lingkungan Bangsa Romawi dan di masa kejahilahan masih berkuasa.



Bukti arkeologis menunjukkan bahwa wanita dihormati sebelum bangkitnya masyarakat perkotaan dan statusnya merosot seiring dengan munculnya pusat-pusat perkotaan dan negara-negara.
Pertumbuhan masyarakat perkotaan yang kompleks dan semakin pentingnya daya saing militer lebih jauh menancapkan dominas pria dan melahirkan masyarakat yang berdasarkan kelas dimana kalangan militer dan elit istana merupakan kelas yang memiliki kekayaan. Keluarga bercorak patriarkal, yang dirancang untuk menjamin paternitas pewaris kekayaan dan kepentingan pria dalam mengendalikan seksualitas manusia, menjadi dilembagakan, dikodifikasikan dan di junjung tinggi oleh negara. Seksualitas wanita dipandang sebagai milik pria, pertama milik ayah kemudian suaminya, dan kesucian seksual wanita (keperawanan khususnya) menjadi milik yang berharga secara ekonomis dan bisa dirembugkan. Hal ini menyebabkan (sebagian yang berargumen) munculnya prostitusi dan pemberlakuan demarkasi tegas antara wanita “terhormat” (istri), yang seksualitas dan kemampuan reproduksinya menjadi milik satu orang, dan wanita yang secara seksual menjadi milik siapa saja.
            Peran perempuan dalam membangun masyarakat Muslim di masa awal Islam

Pada abad keenam Masehi, boleh dikatakan Arab adalah sebuah pulau di Timur Tengah, kawasan terakhir yang tersisa dimana perkawinan patrilineal, patriarkal belum dilembagakan sebagai satu-satunya bentuk perkawinan matrilineal, uksorilokal (sangat menggandrungi wanita.
Sekitar masa kelahiran Muhammad (kira-kira pada mengunjungi atau tinggal bersamanya, dan anak-anaknya yang dilahirkan menjadi milik suku ibunya serta perkawinan bersifat poliandri dan poligami. Keragaman berbagai praktek perkawinan di Arabia pra-Islam dan adanya adat-istiadat matrilineal, termasuk bergabungnya anak-anak bersama suku sang ibu, tidak mesti berarti bahwa wanita mempunyai kekuasaan lebih besar dalam masyarakat atau akses lebih besar pada sumber-sumber ekonomi. Prakte-praktek ini juga berkorelasi dengan adanya misogini; sesungguhnyalah ada bukti yang jelas bagi yang sebaliknya, praktek pembunuhan bayi, yang agaknya terbatas anak-anak perempuan, mengesankan suatu keyakinan bahwa kaum perempuan adalah cacat dan bisa dikorbankan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengutuk pembunuhan bayi mengesankan perasaan malu dan sikap negatif yang diasosiasikan oleh orang-orang Arab Jahiliyah dengan jenis kelamin. “Dan bila disampaikan berita kepada salah seorang dari mereka tentang (lahirnya) seorang anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) wajahnya dan ia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya nerita yang disampaikan kepadanya. Akankah dipeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah ditanamnya dalam tanah? Wahai! Alangkah buruknya putusan yang mereka jatuhkan itu.” (QS. 16:58-59).
Kehidupan dan perkawinan dua istri Muhammad, Khadijah dan ‘Aisyah, membalut jenis-jenis perubahan yang menimpa wanita di Arabia Islam. Asumsi ringkasnya tentang kepemimpinan politik sesudah wafatnya Muhammad berakar dalam adat-istiadat leluhurnya, sebagaimana kehormatan dan otoritas yang diberikan kepada masyarakat kepadanya. Diterimanya wanita sebagai partisipan dalam, otoritas tentang, berbagai masalah sentral masyarakat terus-menerus merosot dalam periode Islam berikutnya.[2]
            Marginalisasi Perempuan dalam Sejarah Islam Pasca Rasulullah
beberapa abad setelah nabi wafat, posisi sosial perempuan yang semula membaik kembali mengalami krisis. Posisi perempuan malah berbalik kembali ke nilai-nilai pra Islam. Selain masalah menguatnya lagi tribalisme (rasa kesukuan) Arab, pasca Nabi, Fatimah Mernisi memvonis adanya pelepasan historis bentuk pemahaman ajaran agama terhadap perempuan. Akibatnya sangat jelas, patriarki kembali memberi pengaruh kuat dalam menafsirkan ajaran Islam. “Perempuan kembali tidak dipercaya,” demikian tulis Mernisi dalam Women in Islam.
            Kalaupun ulama perempuan masih ada, dia tak memiliki peran yang luas seperti pada zaman Nabi. Wilayahnya hanya terbatas kepada aspek-aspek khusus yang hanya berhubungan dengan dunia mereka sendiri. Bahkan lebih dari itu, mereka justru tak jarang menjadi legitimator para penguasa untuk menarik kembali kaum perempuan dari wilayah publik. Kendati demikian, muncul juga satu dua ulama perempuan yang menentang mainstream saat itu. Tokoh-tokoh seperti Sukaynah binti Husein, Amrah binti Abd Al-Rahman (w.718 Masehi), Hafshah binti Sirin (w.718 Masehi), Zainab binti Al Syar’i dan Sayyida Nafisa adalah para ulama perempuan yang memiliki pandangan kritis dan sering menyalahi pandangan ulama laki-laki di zamannya.
Referensi:
Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits. “Wanita, Pra dan Pasca Islam” diakses pada 27 September 2013 dari
http://www.alsofwah.or.id/cetakannur.php?id=633
o  Leila Ahmad. Wanita dan Gender dalam Islam. Jakarta: Lentera, 2000



[1] Fakih Mansur, diskursus gender perspektif islam;, Surabaya ; risalah gusti, 1996. Hal. 260
[2] Leila Ahmed, Wanita  & Gender dalam Islam, terj, Nasrullah (Jakarta: PT Lentera Basritama,
1992) h.46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar