Nama: oktavia damayanti
Nim:1113032100056
PEREMPUAN,
AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL DALAM ISLAM
Feminisme sebagaimana riwayatnya, jelas
merupakan hadharah (peradaban) Barat. Hadharah adalah kumpulan
pemahaman tentang kehidupan, mulai dari ide dasar hingga ide-ide pengembangan
dan ide perinciannya. Hadrah ini bersifat khas, tiap bangsa atau umat memiliki
hadrahnya sendiri.feminisme, merupakan ide perempuan barat yang di pengaruhi
kapitalisme yang sangat menganggungkan kebebasan setelah berabad-abad
terkungkung dalam system gereja yang berkolusi kekaisaran. Kaum muslimin dalam
sejarahnya yang panjang tidak mengenal sama sekali feminism. Sebab hadrah islam
tidak mengajarkan kaum muslimin untuk hidup menindas kaum perempuan. Bahkan
islam hadir di udnia dengan konsep yang jelas tentang laki-laki dan perempuan,
pada saat manusia kebingungan tentang hakikat perempuan. Seminar-seminar yang
di sponsori oleh bangsa Romawi di adakan untuk mendiskusikan tabiat dan
karakter perempuan. Sebagai kesimpulan akhir, perempuan tidak sama dengan
laki-laki, dan tidak akan di bangkitkan pada kehidupan kedua kalinya nanti.
Demikianlah pandangan Romawi hingga datangnya islam pada abad ke-7 dan
gereja Roma pada abad pertengahan hingga munculnya gerakan Eropa. [1]
Kondisi
perempuan jika dilihat dari sejarah Islam baik itu ketika masa pra-Islam, masa
kedatangan Rasulullah sampai pada periode pasca Islam mempunyai kedudukan yang
tidak tentu dalam arti naik turun. Seperti kita lihat pada masa sebelum Islam
datang, Perempuan menduduki posisi sebagai second mahluk, artinya perempuan
disamakan dengan barang yang siapa saja bisa memiliki. Terutama masalah
seksualitas wanita, ia hanya dipandang sebagai mesin memproduksi saja. Namun
sejak kedatangan Rasulullah (kira-kira tahun 570 M), beliau membawa perubahan
yang sangat radikal, dimana posisi perempuan diangkat derajatnya, meskipun
masalah kesetaraan dan keadilan gender belum terlalu terlihat dengan jelas.
Selanjutnya untuk memahami hal tersebut, maka dalam paper ini akan sedikit
dipaparkan perinciannya.
Kondisi
Perempuan Pra Islam
Yang dimaksud dengan masa sebelum Islam adalah masa
jahiliyah, yaitu suatu keadaan yang suram dan jauh dari risalah serta hilangnya
jalan kebenaran, yang dialami bangsa arab khususnya dan seluruh umat manusia
pada umumnya. Umat manusia hidup dalam kebobrokan moral, kecuali beberapa orang
ahli kitab, dan kondisi kaum wanita saat itu sangat memilukan. Mereka hidup
dalam keadaan menderita, merana dan teraniaya bahkan ada di antara mereka yang
dikubur dalam keadaan hidup hingga mati. Sebuah bentuk kebencian masyarakat
terhadap anak perempuan dan membiarkan hidup terhina, sebagaimana digambarkan
dalam firman Allah yang artinya:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi khabar dengan
(kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat
marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung
kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah,
alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. al-Nahl :58-59)
Wanita yang sempat hidup dewasa mereka dilecehkan dan tidak
memperoleh bagian dalam harta warisan. Mereka dijadikan sebagai alat pemuas
nafsu para lelaki belaka. Yang ketika telah puas direguk, segera dibuang tak
ada harga dan nilai. Di masa itu pula, para lelaki berhak menikahi banyak
wanita tanpa batas, tidak mempedulikan akan keadilan dalam pernikahan.
Dan begitu pula keadaan wanita di lingkungan Bangsa Romawi.
Mereka tidak diperlakukan melainkan hanya sebagai pemuas nafsu. atau sebagai
pelayan-pelayan orang-orang kaya. tidak jauh berbeda keadaan mereka dalam
lingkungan Bangsa Romawi dan di masa kejahilahan masih berkuasa.
Bukti arkeologis menunjukkan bahwa wanita dihormati sebelum
bangkitnya masyarakat perkotaan dan statusnya merosot seiring dengan munculnya
pusat-pusat perkotaan dan negara-negara.
Pertumbuhan masyarakat perkotaan yang kompleks dan semakin
pentingnya daya saing militer lebih jauh menancapkan dominas pria dan melahirkan
masyarakat yang berdasarkan kelas dimana kalangan militer dan elit istana
merupakan kelas yang memiliki kekayaan. Keluarga bercorak patriarkal, yang
dirancang untuk menjamin paternitas pewaris kekayaan dan kepentingan pria dalam
mengendalikan seksualitas manusia, menjadi dilembagakan, dikodifikasikan dan di
junjung tinggi oleh negara. Seksualitas wanita dipandang sebagai milik pria,
pertama milik ayah kemudian suaminya, dan kesucian seksual wanita (keperawanan
khususnya) menjadi milik yang berharga secara ekonomis dan bisa dirembugkan.
Hal ini menyebabkan (sebagian yang berargumen) munculnya prostitusi dan
pemberlakuan demarkasi tegas antara wanita “terhormat” (istri), yang
seksualitas dan kemampuan reproduksinya menjadi milik satu orang, dan wanita yang
secara seksual menjadi milik siapa saja.
Peran
perempuan dalam membangun masyarakat Muslim di masa awal Islam
Pada abad keenam Masehi, boleh dikatakan Arab adalah sebuah
pulau di Timur Tengah, kawasan terakhir yang tersisa dimana perkawinan
patrilineal, patriarkal belum dilembagakan sebagai satu-satunya bentuk
perkawinan matrilineal, uksorilokal (sangat menggandrungi wanita.
Sekitar masa kelahiran Muhammad (kira-kira pada mengunjungi
atau tinggal bersamanya, dan anak-anaknya yang dilahirkan menjadi milik suku
ibunya serta perkawinan bersifat poliandri dan poligami. Keragaman berbagai
praktek perkawinan di Arabia pra-Islam dan adanya adat-istiadat matrilineal,
termasuk bergabungnya anak-anak bersama suku sang ibu, tidak mesti berarti
bahwa wanita mempunyai kekuasaan lebih besar dalam masyarakat atau akses lebih
besar pada sumber-sumber ekonomi. Prakte-praktek ini juga berkorelasi dengan
adanya misogini; sesungguhnyalah ada bukti yang jelas bagi yang sebaliknya,
praktek pembunuhan bayi, yang agaknya terbatas anak-anak perempuan, mengesankan
suatu keyakinan bahwa kaum perempuan adalah cacat dan bisa dikorbankan.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengutuk pembunuhan bayi mengesankan perasaan malu dan
sikap negatif yang diasosiasikan oleh orang-orang Arab Jahiliyah dengan jenis
kelamin. “Dan bila disampaikan berita kepada salah seorang dari mereka tentang
(lahirnya) seorang anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) wajahnya dan ia
sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya
nerita yang disampaikan kepadanya. Akankah dipeliharanya dengan menanggung
kehinaan ataukah ditanamnya dalam tanah? Wahai! Alangkah buruknya putusan yang
mereka jatuhkan itu.” (QS. 16:58-59).
Kehidupan dan perkawinan dua istri Muhammad, Khadijah dan
‘Aisyah, membalut jenis-jenis perubahan yang menimpa wanita di Arabia Islam.
Asumsi ringkasnya tentang kepemimpinan politik sesudah wafatnya Muhammad
berakar dalam adat-istiadat leluhurnya, sebagaimana kehormatan dan otoritas
yang diberikan kepada masyarakat kepadanya. Diterimanya wanita sebagai
partisipan dalam, otoritas tentang, berbagai masalah sentral masyarakat
terus-menerus merosot dalam periode Islam berikutnya.[2]
Marginalisasi
Perempuan dalam Sejarah Islam Pasca Rasulullah
beberapa abad setelah nabi wafat, posisi sosial perempuan
yang semula membaik kembali mengalami krisis. Posisi perempuan malah berbalik
kembali ke nilai-nilai pra Islam. Selain masalah menguatnya lagi tribalisme
(rasa kesukuan) Arab, pasca Nabi, Fatimah Mernisi memvonis adanya pelepasan
historis bentuk pemahaman ajaran agama terhadap perempuan. Akibatnya sangat
jelas, patriarki kembali memberi pengaruh kuat dalam menafsirkan ajaran Islam.
“Perempuan kembali tidak dipercaya,” demikian tulis Mernisi dalam Women in
Islam.
Kalaupun
ulama perempuan masih ada, dia tak memiliki peran yang luas seperti pada zaman
Nabi. Wilayahnya hanya terbatas kepada aspek-aspek khusus yang hanya
berhubungan dengan dunia mereka sendiri. Bahkan lebih dari itu, mereka justru
tak jarang menjadi legitimator para penguasa untuk menarik kembali kaum
perempuan dari wilayah publik. Kendati demikian, muncul juga satu dua ulama
perempuan yang menentang mainstream saat itu. Tokoh-tokoh seperti Sukaynah
binti Husein, Amrah binti Abd Al-Rahman (w.718 Masehi), Hafshah binti Sirin
(w.718 Masehi), Zainab binti Al Syar’i dan Sayyida Nafisa adalah para ulama
perempuan yang memiliki pandangan kritis dan sering menyalahi pandangan ulama
laki-laki di zamannya.
Referensi:
Artikel : Bulein Annur - Hikmah
Al-Quran & Mutiara Hadits. “Wanita, Pra dan Pasca Islam” diakses pada 27
September 2013 dari
http://www.alsofwah.or.id/cetakannur.php?id=633
o Leila Ahmad. Wanita dan
Gender dalam Islam. Jakarta: Lentera, 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar