Nama: oktavia
damayanti
Nim:1113032100056
Islam dan kesetaraan gender di mesir, iran dan turki
Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan masyarakat yang
mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan bangsa untuk
mewujudkan sistem kehidupan dalam internal suatu negara itu sendiri maupun
secara global, yang semakin memberikan penekanan pada aspek demokratisasi,
perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta supremasi sipil.
Gerakan perempuan atau lebih dikenal
sebagai gerakan gender sebagai gerakan politik sebenarnya berakar pada suatu
gerakan yang dalam akhir abad ke-19 di berbagai negara Barat dikenal sebagai
gerakan “suffrage”, yaitu suatu gerakan untuk memajukan perempuan baik di sisi
kondisi kehidupannya maupun mengenai status dan perannya. Inti dari perjuangan
mereka adalah bahwa mereka menyadari bahwa di dalam masyarakat ada satu
golongan manusia yang belum banyak terpikirkan nasibnya. Golongan tersebut
adalah kaum perempuan[1]
Gerakan
Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Mesir
Pada
abad ke-6 Masehi, boleh di katakan Arabia adalah sebuah pulau di Timur
Tengah, kawasaan terakhir yang tersisa di mana perkawinan patrialineal,
patriarkal belum dilembagakan sebagai satu-satunya bentuk perkawinan yang sah;
sekalipun bahkan di sana hal itupun mungkin jenis-jenis perkawinan yang di
praktekkan adalah perkawinan matrilineal, uksorilokal (sangat
menggandrungi wanita wanita), yang dijumpai di Arabia, termasuk
Makkah, sekitar masa kelahiran Muhammad (kira kira pada abad 570 M)
wanita tetap tinggal bersamanya, dan anak-anak yang di lahirkan menjadi
suku Ibunya serta perkawinan bersifat poliandri dan poligami.
Keberagama
berbagai praktek perkawinan di Arabia pra-Islam dan adanya adat istiadat
matrilineal, termasuk bergabungnya anak-anak bersama suku sang ibu, tidak
mesti bahwa wanita mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam masyarakat atau
akses lebih besar pada sumber-sumber ekonomi. Praktek-praktek ini juga tidak
berkorelasi dengan adanya misogini. Sesungguhnyalah, ada bukti yang jelas bagi
yang sebaliknya. Praktek pembunuhan bayi yang agaknya terbatas anak-anak
perempuan, mengesankan sauatu keyakinan bahwa kaum perempuan adalah cacat dan
bisa di korbankan. Ayat-ayat al- Qur’an yang mengutuk pembunuhan bayi
mengesankan perasaan malu dan sikap negatif yang di asosiasikan oleh
orang-orang Arab Jahiliyah dengan jenis kelamin.[1]
Kairo
adalah Salah satu potret ikonik revolusi Mesir adalah potret para
lelaki dan perempuan yang berdiri bersama, bersatu untuk perubahan positif.
Namun setelah itu, perempuan bergulat dengan masalah pelecehan seksual dan
dipinggirkan dalam transisi politik. Akan tetapi, para perempuan Mesir tidak
pernah berhenti berjuang – dan kini mereka tengah menemukan banyak sekutu.
Sebagian orang
berpandangan bahwa demokrasi perlu dicapai lebih dulu sebelum memperhatikan
hak-hak perempuan. Namun, mengatasi marginalisasi perempuan lebih dulu
sebenarnya sangat penting untuk menciptakan Mesir yang benar-benar demokratis.
Masalah intinya bukan saja tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki, namun
juga tentang ketidakadilan. Terlampau sering, perempuan diperlakukan sebagai
warga negara kelas dua dan mendapatkan ketidak adilan – mereka menghadapi pelecehan
di jalanan, menjadi korban tes keperawanan oleh militer, dan tidak diberi
banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik. Misalnya, para aktivis hak
perempuan tidak diajak musyawarah dalam proses perancangan konstitusi. Meskipun
perempuan bisa secara hukum memegang posisi seperti hakim atau jabatan tinggi
politik, tekanan sosial sering kali membuat perempuan tak bisa memperolehnya.
Namun, para aktivis hak perempuan tidak berdiam diri di
tengah berbagai rintangan seperti ini. Ambil contoh Bothaina Kamel, yang
mencoba menggunakan haknya untuk maju menjadi calon presiden, dan merupakan
kandidat presiden perempuan pertama di Mesir. Sekalipun ia akhirnya gagal
mengumpulkan cukup tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang dipilih, ia
memperlihatkan kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga semestinya bisa
berpartisipasi dalam politik.
Selain berbagai contoh aktivis
perempuan ini, ada juga berbagai cerita tentang para lelaki yang mendukung
perempuan. Banyak anggota parlemen liberal, seperti Amr Hamzawy, telah bicara
tentang pentingnya membuat isu perempuan sebagai sebuah prioritas. Dukungan
laki-laki telah meluas hingga tingkat akar rumput juga. Selama setahun
terakhir, laki-laki telah berpartisipasi dalam aksi-aksi pawai yang digelar
oleh para perempuan, dan melindungi perempuan dari pelecehan selama aksi.
Selain itu, berbagai proyek seperti Harassmap, yang mencatat dan mengadvokasi
pelecehan di jalanan, dan organisasi-organisasi lainnya seperti itu, memiliki
banyak relawan pria.
Satu-satunya
cara untuk benar-benar mewujudkan hak-hak perempuan dalam jangka panjang adalah
menyertakan perempuan dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk dalam
merevisi konstitusi. Konstitusi baru Mesir harus menyerukan dihilangkannya
diskriminasi berbasis gender bagaimana pun bentuknya. Tahun lalu bahkan,
berbagai kelompok feminis yang bekerja untuk PBB merancang Piagam Perempuan
Mesir, yang bisa menjadi sebuah model bagi konstitusi yang lebih peka Gender.
Selain itu, para aktivis
hak-hak perempuan harus terlibat dalam negara – dan berpartisipasi baik di
oposisi maupun pemerintahan baru Mohamed Morsi. Satu langkah yang bisa negara
ambil untuk mendorong hak-hak perempuan adalah mensponsori program-program yang
dilakukan oleh berbagai organisasi perempuan, dan melibatkan perempuan dari
organisasi-organisasi ini dalam kabinet baru yang sedang dibentuk. Dalam
pemerintahan Prancis, Najat Vallaud-Belkacem menjadi Menteri Hak-hak Perempuan
– sebuah posisi yang mungkin patut ditiru di Mesir.
Penting juga
mengingat bahwa al-Ikhwan al-Muslimun menyertakan banyak anggota perempuan.
Bahkan, banyak perempuan dalam al-Ikhwan al-Muslimun menduduki peran-peran
penting dalam partai dan organisasi mereka, seperti Hoda Abdel Moneim, seorang
pengacara dan Ketua Komite Urusan Perempuan Partai Kebebasan dan Keadilan.
Banyak perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun juga mengelola berbagai program
sosial. Dari percakapan saya sendiri dengan para perempuan di al-Ikhwan
al-Muslimun, tampak jelas bahwa mereka memiliki hasrat tulus untuk menduduki
posisi-posisi kepemimpinan dan secara aktif berusaha ,memperbaiki kondisi para
perempuan Mesir.
Para aktivis
hak perempuan dari semua latar belakang perlu terus merapatkan barisan dan
secara aktif berpartisipasi dalam transisi politik Mesir. Dalam suatu wawancara
pribadi, Abdel Moneim menekankan perlunya para perempuan al-Ikhwan al-Muslimun
berusaha mereformasi ruang politik dan sosial Mesir, bersama para perempuan di
luar gerakan ini. Kemitraan seperti inilah yang sangat diperlukan – para
aktivis dari semua perspektif, religius dan sekuler, bergabung menghadapi tantangan-tantangan
di depan.[2]
Jadi perempuan di Mesir tidak di rendahkan derajat kemanusiaannya seperti
terjadi pada kaum perempuan dalam peradaban kuno lainnya. Di dalam risalahnya
as-Sayyed menulis dalam judul Kewajiban perempuan terhadap suaminya bahwa
perempuan Mesir adalah istri yang patuh, Ibu rumah tangganya yang sempurna dan
Ibu yang ideal. Jadi meskipun kedudukannya tinggi dalam Masyarakat, dia tetap
berkhidmat terhadap suaminya. Walupun status perempuan itu tinggi dalam
peradaban Mesir, namun kaumn laki-laki mempunyai prioritas dalam hal warisan
dan peluang naik tahta, walaupun kaum perempuan mempunyai peluang untuk naik
tahta, namun hak ini hanya di peroleh jika ahli waris laki-laki tidak ada.
Walupun derajatnya tinggi, namun hukum juga mengharuskan perempuan tunduk
terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Hukum menetapkan bahwa tidak boleh
menyentuh perempuan selama periode nifas. Ia di kurung di tempat khusus yang di
sebut Hariri. Selain itu, hubungan seksual di luar nikah di anggap sebagai dosa
besar dan perempuan yang melakukan hubungan seksual haram itu akan di hukum
mati. Pada kenyataanya hukum pidana tidak berlaku adil karena perempuan di
hukum mati begitu kesetiaan terhadap suaminya di ragukan. Satus perempuan yang
tinggi dalam perdaban Mesir berlangsung selama berabad-abad, tetapi mulai
memburuk setelah di bawah pengaruh peradaban Yunani, setelah runtuhnya
kekaisaran romawi. Selain itu, kezaliman bangsa Romawi menyebabkan banyak
bangsa Mesir meninggalkan kesia-siaan dunia ini dan memulai kehidupan biara.
Maka hukum dan perundang-undangan bangsa Mesir tamat riwayatnya sebelum masa
Islam. Umar Kahaleh menjelaskan bahwa demikianlah status perempuan sebelum
berkuasanya kaum batavian di Mesir yang menyerahkan kaum perempuan kepada
otoritas kaum laki-laki dan mencabut hak-haknya.[3]
Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender di Iran
Permasalahan yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Iran,
ketika masa pemerintahan Reza Syah dan putranya Shah terahir, terjadi perubahan
yang sangat mencolok yang terjadi pada kebijakan pemerintah terhadap kaum
wanita, yaitu pelepasan cadar. Kebijakan ini kemudian memunculkan perdebatan.
Kebijakan ini tidak diimplementasikan melalui konsensus atau dengan
memanfaatkan para aparatur pendidikan dan resosialisasi atau dengan dukungan
kuat para pionir gerakan perempuan. Akan tetapi, yang penting disini adalah,
bahwa pelepasan cadar bukan satu-satunya wujud keinginan Reza Shah atau para
kolonialis.Tetapi, ia memrupakan sebuah respon, betapapun otoriter dan demi
kepentingan pribadi, terhadap tujuan yang telah lama diimpikan oleh para
intelektual Iran, Laki-laki maupun perempuan. Selama abad ke-19 para aktifis
perempuan, para guru, dan artis Iran telah berhenti memakai cadar dimuka umum
sebelum menjadi kebijakan negara.
Namun pada saat ini gerakan
memperjuangkan hak perempuan mengalami krisis. Bulan Januari lalu
'Zanan', yaitu majalah perempuan terbesar di negara itu dilarang terbit.
Sebulan sesudahnya pejuang hak perempuan terkemuka Iran, Parvin Ardalan, yang
tahun ini mendapat anugerah hadiah Olof Palme, dengan dana sebesar 50.000
dollar AS, tidak diperkenankan meninggalkan Iran untuk menerima sendiri hadiah
tsb di Swedia. Padahal saat itu ia sudah duduk dalam pesawat yang siap lepas
landas, ketika lewat pengeras suara terdengar ucapan yang mengharuskannya untuk
turun dari pesawat. Petugas polisi di bandar udara kemudian mengawalnya
kembali, menyita paspornya, dan ia dikenakan tahanan rumah selama 72 jam.
Bulan Agustus 2006 berbagai organisasi hak perempuan di Iran
menjalankan kegiatan yang berambisi tinggi. Dengan aksi pengumpulan tanda
tangan mereka hendak menunjukkan bahwa dalam masyarakat Iran kaum perempuan
masih terus dianak-tirikan. Mereka masih tetap merasa sebagai 'warga kelas
dua'. Apakah dalam kasus perkawinan, perceraian, penerimaan warisan atau
menjadi wali anak-anak, hak mereka jauh lebih kecil dari hak yang dimiliki kaum
pria. Demikian pula di hadapan pengadilan, pernyataan yang dikeluarkan oleh
seorang perempuan tidak sama bobotnya dengan pernyataan pria.
Oleh sebab itu kampanye berambisi
dari gerakan yang memperjuangkan hak perempuan di Iran itu bertujuan
mengumpulkan satu juta tanda-tangan, untuk menyingkirkan UU yang
mendiskriminasi perempuan. Tetapi tuntutan mereka sama sekali tidak digubris
oleh lembaga-lembaga pemerintah Iran. Bukan itu saja. Sejak masa pemerintahan
Presiden Ahmadinejad, rejim penguasa semakin bersikap tegas terhadap
wakil-wakil media dan organisasi HAM independen.
Tuduhan yang biasanya digunakan
untuk menuduh para perempuan adalah, bahwa para aktifis perempuan itu
membahayakan keamanan nasional dan menjalankan propaganda yang berlawanan
dengan negara. Tetapi para aktifis kampanye pengumpulan sejuta tanda-tangan ini
membantah tuduhan tsb. Aksi-aksi seperti ini merupakan cerminan kebebasan
sosial dalam kerangka konstitusi. Demikian dikemukakan belum lama berselang
oleh Shirin Ebadi, penerima Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2003.
Walaupun demikian para pejuang hak perempuan yang gigih,
sekarang pun sudah berhasil meraih keberhasilan meskipun baru sedikit. Misalnya
saja dalam soal perceraian, peraturan cuti hamil atau dalam UU
ketenaga-kerjaan. Hanya saja dalam pemisahan ketat antara perempuan dan
laki-laki di tempat-tempat umum, sampai sekarang boleh dikatakan hampir tidak
ada perubahan. Apakah itu dalam bus umum, perkuliahan, pergelaran konser atau
acara-acara olahraga.
c. Gerakan Perempuan
Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender di Turki
Di Negara Turki kondisi wanita pada masa pemerintahan Kemal
Attaturk sedikit lebih baik, dari berbagai kebijakan yang di lakukan oleh Kemal
Attaturk yang ada tersebut itu melahirkan beberapa perubahan yang agresif,
salah satunya adalah transformasi setatus wanita, dimana tersedianya pendidikan
dasar bagi wanita. Persoalan wanita merupakan persoalan yang sangat krusial
bagi perkembangan masyarakat turi moderen, oleh karena itu Kemal attaturk
sangat memperjuangkanya hingga banyak didirikan sekolah-sekolah bagi kaum
wanita yang berkembang pesat. Hal ini menjadi langkah awal bagi perkembangan
Gender di Turki. Turki merupakan negara terpolarisasi dua kelompok yang
berkepentingan atas kontrovesi jilbab antara kelompok muslim dan sekularis.
Muslim berpendapat bahwa mengenakan jilbab adalah hak manusia dan kewajiban
agama, dan beberapa sekularis melihat jilbab sebagai politik provokatif, simbol
ekstremisme dan tanda “Islamisasi” masyarakat Turki.
Pada tahun 1920 dan telah terjadi
perubahan yang sangat radikal, dengan adanya ketetapan dan Undang-undang di
Turki pada tahun 1924 Undang-undang Turki mengharamkan Poligami, memposisikan
wanita berkedudukan yang sama dengan laki-laki didalam perceraian, menegakan
hak persamaan wanita dalam pendidikan dan pekerjaan, dan pada tahun 1934
Undang-undang Turki menetapkan dan menentukan hak untuk pencalonan dan
dicalonkan terhadap wanita didalam pemilihan nasional dan pada tahun 1935
terpilihlah wakil rakyat turki dari kaum wanita yang pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar