Kamis, 26 November 2015

responding paper islam dan relasi gender di Mesir, Iran dan turki kel 4

 Nama: oktavia damayanti
Nim:1113032100056
Islam dan kesetaraan gender di mesir, iran dan turki
Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan bangsa untuk mewujudkan sistem kehidupan dalam internal suatu negara itu sendiri maupun secara global, yang semakin memberikan penekanan pada aspek demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta supremasi sipil.
    Gerakan perempuan atau lebih dikenal sebagai gerakan gender sebagai gerakan politik sebenarnya berakar pada suatu gerakan yang dalam akhir abad ke-19 di berbagai negara Barat dikenal sebagai gerakan “suffrage”, yaitu suatu gerakan untuk memajukan perempuan baik di sisi kondisi kehidupannya maupun mengenai status dan perannya. Inti dari perjuangan mereka adalah bahwa mereka menyadari bahwa di dalam masyarakat ada satu golongan manusia yang belum banyak terpikirkan nasibnya. Golongan tersebut adalah kaum perempuan[1]
            Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Mesir
             Pada abad ke-6  Masehi, boleh di katakan Arabia adalah sebuah pulau di Timur Tengah, kawasaan terakhir yang tersisa di mana perkawinan patrialineal, patriarkal belum dilembagakan sebagai satu-satunya bentuk perkawinan yang sah; sekalipun bahkan di sana hal itupun mungkin jenis-jenis perkawinan yang di praktekkan adalah perkawinan matrilineal,  uksorilokal (sangat menggandrungi wanita wanita), yang  dijumpai  di Arabia, termasuk Makkah, sekitar masa kelahiran  Muhammad (kira kira pada abad 570 M)  wanita tetap tinggal  bersamanya, dan anak-anak yang di lahirkan menjadi suku Ibunya serta perkawinan bersifat poliandri dan poligami.
            Keberagama berbagai praktek perkawinan di Arabia pra-Islam dan adanya adat istiadat  matrilineal, termasuk  bergabungnya anak-anak bersama suku sang ibu, tidak mesti bahwa wanita mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam masyarakat atau akses lebih besar pada sumber-sumber ekonomi. Praktek-praktek ini juga tidak berkorelasi dengan adanya misogini. Sesungguhnyalah, ada bukti yang jelas bagi yang sebaliknya. Praktek pembunuhan bayi yang agaknya terbatas anak-anak perempuan, mengesankan sauatu keyakinan bahwa kaum perempuan adalah cacat dan bisa di korbankan. Ayat-ayat al- Qur’an yang mengutuk pembunuhan bayi mengesankan perasaan malu dan sikap negatif yang di asosiasikan oleh orang-orang Arab Jahiliyah dengan jenis kelamin.[1]
             Kairo adalah  Salah satu potret ikonik revolusi  Mesir adalah potret para lelaki dan perempuan yang berdiri bersama, bersatu untuk perubahan positif. Namun setelah itu, perempuan bergulat dengan masalah pelecehan seksual dan dipinggirkan dalam transisi politik. Akan tetapi, para perempuan Mesir tidak pernah berhenti berjuang – dan kini mereka tengah menemukan banyak sekutu.
          Sebagian orang berpandangan bahwa demokrasi perlu dicapai lebih dulu sebelum memperhatikan hak-hak perempuan. Namun, mengatasi marginalisasi perempuan lebih dulu sebenarnya sangat penting untuk menciptakan Mesir yang benar-benar demokratis. Masalah intinya bukan saja tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki, namun juga tentang ketidakadilan. Terlampau sering, perempuan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua dan mendapatkan ketidak adilan – mereka menghadapi pelecehan di jalanan, menjadi korban tes keperawanan oleh militer, dan tidak diberi banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik. Misalnya, para aktivis hak perempuan tidak diajak musyawarah dalam proses perancangan konstitusi. Meskipun perempuan bisa secara hukum memegang posisi seperti hakim atau jabatan tinggi politik, tekanan sosial sering kali membuat perempuan tak bisa memperolehnya.
Namun, para aktivis hak perempuan tidak berdiam diri di tengah berbagai rintangan seperti ini. Ambil contoh Bothaina Kamel, yang mencoba menggunakan haknya untuk maju menjadi calon presiden, dan merupakan kandidat presiden perempuan pertama di Mesir. Sekalipun ia akhirnya gagal mengumpulkan cukup tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang dipilih, ia memperlihatkan kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga semestinya bisa berpartisipasi dalam politik.
      Selain berbagai contoh aktivis perempuan ini, ada juga berbagai cerita tentang para lelaki yang mendukung perempuan. Banyak anggota parlemen liberal, seperti Amr Hamzawy, telah bicara tentang pentingnya membuat isu perempuan sebagai sebuah prioritas. Dukungan laki-laki telah meluas hingga tingkat akar rumput juga. Selama setahun terakhir, laki-laki telah berpartisipasi dalam aksi-aksi pawai yang digelar oleh para perempuan, dan melindungi perempuan dari pelecehan selama aksi. Selain itu, berbagai proyek seperti Harassmap, yang mencatat dan mengadvokasi pelecehan di jalanan, dan organisasi-organisasi lainnya seperti itu, memiliki banyak relawan pria.
           Satu-satunya cara untuk benar-benar mewujudkan hak-hak perempuan dalam jangka panjang adalah menyertakan perempuan dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk dalam merevisi konstitusi. Konstitusi baru Mesir harus menyerukan dihilangkannya diskriminasi berbasis gender bagaimana pun bentuknya. Tahun lalu bahkan, berbagai kelompok feminis yang bekerja untuk PBB merancang Piagam Perempuan Mesir, yang bisa menjadi sebuah model bagi konstitusi yang lebih peka Gender.
         Selain itu, para aktivis hak-hak perempuan harus terlibat dalam negara – dan berpartisipasi baik di oposisi maupun pemerintahan baru Mohamed Morsi. Satu langkah yang bisa negara ambil untuk mendorong hak-hak perempuan adalah mensponsori program-program yang dilakukan oleh berbagai organisasi perempuan, dan melibatkan perempuan dari organisasi-organisasi ini dalam kabinet baru yang sedang dibentuk. Dalam pemerintahan Prancis, Najat Vallaud-Belkacem menjadi Menteri Hak-hak Perempuan – sebuah posisi yang mungkin patut ditiru di Mesir.
        Penting juga mengingat bahwa al-Ikhwan al-Muslimun menyertakan banyak anggota perempuan. Bahkan, banyak perempuan dalam al-Ikhwan al-Muslimun menduduki peran-peran penting dalam partai dan organisasi mereka, seperti Hoda Abdel Moneim, seorang pengacara dan Ketua Komite Urusan Perempuan Partai Kebebasan dan Keadilan. Banyak perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun juga mengelola berbagai program sosial. Dari percakapan saya sendiri dengan para perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun, tampak jelas bahwa mereka memiliki hasrat tulus untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan dan secara aktif berusaha ,memperbaiki kondisi para perempuan Mesir.
             Para aktivis hak perempuan dari semua latar belakang perlu terus merapatkan barisan dan secara aktif berpartisipasi dalam transisi politik Mesir. Dalam suatu wawancara pribadi, Abdel Moneim menekankan perlunya para perempuan al-Ikhwan al-Muslimun berusaha mereformasi ruang politik dan sosial Mesir, bersama para perempuan di luar gerakan ini. Kemitraan seperti inilah yang sangat diperlukan – para aktivis dari semua perspektif, religius dan sekuler, bergabung menghadapi tantangan-tantangan di depan.[2]
                  Jadi perempuan di Mesir tidak di rendahkan derajat kemanusiaannya seperti terjadi pada kaum perempuan dalam peradaban kuno lainnya. Di dalam risalahnya as-Sayyed menulis dalam judul Kewajiban perempuan terhadap suaminya bahwa perempuan Mesir adalah istri yang patuh, Ibu rumah tangganya yang sempurna dan Ibu yang ideal. Jadi meskipun kedudukannya tinggi dalam Masyarakat, dia tetap berkhidmat terhadap suaminya. Walupun status perempuan itu tinggi dalam peradaban Mesir, namun kaumn laki-laki mempunyai prioritas dalam hal warisan dan peluang naik tahta, walaupun kaum perempuan mempunyai peluang untuk naik tahta, namun hak ini hanya di peroleh jika ahli waris laki-laki tidak ada.
                  Walupun derajatnya tinggi, namun hukum juga mengharuskan perempuan tunduk terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Hukum menetapkan bahwa tidak boleh menyentuh perempuan selama periode nifas. Ia di kurung di tempat khusus yang di sebut Hariri. Selain itu, hubungan seksual di luar nikah di anggap sebagai dosa besar dan perempuan yang melakukan hubungan seksual haram itu akan di hukum mati. Pada kenyataanya hukum pidana tidak berlaku adil karena perempuan di hukum mati begitu kesetiaan terhadap suaminya di ragukan. Satus perempuan yang tinggi dalam perdaban Mesir berlangsung selama berabad-abad, tetapi mulai memburuk setelah di bawah pengaruh peradaban Yunani, setelah runtuhnya kekaisaran romawi. Selain itu, kezaliman bangsa Romawi menyebabkan banyak bangsa Mesir meninggalkan kesia-siaan dunia ini dan memulai kehidupan biara. Maka hukum dan perundang-undangan bangsa Mesir tamat riwayatnya sebelum masa Islam. Umar Kahaleh menjelaskan bahwa demikianlah status perempuan sebelum berkuasanya kaum batavian di Mesir yang menyerahkan kaum perempuan kepada otoritas kaum laki-laki dan mencabut hak-haknya.[3]
              Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender  di Iran
Permasalahan yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Iran, ketika masa pemerintahan Reza Syah dan putranya Shah terahir, terjadi perubahan yang sangat mencolok yang terjadi pada kebijakan pemerintah terhadap kaum wanita, yaitu pelepasan cadar. Kebijakan ini kemudian memunculkan perdebatan. Kebijakan ini tidak diimplementasikan melalui konsensus atau dengan memanfaatkan para aparatur pendidikan dan resosialisasi atau dengan dukungan kuat para pionir gerakan perempuan. Akan tetapi, yang penting disini adalah, bahwa pelepasan cadar bukan satu-satunya wujud keinginan Reza Shah atau para kolonialis.Tetapi, ia memrupakan sebuah respon, betapapun otoriter dan demi kepentingan pribadi, terhadap tujuan yang telah lama diimpikan oleh para intelektual Iran, Laki-laki maupun perempuan. Selama abad ke-19 para aktifis perempuan, para guru, dan artis Iran telah berhenti memakai cadar dimuka umum sebelum menjadi kebijakan negara.
Namun pada saat ini gerakan memperjuangkan hak perempuan mengalami krisis.  Bulan Januari lalu 'Zanan', yaitu majalah perempuan terbesar di negara itu dilarang terbit. Sebulan sesudahnya pejuang hak perempuan terkemuka Iran, Parvin Ardalan, yang tahun ini mendapat anugerah hadiah Olof Palme, dengan dana sebesar 50.000 dollar AS, tidak diperkenankan meninggalkan Iran untuk menerima sendiri hadiah tsb di Swedia. Padahal saat itu ia sudah duduk dalam pesawat yang siap lepas landas, ketika lewat pengeras suara terdengar ucapan yang mengharuskannya untuk turun dari pesawat. Petugas polisi di bandar udara kemudian mengawalnya kembali, menyita paspornya, dan ia dikenakan tahanan rumah selama 72 jam.
Bulan Agustus 2006 berbagai organisasi hak perempuan di Iran menjalankan kegiatan yang berambisi tinggi. Dengan aksi pengumpulan tanda tangan mereka hendak menunjukkan bahwa dalam masyarakat Iran kaum perempuan masih terus dianak-tirikan. Mereka masih tetap merasa sebagai 'warga kelas dua'. Apakah dalam kasus perkawinan, perceraian, penerimaan warisan atau menjadi wali anak-anak, hak mereka jauh lebih kecil dari hak yang dimiliki kaum pria. Demikian pula di hadapan pengadilan, pernyataan yang dikeluarkan oleh seorang perempuan tidak sama bobotnya dengan pernyataan pria.
Oleh sebab itu kampanye berambisi dari gerakan yang memperjuangkan hak perempuan di Iran itu bertujuan mengumpulkan satu juta tanda-tangan, untuk menyingkirkan UU yang mendiskriminasi perempuan. Tetapi tuntutan mereka sama sekali tidak digubris oleh lembaga-lembaga pemerintah Iran. Bukan itu saja. Sejak masa pemerintahan Presiden Ahmadinejad, rejim penguasa semakin bersikap tegas terhadap wakil-wakil media dan organisasi HAM independen.
Tuduhan yang biasanya digunakan untuk menuduh para perempuan adalah, bahwa para aktifis perempuan itu membahayakan keamanan nasional dan menjalankan propaganda yang berlawanan dengan negara. Tetapi para aktifis kampanye pengumpulan sejuta tanda-tangan ini membantah tuduhan tsb. Aksi-aksi seperti ini merupakan cerminan kebebasan sosial dalam kerangka konstitusi. Demikian dikemukakan belum lama berselang oleh Shirin Ebadi, penerima Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2003.
Walaupun demikian para pejuang hak perempuan yang gigih, sekarang pun sudah berhasil meraih keberhasilan meskipun baru sedikit. Misalnya saja dalam soal perceraian, peraturan cuti hamil atau dalam UU ketenaga-kerjaan. Hanya saja dalam pemisahan ketat antara perempuan dan laki-laki di tempat-tempat umum, sampai sekarang boleh dikatakan hampir tidak ada perubahan. Apakah itu dalam bus umum, perkuliahan, pergelaran konser atau acara-acara olahraga.
c.       Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender  di Turki
Di Negara Turki kondisi wanita pada masa pemerintahan Kemal Attaturk sedikit lebih baik, dari berbagai kebijakan yang di lakukan oleh Kemal Attaturk yang ada tersebut itu melahirkan beberapa perubahan yang agresif, salah satunya adalah transformasi setatus wanita, dimana tersedianya pendidikan dasar bagi wanita. Persoalan wanita merupakan persoalan yang sangat krusial bagi perkembangan masyarakat turi moderen, oleh karena itu Kemal attaturk sangat memperjuangkanya hingga banyak didirikan sekolah-sekolah bagi kaum wanita yang berkembang pesat. Hal ini menjadi langkah awal bagi perkembangan Gender di Turki. Turki merupakan negara terpolarisasi dua kelompok yang berkepentingan atas kontrovesi jilbab antara kelompok muslim dan sekularis. Muslim berpendapat bahwa mengenakan jilbab adalah hak manusia dan kewajiban agama, dan beberapa sekularis melihat jilbab sebagai politik provokatif, simbol ekstremisme dan tanda “Islamisasi” masyarakat Turki.
Pada tahun 1920 dan telah terjadi perubahan yang sangat radikal, dengan adanya ketetapan dan Undang-undang di Turki pada tahun 1924 Undang-undang Turki mengharamkan Poligami, memposisikan wanita berkedudukan yang sama dengan laki-laki didalam perceraian, menegakan hak persamaan wanita dalam pendidikan dan pekerjaan, dan pada tahun 1934 Undang-undang Turki menetapkan dan menentukan hak untuk pencalonan dan dicalonkan terhadap wanita didalam pemilihan nasional dan pada tahun 1935 terpilihlah wakil rakyat turki dari kaum wanita yang pertama.




[1] http://www.eramuslim.com/dakwah-mancanegara/eksistensi-islam-di-tengah-sekulerisme-turki.htm
[2] Randa El-Tahawy, Kantor Berita Common Ground (CG.News), 6 Juli 2012, www.commongroundnews.org

     
[3] Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, hal. 39-40 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar