Kamis, 26 November 2015

responding paper islam dan kesetaraan gender dikalangan muslim indonesia kel 5

 Nama:oktavia damayanti
Nim:113032100056
ISLAM DAN KESETARAN GENDER DI KALANGAN MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA
gender merupakan karakteristik sosial sebagai laki-laki dan perempuan seperti yang diharapkan oleh masyarakat budaya melalui sosialisasi yang diciptakan oleh keluarga dan/atau masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya, interpretasi agama, struktur sosial dan politik. Kajian gender berfokus pada perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan hasil konteks sosial. Karena dalam hal ini antara laki-laki dan perempuan secara sosial dan keberadaannya berbeda dalam waktu, tempat, kultur bangsa maupun peradaban.
Kemudian di Indonesia, yang memang mayoritas penduduknya beragama Islam, bagaimana Indonesia berbicara gender?
Beberapa puluh tahun silam, ada salah satu tokoh perempuan yang terkenal akan kegigihannya dalam perjuangan melawan penjajah. Hal ini sebagai bukti bahwa seorang wanita yang ‘seharusnya’ hanya bekerja di dapur, melayani suami dan sebagainya, tetapi ini mencerminkan bahwa wanita mampu untuk melangkah maju, bahkan bisa melebihi dari keberanian seorang laki-laki. Inilah yang perlu dicontoh keberanian seorang perempuan. Tokoh perempun yang terkenal itu bernama RA. Kartini. Ada beberapa yang bisa diambil pelajaran dari apa yang dikritik oleh Kartini, diantaranya yaitu:
1) Sikap kaum bangsawan yang terkungkung oleh feodalisme Jawa yang menyesatkan
2) Terpasungnya kemerdekaan kaum wanita oleh feodalisme Jawa
3) Prilaku Jawa yang terbelenggu oleh kekuasaan yang memiskinkan dan membodohkan orang lain
4) Tertindasnya kemerdekaan Jawa sebagai bangsa oleh Belanda
Dengan pendidikan praktis yang berorientasi kepada nalar dan akhlak, Kartini berupaya menghapus semua keterkungkungan dan ketertindasan itu dan membangkitkan serta membuka cakrawala bangsanya. Dengan demikian, inti perjuangan Kartini, dengan segala pengorbanan jiwa raganya, tidak lain tertuju pada pendidikan yang mampu berfungsi sebagai instrument pembuka sekat yang memisahkan manusia dari hakikatnya sebagai manusia yang merdeka dari kemiskinan dan kebodohan. Itulah inti dari gagasan Kartini yang terungkap secara implisit dan mendominasi surat-surat dan dua notanya.
Masa Orde lama

Hengkangnya Jepang dari Indonesia karena kekalahannya dari tentara sekutu, membuat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Soekarno dan Hatta masing-masing menjadi Presiden dan Wakil Presiden setelah keduanya terlibat dalam BPUPKI yang dibentuk pada bulan Juni 1945.
Sebagai sebuah negara yang baru melepaskan diri dari belenggu penjajah, keadaan Indonesia dikepung oleh berbagai persoalan yang timbul bukan hanya dari luar melainkan juga dari dalam. Tantangan besar yang datang dari luar adalah ketidakrelaan Belanda untuk melepaskan Indonesia dari jajahannya. Sementara tantangan dari dalam adalah keadaan Republik ini sendiri  yang masih lemah, kepemimpinannya masih rawan , dan benturan penganut agama dan etnis yang masih tajam. Begitu pula dalam bidang keamanan , tidak ada orang yang memegang tongkat komando sehingga kesatuan militer yang ada bersaing ketat.
Keadaan yang serba kacau itu ditambah lagi dengan pelucutan senjata dan pembubaran kelompok militer yang dilakukan oleh Jepang sehingga Indonesia tidak memiliki satuan angkatan bersenjata regulernya.
Selama periode ini banyak sekali terjadi perubahan politik PKI mulai bangkit pada bulan Oktober 1945, begitupun  PNI yang juga dihidupkan kembali pada tahun 1946.
Pada Masa Orde baru
Naiknya Soeharto sebagai Presiden RI menggantikan Soekarno membawa perubahan pada semua aspek kehidupan di Indonesia, meskipun perubahan tersebut tidak mengarah kepada yang lebih baik. Dalam dua tahun sesudah berhasil menghancurkan usaha kudeta, Jendral Soeharto menegakkan kekuasaan militer sepenuhnya dan ia sendiri tampil sebagai presiden.
Oleh karena itu, sebagaimana layaknya negara-negara berkembang Indonesia di bawah rezim Orde Baru memiliki karakter otoriter yang tersentralisasi dari militer dan tidak diikutsertakannnya partisipasi efektif partai-partai politik dalam proses pembuatan keputusan.
Langkah pertama yang dilakukan oleh rezim Orde Baru untuk “memgembalikan keamanan dan ketertiban” nasional, pemerintah pada tanggal 12 Maret 1966, menyatakan bahwa PKI bersama-sama dengan organisasi yang berifiliasi dengan partai tersebut merupakan organisasi terlarang. Ini merupakan tonggak awal dari pembatasan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru termasuk di dalamnya termasuk organisasi perempuan. Setelah unsur-unsur kiri dalam masyarakat telah disingkirkan, menurut Weiringa, rezim Orde Baru mulai mengarahkan pada penghapusan kekuatan tengah seperti liberalisme; dan lebih jauh sebagaimana diungkapkan oleh Anita penghancuran gerakan kiri telah menghancurkan gerakan perempuan. Oleh karena itu, penegakan terhaap aktivitas organisasi perempuan telah dimulai. Orgnisasi perempuan sudah terkooptasi sedemikian rupa sehingga garis-garis kebijakannya tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah.[1]
 Peran gerakan perempuan muslim dalam memprjuangkan kesetaraan gender masa revormasi
Pembangunan nasiaonal selama tiga dasawarsa terakhir, dalam bentuk modernisasi
Bila sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling kondusif bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini semestinya pemberdayaan perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila ukuran telah berdayanya perempuan di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di sejumlah jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, jsutru ada penurunan di banidng masa-masa akhir rejim orba. Namun, secara kualitatif, peran perempuan itu semakin diperhitungkan juga di pos-pos strategis, seperti yang tampak pada komposisi kabinet kita sekarang. Ini dapat digunakan untuk menjustifikasi, bahwa mungkin saja kualitas perempuan Indonesia semakin terperbaiki.
Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan di sektor strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Bila pada jaman lampau kekerasan masih berbasis kepatuhan dan dominasi oleh pihak yang lebih berkuasa dalam struktur negara dan budaya (termasuk dalam rumah tangga), maka kini diperlengkap dengan basis industrialisasi yang mensuport perempuan menjadi semacam komoditas.[2]
 Agenda gerakan perempuan muslim kedepan
Pencapaian kaum perempuan Indonesia dewasa ini diberbagai bidang tak lepas dari peran Kartini selama hidupnya. Berbagai upaya untuk merevitalisasi cita-cita dan semangat Kartini dalam memajukan kaum perempuan Indonesia – Dharma Wanita Persatuan Pusat bekerja sama dengan United Nations millenium menyelenggarakan serangkaian acara untuk memperingati Hari Kartini, 21 April mendatang. Ketua umum PP Salimah Nurul Hidayati S.S  M.BA  menghadiri pertemuan pada Jumat, 12 maret 2010 di Gedung Dharma Wanita Persatuan Pusat dalam rangka persiapan Hari Kartini 2010.
            Menghadapi musuh bersama yang demikian, gerakan perempuan Indonesia ke depan, diharuskan menyusun strategi gerakan yang tidak lagi terdikotomis dengan gerakan sosial lainnya, seperti gerakan petani dan buruh. Hanya saja, bukan soal yang sederhana, dengan mengembangkan peran gerakan perempuan ke dalam gerakan sosial seperti ini, sebab beban gerakan perempuan memang menjadi kembali ganda, tidak saja memperjuangkan ketertindasan perempuan yang terjadi juga di hampir setiap gerakan sosial, tetapi juga memperjuangkan lebih luas pada penegakan demokrasi dan keadilan. Sebagai ilustrasi sederhana, dalam dunia gerakan petani, perempuan menghadapi diskriminasi yang luar biasa dalam area ini, sehingga mereka harus melakukan perjuangan untuk memberikan perspektif jender dalam gerakan petani. Di sisi yang lain, gerakan perempuan harus berperan strategis dalam menguatkan gerakan petani di Indonesia.




[1] Pusat Studi Wanita (PSW), Pengantar Kajian Gender, Jakarta, (PSW UIN Syarif Hidayatullah Jakarta),   2002 Hal. 41
[2] Hikmah Bafagih, “Sejarah Gerakan Perempuan” , artikel diakses pada 17 September 2013, dari http://sejarah-gerakan-perempuan.html http://

responding paper islam dan relasi gender di Mesir, Iran dan turki kel 4

 Nama: oktavia damayanti
Nim:1113032100056
Islam dan kesetaraan gender di mesir, iran dan turki
Kaum perempuan adalah salah satu kekuatan masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam mengisi kemerdekaan bangsa untuk mewujudkan sistem kehidupan dalam internal suatu negara itu sendiri maupun secara global, yang semakin memberikan penekanan pada aspek demokratisasi, perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, serta supremasi sipil.
    Gerakan perempuan atau lebih dikenal sebagai gerakan gender sebagai gerakan politik sebenarnya berakar pada suatu gerakan yang dalam akhir abad ke-19 di berbagai negara Barat dikenal sebagai gerakan “suffrage”, yaitu suatu gerakan untuk memajukan perempuan baik di sisi kondisi kehidupannya maupun mengenai status dan perannya. Inti dari perjuangan mereka adalah bahwa mereka menyadari bahwa di dalam masyarakat ada satu golongan manusia yang belum banyak terpikirkan nasibnya. Golongan tersebut adalah kaum perempuan[1]
            Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Kesetaraan Gender di Mesir
             Pada abad ke-6  Masehi, boleh di katakan Arabia adalah sebuah pulau di Timur Tengah, kawasaan terakhir yang tersisa di mana perkawinan patrialineal, patriarkal belum dilembagakan sebagai satu-satunya bentuk perkawinan yang sah; sekalipun bahkan di sana hal itupun mungkin jenis-jenis perkawinan yang di praktekkan adalah perkawinan matrilineal,  uksorilokal (sangat menggandrungi wanita wanita), yang  dijumpai  di Arabia, termasuk Makkah, sekitar masa kelahiran  Muhammad (kira kira pada abad 570 M)  wanita tetap tinggal  bersamanya, dan anak-anak yang di lahirkan menjadi suku Ibunya serta perkawinan bersifat poliandri dan poligami.
            Keberagama berbagai praktek perkawinan di Arabia pra-Islam dan adanya adat istiadat  matrilineal, termasuk  bergabungnya anak-anak bersama suku sang ibu, tidak mesti bahwa wanita mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam masyarakat atau akses lebih besar pada sumber-sumber ekonomi. Praktek-praktek ini juga tidak berkorelasi dengan adanya misogini. Sesungguhnyalah, ada bukti yang jelas bagi yang sebaliknya. Praktek pembunuhan bayi yang agaknya terbatas anak-anak perempuan, mengesankan sauatu keyakinan bahwa kaum perempuan adalah cacat dan bisa di korbankan. Ayat-ayat al- Qur’an yang mengutuk pembunuhan bayi mengesankan perasaan malu dan sikap negatif yang di asosiasikan oleh orang-orang Arab Jahiliyah dengan jenis kelamin.[1]
             Kairo adalah  Salah satu potret ikonik revolusi  Mesir adalah potret para lelaki dan perempuan yang berdiri bersama, bersatu untuk perubahan positif. Namun setelah itu, perempuan bergulat dengan masalah pelecehan seksual dan dipinggirkan dalam transisi politik. Akan tetapi, para perempuan Mesir tidak pernah berhenti berjuang – dan kini mereka tengah menemukan banyak sekutu.
          Sebagian orang berpandangan bahwa demokrasi perlu dicapai lebih dulu sebelum memperhatikan hak-hak perempuan. Namun, mengatasi marginalisasi perempuan lebih dulu sebenarnya sangat penting untuk menciptakan Mesir yang benar-benar demokratis. Masalah intinya bukan saja tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki, namun juga tentang ketidakadilan. Terlampau sering, perempuan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua dan mendapatkan ketidak adilan – mereka menghadapi pelecehan di jalanan, menjadi korban tes keperawanan oleh militer, dan tidak diberi banyak kesempatan untuk terlibat dalam politik. Misalnya, para aktivis hak perempuan tidak diajak musyawarah dalam proses perancangan konstitusi. Meskipun perempuan bisa secara hukum memegang posisi seperti hakim atau jabatan tinggi politik, tekanan sosial sering kali membuat perempuan tak bisa memperolehnya.
Namun, para aktivis hak perempuan tidak berdiam diri di tengah berbagai rintangan seperti ini. Ambil contoh Bothaina Kamel, yang mencoba menggunakan haknya untuk maju menjadi calon presiden, dan merupakan kandidat presiden perempuan pertama di Mesir. Sekalipun ia akhirnya gagal mengumpulkan cukup tanda tangan untuk bisa masuk daftar calon yang dipilih, ia memperlihatkan kepada perempuan Mesir lainnya bahwa mereka juga semestinya bisa berpartisipasi dalam politik.
      Selain berbagai contoh aktivis perempuan ini, ada juga berbagai cerita tentang para lelaki yang mendukung perempuan. Banyak anggota parlemen liberal, seperti Amr Hamzawy, telah bicara tentang pentingnya membuat isu perempuan sebagai sebuah prioritas. Dukungan laki-laki telah meluas hingga tingkat akar rumput juga. Selama setahun terakhir, laki-laki telah berpartisipasi dalam aksi-aksi pawai yang digelar oleh para perempuan, dan melindungi perempuan dari pelecehan selama aksi. Selain itu, berbagai proyek seperti Harassmap, yang mencatat dan mengadvokasi pelecehan di jalanan, dan organisasi-organisasi lainnya seperti itu, memiliki banyak relawan pria.
           Satu-satunya cara untuk benar-benar mewujudkan hak-hak perempuan dalam jangka panjang adalah menyertakan perempuan dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk dalam merevisi konstitusi. Konstitusi baru Mesir harus menyerukan dihilangkannya diskriminasi berbasis gender bagaimana pun bentuknya. Tahun lalu bahkan, berbagai kelompok feminis yang bekerja untuk PBB merancang Piagam Perempuan Mesir, yang bisa menjadi sebuah model bagi konstitusi yang lebih peka Gender.
         Selain itu, para aktivis hak-hak perempuan harus terlibat dalam negara – dan berpartisipasi baik di oposisi maupun pemerintahan baru Mohamed Morsi. Satu langkah yang bisa negara ambil untuk mendorong hak-hak perempuan adalah mensponsori program-program yang dilakukan oleh berbagai organisasi perempuan, dan melibatkan perempuan dari organisasi-organisasi ini dalam kabinet baru yang sedang dibentuk. Dalam pemerintahan Prancis, Najat Vallaud-Belkacem menjadi Menteri Hak-hak Perempuan – sebuah posisi yang mungkin patut ditiru di Mesir.
        Penting juga mengingat bahwa al-Ikhwan al-Muslimun menyertakan banyak anggota perempuan. Bahkan, banyak perempuan dalam al-Ikhwan al-Muslimun menduduki peran-peran penting dalam partai dan organisasi mereka, seperti Hoda Abdel Moneim, seorang pengacara dan Ketua Komite Urusan Perempuan Partai Kebebasan dan Keadilan. Banyak perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun juga mengelola berbagai program sosial. Dari percakapan saya sendiri dengan para perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun, tampak jelas bahwa mereka memiliki hasrat tulus untuk menduduki posisi-posisi kepemimpinan dan secara aktif berusaha ,memperbaiki kondisi para perempuan Mesir.
             Para aktivis hak perempuan dari semua latar belakang perlu terus merapatkan barisan dan secara aktif berpartisipasi dalam transisi politik Mesir. Dalam suatu wawancara pribadi, Abdel Moneim menekankan perlunya para perempuan al-Ikhwan al-Muslimun berusaha mereformasi ruang politik dan sosial Mesir, bersama para perempuan di luar gerakan ini. Kemitraan seperti inilah yang sangat diperlukan – para aktivis dari semua perspektif, religius dan sekuler, bergabung menghadapi tantangan-tantangan di depan.[2]
                  Jadi perempuan di Mesir tidak di rendahkan derajat kemanusiaannya seperti terjadi pada kaum perempuan dalam peradaban kuno lainnya. Di dalam risalahnya as-Sayyed menulis dalam judul Kewajiban perempuan terhadap suaminya bahwa perempuan Mesir adalah istri yang patuh, Ibu rumah tangganya yang sempurna dan Ibu yang ideal. Jadi meskipun kedudukannya tinggi dalam Masyarakat, dia tetap berkhidmat terhadap suaminya. Walupun status perempuan itu tinggi dalam peradaban Mesir, namun kaumn laki-laki mempunyai prioritas dalam hal warisan dan peluang naik tahta, walaupun kaum perempuan mempunyai peluang untuk naik tahta, namun hak ini hanya di peroleh jika ahli waris laki-laki tidak ada.
                  Walupun derajatnya tinggi, namun hukum juga mengharuskan perempuan tunduk terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Hukum menetapkan bahwa tidak boleh menyentuh perempuan selama periode nifas. Ia di kurung di tempat khusus yang di sebut Hariri. Selain itu, hubungan seksual di luar nikah di anggap sebagai dosa besar dan perempuan yang melakukan hubungan seksual haram itu akan di hukum mati. Pada kenyataanya hukum pidana tidak berlaku adil karena perempuan di hukum mati begitu kesetiaan terhadap suaminya di ragukan. Satus perempuan yang tinggi dalam perdaban Mesir berlangsung selama berabad-abad, tetapi mulai memburuk setelah di bawah pengaruh peradaban Yunani, setelah runtuhnya kekaisaran romawi. Selain itu, kezaliman bangsa Romawi menyebabkan banyak bangsa Mesir meninggalkan kesia-siaan dunia ini dan memulai kehidupan biara. Maka hukum dan perundang-undangan bangsa Mesir tamat riwayatnya sebelum masa Islam. Umar Kahaleh menjelaskan bahwa demikianlah status perempuan sebelum berkuasanya kaum batavian di Mesir yang menyerahkan kaum perempuan kepada otoritas kaum laki-laki dan mencabut hak-haknya.[3]
              Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender  di Iran
Permasalahan yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Iran, ketika masa pemerintahan Reza Syah dan putranya Shah terahir, terjadi perubahan yang sangat mencolok yang terjadi pada kebijakan pemerintah terhadap kaum wanita, yaitu pelepasan cadar. Kebijakan ini kemudian memunculkan perdebatan. Kebijakan ini tidak diimplementasikan melalui konsensus atau dengan memanfaatkan para aparatur pendidikan dan resosialisasi atau dengan dukungan kuat para pionir gerakan perempuan. Akan tetapi, yang penting disini adalah, bahwa pelepasan cadar bukan satu-satunya wujud keinginan Reza Shah atau para kolonialis.Tetapi, ia memrupakan sebuah respon, betapapun otoriter dan demi kepentingan pribadi, terhadap tujuan yang telah lama diimpikan oleh para intelektual Iran, Laki-laki maupun perempuan. Selama abad ke-19 para aktifis perempuan, para guru, dan artis Iran telah berhenti memakai cadar dimuka umum sebelum menjadi kebijakan negara.
Namun pada saat ini gerakan memperjuangkan hak perempuan mengalami krisis.  Bulan Januari lalu 'Zanan', yaitu majalah perempuan terbesar di negara itu dilarang terbit. Sebulan sesudahnya pejuang hak perempuan terkemuka Iran, Parvin Ardalan, yang tahun ini mendapat anugerah hadiah Olof Palme, dengan dana sebesar 50.000 dollar AS, tidak diperkenankan meninggalkan Iran untuk menerima sendiri hadiah tsb di Swedia. Padahal saat itu ia sudah duduk dalam pesawat yang siap lepas landas, ketika lewat pengeras suara terdengar ucapan yang mengharuskannya untuk turun dari pesawat. Petugas polisi di bandar udara kemudian mengawalnya kembali, menyita paspornya, dan ia dikenakan tahanan rumah selama 72 jam.
Bulan Agustus 2006 berbagai organisasi hak perempuan di Iran menjalankan kegiatan yang berambisi tinggi. Dengan aksi pengumpulan tanda tangan mereka hendak menunjukkan bahwa dalam masyarakat Iran kaum perempuan masih terus dianak-tirikan. Mereka masih tetap merasa sebagai 'warga kelas dua'. Apakah dalam kasus perkawinan, perceraian, penerimaan warisan atau menjadi wali anak-anak, hak mereka jauh lebih kecil dari hak yang dimiliki kaum pria. Demikian pula di hadapan pengadilan, pernyataan yang dikeluarkan oleh seorang perempuan tidak sama bobotnya dengan pernyataan pria.
Oleh sebab itu kampanye berambisi dari gerakan yang memperjuangkan hak perempuan di Iran itu bertujuan mengumpulkan satu juta tanda-tangan, untuk menyingkirkan UU yang mendiskriminasi perempuan. Tetapi tuntutan mereka sama sekali tidak digubris oleh lembaga-lembaga pemerintah Iran. Bukan itu saja. Sejak masa pemerintahan Presiden Ahmadinejad, rejim penguasa semakin bersikap tegas terhadap wakil-wakil media dan organisasi HAM independen.
Tuduhan yang biasanya digunakan untuk menuduh para perempuan adalah, bahwa para aktifis perempuan itu membahayakan keamanan nasional dan menjalankan propaganda yang berlawanan dengan negara. Tetapi para aktifis kampanye pengumpulan sejuta tanda-tangan ini membantah tuduhan tsb. Aksi-aksi seperti ini merupakan cerminan kebebasan sosial dalam kerangka konstitusi. Demikian dikemukakan belum lama berselang oleh Shirin Ebadi, penerima Hadiah Nobel Perdamaian tahun 2003.
Walaupun demikian para pejuang hak perempuan yang gigih, sekarang pun sudah berhasil meraih keberhasilan meskipun baru sedikit. Misalnya saja dalam soal perceraian, peraturan cuti hamil atau dalam UU ketenaga-kerjaan. Hanya saja dalam pemisahan ketat antara perempuan dan laki-laki di tempat-tempat umum, sampai sekarang boleh dikatakan hampir tidak ada perubahan. Apakah itu dalam bus umum, perkuliahan, pergelaran konser atau acara-acara olahraga.
c.       Gerakan Perempuan Islam dan Perjuangan Ketidakadilan Gender  di Turki
Di Negara Turki kondisi wanita pada masa pemerintahan Kemal Attaturk sedikit lebih baik, dari berbagai kebijakan yang di lakukan oleh Kemal Attaturk yang ada tersebut itu melahirkan beberapa perubahan yang agresif, salah satunya adalah transformasi setatus wanita, dimana tersedianya pendidikan dasar bagi wanita. Persoalan wanita merupakan persoalan yang sangat krusial bagi perkembangan masyarakat turi moderen, oleh karena itu Kemal attaturk sangat memperjuangkanya hingga banyak didirikan sekolah-sekolah bagi kaum wanita yang berkembang pesat. Hal ini menjadi langkah awal bagi perkembangan Gender di Turki. Turki merupakan negara terpolarisasi dua kelompok yang berkepentingan atas kontrovesi jilbab antara kelompok muslim dan sekularis. Muslim berpendapat bahwa mengenakan jilbab adalah hak manusia dan kewajiban agama, dan beberapa sekularis melihat jilbab sebagai politik provokatif, simbol ekstremisme dan tanda “Islamisasi” masyarakat Turki.
Pada tahun 1920 dan telah terjadi perubahan yang sangat radikal, dengan adanya ketetapan dan Undang-undang di Turki pada tahun 1924 Undang-undang Turki mengharamkan Poligami, memposisikan wanita berkedudukan yang sama dengan laki-laki didalam perceraian, menegakan hak persamaan wanita dalam pendidikan dan pekerjaan, dan pada tahun 1934 Undang-undang Turki menetapkan dan menentukan hak untuk pencalonan dan dicalonkan terhadap wanita didalam pemilihan nasional dan pada tahun 1935 terpilihlah wakil rakyat turki dari kaum wanita yang pertama.




[1] http://www.eramuslim.com/dakwah-mancanegara/eksistensi-islam-di-tengah-sekulerisme-turki.htm
[2] Randa El-Tahawy, Kantor Berita Common Ground (CG.News), 6 Juli 2012, www.commongroundnews.org

     
[3] Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, hal. 39-40 

responding paper Perempuan Agama dan perubahan sosial dalam islam kel 3

Nama: oktavia damayanti
Nim:1113032100056
    PEREMPUAN, AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL DALAM ISLAM

Feminisme sebagaimana riwayatnya, jelas merupakan hadharah (peradaban) Barat. Hadharah adalah kumpulan pemahaman tentang kehidupan, mulai dari ide dasar hingga ide-ide pengembangan dan ide perinciannya. Hadrah ini bersifat khas, tiap bangsa atau umat memiliki hadrahnya sendiri.feminisme, merupakan ide perempuan barat yang di pengaruhi kapitalisme yang sangat menganggungkan kebebasan setelah berabad-abad terkungkung dalam system gereja yang berkolusi kekaisaran. Kaum muslimin dalam sejarahnya yang panjang tidak mengenal sama sekali feminism. Sebab hadrah islam tidak mengajarkan kaum muslimin untuk hidup menindas kaum perempuan. Bahkan islam hadir di udnia dengan konsep yang jelas tentang laki-laki dan perempuan, pada saat manusia kebingungan tentang hakikat perempuan. Seminar-seminar yang di sponsori oleh bangsa Romawi di adakan untuk mendiskusikan tabiat dan karakter perempuan. Sebagai kesimpulan akhir, perempuan tidak sama dengan laki-laki, dan tidak akan di bangkitkan  pada kehidupan kedua kalinya nanti. Demikianlah pandangan Romawi hingga datangnya islam pada abad ke-7  dan gereja Roma pada abad pertengahan hingga munculnya gerakan Eropa. [1]
            Kondisi perempuan jika dilihat dari sejarah Islam baik itu ketika masa pra-Islam, masa kedatangan Rasulullah sampai pada periode pasca Islam mempunyai kedudukan yang tidak tentu dalam arti naik turun. Seperti kita lihat pada masa sebelum Islam datang, Perempuan menduduki posisi sebagai second mahluk, artinya perempuan disamakan dengan barang yang siapa saja bisa memiliki. Terutama masalah seksualitas wanita, ia hanya dipandang sebagai mesin memproduksi saja. Namun sejak kedatangan Rasulullah (kira-kira tahun 570 M), beliau membawa perubahan yang sangat radikal, dimana posisi perempuan diangkat derajatnya, meskipun masalah kesetaraan dan keadilan gender belum terlalu terlihat dengan jelas. Selanjutnya untuk memahami hal tersebut, maka dalam paper ini akan sedikit dipaparkan perinciannya.
            Kondisi Perempuan Pra Islam
Yang dimaksud dengan masa sebelum Islam adalah masa jahiliyah, yaitu suatu keadaan yang suram dan jauh dari risalah serta hilangnya jalan kebenaran, yang dialami bangsa arab khususnya dan seluruh umat manusia pada umumnya. Umat manusia hidup dalam kebobrokan moral, kecuali beberapa orang ahli kitab, dan kondisi kaum wanita saat itu sangat memilukan. Mereka hidup dalam keadaan menderita, merana dan teraniaya bahkan ada di antara mereka yang dikubur dalam keadaan hidup hingga mati. Sebuah bentuk kebencian masyarakat terhadap anak perempuan dan membiarkan hidup terhina, sebagaimana digambarkan dalam firman Allah yang artinya:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi khabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. al-Nahl :58-59)
Wanita yang sempat hidup dewasa mereka dilecehkan dan tidak memperoleh bagian dalam harta warisan. Mereka dijadikan sebagai alat pemuas nafsu para lelaki belaka. Yang ketika telah puas direguk, segera dibuang tak ada harga dan nilai. Di masa itu pula, para lelaki berhak menikahi banyak wanita tanpa batas, tidak mempedulikan akan keadilan dalam pernikahan.
Dan begitu pula keadaan wanita di lingkungan Bangsa Romawi. Mereka tidak diperlakukan melainkan hanya sebagai pemuas nafsu. atau sebagai pelayan-pelayan orang-orang kaya. tidak jauh berbeda keadaan mereka dalam lingkungan Bangsa Romawi dan di masa kejahilahan masih berkuasa.



Bukti arkeologis menunjukkan bahwa wanita dihormati sebelum bangkitnya masyarakat perkotaan dan statusnya merosot seiring dengan munculnya pusat-pusat perkotaan dan negara-negara.
Pertumbuhan masyarakat perkotaan yang kompleks dan semakin pentingnya daya saing militer lebih jauh menancapkan dominas pria dan melahirkan masyarakat yang berdasarkan kelas dimana kalangan militer dan elit istana merupakan kelas yang memiliki kekayaan. Keluarga bercorak patriarkal, yang dirancang untuk menjamin paternitas pewaris kekayaan dan kepentingan pria dalam mengendalikan seksualitas manusia, menjadi dilembagakan, dikodifikasikan dan di junjung tinggi oleh negara. Seksualitas wanita dipandang sebagai milik pria, pertama milik ayah kemudian suaminya, dan kesucian seksual wanita (keperawanan khususnya) menjadi milik yang berharga secara ekonomis dan bisa dirembugkan. Hal ini menyebabkan (sebagian yang berargumen) munculnya prostitusi dan pemberlakuan demarkasi tegas antara wanita “terhormat” (istri), yang seksualitas dan kemampuan reproduksinya menjadi milik satu orang, dan wanita yang secara seksual menjadi milik siapa saja.
            Peran perempuan dalam membangun masyarakat Muslim di masa awal Islam

Pada abad keenam Masehi, boleh dikatakan Arab adalah sebuah pulau di Timur Tengah, kawasan terakhir yang tersisa dimana perkawinan patrilineal, patriarkal belum dilembagakan sebagai satu-satunya bentuk perkawinan matrilineal, uksorilokal (sangat menggandrungi wanita.
Sekitar masa kelahiran Muhammad (kira-kira pada mengunjungi atau tinggal bersamanya, dan anak-anaknya yang dilahirkan menjadi milik suku ibunya serta perkawinan bersifat poliandri dan poligami. Keragaman berbagai praktek perkawinan di Arabia pra-Islam dan adanya adat-istiadat matrilineal, termasuk bergabungnya anak-anak bersama suku sang ibu, tidak mesti berarti bahwa wanita mempunyai kekuasaan lebih besar dalam masyarakat atau akses lebih besar pada sumber-sumber ekonomi. Prakte-praktek ini juga berkorelasi dengan adanya misogini; sesungguhnyalah ada bukti yang jelas bagi yang sebaliknya, praktek pembunuhan bayi, yang agaknya terbatas anak-anak perempuan, mengesankan suatu keyakinan bahwa kaum perempuan adalah cacat dan bisa dikorbankan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengutuk pembunuhan bayi mengesankan perasaan malu dan sikap negatif yang diasosiasikan oleh orang-orang Arab Jahiliyah dengan jenis kelamin. “Dan bila disampaikan berita kepada salah seorang dari mereka tentang (lahirnya) seorang anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) wajahnya dan ia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya nerita yang disampaikan kepadanya. Akankah dipeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah ditanamnya dalam tanah? Wahai! Alangkah buruknya putusan yang mereka jatuhkan itu.” (QS. 16:58-59).
Kehidupan dan perkawinan dua istri Muhammad, Khadijah dan ‘Aisyah, membalut jenis-jenis perubahan yang menimpa wanita di Arabia Islam. Asumsi ringkasnya tentang kepemimpinan politik sesudah wafatnya Muhammad berakar dalam adat-istiadat leluhurnya, sebagaimana kehormatan dan otoritas yang diberikan kepada masyarakat kepadanya. Diterimanya wanita sebagai partisipan dalam, otoritas tentang, berbagai masalah sentral masyarakat terus-menerus merosot dalam periode Islam berikutnya.[2]
            Marginalisasi Perempuan dalam Sejarah Islam Pasca Rasulullah
beberapa abad setelah nabi wafat, posisi sosial perempuan yang semula membaik kembali mengalami krisis. Posisi perempuan malah berbalik kembali ke nilai-nilai pra Islam. Selain masalah menguatnya lagi tribalisme (rasa kesukuan) Arab, pasca Nabi, Fatimah Mernisi memvonis adanya pelepasan historis bentuk pemahaman ajaran agama terhadap perempuan. Akibatnya sangat jelas, patriarki kembali memberi pengaruh kuat dalam menafsirkan ajaran Islam. “Perempuan kembali tidak dipercaya,” demikian tulis Mernisi dalam Women in Islam.
            Kalaupun ulama perempuan masih ada, dia tak memiliki peran yang luas seperti pada zaman Nabi. Wilayahnya hanya terbatas kepada aspek-aspek khusus yang hanya berhubungan dengan dunia mereka sendiri. Bahkan lebih dari itu, mereka justru tak jarang menjadi legitimator para penguasa untuk menarik kembali kaum perempuan dari wilayah publik. Kendati demikian, muncul juga satu dua ulama perempuan yang menentang mainstream saat itu. Tokoh-tokoh seperti Sukaynah binti Husein, Amrah binti Abd Al-Rahman (w.718 Masehi), Hafshah binti Sirin (w.718 Masehi), Zainab binti Al Syar’i dan Sayyida Nafisa adalah para ulama perempuan yang memiliki pandangan kritis dan sering menyalahi pandangan ulama laki-laki di zamannya.
Referensi:
Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits. “Wanita, Pra dan Pasca Islam” diakses pada 27 September 2013 dari
http://www.alsofwah.or.id/cetakannur.php?id=633
o  Leila Ahmad. Wanita dan Gender dalam Islam. Jakarta: Lentera, 2000



[1] Fakih Mansur, diskursus gender perspektif islam;, Surabaya ; risalah gusti, 1996. Hal. 260
[2] Leila Ahmed, Wanita  & Gender dalam Islam, terj, Nasrullah (Jakarta: PT Lentera Basritama,
1992) h.46

makalah isu-isu gender dalam Agama kel 10







 Makalah
Untuk memenuhi syarat pada mata kuliah Relasi Gender
Dosen Pembimbing: Siti Nadroh MA

Oleh:
Oktavia Damayanti   :1113032100056
                           Fahad M Al Faruq     :1113032100046
                            Ismail Sholeh             :1113032100040
                           Khilda Fauziah           :111
                                
PA ( B )         
Description: Description: Description: C:\Users\User\Documents\uin.png

Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin
UIN Jakarta
2015





























PEMBAHASAN
a.    Perempuan dalam politik
Pembahasan perempuan dalam politik menyangkut di dalamnya pembahasan tentang hak-hak politik perempuan. Yang dimaksud dengan hak-hak politik dalah hak-hak yang ditetapakan dan diakui oleh UU. Hak itu biasanya didasarkan atas status kebangsaan  dan pada umumnya UU senantiasa mensyaratkan status warga negara bagi pemilik hak. Dalam kaitannya dengan pembahasan isu-isu gender dalam agama-agama dunia, dalam islam dibahas juga mengenai hak politik perempuan yang dtidak terlepas dari pro kontra mengenai hak politik perempuan.
Mengenai sejauh hak politik yang diperoleh perempuan dalam tata dan konsep islam, terdapat pendapat yang berbeda ragam.
Pertama pendapat yang mengatakan bahwa islam tidak mengakui hak politik perempuan dan dalam bidang ini perempuan tidak dapat disejajarkan dengan laki-laki. Pendapat ini menyatakan bahwa islam tidak mengakui kesetaran perempuan dan laki-laki dalam hal kepemilikan politik. Pandangan ini secara kokoh diperkuat oleh fatwa yang dikeluarkan komisi Fatwa al-Azhar al-Syarief.
Hujat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali pun mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan itu tidak sah, meskipun dia menyandang segala sifat kesempurnaan dan dapat mengambil tindakan mandiri. Bagiamana perempuan diperbolehkan mencalonkan diri sebagai pemimpin, sedangakn kewenangan dan kelayakan menjadi hakim dan saksi dihampir semua struktur pemerintahan saja tidak pernah dimilikinya. Selain itu, perempuan tidak sepenuhnya memilki kuasa atas dirinya sendiri, sampai-sampai tidak punya kuasa untuk menikah sendiri. Karna itu, jangan diberi kuasa atas perkara lain. Sebagaimana ayat dalam Al-Quran:

ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ    
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menapkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
                                                                                           
Pendapat kedua adalah adalah bahwa perempuan layak memperoleh hak politik seperti halnya laki-laki, Ia berhak menduduki semua jabatan politik.[1] Sebagian sepakat asal dengan catatan bahwa tidak untuk menjadi pemegang jabatan sebagai pemimpin negara.[2] Pendapat ini juga didukung oleh dalil dalam Al-Qur’an surat al-Tawbah ayat 71:
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 šcrâßDù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# šcqßJŠÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# šcqè?÷sãƒur no4qx.¨9$# šcqãèŠÏÜãƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷Žzy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÐÊÈ  
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Ayat tersebut menunjukan bahwa perempuan dan laki-laki sejajar, keduanya memiliki peran yang sama dalam mengatur dan mengelola urusan-urusan masyarakat, perempuan setara dengan laki-laki, ia memiliki hak sebagai pemimpin bagi publik.
Dan Abdul Hamid Mutawali dalam karyanya Nizham al-Hukm fi al-Islam yang didukung oleh Hazim Abdul Muta’al al-Sha’yadi dalam karyanya al-Nazharriyah al-Islamiyyah li al-Dawlah mengemukakan pendapat bahwa hak politik bagi perempuan adalah persoalan Sosial-Politik bukan persoalan agama, dan bahwa hukum Syar’i yang mengharamkan perempuan menggunakan hak-hak politik itu tidak ada. Karenanya salah jika masalah ini dipecahkan dari perspektif agama atau fikih. Akan tetapi masih banyak yang beranggapan bahwa hak politik perempuan adalah tidak ada dan Syara’ melarang akan kiprah perempuan di dunia perpolitikan.
Secara historis, telah terjadi perlakuan yang tidak seimbang, yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sejarah peradaban manusia banyak didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga laki-laki mendominasi semua peran di masyarakat sepanjang sejarah, kecuali dalam masyarakat yang matriarkal yang jumlahnya sangat sedikit. Jadi, sejak awal sudah terjadi ketidaksetaraan gender yang menempatkan perempuan pada wilayah yang marginal. Peran-peran yang dimainkan kaum perempuan hanyalah peran-peran di sekitar rumah tangga. Sementara itu, kaum laki-laki dapat menguasai semua peran penting di tengah-tengah masyarakat. Dari sini muncullah doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap tidak cocok memegang kekuasaan ataupun memiliki kemampuan seperti yang dimiliki laki-laki dan karenanya perempuan tidak setara dengan laki-laki. Laki-laki harus memiliki dan mendominasi perempuan.
Sebelum Islam datang, perempuan mengalami masa sejarah yang gelap, yaitu fakta dan realitas historis mengungkapkan betapa hinanya perempuan pada saat itu. Seorang ayah akan merasa malu kalau mempunyai anak perempuan, dan rela mengubur anaknya hidup-hidup, sebagaimana disinyalir dalam Al-Quran surat an-Nahl 58-59:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi khabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami bahwa sebahagian besar tradisi jahiliah terhadap perempuan sangat tidak manusiawi. Perempuan merupakan manusia yang tidak diketahui oleh undang-undang, Pada masa jahiliah, perempuan dianggap sebagai harta yang dapat dimiliki, dijual dan diperlakukan sesuai dengan keinginan, Perempuan tidak memiliki hak talak, karena itu suami dapat menceraikan istrinya kapanpun ia kehendaki, Perempuan tidak memiliki hak waris, tetapi perempuan dapat diwariskan seperti harta benda, Perempuan tidak memiliki hak mengasuh anak, karena anak dalam tradisi jahiliah dimiliki oleh keluarga laki-laki, Perempuan tidak memiliki kebebasan untuk membelanjakan harta benda yang dimiliki, dan bayi perempuan dikubur hidup-hidup.
Akan tetapi setelah datangnya Islam, masa suram tersebut memberikan cahaya yang terang terhadap perempuan. Perlakuan yang tidak manusiawi pada masa jahiliah telah merubah posisi perempuan menjadi dihormati dan dihargai.[3]
Menurut Asghar masalah al-Quran yang melebihkan laki-laki atas perempuan karena nafkah sesungguhnya adalah masalah kesadaran sosial dan penafsiran yang tepat. Kesadaran perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domistik dianggap sebagai kewajiban perempuan. Selain itu laki-laki menganggap dirinya lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk perempuan (Engineer, 1994: 62-3). Ditambahkan oleh Asghar, dengan keadaan-keadaan yang terus berubah dan kesadaran yang semakin kuat di kalangan perempuan, konsep mengenai hak-hak mereka akan berubah.[4]
Untuk itu sesungguhnya Islam muncul dengan konsep hubungan manusia yang berlandaskan keadilan dan kesetaraan antara kedudukan perempuan dan laki-laki. Selain dalam hal pengambilan keputusan, perempuan dalam Islam juga memiliki hak-hak ekonomi (memiliki harta). Dengan begitu Islam justru menumbangkan sistem sosial yang tidak adil terhadap perempuan dengan menggantikan posisi yang adil.        [5]
Dalam bidang kepemimpinan, Islam bertolak dari status manusia sebagai khalifah. Akhir surah al-Ahzâb mempertegas kekhalifahan manusia ini di muka bumi sebagai pengemban amanat Allah untuk mengolah, memelihara, dan mengembangkan bumi. Inilah tugas pokok manusia –tidak berbeda antara perempuan dengan laki-laki.
Mengenai status kekhalifahan tadi, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa semua manusia adalah pemimpim “Kaliah semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. Islam mengangkat derajat manusia dan memberikan kepercayaan yang tinggi, karena setiap manusia secara fungsional dan social adalah pemimpin.[6]
Rasulullah memberikan gambaran yang lebih konkret, yaitu di dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam perkembangan budaya beliau menempatkan laki-laki dan perempuan pada bidang tertentu, tapi masing-masing tetap berpotensi sebagai pemimpin.  Itu yang ditegaskan dalam lanjutan hadits tadi, “Lelaki adalah pemimpin keluarga, sementara perempuan adalah pemimpin di rumah tangga”. Ini adalah penjelasan yang berkaitan dengan perkembangan peradaban dan budaya manusia, yang pada gilirannya menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga, artintya laki-laki berfungsi sebagai suami, dan ayah itu berarti pemimpin untuk seluruh keluarga.
Biasanya yang dipersoalkan orang adalah kepemimpinan perempuan di dalam dunia politik berdasarkan hadits lâ yaflâhû qaumun wallau amrahum imra’atûn (tidak akan sukses suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan). Perlu kita catat bahwa kualitas hadits tersebut bukan shahih, karena tidak termuat dalam kitab Shahihaini, tapi hadits ini masyhur beredar. Namun kemudian hadits ini dijabarkan di dalam beberapa pemikiran fiqih secara tekstual, sehingga perempuan tidak boleh menjadi pemimpin masyarakat. Akan tetapi, tidak ada kitab fiqih yang mengatakan perempua tidak boleh menjadi pemimpin di dalam rumah tangga, semua kebudayaan mengakui hal ini. hanya yang dipermasalahkan adalah kepemimpinan yang di luar rumah tangga. Hal ini juga ada kaitannya dengan perempyuan karier yang bekerja di luar rumah tangga.
Mengenai hadits tadi, sebagian ulama berpendapat bahwa perempuan tidak boleh memegang jabatan penting seperti jabatan kepala Negara, hakim, dan sebagainya. Akan tetapi, kalau kita lihat realitasnya dalam sejarah Islam, banyak perempuan Islam yang tampil sebagai pemimpin. Aisyah, istri Nabi Muhammad Saw. diakui sebagai seorang mufti. Maka dia memberikan fatwa sekali bersahabat Nabi yang lain (Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas, dll). Bahkan kedudukannya sebagai panglima pada perang Unta juga diakui. Kemudian di dalam perkembangan sejarqah Indonesia juga banyak terdapat tokoh, pahlawan, dan raja wanita, seperti Cut Nyak Dien di Aceh. Di dalam al-Qur’an disebutkan juga tentang seorang ratu di zaman Nabi Sulaiman, yaitu Ratu Balqis.
Kemudian Imam Thabari mempertegas bahwa, walaupun kita menggunakan hadits tadi sebagai dasar hukum, tetapi hanya manyengkut satu masalah khusus, yaitu bahwa perempuan tidak boleh memegang pucuk pimpinan tertinggi Negara, perempuan tidak bisa jadi khalifah, tapi selain itu bisa. Ada tiga Negara Islam yang saat ini menampilkan perempuan sebagai pemimpin, yaitu Pakistan, Bangladesh, dan Turki, tentu di Negara-negara tadi banyak ulama dan mengerti, namun karena luasnya wawasan mereka, maka mereka bisa menerima perempuan sebagai pemimpin.[7]

Kepemimpinan Perempuan dalam Kristen
Masyarakat  Yunani  yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, tidak banyak  membicarakan  hak  dan  kewajiban wanita.  Di kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan (disekap) dalam istana-istana. Dan di kalangan bawah,  nasib wanita    sangat   menyedihkan.   Mereka   diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga  sepenuhnya  berada  di  bawah kekuasaan  suaminya.
Dalam  peradaban  Romawi,  wanita sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut  pindah ke  tangan  sang  suami.  Kekuasaan  ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh.
Di Alkitab ada beberapa ayat yang menyinggung peranan pria dan wanita dalam konteks kepemimpinan (1 Korintus 11:2-16; 14:33-35). Namun, yang paling gamblang adalah bagian yang ditulis oleh Rasul Paulus.[8] Paulus tidak mengizinkan kepemimpinan wanita atas pria. Sebaliknya, Paulus meminta wanita untuk tunduk kepada kepemimpinan pria.
Adapun argument Paulus terhadap hak kepemimpiman perempuan, maka landasan yang Paulus gunakan untuk mendukung argumennya bukanlah landasan budaya. Paulus menggunakan dasar argumen yang tidak terikat oleh waktu. Mari kita lihat argumen yang ia gunakan. Pertama, Paulus menguraikan mata rantai atau hierarki otoritas sebagai tumpuan argumennya, dan ini bersifat lintas budaya, yakni: “Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari Kristus adalah Allah.” (1 Korintus 11:3); kedua, Kedua, Paulus menjelaskan makna rohani yang terkandung dalam penciptaan berdasarkan urutan penciptaan itu sendiri, yakni “… laki-laki … menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki.” (1 Korintus 11:7-8);Ketiga, Paulus memakai landasan historis untuk mendukung argumennya, yakni “Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa.” (1 Timotius 2:13-14).
Debora yang adalah istri Lapidot (Hakim-Hakim 4), memerintah sebagai hakim di Israel dan ini menandakan bahwa kepemimpinan tertinggi saat itu dipegang oleh seorang perempuan. Tuhan Yesus pun melibatkan perempuan dalam pelayanan-Nya sebagaimana dicatat oleh Lukas, di antaranya adalah Maria Magdalena, Yohana istri Khuza bendahara Herodes, dan Susana yang berperan besar sebagai penyandang dana bagi Tuhan Yesus dan para murid-Nya (Lukas 8:2-3).
Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaannya, ternyata yang terpenting adalah tujuannya — ketertiban — bukan sarananya — otoritas laki-laki atas perempuan. Tuhan tidak antiperempuan dan Ia melibatkan perempuan dalam pekerjaan-Nya. Hal ini terbukti dari pelbagai karunia yang Ia berikan kepada kita, tanpa mengenal perbedaan gender (1 Korintus 12, Roma 12:4-8, Efesus 4:7-12, 1 Petrus 4:10-11 ). Kenyataannya ialah baik laki-laki maupun perempuan, keduanya setara di hadapan Tuhan; keduanya adalah penerima pelbagai karunia Tuhan; dan keduanya dilibatkan dalam pekerjaan Tuhan. Firman Tuhan menegaskan, “Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan dan segala sesuatu berasal dari Allah.” (1 Korintus 11:11-12) Jadi, dasar penetapan hierarki otoritas bukanlah perbedaan kualitas, melainkan perbedaan fungsi dan kewajiban, sedangkan tujuannya adalah ketertiban — terutama di dalam keluarga.[9]

b.        Aborsi
Aborsi adalah pengguguran kandungan (janin) sebelum sempurna masa kehamilan –baik dalam keadaan hidup ataupun tidak- sehingga keluar dari Rahim dan tidak hidup, baik itu dilakukan dengan obat ataupun selainnya, oleh yang mengandungnya maupun oleh orang lain.
Aborsi biasa dilakukan akibat pergaulan bebas sehingga terjadi yang diistilahkan dengan kecelakaan, yakni hamil tanpa didahului oleh akad nikah yang sah. Kehamilan itu tidak dikehendaki karena takut menanggung aib. Tentu saja masih ada sebab lain, misalnya karena kehamilan yang dapat membawa dampak buruk terhadap ibu dan anak, atau karena kehamilan yang tidak diinginkan lagi sebab khawatir memikul beban ekonomi tambahan.[10]
Namun aborsi menjadi bahan pembicaraan yang lain ketika hal tersebut menimpa kepada wanita korban perkosaan, dimana pilihan melakukan aborsi dilakukan karena judge masyarakat yang memang tidak semuanya akan menerima kepada kondisi si korban pemerkosaan, dan tetap akan mencemooh kepada si korban yang akan menimbulkan tekanan batin kepada korban pemerkosaan tersebut. Pemerkosaan terjadi memang karena selain dari perlindungan terhadap kaum perempuan masih sangat minim kalau pemakalah menilainya, karena upaya untuk melindungi perempuan dari tindak perkosaan sangatlah minim. Dan juga payung hokum bagi korban pemerkosaan yang menuntut keadilan hukum sebagai warga negara yang mendapat perlakuan yang sama juga sangatlah minim, karena di banyak kasus pemerkosaan terhadap perempuan, banyak sekali para pelaku pemerkosaan yang tidak terjerat oleh hukuman pidana yang setimpal atau bahkan tidak terjerat hukum sama sekali. Dan itulah realita keadilan di negri kita Indonesia, bahkan di dunia global, bahwa keadilan yang tidak didapat oleh para korban pemerkosaan cenderung untuk lebih memilih melakukan aborsi agar tidak menanggung beban malu dan tekanan bathinnya yang tidak mendapat keadilan.
Aborsi dalam Teologi Hinduisme tergolong pada perbuatan yang disebut Himsa karma yakni salah satu perbuatan dosa yang disejajarkan dengan membunuh, meyakiti, dan menyiksa. Membunuh dalam pengertian yang lebih dalam sebagai “menghilangkan nyawa” mendasari falsafah atma atau roh yang sudah berada dan melekat pada jabang bayi sekalipun masih berbentuk gumpalan yang belum sempurna seperti tubuh manusia. Oleh karena itulah perbuatan aborsi disetarakan dengan menghilangkan nyawa. Kitab-kitab suci Hindu antara lain menyatakan: “Ma no mahantam uta ma no arbhakam” artinya: Janganlah mengganggu dan mencelakakan bayi.[11] “Anagohatya vai bhima” artinya: Jangan membunuh bayi yang tiada berdosa.[12] Dan: “Ma no gam asvam purusam vadhih” artinya: Jangan membunuh manusia dan binatang.[13]
Dalam Alkitab dikatakan dengan jelas betapa Tuhan sangat tidak berkenan atas pembunuhan seperti yang dilakukan dalam tindakan aborsi. Jangan pernah berpikir bahwa janin dalam kandungan itu belum memiliki nyawa.[14]
Hukuman bagi para pelaku aborsi dalam agama Kristen sangat keras. Yaitu nyawa si bayi harus diganti dengan nyawa lagi.[15] Aborsi karena alasan janin yang cacat tidak dibenarkan Tuhan.[16] Dan aborsi karena untuk menutup aib dengan alasan perkosaan juga tidak dibenarkan dalam agama Kristen.

c.       Homoseksualitas
Pada awalnya dalam pembelajaran psikologi kaum homoseksual ataupun lesbian dimasukan dalam kategori manusia abnormal begitu juga dengan biseksual, hal tersebut sesuai dengan DSM (Diagnostik and statistcal manual of mental).
Pada dasarnya manusia itu memiliki potensi untuk menjadi homoseksual ataupun lesbian hal tersebut di karnakan pada usia pubertas manusia memiliki pembawaan biseksual dimana pada saat usia ini manusia dapat dengan mudah mencintai ataupun menyukai teman pria ataupun wanitanya, jika pada anak yang normal maka anak tersebuat akan berkembang memiliki sifat heteroseksual yaitu sikap menyukai lawan jenisnya. Hal tersebut sangat berpengaruh pada lingkungan yang membentuk seseorang dalam menemukan jati dirinya, para kasus homo ataupun lesbian biyasanya terbentuk karna faktor lingkungan, di mana banyak para homo ataupun lesbi yang memiliki trauma terhadap seseorang yang mempengaruhi pola perilaku di masa depanya.
Seseorang yang memiliki kelainan sek homoseksual biyasanya lebih peka dalam lingkungannya dan lebih protektif terhadap pasangan sesama jenisnya, kepekaanya terhadap lingkungan tersebut untuk mengetahui sesamanya, biyasanya kepekaan tersebut terjadi dalam mencari pasangan sesama jenisnya.[17]
Dan karena rumah tangga juga menjadi faktor homoseksualitas, maka di sini peranan gender dalam rumah tangga sangat diperlukan, dimana keutuhan rumah tangga dan proteksi orang tua kepada anaknya harus sama-sama memberikan proteksi kepada anak agar jangan sampai menjadi korban kekerasan seksual dan menimbulkan traumatis yang menyebabkan anak menjadi seorang homoseksual.
d.      Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (merasa kuat) kepada seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lemah (dipandang lemah/dilemahkan), yang dengan sengaja dilakukan untuk menmbulkan penderitaan kepada obyek kekerasan. Kekerasan terjadi di masyarakat dapat dikategorikan menjadi 5 macam, yaitu:
a.       Kekerasan berbasis etnis
b.      Kekerasan berbasis budaya
c.       Kekerasan berbasis politik
d.      Kekerasan berbasis agama
e.       Kekerasan berbasis gender

Kekerasan berbasis gender merupakan jenis kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap jenis kelamin yang berbeda, seperti laki-laki melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan atau sebaliknya. Perempuan lebih dominan menjadi korban kekerasan gender antara lain disebabkan terjadinya diskriminasi gender.
Pengertian Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut undang-undang nomor 23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbul kesengsaraan atau penderitaan secara pisik, seksual, psikologis dan/ penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hokum dalam lingkup rumah tangga.
Berdasarkan data yang direkam dari berbagai lembaga pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga dan kasus yang ditangani oleh kepolisian, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi adalah:
1.      Kekerasan fisik
2.      Kekerasan seksual
3.      Kekerasan psikis
4.      Kekerasan ekonomi/penelantaran ekonomi[18]
Terdapat beragam alasan terjadinya KDRT, antara lain budaya patriarki yang menempatkan posisi pihak yang memiliki kekuasaan merasa lebih unggul. Selain itu, interpretasi agama yang tidak sesuai dengan nilai-nilai universal agama. Agama sering digunakan sebagai legitimasi pelaku kekerasan terutama dalam lingkup keluarga,[19] padahal agama menjamin hak-hak dasar seseorang, seperti cara memahami Nusyuz, yakni suami boleh memukul istri dengan alas an mendidik atau ketika sitri tidak mau melayani kebutuhan seksual suami maka suami berhak memukul dan ancaman bagi istri adalah dilaknat oleh malaikat.
Kekerasan juga berlangsung justru mendapatkan legitimasi masyarakat dan menjadi bagian dari budaya, keluarga, negara, dan praktek di masyarakat, sehingga menjadi bagian kehidupan yang sulit dihapuskan, kendatipun terbukti merugikan semua pihak.[20]
Berikut kami pemakalah akan memaparkan sedikit ulasan kekerasan dari agama Kristen (Katolik) yang berbeda. Misalnya, seorang perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga katolik juga dipengaruhi dan terkait dengan budaya setempat dan Gereja lokal yang sangat patriarkis-yang menggunakan ajaran agama untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Permasalahan kekerasan dapat ditemui di beberapa daerah, dimana budaya patriarkis setempat sangat kuat bertautan dengan ajaran agama (Gereja) yang patriarkis, seperti hampir dalam semua budaya di Indonesia. Kekerasan yang dialami seorang perempuan katolik mencakup pula wilayah tangga, komunitas (agama dan budaya), maupun negara. Hal ini biasanya terjadi di wilayah-wilayah konflik, seperti perbatasan Timor, Maluku, Papua, dan sebagainya.[21]
Pengalaman para perempuan ini menjadi sumber repleksi mengkritisi peran agama di dalam persoalan kekerasan terhadap perempuan. Kitab Suci menurut Elisabeth Schüssler Fiorenza, di dalam perjuangan bertahan hidup serta pembebasan dari dalam masyarakat dan gereja yang patriarkis, perempuan menemukan kitab suci telah digunakan sebagai alat untuk menentang perempuan.[22] Namun demikian, pada saat yang sama, kitab suci juga bisa menjadi sumber keberanian, pengharapan, dan komitmen dalam perjuangan para perempuan. Sehingga menurut Schüssler Fiorenza, yang perlu dilakukan dalam interpretasi feminis bukanlah mempertahankan kita suci untuk melawan para pengkritik feminis, melainkan untuk mahami dan menafsirkannya sedemikian rupa sehingga kekuatan penindasan dan pembebasannya sangat jelas dan dapat dikenali.[23]
Ilmu tafsir membantu menemukan siapa dan maksud si penulis, jenis sastra yang ia gunakan, serat sidang pembacanya. Orang katolik diajak membedakan ajaran ilahi dari asumsi-asumsi budaya zaman itu. Seperti ditandaskan oleh Konsili Vatikan II (1962-1965), yang benar dalam kitab suci adalah hanya apa yang dikehendaki Tuhan Bapak demi keselamatan manusia, sebagaimana Katolik dalam Konsili Vatikan II jelas menentang berbagai macam bentuk kekerasan.[24]

e.         Perdagangan Perempuan dan Anak
            Berkembangnya pasar bayi internasional yang besar, yang diorganisir melalui mekanisme pengangkatan anak (adopsi). Pada dasawarsa 1990-an diperhitungkan bahwa anak angkat memasuki Amerika Serikat setiap 48 menit[25] dan pada awal dasawarsa 1990-an, Korea Selatan saja 5700 bayi diekspor setiap tahunnya ke Amerika Serikat.[26] Sekarang ini, apa yang oleh kaum feminis disebut sebagai perdagangan anak internasional telah meluas juga di negeri-negeri bekas sosialis, terutama di Polandia dan Rusia, di mana penemuan badan-badan yang menjual anak-anak (pada 1994 lebih dari 1500 anak diekspor ke Amerika Serikat saja) telah menguakan skandal nasional. Kita juga menyaksikan berkembangnya peternakan bayi, dimana anak-anak diproduksi khusus untuk ekspor dan meningkatnya perempuan yang dipekerjakan sebagai ibu pengganti. Ibu pengganti, serta pengangkatan anak memungkinkan kaum perempuan dari negeri-negeri kapitalis maju untuk menghindari resiko menghentikan karir mereka, atau membahayakan kesehatan mereka karena melahirkan anak.
            Di sejumlah negeri Asia (Muangthai, Korea Selatan, Filiphina) industry seks dan wisata seks yang melayani konsumen internasional mulai wisatawan sampai pegawai perusahaan-perusahaan Jepang yang dalam tahun belakangan ini mendapat bonus “perjalanan kenikmatan” dan angkatan bersenjata AS yang sejak perang Vietnam menggunakan negeri-negeri ini sebagai tempat istirahat dan rekreasi. Pada akhir dasawarsa 1990-an diperkirakan bahwa di Thailand saja, dari 52 juta penduduk, 1 juta perempuan bekerja diindustri seks. Juga terjadi peningkatan jumlah perempuan dari dunia ketiga atau negeri-negeri bekas sosialis, yang bekerja sebagai pelacur di Eropa, Amerika Serikat dan Jepang yang kebayakan bekerja sebagai budak seperti perempuan-perempuan Muangthai yang dipekerjakan di sebuah border di New York di mana mereka ditawan oleh organisasi yang membayar biaya perjalana mereka di AS dan telah membujuk mereka untuk datang di AS untuk diberi pekerjaan.
            “Perdagangan”  “pengantin perempuan melalui pos” yang pada dasawarsa 1980-an telah berkembang pada skala internasional. Di AS saja sekitar 3500 lelaki setiap tahunnya menikah dengan perempuan yang dipilih melalui pesanan pos. dalam amat sangat banyak kasus pengantin perempuan adalah perempuan muda dari kawasan-kawasan termiskin di Asia tenggara atau Amerika Serikat meskipun baru-baru ini perempuan-perempuan dari Rusia dan negeri-negeri bekas sosialis juga memilih ini sebagai sarana untuk emigrasi. Pada tahun 1979, 7759 perempuan Filipina telah meninggalkan negerinya dengan cara ini. perdagangan pengantin perempuan pesanan pos ini di satu sisi mengeksploitasi kemiskinan luar biasa kaum perempuan dan di sisi lain mengoksploitasi seksisme dan rasisme kaum laki-laki Eropa dan Amerika yang menginginkan seorang istri yang bisa dikontrol sepenuhnya dan manfaatkan kerentanan kaum perempuan yang terpaksa menerima pilihan ini.[27]

f.       Tenaga Kerja Wanita (TKW)
Tenaga kerja wanita (TKW) memang merupakan fenomena masyarakat Indonesia kalangan menengah ke bawah untuk mengejar ketertinggalan ekonomi keluarga mereka, dan seolah menjadi daya tarik bagi para wanita di Indonesia khususnya, karena gaji yang didapat dari bekerja sebagai TKW bisa mencukupi kebutuhan keluarga para TKW.
Dipekerjakannya secara besar-besaran emigrant perempuan yang datang dari Asia, Aprika, Kepulauan Karibia, Amerika Selatan, sebagai pekerja rumahtangga di negri-negri industri, serta di Negri Timur Tengah penghasil minyak. Dipekerjakannya para TKW dengan upah yang rendah membersihkan rumah, mengurus anak-anak, memasak makanan, dan lain-lain, dalam artian melayani keluarga orang lain sementara keluarganya sendiri ditinggalkan merupakan pilihan yang menyakitkan bagi para TKW.[28]
Namun menjadi TKW bukanlah tanpa resiko, karena para TKW berada pada bahaya yang berhubungan dengan posisi yang secara social dan hokum rentan. Beberapa kasus contoh kekerasan yang dialami TKW oleh para majikannya dari mulai tidak dibayarnya upah, penyiksaan pisik, penyiksaan psikis, tuduhan palsu oleh majikan, dan bahkan pembunuhan oleh para majikannya.
Namun kasus-kasus tersebut tidak lantas mengurangi minat para wanita untuk menjadi TKW di luar negri, mereka tetap bertekad berangkat menjadi TKW dengan pembekalan keterampilan dan bahasa tentunya walaupun mereka dibayangi oleh resiko  kekerasan yang bisa saja mereka alami di tempat mereka bekerja.

g.        HIV/Aids, Narkoba, dan Pornografi
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeviency Virus (HIV) yang menyerang system kekebalan tubuh yang berakibat seseorang menjadi rentan terhadap inveksi dan kanker. Biasanya penyakit ini menyerang dengan memanfaatkan kesempatan ketika kekebalan tubuh menurun. Virus HIV dapat menular melalui jarum suntik, transfuse darah, hubungan seksual, dan sebagainya.
Mengingat penyebaran HIV/AIDS demikian cepat, salah satu bentuk penyebarannya adalah melalui hubungan seksual. Kontak seksual ini pada awalnya menjadi fenomena kalangan homoseksual, namun untuk selanjutnya menyebar pula melalui hubungan hetero seksual. Salah satu pasangan suami istri bisa tertular virus HIV jika satu saja diantara keduanya yang melakukan hubungan seks beresiko. Sejumlah kasus di masyarakat bahwa istri tiba-tiba dinyatakan tertular padahal dia sebagai istri yang solehah yang tidak pernah melakukan perbuatan zina. Penularan virus ini disebabkan suami yang pernah melakukan hubungan seks dengan pengidap virus HIV. Karena itulah perempuan dalam beberapa kasus mengalami gangguan kesehatan reproduksi sebagai dampak bukan sebagai pelaku.
Keluarga sebagai lembaga terkecil di masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari segala macam bentuk penyakit. Perlindungan ini berfungsi mengembangkan dan keberlangsungan reproduksi sehat dalam keluarga. Penyadaran kesehatan reproduksi sejak awal harus ditanamkan dalam keluarga baik bagi anak laki-laki maupun perempuan. Mengenali sejak dini bagi anggota keluarga akan bahaya HIV/AIDS, penyebabnya, bentuk-bentuk penyebarannya, dan dampaknya terhadap kesehatan reproduksi, dampak social, psikologinya, bagaimana cara menghindarinya, dan sebagainya sangat urgent sebagai tindakan prefentif perlindungan keluarga.[29]
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif.
Semua istilah ini, baik "narkoba" ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut pakar kesehatan, narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk penyakit tertentu.[butuh rujukan] Namun kini persepsi itu disalahartikan akibat pemakaian di luar peruntukan dan dosis yang semestinya.[30]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, Pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi.[31]
Sedangkan W.F. Haung menyebutkan pornografi adalah penggunaan refresentasi perempuan (tulisan, gambar, foto, video dan film) dalam rangka manipulasi hasrat (desire) orang yang melihat, yang di dalamnya berlangsung proses degradasi perempuan dalam statusnya sebagai “objek” seksual laki-laki.[32]




















Daftar Pustaka
Budi Kleden. Dr. Paulus, Dkk. Memecah Kebisuan Agama Mendengar Perempuan Korban kekerasan Demi Keadilan, Respon Katolik. Jakarta: Komnas Perempuan, 2009.
Djohantini, MM., M.SI. Dra Noordjannah, dkk. Memecah Kebisuan Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan. Jakarta: Komnas Perempuan. 2008.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka, 1990.
Fiorenza. Elisabeth Schüssler. Bread Not Stone: The Challenge of Feminist Biblical Interpretation. Boston: Beacon Press, 1986.
Federici. Silvia. Reproduksi & Perjuangan Feminisme Dalam Pembagian Kerja Internasional Baru. Jakarta. Kalyanamitra: 2000.
Hulwati, Perempuan Dalam Wacana Politik Islam, Jurnal Ilmiah Kajian Gender.
Marzuki, (2008) “KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM BIDANG POLITIK PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW. DAN MASA KHULAFAUR RASYIDIN (SUATU KAJIAN HISTORIS)”. Humaniora, 13 (1). ISSN 1412-4009.
Mufidah Ch, M.Ag. Dra. Hj. Psikologi Keluarga Islam. Yogyakarta. UIN-MALANG PRESS: 2008.
Munir. Lily Zakiyah, Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam, Bandung: Penerbit Mizan, 1999.
Raymon. J. Women as Wombs : The New Reproductive Tecnologies an the Struggle for Women’s Freedom. San Fransisco: Harpres and Co, 1994.
Shihab. M. Quraish. Perempuan. Ciputat. Penerbit Lentera Hati: 2005.
https://afifrizqonhaqqi.wordpress.com/2013/01/27/kepemimpinan-perempuan-dalam-perspektif-agama-agama-islam-dan-kristen/ ,diakses tangga; 17 September 2015, pukul 11.41.
http://psikologiaja.blogspot.com/2011/02/sejarah-dsm.html diakses tangga; 17 September 2015, pukul 11.41. 
https://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba diakses pada 17 September 2015 pukul 11:15
http://www..com/2012/05/pengertian-pornografi.html diakses pada 17 September 2015 pukul 11:15.



[1] Pendapat ini dianut oleh kalangan Khawarij, terutama sekte al-Syabibah. Bagi mereka asalkan berasal dari golongan dan dalam urusan pemerintahan mereka, perempuan berhak menjadi pemimpin. Lihat al-Baghdady, al-Farq bayn al-Firaq, h, 90
[2] Lihat ibn Qudamah, al-Mughni, jilid XI, h, 375
[3] Hulwati, Perempuan Dalam Wacana Politik Islam, Jurnal Ilmiah Kajian Gender, h. 64-65.
[4] Marzuki, (2008) “KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM BIDANG POLITIK PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW. DAN MASA KHULAFAUR RASYIDIN (SUATU KAJIAN HISTORIS)”. Humaniora, 13 (1). ISSN 1412-4009, h. 3-4.
[5] Hulwati, “Perempuan Dalam Wacana Politik Islam”, Jurnal Ilmiah Kajian Gender, h. 66.
[6] Lily Zakiyah Munir. Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam. (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 69-70.
[7] Lily Zakiyah Munir, Memposisikan Kodrat : Perempuan dan Perubahan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h.70-73.
[8] Perkataan Paulus mengenai kepemimpinan perempuan: “Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri.” (1 Timotius 2:11-12). Kata “memerintah” pada ayat di atas, dapat pula diterjemahkan “memiliki otoritas atau kuasa”, dalam hal ini atas pria. Kepada jemaat di Korintus, Paulus mengulang perintah yang sama yaitu, “… perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jemaat… Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakannya kepada suaminya di rumah ….” (1 Korintus 14:34-35). Jelas bahwa dalam Surat 1 Korintus maupun 1 Timotius,  
[10] M. Quraish Shihab. Perempuan. (Ciputat. Penerbit Lentera Hati: 2005). H. 257
[11] Rg Veda 1.114.7  
[12] Atharvaveda X.1.29
[13] Atharvaveda X.1.29  
[14] Yer 1:5 ~ “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”
[15] Kel 21:22-25 ~ “Apabila ada orang berkelahi dan seorang dari mereka tertumbuk kepada seorang perempuan yang sedang mengandung, sehingga keguguran kandungan, tetapi tidak mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka pastilah ia didenda sebanyak yang dikenakan oleh suami perempuan itu kepadanya, dan ia harus membayarnya menurut putusan hakim.  Tetapi jika perempuan itu mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak.”
[16] Yoh 9:1-3 ~ “Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya.  Murid-muridNya bertanya kepadaNya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?"” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia…”  
[17] http://psikologiaja.blogspot.com/2011/02/sejarah-dsm.html diakses tanggal 17 September 2015, pukul 11.41.
[18] Dra. Hj. Mufidah Ch, M.Ag. Psikologi Keluarga Islam. (Yogyakarta. UIN-MALANG PRESS: 2008). h. 267-269
[19] Dra Noordjannah Djohantini, MM., M.SI, dkk. Memecah Kebisuan Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan. (Jakarta: Komnas Perempuan. 2008). h. 66. Dituliskan bahwa: “...ajaran agama kerap digunakan sebagai pembenar tindakan-tindakan yang tidak ramah terhadap perempuan, misalnya, sering menggunakan ayat Al-Qur’an tentang pembolehan menikahi perempuan hingga empat sebagai pijakan berpoligami, tanpa memahami konteks turunnya ahyat dan tanpa mencari makna intrinsik ayat tersebut. Begitu juga dengan tindak pemukulan terhadap istri dan pelarangan menolak keinginan suami berhubungan seksual yang dikatakan sebagai perilaku yang bersumber dari Qur’an dan Hadits, tanpa lagi-lagi memahami kualitas makna suatu kata, sebab turunnya ayat, serta ayat-ayat lain yang mencakup pesan kesetaraan hubungan antara suami dan istri.”
[20] Dra. Hj. Mufidah Ch, M.Ag. Psikologi Keluarga Islam. (Yogyakarta. UIN-MALANG PRESS: 2008). h. 274
[21] Dr. Paulus Budi Kleden, Dkk. Memecah Kebisuan Agama Mendengar Perempuan Korban kekerasan Demi Keadilan, Respon Katolik. (Jakarta: Komnas Perempuan, 2009). h. 30-31
[22] Teks-teks kitab suci yang dicurigai menjadi sumber penafsiran untuk menyubordinasi perempuan antara lain: 1 Kor 14: 33-35 (perempuan harus diam dalam Gereja), 1 Kor 11: 3-16 (kepala perempuan adalah laki-laki), Kol 3: 18 (para istri mesti tundukkan diri pada suami bagaikan pada Kristus), Eh 5: 22-24 (para istri harus tundukkan diri pada suami mereka), Tit 2: 4-5 (istri mesti tunduk pada suami), 1 Tim 2: 11-15 (perempuan harus diam: tak diperkenankan mengajar atau berkuasa atas lelaki), dan et 3: 1-6 (para istri hendaknya tunduk pada suami). Semuanya itu merupakan teks-teks yang merendahkan martabat perempuan.
[23] Elisabeth Schüssler Fiorenza. Bread Not Stone: The Challenge of Feminist Biblical Interpretation. (Boston: Beacon Press, 1986). h. x
[24] Dr. Paulus Budi Kleden, Dkk. Memecah Kebisuan Agama Mendengar Perempuan Korban kekerasan Demi Keadilan, Respon Katolik. (Jakarta: Komnas Perempuan, 2009). h.. 44-46
[25] J. Raymon, Women as Wombs : The New Reproductive Tecnologies an the Struggle for Women’s Freedom (San Fransisco: Harpres and Co, 1994), h. 145.
[26] Silvia Federici, Reproduksi dan Perjuangan Feminis dalam Pembagian Kerja Internasional Baru, (Jakarta: Kalyanamitra, 2000), h. 34.
[27] Silvia Federici, Reproduksi dan Perjuangan Feminis dalam Pembagian Kerja Internasional Baru, (Jakarta: Kalyanamitra, 2000), h. 37.
[28] Silvia Federici. Reproduksi & Perjuangan Feminisme Dalam Pembagian Kerja Internasional Baru. (Jakarta. Kalyanamitra: 2000). h. 32-33 
[29]  Dra. Hj. Mufidah Ch, M.Ag. Psikologi Keluarga Islam. (Yogyakarta. UIN-MALANG PRESS: 2008). h. 172-174
[30] https://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba diakses pada 17 September 2015 pukul 11:15
[31] Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta:Balai Pustaka, 1990). h. 696
[32]http://www..com/2012/05/pengertian-pornografi.html diakses pada 17 September 2015 pukul 11:15, dalam blog dicantumkan bahwa pengertian tersebut diambil dari buku Neng Djubaedah (Eds). Yang berjudul “Stop Pornografi Selamatkan Moral Bangsa” (Jakarta: Citra Pendidikan dan Pengurus Pusat Wanita Islam, 2004), h. 51