Makalah
Untuk memenuhi syarat pada mata kuliah
Relasi Gender
Dosen Pembimbing:
Siti Nadroh MA
Oleh:
Oktavia Damayanti :1113032100056
Fahad M Al Faruq :1113032100046
Ismail
Sholeh :1113032100040
Khilda Fauziah :111
PA ( B )
Jurusan Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin
UIN Jakarta
2015
PEMBAHASAN
a. Perempuan dalam politik
Pembahasan perempuan dalam
politik menyangkut di dalamnya pembahasan tentang hak-hak politik
perempuan. Yang dimaksud dengan hak-hak politik dalah hak-hak yang ditetapakan
dan diakui oleh UU. Hak itu biasanya didasarkan atas status kebangsaan dan pada umumnya UU senantiasa mensyaratkan
status warga negara bagi pemilik hak. Dalam kaitannya dengan pembahasan isu-isu
gender dalam agama-agama dunia, dalam islam dibahas juga mengenai hak politik perempuan
yang dtidak terlepas dari pro kontra mengenai hak politik perempuan.
Mengenai sejauh hak politik yang
diperoleh perempuan dalam
tata dan konsep islam, terdapat pendapat yang berbeda ragam.
Pertama pendapat yang mengatakan
bahwa islam tidak mengakui hak politik perempuan dan dalam bidang ini perempuan
tidak dapat disejajarkan dengan laki-laki. Pendapat ini menyatakan bahwa islam tidak mengakui kesetaran perempuan dan laki-laki
dalam hal kepemilikan politik. Pandangan ini secara kokoh diperkuat oleh fatwa yang dikeluarkan komisi Fatwa al-Azhar al-Syarief.
Hujat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali pun mengatakan bahwa
kepemimpinan perempuan itu tidak sah, meskipun dia menyandang segala sifat kesempurnaan dan dapat
mengambil tindakan mandiri. Bagiamana perempuan diperbolehkan mencalonkan diri
sebagai pemimpin, sedangakn kewenangan dan kelayakan menjadi hakim dan saksi
dihampir semua struktur pemerintahan saja tidak pernah dimilikinya. Selain itu,
perempuan tidak sepenuhnya memilki kuasa atas
dirinya sendiri, sampai-sampai tidak punya kuasa untuk
menikah sendiri. Karna itu, jangan diberi kuasa atas perkara lain. Sebagaimana
ayat dalam Al-Quran:
ãA%y`Ìh9$#
cqãBº§qs%
n?tã
Ïä!$|¡ÏiY9$#
$yJÎ/
@Òsù
ª!$#
óOßgÒ÷èt/
4n?tã
<Ù÷èt/
!$yJÎ/ur
(#qà)xÿRr&
ô`ÏB
öNÎgÏ9ºuqøBr&
4
àM»ysÎ=»¢Á9$$sù
ìM»tGÏZ»s%
×M»sàÏÿ»ym
É=øtóù=Ïj9
$yJÎ/
xáÏÿym
ª!$#
4
ÓÉL»©9$#ur
tbqèù$srB
Æèdyqà±èS
ÆèdqÝàÏèsù
£`èdrãàf÷d$#ur
Îû
ÆìÅ_$ÒyJø9$#
£`èdqç/ÎôÑ$#ur
(
÷bÎ*sù
öNà6uZ÷èsÛr&
xsù
(#qäóö7s?
£`Íkön=tã
¸xÎ6y
3
¨bÎ)
©!$#
c%x.
$wÎ=tã
#ZÎ62
ÇÌÍÈ
Artinya: “Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menapkahkan sebagian dari harta mereka.
sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”
Pendapat kedua adalah adalah
bahwa perempuan layak memperoleh hak politik seperti halnya laki-laki, Ia
berhak menduduki semua jabatan politik.
Sebagian sepakat asal dengan catatan bahwa tidak untuk menjadi pemegang jabatan
sebagai pemimpin negara.
Pendapat ini juga didukung oleh dalil dalam Al-Qur’an surat al-Tawbah ayat 71:
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur
öNßgàÒ÷èt/
âä!$uÏ9÷rr&
<Ù÷èt/
4
crâßDù't
Å$rã÷èyJø9$$Î/
tböqyg÷Ztur
Ç`tã
Ìs3ZßJø9$#
cqßJÉ)ãur
no4qn=¢Á9$#
cqè?÷sãur
no4qx.¨9$#
cqãèÏÜãur
©!$#
ÿ¼ã&s!qßuur
4
y7Í´¯»s9'ré&
ãNßgçHxq÷zy
ª!$#
3
¨bÎ)
©!$#
îÍtã
ÒOÅ3ym
ÇÐÊÈ
Artinya: “Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat
dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh
Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat tersebut menunjukan bahwa
perempuan dan laki-laki sejajar, keduanya memiliki peran yang sama dalam
mengatur dan mengelola urusan-urusan masyarakat, perempuan setara dengan
laki-laki, ia memiliki hak sebagai pemimpin bagi publik.
Dan Abdul Hamid Mutawali dalam
karyanya Nizham al-Hukm fi
al-Islam yang didukung oleh Hazim Abdul Muta’al al-Sha’yadi dalam karyanya al-Nazharriyah al-Islamiyyah li al-Dawlah
mengemukakan pendapat bahwa hak politik bagi perempuan adalah persoalan
Sosial-Politik bukan persoalan agama, dan bahwa hukum Syar’i yang mengharamkan perempuan
menggunakan hak-hak politik itu tidak ada. Karenanya salah jika masalah ini
dipecahkan dari perspektif
agama atau fikih. Akan tetapi
masih banyak yang beranggapan bahwa hak politik perempuan adalah tidak ada dan
Syara’ melarang akan kiprah perempuan di dunia perpolitikan.
Secara historis, telah terjadi
perlakuan yang tidak seimbang, yang menempatkan perempuan pada posisi yang
lebih rendah dibandingkan laki-laki. Sejarah peradaban manusia banyak
didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga laki-laki mendominasi semua peran di
masyarakat sepanjang sejarah, kecuali dalam masyarakat yang matriarkal yang
jumlahnya sangat sedikit. Jadi, sejak awal sudah terjadi ketidaksetaraan gender
yang menempatkan perempuan pada wilayah yang marginal. Peran-peran yang
dimainkan kaum perempuan hanyalah peran-peran di sekitar rumah tangga.
Sementara itu, kaum laki-laki dapat menguasai semua peran penting di
tengah-tengah masyarakat. Dari sini muncullah doktrin ketidaksetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap tidak cocok memegang kekuasaan
ataupun memiliki kemampuan seperti yang dimiliki laki-laki dan karenanya
perempuan tidak setara dengan laki-laki. Laki-laki harus memiliki dan
mendominasi perempuan.
Sebelum Islam datang, perempuan
mengalami masa sejarah yang gelap, yaitu fakta dan realitas historis
mengungkapkan betapa hinanya perempuan pada saat itu. Seorang ayah akan merasa
malu kalau mempunyai anak perempuan, dan rela mengubur anaknya hidup-hidup,
sebagaimana disinyalir dalam Al-Quran surat an-Nahl 58-59:
“Dan apabila seseorang dari
mereka diberi khabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah
padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang
banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan
memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam
tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan
itu.”
Berdasarkan ayat di atas dapat
dipahami bahwa sebahagian besar tradisi jahiliah terhadap perempuan sangat
tidak manusiawi. Perempuan merupakan manusia yang tidak diketahui oleh
undang-undang, Pada masa jahiliah, perempuan dianggap sebagai harta yang dapat
dimiliki, dijual dan diperlakukan sesuai dengan keinginan, Perempuan tidak
memiliki hak talak, karena itu suami dapat menceraikan istrinya kapanpun ia
kehendaki, Perempuan tidak memiliki hak waris, tetapi perempuan dapat
diwariskan seperti harta benda, Perempuan tidak memiliki hak mengasuh anak,
karena anak dalam tradisi jahiliah dimiliki oleh keluarga laki-laki, Perempuan
tidak memiliki kebebasan untuk membelanjakan harta benda yang dimiliki, dan bayi
perempuan dikubur hidup-hidup.
Akan tetapi setelah datangnya
Islam, masa suram tersebut memberikan cahaya yang terang terhadap perempuan.
Perlakuan yang tidak manusiawi pada masa jahiliah telah merubah posisi
perempuan menjadi dihormati dan dihargai.
Menurut Asghar masalah al-Quran
yang melebihkan laki-laki atas perempuan karena nafkah sesungguhnya adalah
masalah kesadaran sosial dan penafsiran yang tepat. Kesadaran perempuan pada
masa itu sangat rendah dan pekerjaan domistik dianggap sebagai kewajiban
perempuan. Selain itu laki-laki menganggap dirinya lebih unggul karena
kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk
perempuan (Engineer, 1994: 62-3). Ditambahkan oleh Asghar, dengan
keadaan-keadaan yang terus berubah dan kesadaran yang semakin kuat di kalangan
perempuan, konsep mengenai hak-hak mereka akan berubah.
Untuk itu sesungguhnya Islam
muncul dengan konsep hubungan manusia yang berlandaskan keadilan dan kesetaraan
antara kedudukan perempuan dan laki-laki. Selain dalam hal pengambilan
keputusan, perempuan dalam Islam juga memiliki hak-hak ekonomi (memiliki
harta). Dengan begitu Islam justru menumbangkan sistem sosial yang tidak adil
terhadap perempuan dengan menggantikan posisi yang adil.
Dalam bidang kepemimpinan, Islam
bertolak dari status manusia sebagai khalifah. Akhir surah al-Ahzâb mempertegas
kekhalifahan manusia ini di muka bumi sebagai pengemban amanat Allah untuk
mengolah, memelihara, dan mengembangkan bumi. Inilah tugas pokok manusia –tidak
berbeda antara perempuan dengan laki-laki.
Mengenai status kekhalifahan
tadi, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa semua manusia adalah pemimpim
“Kaliah semua adalah pemimpin dan setiap
pemimpin dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. Islam
mengangkat derajat manusia dan memberikan kepercayaan yang tinggi, karena
setiap manusia secara fungsional dan social adalah pemimpin.
Rasulullah memberikan gambaran
yang lebih konkret, yaitu di dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam
perkembangan budaya beliau menempatkan laki-laki dan perempuan pada bidang
tertentu, tapi masing-masing tetap berpotensi sebagai pemimpin. Itu yang ditegaskan dalam lanjutan hadits
tadi, “Lelaki adalah pemimpin keluarga, sementara perempuan adalah pemimpin di
rumah tangga”. Ini adalah penjelasan yang berkaitan dengan perkembangan
peradaban dan budaya manusia, yang pada gilirannya menempatkan laki-laki
sebagai kepala keluarga, artintya laki-laki berfungsi sebagai suami, dan ayah
itu berarti pemimpin untuk seluruh keluarga.
Biasanya yang dipersoalkan orang
adalah kepemimpinan perempuan di dalam dunia politik berdasarkan hadits lâ
yaflâhû qaumun wallau amrahum imra’atûn (tidak akan sukses suatu kaum yang
menyerahkan kepemimpinannya kepada perempuan). Perlu kita catat bahwa kualitas
hadits tersebut bukan shahih, karena tidak termuat dalam kitab Shahihaini, tapi
hadits ini masyhur beredar. Namun kemudian hadits ini dijabarkan di dalam
beberapa pemikiran fiqih secara tekstual, sehingga perempuan tidak boleh
menjadi pemimpin masyarakat. Akan tetapi, tidak ada kitab fiqih yang mengatakan
perempua tidak boleh menjadi pemimpin di dalam rumah tangga, semua kebudayaan
mengakui hal ini. hanya yang dipermasalahkan adalah kepemimpinan yang di luar
rumah tangga. Hal ini juga ada kaitannya dengan perempyuan karier yang bekerja
di luar rumah tangga.
Mengenai hadits tadi, sebagian
ulama berpendapat bahwa perempuan tidak boleh memegang jabatan penting seperti
jabatan kepala Negara, hakim, dan sebagainya. Akan tetapi, kalau kita lihat
realitasnya dalam sejarah Islam, banyak perempuan Islam yang tampil sebagai
pemimpin. Aisyah, istri Nabi Muhammad Saw. diakui sebagai seorang mufti. Maka
dia memberikan fatwa sekali bersahabat Nabi yang lain (Abu Bakar, Umar, Ibnu
Abbas, dll). Bahkan kedudukannya sebagai panglima pada perang Unta juga diakui.
Kemudian di dalam perkembangan sejarqah Indonesia juga banyak terdapat tokoh,
pahlawan, dan raja wanita, seperti Cut Nyak Dien di Aceh. Di dalam al-Qur’an
disebutkan juga tentang seorang ratu di zaman Nabi Sulaiman, yaitu Ratu Balqis.
Kemudian Imam Thabari mempertegas
bahwa, walaupun kita menggunakan hadits tadi sebagai dasar hukum, tetapi hanya
manyengkut satu masalah khusus, yaitu bahwa perempuan tidak boleh memegang
pucuk pimpinan tertinggi Negara, perempuan tidak bisa jadi khalifah, tapi
selain itu bisa. Ada tiga Negara Islam yang saat ini menampilkan perempuan
sebagai pemimpin, yaitu Pakistan, Bangladesh, dan Turki, tentu di Negara-negara
tadi banyak ulama dan mengerti, namun karena luasnya wawasan mereka, maka
mereka bisa menerima perempuan sebagai pemimpin.
Kepemimpinan Perempuan
dalam Kristen
Masyarakat Yunani
yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, tidak banyak membicarakan
hak dan kewajiban wanita. Di kalangan elite mereka, wanita-wanita
ditempatkan (disekap) dalam istana-istana. Dan di kalangan bawah, nasib wanita
sangat menyedihkan. Mereka
diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya
berada di bawah kekuasaan suaminya.
Dalam peradaban
Romawi, wanita sepenuhnya berada
di bawah kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah ke
tangan sang suami.
Kekuasaan ini mencakup kewenangan
menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh.
Di Alkitab ada beberapa ayat yang
menyinggung peranan pria dan wanita dalam konteks kepemimpinan (1 Korintus
11:2-16; 14:33-35). Namun, yang paling gamblang adalah bagian yang ditulis oleh
Rasul Paulus.
Paulus tidak mengizinkan kepemimpinan wanita atas pria. Sebaliknya, Paulus
meminta wanita untuk tunduk kepada kepemimpinan pria.
Adapun argument Paulus terhadap
hak kepemimpiman perempuan, maka landasan yang Paulus gunakan untuk mendukung
argumennya bukanlah landasan budaya. Paulus menggunakan dasar argumen yang
tidak terikat oleh waktu. Mari kita lihat argumen yang ia gunakan. Pertama,
Paulus menguraikan mata rantai atau hierarki otoritas sebagai tumpuan
argumennya, dan ini bersifat lintas budaya, yakni: “Kepala dari tiap-tiap
laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari
Kristus adalah Allah.” (1 Korintus 11:3); kedua, Kedua, Paulus menjelaskan
makna rohani yang terkandung dalam penciptaan berdasarkan urutan penciptaan itu
sendiri, yakni “… laki-laki … menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi
perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari
perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki.” (1 Korintus
11:7-8);Ketiga, Paulus memakai landasan historis untuk mendukung argumennya,
yakni “Karena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Hawa. Lagipula
bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke
dalam dosa.” (1 Timotius 2:13-14).
Debora yang adalah istri Lapidot
(Hakim-Hakim 4), memerintah sebagai hakim di Israel dan ini menandakan bahwa
kepemimpinan tertinggi saat itu dipegang oleh seorang perempuan. Tuhan Yesus
pun melibatkan perempuan dalam pelayanan-Nya sebagaimana dicatat oleh Lukas, di
antaranya adalah Maria Magdalena, Yohana istri Khuza bendahara Herodes, dan
Susana yang berperan besar sebagai penyandang dana bagi Tuhan Yesus dan para
murid-Nya (Lukas 8:2-3).
Dari sini kemudian dapat
disimpulkan bahwa dalam pelaksanaannya, ternyata yang terpenting adalah
tujuannya — ketertiban — bukan sarananya — otoritas laki-laki atas perempuan.
Tuhan tidak antiperempuan dan Ia melibatkan perempuan dalam pekerjaan-Nya. Hal
ini terbukti dari pelbagai karunia yang Ia berikan kepada kita, tanpa mengenal
perbedaan gender (1 Korintus 12, Roma 12:4-8, Efesus 4:7-12, 1 Petrus 4:10-11
). Kenyataannya ialah baik laki-laki maupun perempuan, keduanya setara di
hadapan Tuhan; keduanya adalah penerima pelbagai karunia Tuhan; dan keduanya
dilibatkan dalam pekerjaan Tuhan. Firman Tuhan menegaskan, “Namun demikian,
dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa
perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula
laki-laki dilahirkan oleh perempuan dan segala sesuatu berasal dari Allah.” (1
Korintus 11:11-12) Jadi, dasar penetapan hierarki otoritas bukanlah perbedaan
kualitas, melainkan perbedaan fungsi dan kewajiban, sedangkan tujuannya adalah
ketertiban — terutama di dalam keluarga.
b.
Aborsi
Aborsi adalah pengguguran
kandungan (janin) sebelum sempurna masa kehamilan –baik dalam keadaan hidup
ataupun tidak- sehingga keluar dari Rahim dan tidak hidup, baik itu dilakukan
dengan obat ataupun selainnya, oleh yang mengandungnya maupun oleh orang lain.
Aborsi biasa dilakukan akibat
pergaulan bebas sehingga terjadi yang diistilahkan dengan kecelakaan, yakni
hamil tanpa didahului oleh akad nikah yang sah. Kehamilan itu tidak dikehendaki
karena takut menanggung aib. Tentu saja masih ada sebab lain, misalnya karena
kehamilan yang dapat membawa dampak buruk terhadap ibu dan anak, atau karena
kehamilan yang tidak diinginkan lagi sebab khawatir memikul beban ekonomi
tambahan.
Namun aborsi menjadi bahan
pembicaraan yang lain ketika hal tersebut menimpa kepada wanita korban
perkosaan, dimana pilihan melakukan aborsi dilakukan karena judge masyarakat
yang memang tidak semuanya akan menerima kepada kondisi si korban pemerkosaan,
dan tetap akan mencemooh kepada si korban yang akan menimbulkan tekanan batin
kepada korban pemerkosaan tersebut. Pemerkosaan terjadi memang karena selain
dari perlindungan terhadap kaum perempuan masih sangat minim kalau pemakalah
menilainya, karena upaya untuk melindungi perempuan dari tindak perkosaan
sangatlah minim. Dan juga payung hokum bagi korban pemerkosaan yang menuntut
keadilan hukum sebagai warga
negara yang mendapat perlakuan yang sama juga sangatlah minim, karena di banyak
kasus pemerkosaan terhadap perempuan, banyak sekali para pelaku pemerkosaan
yang tidak terjerat oleh hukuman pidana yang setimpal atau bahkan tidak
terjerat hukum sama sekali.
Dan itulah realita keadilan di negri kita Indonesia, bahkan di dunia global,
bahwa keadilan yang tidak didapat oleh para korban pemerkosaan cenderung untuk
lebih memilih melakukan aborsi agar tidak menanggung beban malu dan tekanan
bathinnya yang tidak mendapat keadilan.
Aborsi dalam Teolog
i Hinduisme tergolong pada perbuatan yang
disebut
Himsa karma yakni salah satu
perbuatan dosa yang disejajarkan dengan membunuh, meyakiti, dan menyiksa.
Membunuh dalam pengertian yang lebih dalam sebagai “menghilangkan nyawa”
mendasari
falsa
fah
atma
atau roh yang sudah berada dan melekat pada jabang bayi sekalipun masih
berbentuk gumpalan yang belum sempurna seperti tubuh manusia. Oleh karena itulah perbuatan aborsi
disetarakan dengan menghilangkan nyawa. Kitab-kitab suci Hindu antara lain
menyatakan:
“Ma no mahantam uta ma no
arbhakam” artinya: Janganlah mengganggu dan mencelakakan bayi.
“Anagohatya vai bhima” artinya: Jangan
membunuh bayi yang tiada berdosa.
Dan:
“Ma no gam asvam purusam vadhih”
artinya: Jangan membunuh manusia dan binatang.
Dalam Alkitab dikatakan dengan
jelas betapa Tuhan sangat tidak berkenan atas pembunuhan seperti yang dilakukan
dalam tindakan aborsi
. Jangan
pernah berpikir bahwa janin dalam kandungan itu belum memiliki nyawa.
Hukuman bagi para pelaku aborsi
dalam agama Kristen sangat keras.
Yaitu nyawa si bayi harus diganti dengan
nyawa lagi.
Aborsi karena alasan janin yang cacat tidak dibenarkan Tuhan.
Dan aborsi karena untuk menutup aib
dengan alasan perkosaan juga tidak dibenarkan dalam agama Kristen.
c. Homoseksualitas
Pada awalnya dalam
pembelajaran psikologi kaum homoseksual ataupun lesbian dimasukan dalam
kategori manusia abnormal begitu juga dengan biseksual, hal tersebut sesuai
dengan DSM (Diagnostik and statistcal manual of mental).
Pada dasarnya manusia itu
memiliki potensi untuk menjadi homoseksual ataupun lesbian hal tersebut di
karnakan pada usia pubertas manusia memiliki pembawaan biseksual dimana pada
saat usia ini manusia dapat dengan mudah mencintai ataupun menyukai teman pria
ataupun wanitanya, jika pada anak yang normal maka anak tersebuat akan
berkembang memiliki sifat heteroseksual yaitu sikap menyukai lawan jenisnya.
Hal tersebut sangat berpengaruh pada lingkungan yang membentuk seseorang dalam
menemukan jati dirinya, para kasus homo ataupun lesbian biyasanya terbentuk
karna faktor lingkungan, di mana banyak para homo ataupun lesbi yang memiliki
trauma terhadap seseorang yang mempengaruhi pola perilaku di masa depanya.
Seseorang yang memiliki kelainan
sek homoseksual biyasanya lebih peka dalam lingkungannya dan lebih protektif
terhadap pasangan sesama jenisnya, kepekaanya terhadap lingkungan tersebut
untuk mengetahui sesamanya, biyasanya kepekaan tersebut terjadi dalam mencari
pasangan sesama jenisnya.
Dan karena rumah tangga juga
menjadi faktor homoseksualitas, maka di sini peranan gender dalam rumah tangga
sangat diperlukan, dimana keutuhan rumah tangga dan proteksi orang tua kepada
anaknya harus sama-sama memberikan proteksi kepada anak agar jangan sampai
menjadi korban kekerasan seksual dan menimbulkan traumatis yang menyebabkan
anak menjadi seorang homoseksual.
d. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan merupakan suatu
tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat
(merasa kuat) kepada seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lemah
(dipandang lemah/dilemahkan), yang dengan sengaja dilakukan untuk menmbulkan
penderitaan kepada obyek kekerasan. Kekerasan terjadi di masyarakat dapat
dikategorikan menjadi 5 macam, yaitu:
a.
Kekerasan berbasis etnis
b.
Kekerasan berbasis budaya
c.
Kekerasan berbasis politik
d.
Kekerasan berbasis agama
e.
Kekerasan berbasis gender
Kekerasan berbasis gender
merupakan jenis kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap jenis kelamin
yang berbeda, seperti laki-laki melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan
atau sebaliknya. Perempuan lebih dominan menjadi korban kekerasan gender antara
lain disebabkan terjadinya diskriminasi gender.
Pengertian Kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) menurut undang-undang nomor 23 Tahun 2004 adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbul kesengsaraan atau
penderitaan secara pisik, seksual, psikologis dan/ penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hokum dalam lingkup rumah tangga.
Berdasarkan data yang direkam
dari berbagai lembaga pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga dan
kasus yang ditangani oleh kepolisian, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi
adalah:
1.
Kekerasan fisik
2.
Kekerasan seksual
3.
Kekerasan psikis
4.
Kekerasan ekonomi/penelantaran ekonomi
Terdapat beragam alasan terjadinya
KDRT, antara lain budaya patriarki yang menempatkan posisi pihak yang memiliki
kekuasaan merasa lebih unggul. Selain itu, interpretasi agama yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai universal agama. Agama sering digunakan sebagai legitimasi
pelaku kekerasan terutama dalam lingkup keluarga,
padahal agama menjamin hak-hak dasar seseorang, seperti cara memahami Nusyuz,
yakni suami boleh memukul istri dengan alas an mendidik atau ketika sitri tidak
mau melayani kebutuhan seksual suami maka suami berhak memukul dan ancaman bagi
istri adalah dilaknat oleh malaikat.
Kekerasan juga berlangsung justru
mendapatkan legitimasi masyarakat dan menjadi bagian dari budaya, keluarga,
negara, dan praktek di masyarakat, sehingga menjadi bagian kehidupan yang sulit
dihapuskan, kendatipun terbukti merugikan semua pihak.
Berikut kami pemakalah akan memaparkan sedikit ulasan kekerasan dari agama
Kristen (Katolik) yang berbeda. Misalnya, seorang perempuan yang mengalami
kekerasan dalam rumah tangga katolik juga dipengaruhi dan terkait dengan budaya
setempat dan Gereja lokal yang sangat patriarkis-yang menggunakan ajaran agama
untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Permasalahan kekerasan dapat
ditemui di beberapa daerah, dimana budaya patriarkis setempat sangat kuat bertautan
dengan ajaran agama (Gereja) yang patriarkis, seperti hampir dalam semua budaya
di Indonesia. Kekerasan yang dialami seorang perempuan katolik mencakup pula wilayah
tangga, komunitas (agama dan budaya), maupun negara. Hal ini biasanya terjadi
di wilayah-wilayah konflik, seperti perbatasan Timor, Maluku, Papua, dan
sebagainya.
Pengalaman para perempuan ini menjadi sumber repleksi mengkritisi peran
agama di dalam persoalan kekerasan terhadap perempuan. Kitab Suci menurut
Elisabeth Schüssler Fiorenza, di dalam perjuangan bertahan hidup serta pembebasan
dari dalam masyarakat dan gereja yang patriarkis, perempuan menemukan kitab
suci telah digunakan sebagai alat untuk menentang perempuan.
Namun demikian, pada saat yang sama, kitab suci juga bisa menjadi sumber
keberanian, pengharapan, dan komitmen dalam perjuangan para perempuan. Sehingga
menurut Schüssler Fiorenza, yang perlu dilakukan dalam interpretasi feminis
bukanlah mempertahankan kita suci untuk melawan para pengkritik feminis,
melainkan untuk mahami dan menafsirkannya sedemikian rupa sehingga kekuatan penindasan
dan pembebasannya sangat jelas dan dapat dikenali.
Ilmu tafsir membantu menemukan siapa dan maksud si penulis, jenis sastra
yang ia gunakan, serat sidang pembacanya. Orang katolik diajak membedakan
ajaran ilahi dari asumsi-asumsi budaya zaman itu. Seperti ditandaskan oleh
Konsili Vatikan II (1962-1965), yang benar dalam kitab suci adalah hanya apa
yang dikehendaki Tuhan Bapak demi keselamatan manusia, sebagaimana Katolik
dalam Konsili Vatikan II jelas menentang berbagai macam bentuk kekerasan.
e.
Perdagangan
Perempuan dan Anak
Berkembangnya
pasar bayi internasional yang besar, yang diorganisir melalui mekanisme
pengangkatan anak (adopsi). Pada dasawarsa 1990-an diperhitungkan bahwa anak angkat
memasuki Amerika Serikat setiap 48 menit
dan pada awal dasawarsa 1990-an, Korea Selatan saja 5700 bayi diekspor setiap
tahunnya ke Amerika Serikat.
Sekarang ini, apa yang oleh kaum feminis disebut sebagai perdagangan anak
internasional telah meluas juga di negeri-negeri bekas sosialis, terutama di
Polandia dan Rusia, di mana penemuan badan-badan yang menjual anak-anak (pada
1994 lebih dari 1500 anak diekspor ke Amerika Serikat saja) telah menguakan
skandal nasional. Kita juga menyaksikan berkembangnya peternakan bayi, dimana
anak-anak diproduksi khusus untuk ekspor dan meningkatnya perempuan yang
dipekerjakan sebagai ibu pengganti. Ibu pengganti, serta pengangkatan anak
memungkinkan kaum perempuan dari negeri-negeri kapitalis maju untuk menghindari
resiko menghentikan karir mereka, atau membahayakan kesehatan mereka karena
melahirkan anak.
Di sejumlah
negeri Asia (Muangthai, Korea Selatan, Filiphina) industry seks dan wisata seks
yang melayani konsumen internasional mulai wisatawan sampai pegawai perusahaan-perusahaan
Jepang yang dalam tahun belakangan ini mendapat bonus “perjalanan kenikmatan”
dan angkatan bersenjata AS yang sejak perang Vietnam menggunakan negeri-negeri
ini sebagai tempat istirahat dan rekreasi. Pada akhir dasawarsa 1990-an diperkirakan
bahwa di Thailand saja, dari 52 juta penduduk, 1 juta perempuan bekerja
diindustri seks. Juga terjadi peningkatan jumlah perempuan dari dunia ketiga
atau negeri-negeri bekas sosialis, yang bekerja sebagai pelacur di Eropa,
Amerika Serikat dan Jepang yang kebayakan bekerja sebagai budak seperti
perempuan-perempuan Muangthai yang dipekerjakan di sebuah border di New York di
mana mereka ditawan oleh organisasi yang membayar biaya perjalana mereka di AS
dan telah membujuk mereka untuk datang di AS untuk diberi pekerjaan.
“Perdagangan” “pengantin perempuan melalui pos” yang pada
dasawarsa 1980-an telah berkembang pada skala internasional. Di AS saja sekitar
3500 lelaki setiap tahunnya menikah dengan perempuan yang dipilih melalui pesanan
pos. dalam amat sangat banyak kasus pengantin perempuan adalah perempuan muda
dari kawasan-kawasan termiskin di Asia tenggara atau Amerika Serikat meskipun
baru-baru ini perempuan-perempuan dari Rusia dan negeri-negeri bekas sosialis
juga memilih ini sebagai sarana untuk emigrasi. Pada tahun 1979, 7759 perempuan
Filipina telah meninggalkan negerinya dengan cara ini. perdagangan pengantin
perempuan pesanan pos ini di satu sisi mengeksploitasi kemiskinan luar biasa
kaum perempuan dan di sisi lain mengoksploitasi seksisme dan rasisme kaum
laki-laki Eropa dan Amerika yang menginginkan seorang istri yang bisa dikontrol
sepenuhnya dan manfaatkan kerentanan kaum perempuan yang terpaksa menerima
pilihan ini.
f. Tenaga Kerja Wanita (TKW)
Tenaga kerja wanita (TKW) memang
merupakan fenomena masyarakat
Indonesia kalangan menengah ke bawah untuk mengejar ketertinggalan ekonomi
keluarga mereka, dan seolah menjadi daya tarik bagi para wanita di Indonesia
khususnya, karena gaji yang didapat dari bekerja sebagai TKW bisa mencukupi
kebutuhan keluarga para TKW.
Dipekerjakannya secara
besar-besaran emigrant perempuan yang datang dari Asia, Aprika, Kepulauan
Karibia, Amerika Selatan, sebagai pekerja rumahtangga di negri-negri industri,
serta di Negri Timur Tengah penghasil minyak. Dipekerjakannya para TKW dengan
upah yang rendah membersihkan rumah, mengurus anak-anak, memasak makanan, dan
lain-lain, dalam artian melayani keluarga orang lain sementara keluarganya
sendiri ditinggalkan merupakan pilihan yang menyakitkan bagi para TKW.
Namun menjadi TKW bukanlah tanpa
resiko, karena para TKW berada pada bahaya yang berhubungan dengan posisi yang
secara social dan hokum rentan. Beberapa kasus contoh kekerasan yang dialami
TKW oleh para majikannya dari mulai tidak dibayarnya upah, penyiksaan pisik,
penyiksaan psikis, tuduhan palsu oleh majikan, dan bahkan pembunuhan oleh para
majikannya.
Namun kasus-kasus tersebut tidak
lantas mengurangi minat para wanita untuk menjadi TKW di luar negri, mereka
tetap bertekad berangkat menjadi TKW dengan pembekalan keterampilan dan bahasa
tentunya walaupun mereka dibayangi oleh resiko
kekerasan yang bisa saja mereka alami di tempat mereka bekerja.
g.
HIV/Aids,
Narkoba, dan Pornografi
Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeviency
Virus (HIV) yang menyerang system kekebalan tubuh yang berakibat seseorang
menjadi rentan terhadap inveksi dan kanker. Biasanya penyakit ini menyerang
dengan memanfaatkan kesempatan ketika kekebalan tubuh menurun. Virus HIV dapat
menular melalui jarum suntik, transfuse darah, hubungan seksual, dan
sebagainya.
Mengingat penyebaran HIV/AIDS
demikian cepat, salah satu bentuk penyebarannya adalah melalui hubungan
seksual. Kontak seksual ini pada awalnya menjadi fenomena kalangan homoseksual,
namun untuk selanjutnya menyebar pula melalui hubungan hetero seksual. Salah
satu pasangan suami istri bisa tertular virus HIV jika satu saja diantara
keduanya yang melakukan hubungan seks beresiko. Sejumlah kasus di masyarakat
bahwa istri tiba-tiba dinyatakan tertular padahal dia sebagai istri yang
solehah yang tidak pernah melakukan perbuatan zina. Penularan virus ini
disebabkan suami yang pernah melakukan hubungan seks dengan pengidap virus HIV.
Karena itulah perempuan dalam beberapa kasus mengalami gangguan kesehatan
reproduksi sebagai dampak bukan sebagai pelaku.
Keluarga sebagai lembaga terkecil
di masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari segala macam
bentuk penyakit. Perlindungan ini berfungsi mengembangkan dan keberlangsungan
reproduksi sehat dalam keluarga. Penyadaran kesehatan reproduksi sejak awal
harus ditanamkan dalam keluarga baik bagi anak laki-laki maupun perempuan.
Mengenali sejak dini bagi anggota keluarga akan bahaya HIV/AIDS, penyebabnya,
bentuk-bentuk penyebarannya, dan dampaknya terhadap kesehatan reproduksi,
dampak social, psikologinya, bagaimana cara menghindarinya, dan sebagainya
sangat urgent sebagai tindakan prefentif perlindungan keluarga.
Narkoba adalah singkatan dari
narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain
yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
adalah Napza yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif.
Semua istilah ini, baik
"narkoba" ataupun "napza", mengacu pada kelompok senyawa
yang umumnya memiliki risiko kecanduan bagi penggunanya. Menurut pakar
kesehatan, narkoba sebenarnya adalah senyawa-senyawa psikotropika yang biasa
dipakai untuk membius pasien saat hendak dioperasi atau obat-obatan untuk
penyakit tertentu.[butuh rujukan] Namun kini persepsi itu disalahartikan akibat
pemakaian di luar peruntukan dan dosis yang semestinya.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan, Pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis
dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi.
Sedangkan W.F. Haung menyebutkan
pornografi adalah penggunaan refresentasi perempuan (tulisan, gambar, foto,
video dan film) dalam rangka manipulasi hasrat (desire) orang yang melihat,
yang di dalamnya berlangsung proses degradasi perempuan dalam statusnya sebagai
“objek” seksual laki-laki.
Daftar Pustaka
Budi Kleden. Dr.
Paulus, Dkk. Memecah Kebisuan Agama
Mendengar Perempuan Korban kekerasan Demi Keadilan, Respon Katolik.
Jakarta: Komnas Perempuan, 2009.
Djohantini, MM.,
M.SI. Dra Noordjannah, dkk. Memecah
Kebisuan Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan.
Jakarta: Komnas Perempuan. 2008.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta:Balai Pustaka, 1990.
Fiorenza.
Elisabeth Schüssler. Bread Not Stone: The
Challenge of Feminist Biblical Interpretation. Boston: Beacon Press, 1986.
Federici.
Silvia. Reproduksi & Perjuangan
Feminisme Dalam Pembagian Kerja Internasional Baru. Jakarta. Kalyanamitra:
2000.
Hulwati, Perempuan Dalam Wacana Politik Islam,
Jurnal Ilmiah Kajian Gender.
Marzuki, (2008)
“KETERLIBATAN PEREMPUAN DALAM BIDANG
POLITIK PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW. DAN MASA KHULAFAUR RASYIDIN (SUATU KAJIAN
HISTORIS)”. Humaniora, 13 (1). ISSN 1412-4009.
Mufidah Ch,
M.Ag. Dra. Hj. Psikologi Keluarga Islam.
Yogyakarta. UIN-MALANG PRESS: 2008.
Munir. Lily
Zakiyah, Memposisikan Kodrat : Perempuan
dan Perubahan dalam Perspektif Islam, Bandung: Penerbit Mizan, 1999.
Raymon. J. Women
as Wombs : The New Reproductive
Tecnologies an the Struggle for Women’s Freedom. San Fransisco: Harpres and
Co, 1994.
Shihab. M.
Quraish. Perempuan. Ciputat. Penerbit
Lentera Hati: 2005.
https://afifrizqonhaqqi.wordpress.com/2013/01/27/kepemimpinan-perempuan-dalam-perspektif-agama-agama-islam-dan-kristen/
,diakses tangga; 17 September 2015, pukul 11.41.
http://psikologiaja.blogspot.com/2011/02/sejarah-dsm.html
diakses tangga; 17 September 2015, pukul 11.41.
https://id.wikipedia.org/wiki/Narkoba
diakses pada 17 September 2015 pukul 11:15
http://www..com/2012/05/pengertian-pornografi.html
diakses pada 17 September 2015 pukul 11:15.